Share

/3/

Samantha

1 Januari 13.48 WIB.

 

Pergerakan para peserta sangat waspada dan tidak liar. Mereka tahu permainan ini lebih menekankan kesabaran. Jadi kami sedikit bosan saat tidak ada satupun semut—maksudku peserta, yang bisa diinjak-injak. Kim bergerak kasak-kusuk daritadi, dia tidak kuat berada di kegelapan berlama-lama. Dan berkali-kali ingin menyalakan senter untuk menerangi jalan. Terkadang anak itu suka melanggar peraturan dan tidak mau mendengar nasihat. Tapi memang, hutan ini luas dan gelap. Berjalan dari ujung ke ujung mungkin akan memakan waktu lama.

   

Kim berjalan di belakangku, langkahnya tenang dan sabar, tidak seperti tadi. “Seharusnya kita bisa lebih cepat kalau tak berjalan tanpa tujuan.” Tak lama dia tertawa sendiri tanpa sebab seolah tengah terlintas hal lucu di benaknya.

 

“Mencari kunci atau membunuh semut?” Aku tidak berminat menjawab pernyataan sintingnya.

 

“Mencari kunci karena ada keroco-keroco yang akan membunuh semut.”

 

 “Tapi hasil terbaik adalah saat kau melakukan semuanya sendirian.”

Kim tidak menjawab, dia berjalan di sampingku sekarang. Sebagian rambutnya tumpah ke alis saat melangkah terlalu cepat. Nada bicaranya yang kalem mendadak serius. “Kunci di tepi danau, kalau mau menjadi orang pertama. Kita cari lebih dulu sampai mampus.”

 

Karena aku terdiam, dia menyambung.

“Pada akhirnya kita harus bekerja sendiri untuk mendapatkan semuanya karena mereka hanya budak. Bukan begitu maksudmu, Nona manis?” Kim terkekeh, menyeringai.

“Hati setiap orang itu tidak selalu bersih. Itu asalanku.”

“Ya,ya.” Kim terdiam, menunduk saat melewati sulur-sulur yang mengantung di dahan pepohonan seperti rambut-rambut panjang. Dia memandang sekeliling tanpa bicara, lalu berkata lagi, “Seharusnya kau sudah tahu jika orang-orang itu berhati busuk—itu sebabnya aku mengajak mereka. Karena orang berhati busuk lebih cenderung mudah diajak kerja sama asal dapat untung. Coba kalau tidak, habis leher kita digoroknya.”

 

“Busuk seperti apa dulu?”

“Banyak,” jelas Kim, “contohnya Julius dan Lewi: mereka mantan napi. Okelah kalau sudah bertobat, tapi apa bisa? Aku pernah dengar khotbah pendeta di gereja Ibuku. Jika semakin tua seseorang, akan semakin sulit dirubah ... terus Emil dan Emma, dua gadis itu menyimpan sesuatu. Sesuatu yang sangat dalam. Lihat saja mata yang sulung, dingin dan keji. Seperti pembunuh berotak bengkok.”

Aku malah teringat salah satu peserta berkaki cacat.

 

“Intinya jangan percaya siapa pun di tempat ini, Samantha," sahut Kim sambil-lalu.

 

Jangan percaya siapa pun; konyol. 

 

“Nah,” Kim berhenti melangkah. Dia menyalakan senter. Sorot cahaya menerangi jalan yang membuka ke danau.  Danau terlihat berlindung di balik pepohonan rapat. Airnya teduh, seolah-olah tengah tertidur.

 

Tidak ada binatang di tempat ini kecuali burung gagak—yang akan keluar malam hari. Jadi kau tidak akan tahu, apakah danau di depan beracun atau tidak. Tapi sesuai nama di peta, danau itu disebut danau racun. Dan aku tidak mau meminum airnya barang setetes jika sudah diperingatkan secara tertulis. Begitu sampai di sana, air danau itu memang tenang, jarak dari sini ke seberang sangat panjang dan akan memakan waktu untuk disebrangi. Bahkan kalau nekat berjalan di tepi danau, entah sampai kapan kau mencapai daerah seberang. Pepohonan menutupi danau itu dengan sempurna layaknya pagar alami. Dan jika saja matahari bisa menembus, menghangatkan air, memberi warna pada kehidupan. Tempat itu pasti menawan dan jadi salah satu destinasi wisata.

Kim meraih salah satu batu, dia melempar-lemparkannya di tangan, mengayunkan lengan, dan melontarkan batu itu ke air. 

   

Batu melambung, langsung tenggelam begitu menghantam air.

 

“Seperti laut mati di Israel,” kata Kim.

Aku tidak menjawab dan malah menghidupkan senter, aku mulai berjalan, mengarahkan cahaya ke sana-kemari untuk mencari benda kecil berwarna keemasan—kunci. Kim juga ikut, langkahnya terdengar menjauh, mungkin dia menelusuri arah berlawanan. Aku terus bergerak, sesekali berhenti karena menginjak sesuatu: ranting, koin (mungkin punya peserta delapan tahun lalu), dan beberapa paku serta pisau tanpa gagang yang berkarat. Aku melihat Kim berjalan mendekat, gerakannya masih lambat dan teratur.

Sesekali aku berjongkok untuk mengeruk tanah, juga melempar pandang ke tengah danau—siapa tahu ada peserta yang berenang atau menyebrang.

“Ini tidak beracun!” pekik Kim tiba-tiba. Aku berbalik, pemuda itu berlutut, mencondongkan tubuh ke air dan menjilatinya seperti anjing kehausan. 

 

“Jangan mendadak jadi goblok,” kataku datar.

 

Dia bangkit perlahan, melangkah sempoyongan, meludah berkali-kali. Lalu menekan pundakku, meremasnya ketat-ketat. “Jangan terlalu kaku,” bisiknya sangat lirih. “Ada orang di belakang. Dua orang, laki-laki dan perempuan.” Aku hendak memicingkan mata, tapi Kim menyambung garang, “Jangan dipandang!” tangannya menekan semakin kuat. “Kita pergi dulu, terus memutar.”

 

Aku menurut, karena sama sekali belum melihat pergerakan seseorang di kedalaman hutan.

Setelah berjalan cukup jauh dan menemui sampan tertambat, kami berbelok ke dalam hutan. Dari situ Kim langsung melompat-lompat, dan mengeluarkan isi ranselnya dengan tergesa.

 

“Dua orang,” sahutnya sembari terus mengorek-ngorek isi tas. Tak dapat benda yang dicari, anak itu menumpahkan semuanya, lalu mengambil pistol perak. Dia mendongak, menatapku tajam. “Perhatikan baik-baik mereka siapa, Samantha!”

 

Aku memasang night-vision. Dunia di sekelilingku menjadi terang seketika, tak terlalu terang, tapi cukup untuk melihat orang atau akar menjalar agar tidak tersandung. Aku mencari-cari, menyisir, dan menangkap pergerakan di tengah rimbunnya semak dan akar yang melintang.

   

“Itu si pemuda murung dan gadis lugu.” Aku melihat dua orang itu bergerak sembunyi-sembunyi layaknya tupai yang hendak lari dari singa. 

Kim berdiri, bahu kami saling dempet. “Ada lagi selain mereka, Nona?”

   

Aku tidak menjawab karena sibuk mengamati tangan perempuan itu. Gadis itu menyeruak di antara pepohonan, wajahnya kini terlihat jelas, lusuh dan cemong. Di tangannya, digenggam begitu rapat. Sebuah kunci telah sempurna diamankan.

 

Aku menarik pistol dari tangan Kim, menembak ke depan dua kali tanpa aba-aba. Gelegar senjata membuat dua tupai itu terperanjat, mereka seperti orang bodoh karena syok. Begitu melihat aku keluar, si gadis terbeliak dan melesat kencang bersama kekasihnya.

“KEJAR!” 

“Bodoh kau!” Kim berlari lebih dulu, mengempaskan tubuhku ke samping dan langsung melesat. Aku menyusul dengan napas memburu. Pistol di tanganku terasa licin karena membayangkan kunci keemasan itu akan menjadi milik kami.

 

Kim mengelak karena hampir dijegal akar. Dia bergeser ke samping pohon, kami berhenti sejenak. Napas terengah Kim membuat dadaku ikut sesak. Terdengar gemerisik dari utara, Kim segera menghambur ke sumber suara.

Aku tidak mengikuti anak itu dan berubah haluan.  Aku berlari begitu ringan hingga telah sampai di salah satu pohon beringin, derap kaki tergesa muncul dari arah kanan kelokan.

Aku menerobos semak setinggi lutut dan langsung berbelok. Si lelaki—mangsa kami—mengerem langkah begitu diriku mencegat, matanya membesar. Aku mengangkat pistol.

Bunyi senapan sekonyong-konyong meletus dari dalam hutan. Percikan-percikan api mulai muncul dan menerangi sekitar.  Aku merunduk, berlari ke batang pohon terdekat untuk melindungi diri.

Buruanku telah lari tunggang-langgang entah ke mana karena ada pengacau.

Ledakan senapan yang sahut-menyahut membuat telingaku berdenging. 

Aku berlindung sembari mengatur napas. Belum sempat jantungku normal kembali, tangan dingin seseorang mencengkeram lengan bawahku. Aku hampir menjerit, lalu sosok itu berbisik, “Ini aku Kim. Diam!”

Posisi tubuhku menyamping, mulut Kim hampir menempel di telingaku. Napasnya hangat dan tersengal, dadanya kembang-kempis, aroma keringatnya menguar.

Kami mematung selama beberapa detik. Kesunyian mengisi hutan kembali.

 

Cahaya mengalir dari sela-sela pepohonan di depan, pria berperawakan tinggi-bungkuk melangkah keluar. Dia menyanggul senapan berburu yang sangat kuno. Matanya menyipit dan memindai sekeliling. 

 

“Mereka pergi,” katanya sambil menelengkan kepala. Laki-laki lain menampakkan diri, ikut membawa senapan—tapi yang lebih modern. Pria pertama mematikan senter, dan kegelapan mencengkam pandangan kami.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status