LOGINBeberapa hari setelah memulangkan pocong Aisyah ke rumah aslinya, Sandy kini bisa bernapas lega setelah beberapa kali harus melayani hantu sebagai penumpang ojeknya.
Selama ini dia selalu merasa ketakutan dan cemas, tapi kini dia bisa kembali merasakan kebebasan dan ketenangan saat beraktivitas. Beban pikirannya terasa ringan karena tidak lagi merasa terintimidasi oleh wajah seram dan kasus para makhluk halus yang sering meminta bantuan padanya. Kehidupan pribadinya pun kembali normal, di mana dia bisa kembali menjalin hubungan dengan keempat pacarnya. Terutama Kirana, pacar pertamanya yang masih merajuk karena Sandy menolak mengantarnya bekerja beberapa waktu lalu. Sandy sadar bahwa dia harus segera meluruskan perasaan Kirana agar hubungan mereka kembali harmonis tanpa banyak drama. Di suatu Minggu pagi yang cerah, Sandy sudah mendapatkan panggilan telepon dari Rahayu, pacar keduanya. Wanita itu menelpon hanya untuk menyapa serta memberitahukan bahwa dia sudah hampir sampai ke rumah Ricky. Rahayu hendak mengajak Sandy untuk berkencan. Sontak saja Sandy yang masih bergumul dengan selimut dan bantal guling itu segera bangkit dan buru-buru mandi agar tidak terlihat kumal begitu Rahayu datang. Belum juga selesai mandi, wanita cantik berambut ikal itu sudah datang lebih dulu. Kebetulan saat itu Mak Ijah juga berada di rumah karena libur bekerja. Dua wanita itu pun duduk bersama di ruang tengah. Rahayu nampak banyak senyum dan tidak merasa grogi sama sekali. Padahal saat itu Mak Ijah terlihat seperti ibu-ibu julid yang menatap tamunya dengan penuh penilaian serta ekspresi wajah masam. "Kamu ini pacaran sama anak saya sejak kapan?" tanya Mak Ijah dengan serius. "Sejak Sandy lulus SMA, Bu." Rahayu menganggukkan kepalanya ketika menjawab. Mak Ijah manggut-manggut dan kemudian memandangi wanita berpakaian rapi di hadapannya. "Berapa umur kamu? Sepertinya kamu lebih tua dari anak saya?" tanyanya masih dengan nada kurang ramah. Rahayu tersenyum seraya menjawab. "Ayu memang 5 tahun lebih tua dari Ricky, Bu." "Lah, kok mau sama anak saya? Kenapa? Jangan bilang karena tampangnya." Mak Ijah melayangkan tatapan menyelidik. Rahayu langsung tertawa mendengar perkataan Mak Ijah yang satu itu. "Harus Ayu akui kalau dulu Ayu cuma iseng pacaran sama Ricky. Tapi Ayu jadi suka beneran karena Sandy anaknya lucu," jelasnya. Mak Ijah geleng-geleng kepala mendengar alasan Rahayu memacari putranya. "Denger ya, Neng. Kamu ini masih muda dan cantik, saya kasih saran jangan tergoda sama tampang laki-laki. Walau terlihat lucu, mereka bisa berbalik jahatin kamu," ucap Mak Ijah setengah berbisik. Rahayu langsung mengubah posisi duduknya. Badannya condong ke depan seolah berusaha untuk mendengarkan perkataan Mak Ijah dengan lebih serius. Mak Ijah juga memasang ekspresi wajah julid seperti emak-emak tukang gosip pada umumnya. "Memangnya Sandy jahat ya, Bu?" tanya Rahayu dengan tampang serius. "Saya tidak tahu watak asli anak saya seperti apa. Tapi lihat saja kelakuannya, punya pacar empat apa tidak red flag laki-laki begitu?" Suara Mak Ijah terdengar penuh antisipasi. Entah mengapa dia terdengar seolah sedang memojokkan anaknya sendiri. Tanpa mereka sadari, Sandy yang tengah dibicarakan sudah berdiri di ambang pintu kamarnya. Pemuda itu sudah ganteng dan wangi, tetapi tampangnya terlihat masam. Dia bertanya-tanya mengapa ibunya bisa memojokkan anaknya sendiri, lebih-lebih lagi, Sandy heran dari mana Mak Ijah bisa tahu istilah red flag segala? "Ya ampun, Mak. Bisa nggak sih jangan gitu sama anak sendiri?" ucap Sandy dengan nada memelas. Mak Ijah dan Rahayu menoleh bersamaan. "Nih anak yang pacarnya banyak nongol!" celetuknya acuh tak acuh. Rahayu sendiri nampak sumringah sampai menggeser posisi duduknya. Niatnya sih supaya Sandyduduk di sebelahnya, tetapi Sandy memilih duduk di samping ibunya. "Mak jangan ngomong yang enggak-enggak sama Ayu. Lagian Sandy juga gak bermaksud punya pacar banyak, Sandy waktu itu nggak tega aja nolak perempuan," Sandy beralasan. "Alasan! Ngomong aja kamu memanfaatkan kesempatan di dalam kesempitan." Mak Ijah menoyor kepala Sandy. Namun, putranya itu hanya cemberut tanpa protes. Rahayu nampak memperhatikan interaksi anak dan ibu itu dengan senyum merekah. "Senang banget bisa akur sama ibu sendiri," gumamnya tanpa sadar. Kini, gantian Sandy dan Mak Ijah yang menoleh ke arah Rahayu. Keduanya sama-sama terlihat heran. "Kenapa, Ay?" Sandy bertanya. Seketika, Rahayu mengerjapkan matanya. Dia pun terlihat salah tingkah dan beberapa kali membetulkan rambutnya yang sebenarnya terlihat rapi-rapi saja. "Ada apa? Aku ngomong apa barusan?" tanyanya sedikit panik. Sandy dan Mak Ijah segera paham kalau Rahayu kelepasan berbicara. Namun, mereka tidak memperpanjang permasalahan itu. Sandy justru langsung bangkit dari duduknya. "Mak, Sandy sama Ayu mau jalan-jalan ke balai kota bentar, ya? Nanti pulang setelah Dzuhur," Sandy berkata seraya mengulurkan tangannya. Mak Ijah menyambut uluran tangan anaknya dan membiarkan Sandy mencium tangannya dengan takzim. "Main, main aja. Jangan macem-macem!" Ia memperingatkan. Sandy menganggukkan kepalanya. "Iya, Mak." "Jagain anak gadis orang, jangan sampai lecet!" tambah Mak Ijah. Lagi, Sandy menganggukkan kepalanya. "Sudah pasti," ucapnya dengan penuh percaya diri. Lalu, Mak Ijah berfokus pada Rahayu sampai mengelus rambut gadis itu. "Kalau Sandy macam-macam, kasih tahu saya, biar saya yang kasih pelajaran!" katanya. Rahayu mengangguk seraya mengacungkan jempol tangannya. "Baik, Bu." Sandy dan Rahayu pun ke luar rumah dan menaiki mobil bersama-sama. Tentu saja mobil tersebut milik Rahayu yang merupakan anak seorang pemilik garmen di kota itu. Segala fasilitas terbaik sudah dia dapatkan sejak kecil mula, maka tak heran dia sudah memiliki mobil sendiri meski dibelikan oleh orang tuanya. "Yang, aku seneng sih kita bisa jalan-jalan. Tapi— kenapa Kirana ikut juga, sih?" Rahayu yang tengah menyetir mobil bertanya dengan tampang heran. Pasalnya, di jok belakang mobilnya sudah ada Kirana yang ikut tanpa izin dan tanpa sepengetahuannya. Sandy melirik ke arah Rahayu, merasa bersalah karena kemunculan Kirana yang secara tiba-tiba. Dia pun tidak menyangka bahwa pacar pertamanya itu bisa masuk ke dalam mobil. "Maaf, Ay. Aku nggak tahu kenapa Kirana bisa ikut," ucap Sandy. Rahayu nampak geleng-geleng kepala. "Nyebelin, sih. Tapi nggak apa lah," ucapnya berusaha ikhlas. "Lagian dia nangis-nangis kenapa, sih? Ini 'kan memang jadwal kita buat main, kalian berantem?" Ia bertanya-tanya. Sandy menengok ke belakang. Dia bisa melihat Kirana sedang mengusap air mata dengan punggung tangannya. "Kirana, aku minta maaf ya, waktu itu aku enggak bisa nganterin kamu kerja. Aku ada keperluan mendesak yang harus aku selesaikan," ujar Sandy sambil mencoba untuk menenangkan Kirana. Kirana tampak masih kesal, tetapi dia mulai membuka hatinya untuk mendengarkan penjelasan Sandy. "Aku cuma ingin kamu jujur. Kita pacaran udah lama, kamu tahu aku nggak suka dibohongi. Kamu ada urusan sama siapa sebenarnya?" tanya Kirana. Sandy nampak bingung harus menjelaskan apa pada Kirana. Sedangkan Ayu nampak penasaran dengan masalah Kirana dan Sandy. Dengan fokus dia mendengarkan sambil menyetir. "Aduh, gimana ya jelasinnya?" Sandy garuk-garuk kepala tak gatal. "Jawab aja sih, Yang! Emangnya kamu mau nganterin pelanggan jenis apa sampai nggak mau nganterin Kirana kerja?" Rahayu ikut buka suara. "Jawabannya pasti bikin kalian nggak percaya, deh. Beneran," ucap Sandy. "Ya jawab aja dulu, siapa tahu kami berdua maklum," sahut Ayu. Entah mengapa sekarang justru Rahayu yang ngebet ingin tahu alasan Sandy. "Jangan ketawa, ya!" Sandy memperingatkan sebelum menjelaskan. Selanjutnya, Sandymenceritakan pelanggan jenis apa yang membuatnya tidak bisa mengantarkan Kirana kemarin. Tentunya perkataannya sebagai tukang ojek lintas alam pun dibongkar tuntas kepada dua pacarnya. Alhasil Kirana dan Rahayu sampai terbengong-bengong saking tak percaya mendengar cerita pacar mereka. Rahayu bahkan menepikan mobilnya di bahu jalan dan fokus pada kekasihnya. "Yang bener aja, kamu beneran ngojek hantu?" tanyanya tak percaya. "Iya, yang bener?" Kirana ikut bertanya-tanya. Wanita itu bahkan sudah tak lagi menangis saking terkejutnya. Sandy mengacungkan dua hari sebagai simbol keseriusan. "Beneran!" tegasnya. "Terus mereka bayar pakai apa, Yang?" tanya Rahayu lagi. "Pakai daun, kah?" tebaknya. "Bukan, bayarnya ya pakai uang. Uang dari orang tua mereka," jawab Sandy. "Wah, jadi beneran dianterin ke rumah mereka? Kuburan kah?" Kali ini Kirana yang bertanya. Sandy menggelengkan kepalanya. "Bukan atuh, Sayang. Ke rumah orang tua mereka yang masih hidup," jawabnya. "Kasihan banget loh mereka, meninggal sudah lama dan arwahnya masih belum sempurna. Mana dua-duanya perempuan lagi, aku jadi khawatir sama kalian," tambah Sandy. "Pokoknya kalian harus hati-hati banget kalau berada di luar rumah, ya? Kabarin aku atau keluarga kalian kalau mau pergi ke mana-mana," Sandy memperingatkan. "Oke." "Iya, Yang." Kirana dan Rahayu menjawab bersamaan. Setelahnya, percakapan mereka berganti dengan membahas destinasi jalan-jalan mereka hari itu. Meski dengan sedikit dongkol, Rahayu harus membiarkan Kirana ikut acara dating mereka, sehingga ketiganya menghabiskan waktu bersama hingga waktu pulang tiba. Ketiganya pulang bersama dan menyempatkan diri untuk mampir ke rumah Sandy sebelum kembali ke rumah masing-masing. Sandy nampak sumringah saja melihat dua pacarnya yang akur, berbeda dengan Mak Ijah yang memijit pelipisnya, seolah merasa pusing melihat anaknya. "Kamu ini benar-benar! Udah nggak modal jalan-jalan disupirin cewek, dianterin pulang pula." Mak Ijah geleng-geleng kepala. Sandy hanya nyengir kuda saja mendengar Mak Ijah komplain. Sebenarnya dia merasa malu, tetapi mau bagaimana lagi? Toh komplainan Mak Ijah tidak terbantahkan. "Berhubung hari ini kamu belum menggunakan tenagamu untuk hal berguna, sekarang kamu ngojek aja sana! Jangan cuma nyengir gak jelas," gerutu Mak Ijah. "Iya, Mak, iya..." Sandy menyahut sembari gelenddotan di tangan ibunya. Mak Ijah hanya bisa berdecak melihat putranya yang aleman itu. Kemudian, Sandy lekas pergi mengambil helm di kamarnya. Pemuda itu pun segera berpamitan untuk menarik penumpang. Suasana kampung nampak lengang dan sepi ketika Sandymelintas dengan sepeda motornya. Karena itulah Sandy sengaja memacu pelan laju motor untuk melihat-lihat sekitar. Sandy baru sadar kalau ada di setiap jalan sudah ramai dengan spanduk pemilihan kepala daerah di kampungnya. Tak lama, Sandy sampai di pangkalan ojek. Dia memarkir motornya di barisan paling belakang dan kemudian bergabung dengan tiga bapak-bapak yang sudah lebih dulu mangkal di sana. "Lihat, tuh cewek! Cakep bener." Mang Agus berdecak kagum sembari mengarahkan pandangannya ke ujung gang. Refleks Sandy menengok ke arah yang sama dan mendapati dua wanita tengah berdiri di persimpangan gang. Keduanya memang terlihat bening dan glowing, tetapi Sandy tak tahu wanita mana yang menjadi biang tatapan Mang Agus. Sandy justru fokus pada satu wanita yang sudah sering dia lihat berada di gang tersebut. Wanita berambut panjang itu seperti biasa akan memalingkan wajah jika Sandy bertemu pandang dengannya. Entah apa masalahnya? "Anak gang sebelah bukan, sih?" Sandy bertanya entah pada siapa. Secara matanya masih fokus menatap si wanita cantik yang tengah menunduk sembari memainkan jemarinya. "Ah, kamu mah jangan ikut-ikutan, San! Udah punya pacar banyak masih maruk nanyain cewek lain," sahut Mang Agus. Sandy menoleh dengan tampang heran. "Kok Amang bisa tahu kalau aku punya pacar banyak?" tanyanya kebingungan. Mang Agus menepuk pundak Sandycukup kencang sampai membuat Sandymeringis seraya mengusap lengannya. "Tahu lah! Mak Ijah yang bilang. Mak kamu tertekan banget sama kelakuan kamu, San!" ucapnya sambil terkekeh. "Anak pertama saya sampai protes loh, San. Katanya dia jomblo karena ceweknya sudah pada diambil kamu semua," Kang Ujang turut berkomentar. "Yee, bukan salahku! Lagian di kampung ini masih banyak cewek, Kang," sahut Sandy membela diri. Cukup lama mereka saling debat dan membahas tentang Sandy yang memiliki pacar lebih dari satu. Hingga kemudian satu persatu dari mereka mulai pergi menarik penumpang sesuai antrian. Seperti biasanya pula, Sandy adalah yang paling akhir menarik penumpang. Ketika Kang Ujang telah pulang, Sandy masih duduk di pangkalan ojek sembari menggosokkan kedua tangannya. Dia merasa begitu kedinginan malam itu. "Dingin bener ini malam, padahal nggak ada hujan, nggak ada angin," gumam Sandy. Sesekali dia bergidik merasakan hawa dingin yang dirasa menembus jaketnya. Tak lama, omongan Sandy seolah menjadi nyata. Angin berhembus disertai rintik gerimis yang kian lama kian membesar. Terjadilah hujan yang menambah dingin suasana. Sandy hanya bisa menelan ludahnya sendiri melihat hujan yang begitu deras secara tiba-tiba. "Tau ah, mending pulang aja!" Sandy bangkit dari duduknya dan memutuskan untuk pulang tak peduli dengan hujan. Pikirnya, sekali basah-basahan tak masalah, yang penting setelahnya dia berada di dalam rumah. Sandy pun mengenakan helm dan mulai menaiki motornya yang setengah basah terkena percikan air hujan. Motor pun melaju meninggalkan pangkalan ojek malam itu. Singkat cerita, Sandy telah sampai di rumahnya. Tentu saja dia mendapat omelan dari Mak Ijah yang kesal melihat putranya pulang dalam keadaan basah kuyup. Sandy hanya meminta maaf sekadarnya dan kemudian masuk ke kamar untuk mandi dan beristirahat. Anehnya, Sandy merasa terus kedinginan dan pakaiannya terus basah meski dia sudah berganti baju beberapa kali. Sandypun duduk di pojokan kamar sambil mengedarkan pandangannya. "Ada yang nggak beres, nih! Masa badanku basah terus padahal di dalam rumah," gumamnya. "Siapapun kamu yang ada di kamar ini, cepat tampakkan wujud aslimu! Aku nggak takut," ucap Sandy. Meski berkata tidak takut, tetapi pemuda itu sampai meremas pakaiannya untuk menyembunyikan rasa takutnya. Sandy juga sedang mempersiapkan diri untuk melihat hantu jenis apa lagi yang akan menampakkan diri di hadapannya. Tak berselang lama, sesosok remaja pria muncul di tengah-tengah kamar. Tubuhnya pucat, membiru, bengkak dan juga basah kuyup. Rupanya, hawa dingin dan sensasi basah yang dirasakan oleh Sandy berasal dari hantu basah itu.Selama libur mengojek, bukannya bisa bersantai, Sandy justru didatangi oleh hantu wanita yang terus menerus meminta untuk diantarkan pulang. Meskipun terganggu, Sandy berusaha mengabaikan rengekan makhluk tersebut dan tetap fokus pada kegiatannya di rumah.Setiap malam hantu wanita itu akan tidur di samping Sandy, menempel di gendongannya ketika Sandy berbenah rumah, bahkan kadang sampai ikut masuk ke kamar mandi. Dirasa sudah terlalu mengganggu, Sandy tidak dapat menahan diri untuk tidak menimpali."Dengar, Mbak, saya ini lagi libur. Tolong hargai dong," ujar Sandy dengan nada kesal saat hantu wanita itu muncul lagi di hadapannya.Hantu tersebut hanya cengengesan seolah teguran dari Sandy adalah hal lucu yang patut ditertawakan."Malah ketawa!" Sandy nampak tersinggung ketika ditertawakan. Dia mendengus dan berusaha untuk mendepak kepala si hantu wanita yang terus mencemooh di depannya.Saat itu Mak Ijah juga sedang libur bekerja, wanita itu nampak geleng-geleng kepala melihat putran
"Sekarang saya harus bagaimana, Pak ustadz?" Mak Ijah bertanya."Cukup perbanyak doa saja. Insyaallah Sandy tidak akan kenapa-kenapa," jawab Ustadz Abdullah."Tapi, tadi katanya ada jin yang mau mengambil raga anak saya. Itu bagaimana jadinya, ustadz? Apa perlu ada pengusiran semacam ruqyah?" Mak Ijah bertanya kembali. Dia belum puas mendengar jawaban ustadz Abdullah.Ustadz Abdullah tersenyum, lalu menggelengkan kepalanya perlahan. "Sandy mungkin tidak kuat sampai dia lepas raga, tapi ada hal lain yang melindunginya.""Khodamnya?" Kali ini Angel yang bertanya. Gadis itu sebenarnya tidak terlalu mengerti dunia supranatural, hanya saja, trend pengecekan khodam membuat dirinya sedikit penasaran sampai mencari tahu di internet tentang hal tersebut. Dan konon, hal-hal semacam itu emang ada di dunia nyata."Bukan. Sandy tidak punya khodam, tapi ada yang menjaganya saja. Tidak terlihat wujudnya, tapi saya bisa merasakan keberadaannya," jelas ustadz Abdullah. Lalu, sang ustadz melirik ke ara
Meskipun dia telah menyelesaikan kasus pembunuhan tragis yang menimpa Maryati, dia tidak bisa begitu saja melupakan keluarga yang ditinggalkan. Sandy terus mengunjungi rumah Maryati, memastikan bahwa keluarga mendiang mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan dari aparat desa setempat.Dia tidak selalu datang sendiri, kadang-kadang dia membawa ketiga pacarnya, yang juga berbagi rasa kepedulian yang sama. Mereka sering berpatungan untuk membawa makanan dan minuman bagi keluarga Maryati, mencoba meringankan sedikit beban keluarga tersebut.Sandy senang karena pacar-pacarnya itu menunjukkan solidaritas yang luar biasa dan keinginan tulus untuk membantu, menunjukkan bahwa empati dan tindakan nyata dapat meringankan penderitaan orang lain.Sandy bahkan sengaja libur mengojek hanya untuk datang ke rumah Pak Jaja. Seperti yang ia lakukan saat ini. Bersama Angel, karena hanya gadis itulah yang bisa mendapatkan curi. Sedangkan Siska dan Imel sedang ada jadwal pekerjaan yang tak bisa ditinggal
Maryati adalah seorang wanita yang bekerja di pabrik yang sama dengan Imel. Namun, gadis 26 tahun itu hanyalah karyawan biasa. Selain bekerja di pabrik, Maryati juga menggantungkan hidupnya dengan berjualan.Tentunya bukan berjualan makanan atau benda, melainkan menjajakan tubuhnya sendiri. Kehidupannya yang penuh dengan ketidakpastian dan bahaya tidak pernah ia bayangkan akan berakhir tragis di tangan salah satu pelanggannya. Perempuan itu berambut hitam panjang dan memiliki mata yang selalu tampak sedih. Dia sering mengenakan pakaian yang mencolok untuk menarik perhatian pelanggan di hari libur kerja.Maryati terpaksa, karena gajinya hanya sebatas UMR yang pada tahun itu baru menyentuh Rp. 885.000 saja.Suatu malam yang kelam, ketidakpuasan pelanggan terhadap pelayanannya berujung pada kemarahan yang tak terkendali. Maryati dibunuh dengan brutal di kamar kosnya yang sempit. Pelanggan tersebut tidak hanya menghabisi nyawa Maryati, tetapi juga memutilasi tubuhnya dengan sadis, meningg
Seminar pencegahan bunuh diri yang telah direncanakan akhirnya dilaksanakan di balai desa, mengundang seluruh warga desa untuk hadir. Karena diadakan pada hari Minggu, suasana di balai desa terasa meriah layaknya sebuah acara besar, dengan tepi jalan yang dipenuhi oleh para pedagang kaki lima.Bahkan warga dari kampung lain pun nampak hadir ke tempat tersebut karena rasa penasaran mereka.Sandy, yang menjadi salah satu penggagas acara, turut dibantu oleh ketiga pacarnya yang hadir. Mereka bukan hanya sekedar hadir, tapi juga berperan sebagai pembicara dalam seminar tersebut. Keberadaan mereka di sana menambah dinamika dalam jalannya seminar, membahas tentang pentingnya kesadaran akan kesehatan mental dan cara-cara pencegahan bunuh diri.Ketiga pacar Sandy, meski memiliki latar belakang yang berbeda, kompak dalam menyampaikan materi. Mereka saling melengkapi dalam memberikan perspektif dan solusi praktis yang bisa diaplikasikan oleh warga desa. Kehadiran mereka juga semakin memperkuat
Sandy mengucap salam dan masuk ke dalam rumah. Kening pemuda itu berkerut karena Mak Ijah masih terjaga dan bum juga mengunci pintu, padahal biasanya Sandy tak akan bisa masuk rumah melewati pintu jika pulang sudah lewat tengah malam."Tumben belum dikunci pintunya, Mak?" Sandy bertanya setelah mencium punggung tangan sang ibunda.Mak Ijah mendengus pelan sambil menatap putranya dengan lekat. Hidungnya kembang kempis seakan tengah mencium aroma yang tak biasa. "Siapa lagi yang kamu bawa kali ini? Bau banget!" Mak Ijah memencet hidungnya sendiri sehingga suaranya menjadi bindeng.Sontak Sandy menoleh ke belakang. "Oh, Mak bisa lihat juga bapak-bapak itu?" tanya Sandy."Ya enggak, lah! Mak cuma nyium baunya aja, kamu ngapain bawa-bawa hantu lagi, sih? Nggak inget kemarin Ayu sampai meninggal karena kamu ikut campur urusan orang!?" Mak Ijah berkata dengan nada tinggi. Wanita itu jelas takut bila arwah yang dibawa Sandy kali ini akan membuat putranya terlibat dalam kasus lain yang membaha







