Bough!
Tubuh Lastri terjauh saat Prapto menjatuhkan balok tepat pada tengkuk leher wanita itu. Sesaat Lastri terlihat hampir tidak sadarkan diri. Namun, hantu yang berada di dalam tubuh Lastri kembali bangkit.
Ustaz Zul mengambil kesempatan itu untuk segera melumpuhkan Lastri. Ia mencengkram ujung-ujung jari kaki Lastri seraya merapalkan doa-doa.
"Sakit!" teriak Lastri mengerang dengan tubuh menggeliat. Saat Ustaz Zul memencet ujung kakinya.
"Keluar kamu dari tubuh Lastri, atau aku akan memusnahkan kamu sekarang juga!" sentak Ustaz Zul.
"Argh .... Sakit!" Lagi, Lastri mengerang kesakitan setiap kali Ustaz Zul menekan kuat.
"Cepat keluar!" sentak Ustaz Zul menguatkan cengkraman tangannya pada ujung jari kaki Lastri.
"Baik, baik, aku akan keluar!" sahut Lastri dengan wajah memohon. "Tapi ada syaratnya," imbuhnya.
"Katakan, apa syaratnya?" cetus Ustaz Zul dengan nada penuh penekanan.
"Aku tidak ingin melihat wanita ini masu
Keadaan Lastri sudah cukup membaik. Ia sudah dapat kembali beraktifitas seperti biasanya. Setelah tumbal jambang bayi Indah. Kini usaha Lastri semakin meningkat pesat, hampir meyetarai Tejo. Tapi entah mengapa Lastri tidak merasa bahagia seperti apa yang ia inginkan saat itu. Bayangan bergelimpangan harta yang akan membuat hidupnya enak dan bahagia, hanya seperti buaian belaka saat ia sudah mendapatkannya. Bahkan ia sering merasa jika hidupnya sudah tidak ada gunanya lagi."Bu, ini teh nya!" Bibik meletakan segelas teh hangat pada meja teras rumah.Lastri mengangguk sesaat kemudian mengalihkan tatapannya pada pemandangan jalanan besar yang berada di luar pagar rumahnya. Banyak kendaraan yang berlalu lalang di jalan besar menuju kota itu."Iri dan dendam membuatku terperosok terlalu jauh. Lalu apalagi yang harus aku lakukan, agar aku bisa bebas dari pesugihan ini," batin Lastri mengembara jauh. Jari telunjuknya dengan setia memijat keningnya yang terasa berdenyut
Sepanjang perjalanan Lastri dan Prapto tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing. Ucapan Ustaz Ilham masih mendengung dalam indra pendengaran Lastri. "Mohon maaf sebelumnya, saya tahu apa yang sedang terjadi dengan anda. Jika anda berkenan, saya bisa membantu anda." 'Apakah jangan-jangan ustaz itu tau jika aku mengambil pesugihan.' "Bu!" Panggilan Prapto membuat Lastri tersadar dari lamunannya. Wanita itu menatap Prapto yang duduk di bangku kemudi. "Apakah benar Indah terkana kutukan? Kutukan apa ya, Bu, yang membuat Indah seperti ini," ucap Prapto dengan wajah berpikir. Lastri menghela nafas panjang, menyandarkan tubuhnya pada bangku mobil. Sesaat ia melirik pada Indah yang terlelap memeluk boneka bayi yang setia mendampinginya. 'Tidak mungkin aku menceritakan kepada Prapto. Bahwa semua yang terjadi pada Indah adalah karena kesalahanku. Aku yakin, hal itu justru akan berakibat buruk sekali.' "Entahlah, P
Bibik meremas ujung baju yang ia kenakan. Wajahnya terlihat begitu panik setelah kejadian buruk yang menimpa Indah. Sementara Prapto berjalan mondar mandir di lorong depan ruang ICU, dengan wajah panik. Lampu merah yang berada di atas pintu ruang ICU masih menyala sejak satu jam yang lalu. Menandakan jika di dalam ruangan itu masih dilakukan tindakan."Semoga saja Non Indah baik-baik saja!" lirih Bibik. Tatapan menerawang jauh dengan wajah yang masih sangat syok sekali."Bik, tadi Bibik sudah menghubungi ibu, kan?" tanya Prapto menoleh pada wanita paruh baya yang duduk pada bangku di depan ruang ICU."Sudah Den, ibu bilang dia akan segera pulang," balas Bibik, gugup.Prapto menghempaskan tubuhnya duduk pada bangku yang berada di samping Bibik. Wajahnya terlihat sangat gusar, memikirkan keadaan Indah. Masih terlihat bagaimana mobil itu hampir meremukkan tulang kaki Indah. Beruntungnya hal itu belum sampai terjadi, karena Prapto segera menarik tubuh Indah,
Pundi-pundi Lastri semakin bertambah banyak dan banyak lagi. Wanita itu sudah tidak berani lagi untuk mencari pertolongan untuk membebaskan dirinya dari pesugihan yang selama ini ia ikuti. Karena Suro mengancam, jika Lastri mencari bantuan maka ia akan membunuh Indah, putri satu-satunya dan sebagian gantinya ia harus siap memberikan tumbal kepada Suro setiap 3 tahun sekali dan diapun harus siap melayani Suro setiap malam Selasa Kliwon seperti suaminya sendiri.Lastri mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ia tidak menemukan keberadaan Prapto ataupun Indah di lantai bawah. Yang ada hanyalah Bibik yang sedang menyiapkan makanan untuk para karyawan Lastri di dapur."Bik!" Panggil Lastri pada wanita yang sedang sibuk berkutat dengan spatula dana wajan yang ada di atas kompor."Iya, Bu?" sahut Bibik sekilas melihat pada Lastri yang berdiri di depan kulkas mengambil sebotol minuman lalu meneguknya."Indah sama Prapto di mana, Bik?" tanya Lastri.
"Tolong Izinkan kami untuk berbicara dengan putra kami," ucap wanita berkerudung cokelat itu saat melihat kedatangan Prapto dan menantunya, Wanita dengan kerudung navi seraya mengedong boneka bayi di tangannya.Lastri mengangguk, tanda mengizinkan. Senyuman yang tersungging dari bibir Prapto seketika memudar saat melihat semburat kekesalan dari wajah ibunya."Ibu ingin kamu meninggalkan Indah!" cetus wanita berkerudung cokelat pada Prapto yang kini sudah berada di depan teras rumah.Seketika wajah Prapto berubah mengeras dengan kedua alis yang saling mengadu. "Bu, ada apa dengan Ibu?" pekik Prapto terkejut."Kamu harus menurut dengan perintah ibumu ini, Nak, atau nyawamu dalam bahaya!" sahut lelaki yang berdiri di samping Prapto."Bapak, sebenarnya kalian ada apa? Kenapa kalian tiba-tiba seperti ini," seloroh Prapto penasaran dengan sikap bapak dan ibunya yang tiba-tiba meminta dirinya untuk meninggalkan Indah."Bapak dan Ibu tenang saja, de
Sudah setengah perjalanan. Ustaz Ilham dan Lastri belum juga sampai di tempat pemujaan yang Lastri gunakan untuk mengambil pesugihan Genderuwo."Apakah masih jauh, Bu?" tanya Ustaz Ilham dengan nafas tersengal. Lelaki dengan peci hitam itu menghentikan langkah kakinya pada tanjakan yang cukup curam di punggung semeru.Nafas Lastri yang memburu pun menghentikan langkah kakinya. Sekilas ia menoleh ke belakang punggungnya. "Sebentar lagi, Ustaz!" ucap Lastri dengan wajah lelah. Butiran keringat membahasi kening wanita itu.Sesaat kemudian, setelah rasa lelah sedikit menghilang, ustaz Ilham dan Lastri kembali melanjutkan perjalanan mereka menaiki gunung, menembus hutan belantara.Suara burung berkicau saling bersahutan. Udara dingin hampir membekukan persendian. Cahaya matahari hampir tidak nampak karena tertutup oleh kabut yang cukup tebal. Ustaz Ilham dan Lastri hampir sampai di puncak Semeru.&
Lastri berusaha menguatkan pegangan tangannya pada sebuah batang pohon yang tertancap di tebing jurang. Mungkin saja jika Lastri tidak berpegang pada batang pohon itu, ia sudah mati jatuh ke dasar jurang."Tolong!" teriak Lastri. Cengkraman tangannya sudah mulai terasa lemas. Tubuhnya terombang-ambing di bibir jurang, sementara malam semakin merangkak naik."Tolong!" lirih Lastri terisak. Bayangan kematian seperti sudah berada di depan matanya.Butiran bening jatuh membasahi pipi bersama gerimis yang mulai turun. "Bagaimana ini!" lirih Lastri mengedarkan pandangannya ke sekeliling.Gelap! Tidak ada sedikitpun cahaya yang dapat membantu penglihatannya. Semuanya gelap gulita. Batang kayu tempat Lastri berpegang semakin lama terasa semakin licin. Karena hujan yang turun semakin deras. Satu persatu cengkram tangan Lastri terlepas dan tubuh wanita itupun terpelanting jatuh masuk ke dalam jurang."Tidak .....!" suara teriakan Lastri menggema
Lelaki dengan baju koko berwarna biru laut itu sedang mondar mandir di depan rumah Lastri. Wajahnya terlihat gusar dan gelisah. Ustaz Zul segera menoleh ke arah Lastri yang terduduk di atas kursi roda saat wanita itu membukakan pintu rumah untuknya."Bu Lastri." Ustaz Zul segera menghampiri Lastri yang terlihat terkejut mendapati kedatangannya.Lastri tidak bergeming, ia menatap datar pada Ustaz Zul. Meskipun kehidupan tidak bisa ia sembunyikan."Bu Lastri, saya dengar ibu jatuh dari jurang?" Ustaz Zul menatap curiga pada Lastri yang duduk di kursi roda. Ustaz Zul merasa hilangnya Ustaz Ilham ada hubungannya dengan Ustaz Zul."Iya!" balas Lastri."Apakah, Bu Lastri sedang bersama Ustaz Ilham?" ucap Ustaz Zul dengan tatapan menuduh pada Lastri.Lastri tidak bergeming, bibirnya bergetar hebat dengan wajah ketakutan."Apakah sampai saat ini