Bermula pada suatu hari di tahun 1628, Bupati Tegal saat itu, Kyai Rangga mendapat tugas dari Sultan Agung untuk menyampaikan surat kepada Penguasa Batavia JP.Coen. Perjalanan ke Batavia menjadi awal pertemuan Kyai Rangga dengan Jampang, Untung Suropati, Sakerah, Sarip Tambakoso, bahkan dengan Badra Mandrawata atau si buta dari gua hantu. Di tengah jalan, di tempat yang jauh dari keramaian, rombongan Kyai Rangga bertemu dengan pasukan VOC dan pasukan mayat hidup, sehingga terjadi pertempuran yang hebat, tanpa pemenang. Ternyata rombongan pasukan VOC itu menyimpan harta karun di sebuah gua. Kyai Rangga yang mengetahu hal itu memutuskan untuk meninggalkan tempat itu untuk melanjutkan tugasnya mengirim surat ke Batavia, dengan pikiran akan kembali setelah tugasnya selesai.
View MoreApril 1628. Senja hari. Seorang penunggang kuda tampak memacu kudanya dengan kecepatan penuh dari arah ibukota Mataram. Dia adalah Kyai Rangga, bupati Tegal. Dia baru saja dipanggil oleh Sultan Agung. Ada tugas penting yang harus dilaksanakan. Sebuah surat tampak terselip dipinggangnya. Surat kepada penguasa Batavia JP. Coen. Besok pagi Kyai Rangga harus sudah berangkat menuju ke Batavia untuk menyampaikan surat itu. Sekarang dia bergegas menuju ke rumahnya untuk menyiapkan segala perlengkapan yang diperlukan.
Kyai Rangga terus memaju kudanya sampai memasuki gerbang kadipaten. Beberapa prajurit tampak terkejut melihat kehadiran bupatinya yang tampak tergesa-gesa. Tetapi Kyai Rangga tidak menghiraukan mereka dia terus memaju kudanya menuju kandang kuda. Setelah menyerahkan kuda pada juru rawat kuda, Kyai Rangga menuju dalem kadipaten dan langsung menuju ke taman sari untuk menemui istrinya.
“Nyai!!” teriak Kyai Rangga memecah kesunyian taman sari.
“Dalem, Kanjeng Tumenggung,” seorang wanita berjalan tergopoh-gopoh menghampiri Kyai Rangga. Dia adalah Nyai Satumi, isteri Kyai Rangga.
Kyai Rangga duduk di sebuah bangku di taman itu, sementara Nyai Satumi atau Nyai Rangga duduk bersimpuh di bawahnya.
“Aku baru saja menerima tugas dari Kanjeng Sultan Agung untuk memberikan surat kepada Gubernur Batavia. Besok aku harus berangkat pagi-pagi. Aku tidak tahu akan berapa lama berada di Batavia. Sultan berpesan, jika Gubernur Batavia menolak tawaran damai, aku harus tetap di sana untuk mengatur persiapan penyerangan sambil menunggu datangnya pasukan Mataram. Tugas ini sangat penting dan berat, aku harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Tolong persiapkan seluruh perlengkapan yang harus kubawa, sekarang aku akan mengumpulkan beberapa prajurit yang akan mendampingiku,” Kyai Rangga mengakhiri penjelasan panjangnya sambil beranjak dari tempat duduknya.
“Sendiko dawuh,” kata Nyai Rangga sambil mengatupkan kedua tanggannya.
Kyai Rangga bergegas menuju kepatihan yang tak jauh dari taman sari. Di sana tampak Patih Sindurejo sudah menunggu di pendopo kepatihan. Melihat kedatangan Kyai Rangga, Sindurejo bergegas menyongsongnya. Dia ingin segera tahu perintah apa yang diberikan Sultan pada Kyai Rangga.
“Silahkan Kanjeng Tumenggung,” kata Sindurejo mempersilahkan Kyai Rangga duduk di pendopo, setelah dia memberikan penghormatan pada Kyai Rangga.
“Sindurejo, Sultan telah menitahkan aku untuk pergi ke Batavia,” kata Kyai Rangga setelah duduk dan mengambil napas sejenak.
“Untuk apa?” tanya Sindurejo.
“Aku harus memberikan surat dari Sultan untuk Gubernur Belanda. Besok pagi aku akan berangkat. Waktuku mendesak, kuminta kamu segera menyiapkan sepasukan prajurit untuk mengiringi kepergianku. Pemerintahan Tegal untuk sementara kuserahkan padamu. Sekarang juga kamu harus mengumpulkan prajurit yang akan menemaniku,” perintah Kyai Rangga tegas.
“Maaf, kanjeng Tumenggung, sebenarnya saya ingin ikut ke Batavia. Saya khawatir terhadap keselamatan kanjeng tumenggung,” kata Sindurejo.
“Tidak, kamu harus ada disini. Aku sanggup menjaga diriku sendiri, kamu punya tanggung jawab untuk memimpin Tegal selama aku tidak ada!”
“Sendiko dawuh,” kata Sindurejo, tidak berani membantah lagi.
Kyai Rangga kemudian bergegas menuju gedung pusaka, tempat segala jenis senjata dan perlengkapan perang. Gedung yang megah itu terletak kira-kira 500 meter dari kepatihan.
Dua orang penjaga gedung pusaka memberi penghormatan dengan menegakkan tombak yang mereka pegang ketika Kyai Rangga masuk ke gedung pusaka. Gedung yang besar itu tampak terawat dengan baik. Puluhan senjata tajam dan perlengkapan perang tampak berjajar dengan rapi di sepanjang ruangan. Ada keris, pedang, tombak, cemeti, ruyung, perisai, dan ada juga senapan dan pistol. Kyai Rangga berjalan sambil memperhatikan sekelilingnya, tetapi sebenarnya tujuannya hanya satu menuju ke ujung ruangan. Sebuah pistol emas tampak berada di sebuah kotak kaca, Kyai Rangga menatap sejenak kotak kaca itu sebelum membukanya. Pistol berlapis emas itu dipegang oleh Kyai Rangga dengan hati-hati seolah takut rusak. Kemudian dia juga mengambil serbuk mesiu yang terletak di kotak kaca itu juga. Dengan perlahan Kyai Rangga memasukkan bubuk mesiu ke dalam pistol. Setelah bubuk mesiu dimasukkan, Kyai Rangga perlahan mengangkat pistol itu dan diarahkan ke kepalanya sendiri! Tanpa ragu, Kyai Rangga menarik pelatuk pistol itu. Terdengar ledakan yang keras, asap mesiu memenuhi ruangan. Kyai Rangga tetap berdiri tegak sambil memegang pistol yang terarah ke kepalanya. Setelah asap perlahan menghilang, terlihat dengan jelas wajah Kyai Rangga menghitam akibat tembakan itu. Tetapi dia tidak terluka sedikitpun. Kyai Rangga mengusap wajahnya yang terkena asap hitam, dia tampak tersenyum puas. Senjata Belanda tidak mampu melukainya, sekarang dia semakin mantap untuk melaksanakan tugas dari Sultan Agung.
Sementara itu, Patih Sindurejo, yang ditugaskan untuk mengumpulkan beberapa prajurit atau pengawal yang akan menyertai perjalanan Kyai Rangga, bergegas menuju bangsal prajurit. Beberapa prajurit tampak terkejut melihat kedatangan Sindurejo, mereka segera memberi hormat.
“Aku mencari Bayu Suta!” kata Sindurejo dengan lantang.
Seorang pemuda gagah berambut lurus muncul sambil bersujud memberi hormat.
“Ada apa kanjeng patih?” tanya pemuda yang bernama Bayu Suta itu.
“Ikut aku, ada satu hal yang harus kamu kerjakan.”
“Baik,” kata Bayu Suta dengan patuh.
Sindurejo segera meninggalkan tempat itu diiikuti oleh Bayu Suta. Pemuda kepercayaan Sindurejo itu memang sudah biasa mendapat tugas mendadak, sehingga dia tidak merasa aneh kala Sindurejo memintanya untuk mengikutinya. Sindurejo berjalan menuju sebuah bangunan disebelah gedung kepatihan. Gedung itu adalah tempat Sindurejo berlatih beladiri dan olah senjata. Pintu gedung itu terbuat dari baja sehingga terlihat kokoh. Ketika Sindurejo dan Bayu Suta sudah memasuki gedung itu, Sindurejo menutup dan mengunci pintu dari dalam.
“Waktuku hampir tiba, sudah saatnya bagiku untuk merebut kekuasaan di Tegal ini,” kata Sindurejo setelah dia duduk di kursi yang tersedia di situ. Sementara Bayu Suta duduk bersimpuh di bawahnya.
Bayu Suta tidak terkejut mendengar kata-kata Sindurejo itu, karena dia sudah sering mendengar kata-kata itu, entah berapa kali, Bayu Suta tidak pernah menghitungnya. Sindurejo memang sudah sangat ingin menggantikan kedudukan Kyai Rangga sebagai Bupati Tegal. Akan tetapi kesempatan tidak pernah datang, selalu ada saja halangan yang menyebabkan dia gagal mewujudkan ambisinya.
“Besok, Kyai Rangga akan berangkat ke Batavia, kekuasaan Tegal sementara diserahkan padaku. Tetapi aku ingin tidak hanya sementara, tetapi seterusnya Tegal dalam kekuasaanku,” kata Sindurejo meneruskan ocehannya.
“Apa yang harus saya lakukan?” potong Bayu Suta. Rupanya dia tidak ingin Sindurejo terus mengoceh, mengutarakan tentang impian dan cita-citanya.
“Aku tidak ingin dia selamat, kita harus menghabisinya dalam perjalanannya menuju Batavia,” kata Sindurejo menuturkan rencananya walau agak jengkel kata-katanya dipotong oleh Bayu Suta.
“Berapa orang yang dibutuhkan?” tanya Bayu Suta.
“Bukan hanya beberapa orang, tapi tiga pasukan. Pasukan panah, pasukan tombak, dan pasukan khusus. Kyai Rangga memiliki kesaktian yang luar biasa, tidak mudah untuk mengalahkannya,” Sindurejo mengutarakan rencananya.
“Mohon maaf, kanjeng Patih, menurut kabar, Kyai Rangga kebal terhadap senjata tajam bahkan terhadap pistol sekalipun,” kata Bayu Suta.
“Aku sudah memperhitungkan hal tersebut. Aku sudah punya senjata rahasia, berupa panah dan tombak berlapis emas, itu adalah kelemahan Kyai Rangga. Tubuhnya pasti terkoyak oleh mata panah dan tombak berlapis emas yang kusediakan!” kata Sindurejo dengan bersemangat, seolah Kyai Rangga sudah pasti dapat dikalahkan.
“Kapan penyerangan akan dilakukan?” tanya Bayu Suta.
“Begitu Kyai Rangga dan rombongannya keluar dari Kotagede, kita langsung habisi mereka!”
“Mengapa harus menunggu keluar dari Kotagede? Tidak langsung saja setelah keluar dari Tegal?”
“Terlalu berbahaya, banyak pengikut setia Kyai Rangga yang akan dapat merepotkan kita. Mereka pasti akan cepat dapat mengumpulkan pasukan dan akan ganti menghabisi kita. Apalagi Senapati Adijaya adalah salah satu pendukung setia Kyai Rangga. Dia dapat menjadi penghalang kita paling utama,” jelas Sindurejo.
“Kalau begitu, apa yang harus saya lakukan sekarang?” tanya Bayu Suta mengulangi pertanyaan pertamanya.
“Sekarang kamu temui Wirayuda, Kanigoro, dan Aryo Pamungkas, tiga pemimpin pasukan khusus, suruh mereka datang malam ini juga di tempat ini! Bawa cincin ini agar mereka percaya bahwa aku yang memerintahkan!” kata Sindurejo, sambil memberikan cincin simbol kepatihan kepada Bayu Suta.
Bayu Suta menerima cincin itu di atas kepalanya kemudian mencium dan meletakkannya di ikat pinggangnya. Tanpa banyak bicara lagi Bayu Suta segera beranjak dari tempat itu. Kegelapan malam menaungi Bayu Suta ketika keluar dari gedung itu.
Matahari mulai bergeser ke barat. Tetapi di dalam gua Sindanglaut suasana tetap gelap tidak ada bedanya siang dan malam. Rombongan Kyai Rangga telah berada di pintu keluar gua. Tetapi suasana cukup gelap, mereka tidak bisa melempar-lempar peti tanpa ada penerangan.“Buat obor!” perintah Kyai Rangga.Dwipangga segera mengeluarkan batu pemantik kemudian mencoba membuat api. Tetapi gagal, lagipula tidak ada ranting kering atau apa pun yang dapat digunakan untuk menyalakan api di gua itu.“Maaf Kanjeng Tumenggung, saya tidak dapat menyalakan api,” kata Dwipangga merasa menyesal.“Hmm, tidak ada jalan lain, kita harus membawanya keluar dengan panduan Badra. Jadi kita terpaksa harus bolak-balik masuk ke dalam gua untuk mengeluarkan peti-peti ini,” kata Kyai Rangga.Maka ke sepuluh orang itu harus empat kali bolak-balik keluar masuk gua untuk mengeluarkan peti-peti itu. Untungnya di luar ada Lasmini dan Suzane yang sigap membantu, sehingga mereka dapat lebih cepat mengeluarkan peti-peti itu
Suasana mendadak hening. Semua mata menatap pada tumpukan peti yang terbuat dari baja tahan karat itu. Di atas masing-masing peti terdapat simbol VOC berwarna keemasan. Ada pegangan di kanan dan kirinya untuk mengangkat peti itu. Di bagian tutupnya ada gembok besar berwarna perak. Di gembok itu juga ada logo VOC, walau samar karena tertutup tanah. Semuanya ada 80 peti.“Sarip, coba kau buka salah satu peti itu,” kata Kyai Rangga.Sarip segera menghunus goloknya dan menebas gembok yang mengunci peti itu dengan kekuatan penuh.Triiingg!! Terdengar suara benturan keras, gembok terlepas dari tempatnya. Semua penasaran ingin segera melihat isinya.“Buka peti itu!” kata Kyai Rangga yang juga ingin segera melihat isi peti itu.Sarip segera membuka peti itu dan membuat semuanya terbelalak. Batangan-batangan emas berkilauan terdapat dalam peti itu. Sarip mengambil satu batang dan mengamatinya dengan saksama. Ada tulisan dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Sarip dan ada lambang piramida ter
Rombongan Kyai Rangga mulai menjelajahi daratan aneh itu. Mereka berjalan dengan pelan mengikuti Badra yang tetap berjalan di depan. Kyai Rangga berada tepat di samping Badra.“Kamu yakin sudah tahu tempatnya?” tanya Kyai Rangga.“Ya, sangat yakin karena waktu itu aku berada di sini dan mengamati setiap gerakan pasukan VOC yang menyembunyikan harta karun itu. Dan jangan lupa, Wanara juga melihatnya!” kata Badra sambil menunjuk Wanara di pundaknya.Wanara melompat-lompat kecil sambil meringis dan mengeluarkan bunyinya yang khas, seolah mengiyakan kata-kata Badra.Anggota rombongan yang lain mengikuti Badra dan Kyai Rangga sambil melihat-lihat disekitar mereka dengan penuh ketakjuban.“Jangan menyentuh apa pun, dan jangan mengambil apa pun yang ada di sini,” kata Kyai Rangga mengingatkan pada rombongannya.“Mengapa?” tanya Jampang.“Sudah, patuhi saja, jika tidak ingin ada kejadian buruk,” kata Suropati sambil mengingat kejadian yang pernah dialaminya saat memasuki gua itu.Walaupun kur
Sindanglaut. Siang hari. Cuaca sangat cerah, tidak ada awan sama sekali di angkasa, ketika Kyai Rangga dan rombongannya mendarat di pantai Sindanglaut. mereka segera berjalan menuju ke arah gua di tepi pantai itu. Mereka berjalan beriringan, sampai di depan gua mereka berhenti. “Sebaiknya hanya laki-laki saja yang masuk,” kata Kyai Rangga setelah berada di depan gua. Semua pandangan tertuju pada Lasmini dan Suzane. Tampaknya semua setuju bahwa kedua wanita itu tidak ikut masuk ke dalam gua. “Bagaimana?” tanya Kyai Rangga. “Ya, kami akan menunggu di luar gua sambil berjaga-jaga. Lagipula Suzane membawa anak kecil,” kata Lasmini. Semua setuju untuk meninggalkan Lasmini, Suzane dan si kecil Roberth di luar gua. Kyai Rangga memimpin di depan diikuti oleh Suropati, Sakera, Sarip, Dwipangga, Jampang, Pitung, Rais, dan Ji’i. Ketika mereka hampir masuk gua mendadak terdengar sebuah suara. “Aku juga ikut, sudah lama aku m
Tengah laut. Siang hari. Di atas binatang raksasa berbentuk pulau. Rombongan Kyai Rangga tengah melaju dengan kencang menuju ke Sindanglaut. Semua masih terdiam setelah Kyai Rangga menyatakan bahwa Lembu Sora adalah seorang pengkhianat. Mereka semua terkejut dan tidak menyangka bahwa Lembu Sora, yang selama ini merupakan orang kepercayaan Kyai Rangga adalah pengkhianat. “Sejak kapan Kanjeng Tumenggung mengetahui kalau Lembu Sora adalah pengkhianat?” tanya Suropati penasaran. “Bukankah dia ikut membunuh Kanigoro?” Sarip juga ikut mengajukan pertanyaan. Kyai Rangga tidak langsung menjawab, dia memandang semua yang ada, semua orang yang telah ikut dalam penyerangan ke Batavia. “Hmm, akan kuc
Kyai Rangga segera berlari menuju ke pulau hidup, diikuti oleh Suropati, Sakera, Dwipangga, Suzane yang menggendong Roberth, Jampang, Pitung, Rais, dan Ji’i. Mereka berlari dengan cepat tanpa melihat ke belakang. “Tunggu!” teriak Sarip yang tiba-tiba muncul dari belakang bersama Lasmini. “Kami ikut!” teriak Sarip sambil berlari mengejar rombongan Kyai Rangga di depan. “Ya, ayo cepat!” teriak Kyai Rangga, menoleh sambil terus berlari. Sarip dan Lasmini segera berlari mengikuti Kyai Rangga dan yang lainnya. Dalam sekejap rombongan itu telah naik ke atas pulau itu. “Semua ke
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments