Pantai Samboja. Senja hari. Matahari sedikit lagi tenggelam. Langit tampak berwarna kemerahan. Penduduk Kandanghaur Sebagian besar sudah memasuki kapal raksasa itu diikuti oleh pasukan VOC pimpinan Cornelis. Begitu semua sudah memasuki kapal, pintu segera tertutup. Kemudian mereka diarahkan untuk memasuki sebuah Lorong Panjang. Di ujung Lorong mereka tiba di sebuah ruangan yang luas, di depan mereka ada sebuah panggung. Kemudian seorang berpakain warna putih berdiri dihadapan mereka.
“Selamat datang di kapal Iluminati. Sebut saja saya Siva! Kalian adalah orang terpilih yang akan menjadi bagian dari tata dunia baru yang akan kami bentuk!” kata orang yang menyebut dirinya Siva itu dihadapan penduduk Kandanghaur.
“Kalian tidak akan punya apa-apa, tapi kalian akan Bahagia. Semua kebutuhan hidup kalian akan kami penuhi, semua! Semua kenikmatan hidup dunia, makan minum, pakaian, harta, semua akan kami penuhi! Dengan hanya satu syarat! Kalian harus menurut s
Jatibarang. Pagi hari. Sarip tampak menyiapkan makanan dari hasil berburu. Dia sedang membakar daging kelinci yang baru ditangkapnya subuh tadi. Lasmini masih lelap tertidur diatas tumpukan daaun-daun kering yang ditata sedemikian rupa, sehingga menjadi nyaman untuk dibuat tidur. Tak jauh dari mereka, dua kuda hasil rampasan dari pasukan VOC ditambatkan di sebuah pohon. Sarip memutuskan tinggal sementara di Jatibarang untuk membantu Lasmini menghadapi gerombolan Karta Sentana. Setelah bangkit dari kematiannya, Sarip merasa kesempatan hidup kedua harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk berbuat baik dan banyak membantu manusia yang membutuhkan. Kebetulan manusia yang pertama kali ditolongnya adalah Lasmini, putri dari Tumenggung Jatibarang.Sarip membolak-balik daging kelinci yang dibakarnya. Baunya harum dan membangkitkan rasa lapar. Lasmini tampak membuka matanya, rupanya bau harum daging kelinci bakar membuatnya terbangun.“Hmm, tampaknya lezat sekali,&rd
Rawabelong. Tengah malam. Tiga sosok mengendap-endap dalam kegelapan. Mereka mengenakan pakaian hitam dan sarung untuk menutup wajah mereka. Gerakan mereka ringan dan cekatan. Melompat dari satu tempat ke tempat lain. Di sabuk mereka terselip golok yang siap digunakan untuk bertarung. Tiga orang itu adalah Pitung, Rais, dan Ji’i. Masyarakat mengenal mereka dengan sebutan tiga perampok dari Rawabelong, dipimpin oleh Pitung yang terkenal akan kehebatan bela dirinya. Tujuan mereka adalah rumah besar di ujung jalan. Rumah seorang tuan tanah yang kaya raya. Rumah itu berpagar tinggi dan dijaga oleh centeng atau pengawal yang bertugas bergantian selama 24 jam.Ketiganya berhenti di dekat sebuah pohon besar tak jauh dari rumah itu.“Itu rumah yang akan kita satroni,” kata Pitung setengah berbisik.“Hmm, tampaknya mudah,” sahut Rais.“Belum tentu,” kata Ji’i.“Apa rencana lu,” tanya Rais.“Gue akan melompat ke tembok di depan itu, dan lu berdua masuk dari arah kanan dan kiri,” perintah Pitung
Rawabelong. Menjelang subuh. Pitung, Rais, dan Ji’i masih terdiam di tempatnya ketika puluhan centeng mendekat dari belakang mereka, siap menghabisi. Pasukan VOC di depan menghadang dengan senapan siap tembak. Dalam suasana itu muncullah Mayor Isaac st Martin, tuan tanah pemilik rumah besar itu.“Ha.ha. ha. goed werk! Kerja bagus, kalian orang sudah bekerja sangat baik!” kata Mayor Isaac sambil bertepuk tangan, tentu saja ditujukan kepada centeng dan pasukan VOC.Pitung hanya mendengus saja, dia memberi tanda kepada Rais dan Ji’i untuk melakukan perlawanan sampai titik darah penghabisan mereka tidak akan mau ditangkap hidup-hidup. Mereka berdiri saling membelakangi membentuk segitiga, siap menghadapi serangan dari manapun. Tetapi pasukan centeng dan pasukan VOC tidak segera menyerang mereka bergerak perlahan maju mendekat pada Pitung dan kawan-kawannya.Pitung segera menghitung peluangnya untuk lolos, mereka dapat menghadapi pasukan centeng yang bersenjatakan golok. Tetapi menghadapi
Jatibarang. Siang hari. Kedatangan Lasmini di kadipaten sudah diketahui oleh Karta Sentana dan juga oleh pasukan yang masih setia kepada Tumenggung Jatibarang. Setelah ditolong oleh Simo Wongso dan pasukan ularnya, Lasmini dan Sarip segera melarikan diri mencari tempat persembunyian yang aman.“Ayo, ikuti aku!” kata Simo Wongso memandu Sarip dan Lasmini berlari menyusuri jalan-jalan setapak di sekitar kadipaten Jatibarang. Mereka berlari sambil sesekali memandang ke belakang untuk melihat apakah ada pasukan Kerta Sentana yang mengejar mereka. Tetapi tampaknya tidak ada satu pun pasukan Kerta Sentana yang terlihat. Mereka hanya menemukan pandangan heran dari beberap penduduk yang melihat mereka berlarian tanpa tujuan. Setibanya mereka di rumah paling ujung, mendadak ada seorang lelaki tua keluar dari rumah dan langsung menghentikan Langkah mereka.“Berhenti, ayo masuk ke dalam rumah saja!” teriak lelaki tua Bernama Wariman itu.Lasmini memandang ke arah Sarip, Sarip memandang ke arah S
Pagi hari. Di sebuah sungai di tepi hutan tak jauh jauh dari Rawabelong. Rombongan Kyai Rangga sedang beristirahat. Seperti biasa, Badra duduk di atas pohon dan beristirahat di sana ditemani oleh Wanara, kera kecilnya. Wanara tampak asyik mencari kutu di rambut Badra yang panjang. Sedangkan Suropati dan Sakera tampak duduk di tepi sungai.Pitung, Rais, dan Ji’i tampak bersama Kyai Rangga.“Mengapa kalian memutuskan untuk ikut dengan kami ke Batavia,” tanya Kyai Rangga.“Kami merasa keadaan di Rawabelong sudah tidak aman bagi kami, setiap saat nyawa kami terancam,” jawab Pitung.“Sebenarnya apa yang kalian lakukan sehingga bermusuhan dengan pasukan VOC dan para tuan tanah beserta centengnya?” tanya Kyai Rangga menyelidik.“Kami hanya sedih melihat kesenjangan yang terjadi. Banyak rakyat yang sangat miskin sampai tidak ada yang dapat dimakan, sementara para tuan tanah berlaku semene-mena. Kami hanya mengambil sedikit dari harta para tuan tanah untuk kami bagikan kepada masyarakat,” jawa
Rumah Wariman. Jatibarang. Di ruang tamu masih berkumpul Sarip, Lasmini, Wariman, Suta, Mahesa, Siwa, Bima, dan Harsa. Mereka masih memikirkan cara bagaimana membebaskan tumenggung Jatibarang, yang sedang dipenjara di hutan rungsep. Sarip mengusulkan untuk meledakkan penjara itu. Terdengar mudah, tapi sulit dilaksanakan. Pertama, mereka tidak punya bahan peledak. Kedua, penjara itu pasti dijaga dengan sangat ketat oleh pasukan Karta Sentana, untuk mendekat saja pasti cukup sulit.“Darimana kita dapatkan bahan peledak?” tanya Suta.“Aku tidak tahu, mungkin kalian yang lebih tahu,” jawab Sarip.“Hmm, pasukan VOC mungkin punya banyak mesiu di gudangnya,” kata Mahesa.“Gudang, ada yang tahu tempatnya?” tanya Sarip.“Kami semua tahu, tempatnya ada di dekat kadipaten, cukup terbuka dan penjagaan sangat ketat,” jawab Wariman.“Mungkinkah kita mengambil dari gudang itu?” tanya Lasmini.“Agaknya tidak mungkin, cukup berat, tapi tetap harus dicoba, kalau benar-benar mesiu itu sangat kita butuhk
Batavia. Menjelang siang rombongan Kyai Rangga sudah tiba. Mereka berkuda dengan pelan menuju pusat kota ke tempat Gubernur Batavia Jan Pieterzoncoen berada. Kyai Rangga berkuda paling depan didampingi oleh Bhre Wiraguna, diikuti oleh prajurit pengawalnya. Di belakang barisan ada Untung Suropati dan Sakera. Paling belakang adalah Badra dengan Jalak, kuda putihnya, serta tak lupa wanara, kera kecil, yang setia ada di Pundak Badra.Ketika memasuki perkampungan penduduk, mendadak rombongan itu dikejutkan oleh suara ribut-ribut. Dua orang berpakaian hitam-hitam sedang berhadap-hadapan dengan golok masing-masing.“Gue udah sering ingetin elu untuk nyerah aje, tapi lu bebal, sekarang udah gak ada kesempetan lagi,” kata seorang berpakaian hitam yang mengenakan ikat kepala abu-abu, dia adalah Ki Sima.Ki Sima adalah jawara yang terkenal dengan kemampuan bela dirinya, dan menjadi antek VOC.“Gue kagak peduli, selama elu masih jadi antek VOC, elu pasti berhadapan dengan gue,” kata yang berkumis
Jatibarang. Pagi hari di rumah Wariman. Sarip dan Lasmini sedang memasukkan serbuk-serbuk mesiu ke dalam wadah-wadah kecil, yang nanti akan digunakan untuk menyerbu penjara hutan Rungsep. Sementara di luar tampak orang-orang membicarakan kejadian kebakaran di gudang senjata, yang menewaskan penjaga dan menghancurkan semua senjata yang ada di sana. Sementara itu, rekan-rekan Wariman mempersiapkan senjata yang akan digunakan untuk menyerang penjara rungsep.“Bagaimana persiapan persenjataan?” tanya Lasmini kepada Wariman.“Sejauh ini semuanya sudah siap, tinggal melengkapi hal-hal kecil saja,” jawab Wariman.“Apakah ada tambahan pasukan?” tanya Lasmini lagi.“Suta masih mencari sisa pasukan yang setia kepada kanjeng tumenggung Jatibarang,” jawab Wariman.“Kukira sudah tidak perlu pasukan tambahan lagi,” mendadak Simo Wongso muncul.“Hah, dari mana saja kau? Tiba-tiba pergi tanpa pemberitahuan dan datang juga tiba-tiba,” kata Sarip.“Maaf, aku terbiasa tinggal di hutan, tidak bercampur m