Share

/4/

Hughes 

1 Januari 14.15 WIB

Ronal terlonjak begitu mendengar ledakan senjata. Aku langsung mendekat dan tiarap di sampingnya.

Kami tidak bicara selama beberapa menit, suasana hening menyapu arena. Debar jantungku terasa bergemuruh. Bagaimana tidak, ada seseorang yang melanggar peraturan. 

   

Ronal menarik diri menjauh, dia butuh sudut pandang yang lebih mantap. Tak lama kemudian, setelah memejam-mejamkan mata dan beringsut sana-sini, anak itu berkata, “Di tengah sana,” katanya tenang, “ada yang membawa-bawa senter.”

Aku tidak bisa melihat apa pun, bahkan di posisi kami yang berada di lereng bukit dan langsung menghadap hutan. Para peserta masih bisa disembunyikan oleh rapatnya pepohonan, teropong Ronal yang menangkap pergerakan peserta adalah salah satu keajaiban di tempat ini.

“Siapa kira-kira? Kau lihat?” 

   

Ronal mengangkat satu tangan, rokok yang tak tersulut terselip di antara telunjuk dan jari tengahnya. Setelah menutup sebelah mata, dia berkata, “Salah satunya membawa senapan modern, pasti modern karena warnanya gelap-mengilat. Mereka bergerak lebih dalam, ada yang menjaga di luar. Ini masalah serius, bung, keadaanya seperti mau perang.” Ronal terdiam, jakunnya naik-turun.

Aku beringsut ke samping, memandang ke arah yang dituju Ronal. Sekonyong-konyong letupan senapan terdengar membahana sampai ke langit.

Ronal kali ini tidak terkejut, dia mengarahkan teropongnya ke sana-kemari. Tembak-menembak terjadi, suaranya yang menusuk telinga diikuti percikan-percikan api. Lengkingan seseorang mengoyak ketenangan, lalu hening. Tiba-tiba semuanya bungkam.

Aku mengatur tempo napas, dan tidak berani mengangkat wajah. Semuanya seperti kabut sekarang: samar-samar.  Membayangkan ada seseorang dengan dada dipenuhi lubang akibat peluru membuatku mual. Ditambah lagi dengan adanya kenyataan bahwa ada yang menyeludupkan senjata. Pertumpahan darah telah terjadi, itu pasti, teriakan melengking tadi adalah buktinya.

   

Ronal meludah, mulutnya menjepit rokok. “Sialan. Ada laki-laki yang terkapar di tengah jalan. Mayatnya diseret entah ke mana sekarang.”

 

Aku merangkak, melongok ke bawah. Posisi kami strategis, bisa mengamati keadaan arena seperti narator serba-tahu. Tapi masalahnya, teropong kami cuma satu, dan hutan begitu pekat.

 

“Ini membingungkan. Mereka melanggar peraturan,” gumamku.

“Bukan melanggar, siapa tahu ada senjata yang dibiarkan tergeletak di tengah hutan. Arena ini sinting, permainan ini gila, bahkan pembuat dan donaturnya memiliki otak miring. Tapi aku tidak mau munafik, aku juga bodoh karena rela mengikuti permainan ini.”

“Peraturan (1). Dilarang menodai permainan dengan senjata.”

Ronal meringis, namun dia tak menjawab.

Akumengulirkan pandangan ke area hutan yang terhampar luas. Kami menunggu tanpa kepastian, entah berapa lama lagi.

Ronal beranjak duduk, dia mengotak-atik sesuatu di teropongnya. Teropong itu keluaran terbaru, kami membobol toko seorang Tionghoa demi mengikuti rencana Ronal yang masih simpang-siur saat itu. Katanya, benda itu sangat berguna untuk rencana besarnya nanti. Bah, rencana besar apa. Kami sekarang tiarap dengan kaki kebas sembari mengintip-ngintip pergerakan musuh dari atas bukit. Berharap mendapatkan kunci dari cara ini. Aku tidak habis pikir.

“Para peserta yang berani bisa langsung mencari sumber suara dan ikut berperang. Yang pengecut...” Ronal terkekeh, dia mendekatkan teropong ke matanya. “Akan melarikan diri dan berkumpul di dataran tinggi sebentar lagi.”

   

“Semuanya bisa saja berkumpul,” sahutku. “Mereka tahu kalau kunci itu ada di tengah hutan, buat apa mereka lari ke pegunungan atau bukit.”

 

Ronal mengangkat bahu, dia tidak memandangku. “Banyak juga penakut di tempat ini, Hughes.”

     

“Termasuk kita?” 

Bibir Ronal melengkung naik.

     

Sinar mentari terasa hangat dan menenangkan tulang, tubuh kami seperti dipijat-pijat. Cuaca siang hari di arena memang menenangkan, dan rupanya kabar itu bukan desas-desus semata. Aku masih menunggu, kenapa belum ada penjaga yang keluar dan menghentikan permainan sementara. Apa peraturan itu dibuat untuk sengaja dilanggar.

 

Tidak ada pertikaian dan hal menarik lagi setelah adu-tembak terjadi. Jadi kami pergi untuk membuat api dan memasak air. Tak lama sesudahnya, kami meminum kopi sembari duduk-duduk menikmati kedamaian. Matahari terhalang awan, membuat cuaca mendung, angin sejuk bertiup tak karuan di sekitar kami. Tapi tetap suasana ini menyenangkan. Berbeda sekali dengan kondisi kami yang berpeluh semasa di pelabuhan.

Hutan kegelapan terlihat seperti batang-batang besi hitam dari sini, angin membuat pepohonan bergoyang dan daun-daun berkerisik. Sebenarnya tempat ini damai. Namun mengingat kami kemari bukan untuk bersantai, mulai membuatku dirasuki rasa waspada.

 

“Ada cahaya di sana.” Ronal menaruh cangkir ke tanah, kembali menelungkup, menarik teropong dan membidik ke arah jam 11. Memang ada seberkas cahaya kekuningan di sana, lalu padam secepat datangnya. Seakan-akan mereka telah tahu ada yang mengamati keadaan di hutan dari dataran tinggi sejak awal.

   

“Itu Garrincha dan Pedro. Mereka menjaga sesuatu,” kata temanku.

 

Aku tidak menjawab karena mendengar suara derap kaki di kejauhan. Aku memasang telinga sebentar, mendengarnya dengan bijak, dan beringsut ke samping Ronal. Dia memberi teropong, aku mengawasi keadaan dari benda kecil itu, melakukan close-up sejenak, dan tidak mendapati apa pun di arah jam 11 kecuali pohon hitam.

   

“Garrincha terburu-buru ... tenang saja, sekarang kita  tahu lokasi salah satu regu karena rencana geniusku.”

“Tahu dari mana?”

“Aku melihat si kaki bengkok menyalakan senter ... mereka ada di ... bilik! Sudah cukup! Sepertinya aku tahu rencana mereka.”

 

“Berjaga di bilik dan menunggu peserta pembawa kunci datang.” Aku mengangguk karena itu masuk akal. Kugerakkan teropong ke arah lain. Lalu terbesit ide di kepalaku: menyerang mereka diam-diam dan menguasai bilik. Tapi itu pasti sulit.  

 

Ronal tersenyum miring. “Mereka mendapat tempat yang lebih bagus dari kita. Awasi dia terus, Hughes! kita pastikan gerak-gerik peserta lain yang sedang mendekat atau melakukan gerakan seperti hendak mencari sesuatu. Setelah mereka berkumpul di depan bilik, bernegosiasi atau saling bunuh ... kita turun, lalu serang mereka saat lengah.” 

“Itu gampang kalau hanya dimulut,” tukasku. Anak muda memang lebih bersemangat dan berapi-api, tapi setelah berhadap-hadapan dengan keadaan nyata. Mereka ciut seperti tikus kehujanan. 

 

Ronal menepuk punggungku. “Jangan terlalu—“ Dia mendadak berdiri, aku ikut melompat dan berjaga karena terkejut. Terdengar langkah kaki terseret dari tempat kami mendaki.

Ronal bersiaga, aku hendak berjalan dan dia menahannya dengan lengan terentang.

 

“Jangan,” anak itu menggeleng. Pisau telah sempurna dia amankan di satu tangan.

Suara derap kaki semakin keras dan dekat, orang di ujung sana tengah bersusah payah untuk naik. Kepala seseorang lambat-laun mulai timbul, seorang pemuda berambut pendek dan, anak gadis.

 

Ronal menyembunyikan pisaunya di punggung.

Pemuda itu memapah si gadis, dan aku baru sadar jika mereka adalah sepasang kekasih yang sering kuamati di ruang karantina. Wajah si laki-laki lebih kotor seperti baru saja mengalami masa-masa berat, rambut kering bercabang, dan pacarnya lebih buruk: Rambut sebahu tampak kusut, baju kedodoran, dan wajah cemong. Mereka seperti suami-istri tunawisma yang telah lama tak disentuh air.

 

“Tolong kami,” desah si lelaki, “namaku Hendro, ini Andrea.” Napasnya tersengal dan tersendat-sendat, kaki kananya gemetar pelan. “Tolong,” ulangnya.

   

“Oke!” Ronal melangkah maju. Pisau itu masih berada di tangannya. “Jangan bergerak dulu!” bentaknya begitu melihat Andrea menangis pilu dan berjalan tertatih. 

 

Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku orang dewasa yang tolol, kehidupanku berbeda dibanding Ronal yang hampir setiap malam berkelahi dalam kondisi mabuk. Bahkan ditusuk parang pun dia tidak akan kesakitan jika dikuasai minuman keras. Sedangkan aku hanya menghabiskan waktu dengan buku dan barang-barang penumpang.

 

“Hughes,” Ronal menoleh, melemparkan pisau, aku menangkap dan nyaris menjatuhkannya. Ronal memandang dua sejoli itu lagi. “Perlihatkan isi tas kalian dulu, setelah itu letakkan di ujung sana. Baru kalian boleh mendekat dan kita minum-minum serta makan. Kau setuju?”

Hendro mengangguk, dia sudah mengalah sepenuhnya. Mereka membongkar-bongkar isi tas, menuangkannya ke tanah. Dan tidak ada barang menarik kecuali makanan kaleng, dan alat serba-guna yang bisa menjadi pisau dan gunting. Aku mengusulkan untuk membawa makanan kaleng itu serta pisau yang bisa ditukar-tukar menjadi gunting. Ronal menolak pisau itu dibawa-bawa, tapi akhirnya luluh setelah aku bercakap-cakap sebentar.

 

Proses itu selesai, Hendro membuang ransel mereka ke antara semak-semak. Lalu berjalan ragu-ragu.

“Tak apa, kemari saja,” kata Ronal yang menjejalkan rokok ke tepi bibirnya. Begitu Hendro mendekat, dia menawari sebatang rokok, dan mereka pun menghisapnya seperti sahabat.

 

Aku membuat api unggun, dan memasak air. Andrea duduk dengan lemah, anak itu menekuk lutut dan terus-terusan terisak. Hendro ada di sana setelah merokok, merangkul bahu pacarnya tanpa bisa berkata-kata lagi. Aku tidak tahu apa sebabnya mereka begitu. Jadi kusodorkan saja dua gelas air sambil menunggu inisiatif mereka bercerita.

Hendro memulai begitu mata kami bertemu, “Kami tidak bermaksud jahat. Awalnya aku mendarat di area pegunungan, lalu berjalan turun ... sebenarnya, Andrea hamil. Jadi aku dalam kesulitan karena dia tidak boleh lelah.”

 

 “Tak penting,” sela Ronal yang ikut nimbrung, “lanjutkan saja.”

 

“Kami menelusuri hutan kegelapan, memang tidak ada apa pun. Tapi dua orang itu mencegat kami dan menembak. Untung, tidak ada yang kena. Namun Andrea tergoncang.”

   

“Siapa yang menembak?” Aku menunggu jawabannya.

“Samantha dan rekannya dari kelompok satu.” Hendro mengendikkan bahu. “Aku tidak tahu nama temannya. Dan mereka terus-menerus mengejar kami tanpa ampun. Aku berhasil lari setelah ada bala bantuan ... Sebenarnya tak bisa disebut bala bantuan, itu hanya kebetulan peserta lain lewat dan ikut menembaki Samantha. Jadi kami memanfaatkan momen dan berhasil menyelinap pergi.”

   

Ronal tampak diam seribu bahasa. Dan setelah menyesap rokok, dia baru berkata, “Ada yang mati saat mereka baku-tembak, tapi aku tidak itu siapa ... gelap soalnya.”

“Kuharap itu Samantha!” Andrea menghardik, air matanya meleleh di pipi. “Dia gila! Perempuan sinting! Otak udang! Sialan bet..” Suaranya tertahan karena dia tersedu-sedu.

 

Hendro merangkul sang pacar. Andrea mulai tenang, dan bersender ke bahu kekasihnya. Sungguh, sebuah kisah cinta yang apik melebihi Romeo & Juliet.

   

Setelah kusuruh dua anak muda itu beristirahat, aku langsung mendekati Ronal. Kukatan bahwa ini gawat, Andrea hamil. Itu bohong atau bukan, kami tidak tahu. Tapi jika benar, ya, itu masalahnya. Ronal setuju untuk diam beberapa jam di tempat itu bersama mereka, lagipula Hendro menarik, katanya. Kami sudah setuju, dan mulai saat itu bergantian menjaga area hutan serta Hendro dan Andrea. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status