Samantha
1 Januari 13.48 WIB.Pergerakan para peserta sangat waspada dan tidak liar. Mereka tahu permainan ini lebih menekankan kesabaran. Jadi kami sedikit bosan saat tidak ada satupun semut—maksudku peserta, yang bisa diinjak-injak. Kim bergerak kasak-kusuk daritadi, dia tidak kuat berada di kegelapan berlama-lama. Dan berkali-kali ingin menyalakan senter untuk menerangi jalan. Terkadang anak itu suka melanggar peraturan dan tidak mau mendengar nasihat. Tapi memang, hutan ini luas dan gelap. Berjalan dari ujung ke ujung mungkin akan memakan waktu lama.
Kim berjalan di belakangku, langkahnya tenang dan sabar, tidak seperti tadi. “Seharusnya kita bisa lebih cepat kalau tak berjalan tanpa tujuan.” Tak lama dia tertawa sendiri tanpa sebab seolah tengah terlintas hal lucu di benaknya.
“Mencari kunci atau membunuh semut?” Aku tidak berminat menjawab pernyataan sintingnya.
“Mencari kunci karena ada keroco-keroco yang akan membunuh semut.”
“Tapi hasil terbaik adalah saat kau melakukan semuanya sendirian.”
Kim tidak menjawab, dia berjalan di sampingku sekarang. Sebagian rambutnya tumpah ke alis saat melangkah terlalu cepat. Nada bicaranya yang kalem mendadak serius. “Kunci di tepi danau, kalau mau menjadi orang pertama. Kita cari lebih dulu sampai mampus.”
Karena aku terdiam, dia menyambung.
“Pada akhirnya kita harus bekerja sendiri untuk mendapatkan semuanya karena mereka hanya budak. Bukan begitu maksudmu, Nona manis?” Kim terkekeh, menyeringai.
“Hati setiap orang itu tidak selalu bersih. Itu asalanku.”
“Ya,ya.” Kim terdiam, menunduk saat melewati sulur-sulur yang mengantung di dahan pepohonan seperti rambut-rambut panjang. Dia memandang sekeliling tanpa bicara, lalu berkata lagi, “Seharusnya kau sudah tahu jika orang-orang itu berhati busuk—itu sebabnya aku mengajak mereka. Karena orang berhati busuk lebih cenderung mudah diajak kerja sama asal dapat untung. Coba kalau tidak, habis leher kita digoroknya.”
“Busuk seperti apa dulu?”
“Banyak,” jelas Kim, “contohnya Julius dan Lewi: mereka mantan napi. Okelah kalau sudah bertobat, tapi apa bisa? Aku pernah dengar khotbah pendeta di gereja Ibuku. Jika semakin tua seseorang, akan semakin sulit dirubah ... terus Emil dan Emma, dua gadis itu menyimpan sesuatu. Sesuatu yang sangat dalam. Lihat saja mata yang sulung, dingin dan keji. Seperti pembunuh berotak bengkok.”
Aku malah teringat salah satu peserta berkaki cacat.
“Intinya jangan percaya siapa pun di tempat ini, Samantha," sahut Kim sambil-lalu.
Jangan percaya siapa pun; konyol.
“Nah,” Kim berhenti melangkah. Dia menyalakan senter. Sorot cahaya menerangi jalan yang membuka ke danau. Danau terlihat berlindung di balik pepohonan rapat. Airnya teduh, seolah-olah tengah tertidur.
Tidak ada binatang di tempat ini kecuali burung gagak—yang akan keluar malam hari. Jadi kau tidak akan tahu, apakah danau di depan beracun atau tidak. Tapi sesuai nama di peta, danau itu disebut danau racun. Dan aku tidak mau meminum airnya barang setetes jika sudah diperingatkan secara tertulis. Begitu sampai di sana, air danau itu memang tenang, jarak dari sini ke seberang sangat panjang dan akan memakan waktu untuk disebrangi. Bahkan kalau nekat berjalan di tepi danau, entah sampai kapan kau mencapai daerah seberang. Pepohonan menutupi danau itu dengan sempurna layaknya pagar alami. Dan jika saja matahari bisa menembus, menghangatkan air, memberi warna pada kehidupan. Tempat itu pasti menawan dan jadi salah satu destinasi wisata.
Kim meraih salah satu batu, dia melempar-lemparkannya di tangan, mengayunkan lengan, dan melontarkan batu itu ke air.
Batu melambung, langsung tenggelam begitu menghantam air.
“Seperti laut mati di Israel,” kata Kim.
Aku tidak menjawab dan malah menghidupkan senter, aku mulai berjalan, mengarahkan cahaya ke sana-kemari untuk mencari benda kecil berwarna keemasan—kunci. Kim juga ikut, langkahnya terdengar menjauh, mungkin dia menelusuri arah berlawanan. Aku terus bergerak, sesekali berhenti karena menginjak sesuatu: ranting, koin (mungkin punya peserta delapan tahun lalu), dan beberapa paku serta pisau tanpa gagang yang berkarat. Aku melihat Kim berjalan mendekat, gerakannya masih lambat dan teratur.
Sesekali aku berjongkok untuk mengeruk tanah, juga melempar pandang ke tengah danau—siapa tahu ada peserta yang berenang atau menyebrang.
“Ini tidak beracun!” pekik Kim tiba-tiba. Aku berbalik, pemuda itu berlutut, mencondongkan tubuh ke air dan menjilatinya seperti anjing kehausan.
“Jangan mendadak jadi goblok,” kataku datar.
Dia bangkit perlahan, melangkah sempoyongan, meludah berkali-kali. Lalu menekan pundakku, meremasnya ketat-ketat. “Jangan terlalu kaku,” bisiknya sangat lirih. “Ada orang di belakang. Dua orang, laki-laki dan perempuan.” Aku hendak memicingkan mata, tapi Kim menyambung garang, “Jangan dipandang!” tangannya menekan semakin kuat. “Kita pergi dulu, terus memutar.”
Aku menurut, karena sama sekali belum melihat pergerakan seseorang di kedalaman hutan.
Setelah berjalan cukup jauh dan menemui sampan tertambat, kami berbelok ke dalam hutan. Dari situ Kim langsung melompat-lompat, dan mengeluarkan isi ranselnya dengan tergesa.
“Dua orang,” sahutnya sembari terus mengorek-ngorek isi tas. Tak dapat benda yang dicari, anak itu menumpahkan semuanya, lalu mengambil pistol perak. Dia mendongak, menatapku tajam. “Perhatikan baik-baik mereka siapa, Samantha!”
Aku memasang night-vision. Dunia di sekelilingku menjadi terang seketika, tak terlalu terang, tapi cukup untuk melihat orang atau akar menjalar agar tidak tersandung. Aku mencari-cari, menyisir, dan menangkap pergerakan di tengah rimbunnya semak dan akar yang melintang.
“Itu si pemuda murung dan gadis lugu.” Aku melihat dua orang itu bergerak sembunyi-sembunyi layaknya tupai yang hendak lari dari singa.
Kim berdiri, bahu kami saling dempet. “Ada lagi selain mereka, Nona?”
Aku tidak menjawab karena sibuk mengamati tangan perempuan itu. Gadis itu menyeruak di antara pepohonan, wajahnya kini terlihat jelas, lusuh dan cemong. Di tangannya, digenggam begitu rapat. Sebuah kunci telah sempurna diamankan.
Aku menarik pistol dari tangan Kim, menembak ke depan dua kali tanpa aba-aba. Gelegar senjata membuat dua tupai itu terperanjat, mereka seperti orang bodoh karena syok. Begitu melihat aku keluar, si gadis terbeliak dan melesat kencang bersama kekasihnya.
“KEJAR!”
“Bodoh kau!” Kim berlari lebih dulu, mengempaskan tubuhku ke samping dan langsung melesat. Aku menyusul dengan napas memburu. Pistol di tanganku terasa licin karena membayangkan kunci keemasan itu akan menjadi milik kami.
Kim mengelak karena hampir dijegal akar. Dia bergeser ke samping pohon, kami berhenti sejenak. Napas terengah Kim membuat dadaku ikut sesak. Terdengar gemerisik dari utara, Kim segera menghambur ke sumber suara.
Aku tidak mengikuti anak itu dan berubah haluan. Aku berlari begitu ringan hingga telah sampai di salah satu pohon beringin, derap kaki tergesa muncul dari arah kanan kelokan.
Aku menerobos semak setinggi lutut dan langsung berbelok. Si lelaki—mangsa kami—mengerem langkah begitu diriku mencegat, matanya membesar. Aku mengangkat pistol.
Bunyi senapan sekonyong-konyong meletus dari dalam hutan. Percikan-percikan api mulai muncul dan menerangi sekitar. Aku merunduk, berlari ke batang pohon terdekat untuk melindungi diri.
Buruanku telah lari tunggang-langgang entah ke mana karena ada pengacau.
Ledakan senapan yang sahut-menyahut membuat telingaku berdenging.
Aku berlindung sembari mengatur napas. Belum sempat jantungku normal kembali, tangan dingin seseorang mencengkeram lengan bawahku. Aku hampir menjerit, lalu sosok itu berbisik, “Ini aku Kim. Diam!”
Posisi tubuhku menyamping, mulut Kim hampir menempel di telingaku. Napasnya hangat dan tersengal, dadanya kembang-kempis, aroma keringatnya menguar.
Kami mematung selama beberapa detik. Kesunyian mengisi hutan kembali.
Cahaya mengalir dari sela-sela pepohonan di depan, pria berperawakan tinggi-bungkuk melangkah keluar. Dia menyanggul senapan berburu yang sangat kuno. Matanya menyipit dan memindai sekeliling.
“Mereka pergi,” katanya sambil menelengkan kepala. Laki-laki lain menampakkan diri, ikut membawa senapan—tapi yang lebih modern. Pria pertama mematikan senter, dan kegelapan mencengkam pandangan kami.
Lampu temaram dari bangunan lain di luar sana merayap merayap masuk dan membuat jalur-jalur sinar di lorong gelap. Jendela buram yang mengisi kiri tembok memantulkan cahaya putih seram. Dengung mesin pendingin dari langit-langit lorong seakan ingin menuntut pertanggungan jawab kami atas tertumpahnya darah. Aku memimpin dengan langkah menyelinap. Sesekali, pandanganku berpaling ke jendela yang rupanya percuma dipandang karena buram—bagai tertutup kabut. Hawa dingin mencekik kulit. Kesunyian di tempat ini rasanya sanggup mengeringkan tulang karena membuat siapa pun merinding. Di areal ini, lampu memang padam demi menghemat sumber daya. Tak seorangpun yang lalu-lalang sebab memang lorong ini digunakan untuk menuju bangunan lain. Dan, kalau kau mau tahu, bangunan lain itu apa. Tidak ada pekerja—seperti kami—yang paham apa isi bangunan lain. Yang kami tahu, dan itupun hanya desas-desus, temp
Di musim dingin tahun lalu. Aku banyak membuang waktu dengan pria berdarah Asia. Dia menabur, dan aku menuai bibit cinta dari pertemuan yang, dilakukan berulang-ulang. Kami berdua bertukar gelas di malam Natal, bilang kalau ini adalah saat teristimewa. Pria itu—aku tahu—sangat mencintaiku sedemikian rupa. Dan kalau ditanya buktinya, dia membuang pekerjaan mapannya sebagai animator layanan-pendidikan demi hadir ke perencanaan Permainan Kunci. Awalnya begitu. Aku lugu saat mendengar dia membuang segala hal demi diriku. Nyatanya tidak. Dia sanggup memanipulasi emosi. Dan orang seperti itu adalah pribadi kelewat busuk yang tak akan mampu kau bayangkan. Aku masih ingat kata terakhinya di malam tahun baru. “Aku ke sini bukan karena kau, aku cuma senang-senang. Lelaki mana yang sanggup seorang diri di tempat antah berantah.” Di malam yang sama. Masih musim dingin. Aku dan Sero berdiri te
Aku dan Sero dipanggil petugas setempat—dua jam selepas kejadian. Kami berangkat dari kafetaria dengan wajah murung. Aku tidak berniat mengubah air muka, tapi Sero yang nampak berpikir paling keras mulai terlihat tabiat kecemasannya. Dan sikapnya menular dengan segera saat kami digiring pria kurus-kekar ke lorong serba kelabu.“Kalian tahu apa yang terjadi, heh?” tanya si petugas tanpa menoleh.“Tahu,” sahut Sero sayu. “Kau mau bawa kami ke mana?” Tangan kiri Sero terkepal, lalu mengembang lagi.Mungkin saja dia tahu kalau petugas di depan kami memiliki senjata tersembunyi. Setahuku, memang begitu. Ada semacam pisau elektrik di sekitar tali ikat pinggangnya.Si petugas mengangkat topinya. “Kalau Tuan tanya,” mulainya, “jawab sejujur-jujurnya.” Dia berhenti di samping pintu kecil, menekan tombol di sisinya cepat-cepat. “Kau!
Garrincha si pria jantan memberikanku kasurnya yang seempuk busa. Dia berbaring terlentang di lantai dingin. Dan biarpun sudah kupaksa—bahwa aku bisa tidur di mana pun—dia tetap kekeh. Kami berceloteh panjang lebar tanpa sekat canggung. Mungkin ini keahlian alamiku; dapat langsung melebur bersama orang baru dan dipercaya sepenuhnya. Garrincha menceritakan awal mula kariernya di sepakbola, yang kemudian runtuh karena gagal terpilihnya dia di tim nasional. Lalu cerita bergulir ke keluarga, tempat tinggal kami masing-masing, dan memutar kembali ke titik awal: sepakbola. “Awalnya teman-teman bilang kakiku mirip salah satu atlet lawas. Dan jadilah mereka menyebut-nyebutku Garrincha,” ujarnya santai. “Kalau kau? Kenapa tahu asal-usul Garrincha?” “Aku suka sejarah, sastra, dan seni. Kadang-kadang aku melukis. Aku hobi mencari asal-usul seseorang.” 
Garrincha tampil lebih bersih dan dia seketika berbalik saat mendengar pintu kututup. Pria di depanku adalah makhluk lain. Dia bukan Garrincha yang terseok-seok dengan muka kusam di Arena. Juga bukan Garrincha yang setengah telanjang di lift. Kini dirinya memakai kaus-kerah berwarna biru dan celana jins. Di tungkai kanannya, terbebat perban kusam yang digenangi cairan gelap-kemerahan. Rambutnya awut-awutan dan basah. Rahangnya nampak keras, juga daya tarik utamanya yaitu kaki kanan yang bengkok—terlihat lebih lurus dan sempurna. Tak terlalu kentara kalau ia seorang pria pendek yang cacat. Dia sempurna setelah mengubah penampilan. Atau jangan-jangan, bukan dirinya yang berjasa penuh melainkan para perawat yang punya selera fashion bagus. Di ruang khusus Pemenang ini hanya ada satu kasur empuk bersih. Jendela buram yang tidak bisa dibuka-tutup. Wastafel lengkap de
Erin.3 Januari. 06.05. Pemenang tahun ini berbeda dari kebanyakan peserta yang kutemui. Ya, kau harus tahu bahwa aku adalah pembimbing. Tugas pembinbing—kalau kau masih mau tahu—adalah mengawasi para Pemenang setelah lolos dari kejamnya Arena. Kenapa hal tersebut perlu dilakukan? Jawabannya sesingkat pertanyaan tadi. Karena mereka stres. Tak bisa disangkal, bahkan diragukan, bahwa para peserta mengalami penurunan kinerja fisik dan mental. Maka tak heran kalau banyak Pemenang yang perlahan-lahan meninggal tanpa sebab yang jelas. Kelompok Pembimbing mulai dibentuk saat Permainan Kunci ke-delapan digelar. Kebanyakan pemenang memang banyak yang meninggal dini. Maksudnya dini; mereka mati tak lama setelah menang. Bahkan ada yang seketika tewas selepas menginjakkan kaki di asrama. Keadaannya tidak bisa dijelaskan s
Garrincha.3 Januari. 00.01.Sentuhan panas menjalar memenuhi rusukku. Aku menahan lidah agar tidak menjerit. Tanganku menekan perut kanan yang dialiri cairan hangat kemerahan.Jemariku menggeletar seolah baru diangkat dari air es. Napasku memburu, dan berusaha kukontrol sebisa mungkin agar tetap normal.Paru-paru menjadi masalahku kini. Ada sensasi tertahan di dada, yang membuatku tertekan hingga kepalaku pening. Diikuti tatapan berair, dan bagian belakang mata panas terbakar.Tungkaiku berdenyut-denyut—rasanya seperti ditusuk jarum. Aku rebah. Entah berapa lama aku terbaring di tempat ini. Leherku tegang dan aku pernah mengalami hal serupa saat salah bantal. Namun aku tidak pernah benar-benar istirahat.Pinggangku seakan rontok. Belum pernah—sekalipun di lapangan—aku menderita separah ini.
Garrincha.2 Januari. 22.13. WIB. Hujan kembali turun dan diikuti hawa dingin yang menusuk kulit. Aku menerobos sesemakan. Langkahku tersendat-sendat karena tanah mulai basah. Aku mengendarkan pandangan. Padang semak setinggi pinggang terhampar sejauh mata memandang. Tidak ada obyek lain—hanya rumput. Ini gila. Seakan-akan Panitia sudah merubah Arena menjadi lautan semak dalam sekejap. Aku mengangkat kaki secara teratur. Kiri-kanan-kanan-kiri. Bulu halus di lenganku meremang akibat tergesek-gesek semak. Kenapa Arena mendadak berubah? Aku meludah, terbatuk, lalu tersandung kaki sendiri hingga hampir terjerembap. Tempurung lututku berdenyut karena jatuh mendadak. Tanganku menjejak tanah becek. Aku menghimpun kekuatan, dan segera bangkit dengan sekujur tubuh yang teramat lemas.&n
Garrincha.2 Januari. 21.10. WIB.Mataku tercelik dan sel-sel tubuhku mendadak terjaga. Aku meloncat pergi dan menerjang semak-semak sebelum kehadiranku dikenali.Bunyi kaki tersaruk-saruk dari kedalaman pohon rimbun menjadikan suasana dicekam ketegangan yang panas. Aku mengusap sisa air mata, menarik napas panjang, lalu memfokuskan diri untuk menghadapi ancaman baru. Bunyi “srekkk” yang tajam membuat jantungku terpompa. Aku menunduk, membiarkan sedikit kepalaku tersisa agar dapat mengintip.Di depan sana, tepat di bawah naungan pepohonan. Lelaki berbadan pendek dengan lutut tertekuk tengah bersandar.Di sekitaran betisnya ada segumpal tanah liat yang membungkus hingga telapak kaki.Badan orang itu benar-benar pendek, mungkin hanya sebahuku. Namun tubuhnya berisi. Dan dari jalannya, jelas kalau pemuda ini semacam pa