Share

/2/

Ronal

1 Januari 11.30 WIB.

 

Lift membawa kami dan terasa tak ada habisnya. Ruangan di dalamnya pengap dan apak, sangat sempit, bahkan kau tidak bisa terlentang dengan kaki lurus di dalam situ.

Hawa menurun saat lift mulai bergoncang, terasa sentakan-sentakan kasar, besi berdenting, dan suara mesin mendesis dari lantai.

Mungkin kami akan didamparkan ke dataran tinggi. Tapi aku berharap untuk mendarat di hutan kegelapan. Aku melihat siaran langsung pelemparan kunci—karena para peserta memang diwajibkan menonton, tapi ingatanku buruk. Aku lupa kunci itu tertanam di mana. Namun setelah Hughes ingatkan, pikiranku mulai berkumpul dan memang benar kunci itu berada di hutan kegelapan. Kami tidak mau bermain seperti orang bodoh dan gegabah, rencana yang kubuat akan terlihat jenius—kalau tidak ada peserta lain yang memakainya.

Jenius di kamusku itu berbeda. Tidak seperti orang kebanyakan.

“Hutan kegelapan.” gumam Hughes saat lift mulai melambat, dia membentang sebuah kertas yang diambilnya dari saku celana. Itu peta.

Dia menunjuk gambar danau—tepat di tepinya. “Kalau dugaanku benar, kunci itu di sini. Kita bisa menyusur tepi danau kalau mau. Tapi kemungkinan bertemu peserta lain bertambah tinggi.”

“Bagaimana kalau masuk danau?"

Hughes merenung. “Itu tidak mungkin,” katanya, “sudah diprediksi sebelum diluncurkan. Dan sangat jarang penyelenggara melakukan kesalahan fatal. Ini zaman yang serba canggih, kawanku.”

Biarpun sudah diprediksi, hal itu tetap menjadi perhatianku. Bagaimana kalau kunci masuk ke air, tenggelam, dicium ikan-ikan. Dan tidak bisa didapatkan.

Lift melaju lebih kencang. Tidak ada goncangan selama beberapa menit, kami bergerak lebih mulus dan teratur.

Hughes berkata, “Jangan pikirkan soal kunci masuk ke dalam air.” Tampaknya dia tahu isi pikiranku. “Apa rencanamu?” Temanku itu berpaling, tatapannya menyelidik dan penuh tanda tanya.

Aku memandang pintu yang tak kunjung membuka. “Kita ke bukit darah, mengamati keadaan di dalam hutan dengan teropong. Mencari persembunyian untuk mengamati gerak-gerik para regu, dan kalau beruntung kita bisa melihat siapa yang memegang kunci. Kita akan jadi natator-serba-tahu nanti.”

Hughes menggertakkan gigi, kebiasaan yang dia lakukan jika galau atau mengalami dilema. Dia bersender, dengung mesin lift membuat percakapan kami berhenti.

“Semoga Tuhan mendaratkan kita di bukit darah,” katanya tanpa emosi.

Aku tertawa singkat. “Itu tidak masalah, kita bisa menjelajah di tempat lain dan berangkat ke bukit darah ... kalau kunci berada di hutan kegelapan, semua peserta pasti berkerumun di sana.” Berkerumun. Ya, seperti burung nasar menggigiti mayat.

Tidak ada otak dan otot di tim kami. Semuanya dipukul sama rata. Hughes tidak sekolah sejak kecil, tapi dia bisa menulis dan membaca. Sedangkan aku bersekolah, tapi rokok dan minuman keras menarikku lebih kuat daripada alat tulis serta buku. Aku pernah ditampar ayah karena membakar buku pelajaran yang harus kau beli dengan berpeluh dulu. Dan selepas menerima hantaman itu, aku berjanji untuk kabur dari sekolah dan hidup di jalan saja. Beginilah hidupku sekarang, bebas dan tak terikat, walaupun dicekik oleh kemiskinan juga.

“Kita berhenti.” Hughes menegakkan tubuh. Lift berdecit beberapa kali, tersentak-sentak, dan mendadak bergeming. Lampu lift mulai meredup, berkedip-kedip, dan padam seketika.

Aku ingin meraih tangan Hughes untuk memastikan dia ada, tapi segera melawan keinginan bodoh itu. Kami seperti ditumpahi tinta; dari kepala lalu mengalir menutup mata. Gelap, sunyi, pengap.

Dentaman terdengar, seperti ada yang memukul pintu dengan palu. Dadaku seperti ditusuk sesuatu sampai terbatuk. Hughes tidak bicara, hanya napasnya yang terdengar sangat lirih.

Pintu terbuka, cahaya samar menyusup masuk, perlahan-lahan, hingga menerangi isi dalam saat pintu terbuka lebar.

Aku menghambur ke depan lebih dulu, melongok, memandang berkeliling. Tidak ada cahaya, pepohonan rapat menutupi cahaya mentari. Dedaunan rimbun tampak menyelimuti langit, tanah lebih pekat dan tampak kelam. Sudah pasti kami berada di hutan kegelapan.

***

Garrincha

1 Januari 12.01 WIB.

Alasanku mendekati kelompok 16 adalah karena pernah melihat salah satu dari mereka. Si Ronal, pemuda berwajah lusuh itu seorang portir di pelabuhan. Jika ditilik, penampilannya memang lebih tua dari anak seumurannya. Kalau kau tahu Ernest—aku pernah berbincang dengannya saat menonton siaran langsung pelemparan kunci—dia sepantaran dengan Ronal, tapi lebih bersih dan berwajah mulus. Sungguh perbedaan kasta yang signifikan.

   

Aku bertemu pemuda kusut itu di pelabuhan—ya karena memang dia bekerja di pelabuhan. Ronal dalam keadaan mabuk saat itu, dia berjalan sempoyongan ke arah para gadis yang sibuk menanti kapal, memeluknya tiba-tiba dan berkelahi dengan orang yang “katanya” kekasih sang gadis. Adu pukul terjadi, Ronal memiting si penyerang dan mematahkan tangannya. Pemuda itu dapat masalah, tentu saja. Aku melapor ke polisi, dia diringkus, dan katanya mendekam tiga bulan di penjara. Satu tahun lalu, pertemuan itu tak sengaja terjadi. Tapi bertemu Ronal di tempat seperti ini, seakan sedang bertemu hyena di padang yang amat luas.

Aku dan Pedro terdampar di hutan kegelapan, sangat di ujung sampai jika kau mendongak, bisa melihat pegunungan amat jelas. Melihat gunung itu membuatku membayangkan raksasa yang tengah tidur berdiri dan siap memelukmu jika mau mendekat. Pedro memimpin di depan, dia menarik ransel, mengeluarkan sebuah alat: senter. Dia mengetuk-ngetuk senternya, lalu cahaya menyorot terang seketika.

Aku mempercepat langkah, berdiri sejajar dengan Pedro membuat kau seakan aman. Bahkan jika berada di tengah singa.

“Kau bawa?” sahut Pedro tiba-tiba.

“Bawa. Mau kau rakit di mana?”

“Kita cari tempat dulu. Jangan sampai ada distraksi, bahkan semut pun tak boleh tahu kalau kita menyeludupkan senapan.” Pedro menyibakkan ranting-ranting rendah, mengarahkan cahaya ke atas kepalanya.

 

Pohon-pohon di sini sangat tinggi dan rimbun, bahkan cahaya matahari tak sanggup menembus. Aku tak tahu apa jadinya jika kami berbulan-bulan mencari kunci tanpa sinar matahari menyentuh kulit.

Jalan mulai melebar dan tidak ada semak-semak serta ranting rendah lagi. Pedro berbalik, berjalan mundur. Senternya dimatikan, dia memandangku lekat-lekat. “Kunci di tengah hutan,” terangnya, “kita harus cari tempat sempurna untuk...” Perkataannya terputus karena temanku itu tersandung akar pohon.

Aku menoleh ke kiri-kanan, benar-benar hening, bahkan jangkrik enggan berbisik.

“Kita bisa memanjat pohon kalau mau, membidik orang dari atas sangat cocok. Tapi resikonya besar,” usulku.

“Ide bagus. Yang penting jangan terburu-buru. Semuanya harus tetap optimal sampai akhir permainan.”

   

Kami menelusuri hutan itu dan berputar-putar selama beberapa menit, hingga akhirnya menemukan jalan setapak yang nampak janggal di tengah rapatnya pepohonan. Pedro melompati akar yang menyembul, dia berjalan pendek-pendek ke salah satu pohon, memerhatikan sekeliling, dan memberi isyarat. Aku berjalan di belakangnya sembari mengatur napas, keheningan membuatku tertekan, dadaku seperti diimpit tangan-tangan gaib hingga sesak. Ketenangan di hutan ini berbeda dari tenang saat berada di pantai. Tidak ada debur ombak yang menghantam karang di sini. Masih bisa mendengar gesekan langkah saja sudah sangat beruntung. Sangking heningnya, kau bisa mendengar degup jantungmu memukul-mukul tulang.

Pedro berhenti mendadak, aku hampir menabraknya karena melamun. Punggung temanku itu sangat tegap, seperti atlet kebanyakan: badan jangkung, betis kekar, lengan berotot, serta tampan. Dia sempurna, lelaki yang bisa meraih apa pun dengan mudah. Berbeda denganku. Kaki bengkok ke dalam karena kelainan, badan pendek, dan tidak ada lagi yang bisa kubanggakan selain disebut-sebut sebagai “Garricha”. Lagipula itu bukan nama asliku.

Pedro tidak pernah tampak konyol di lapangan, dia selalu mendominasi, tapi aku sering dibisiki beberapa pemain bahwa performa Pedro menurun karena diriku. Apa salahku? Katanya aku lincah. Namun kami sama-sama tidak masuk timnas, yang berarti, nasib kami sama: terpuruk beberapa saat. Mungkin Pedro terpuruk, tetapi aku tidak. Masuk timnas menambah beban, aku bermain bola karena senang, bukan ambisi.

Pedro bergeser ke samping, langkahnya terseret dan tampak hati-hati. Dia mengarahkan senter ke depan. Sejurus kemudian, sorot cahaya lurus menerangi sebuah gubuk yang teronggok di ujung hutan. Pintunya terbuat dari besi kelabu, gagang pintu mengilat saat dihadapkan cahaya, kiri-kanan bangunan itu kosong dan bersih, atapnya ditutupi jerami yang sembarang ditumpuk. Perpaduan yang aneh, karena mengingat bahwa pintunya sangat gagah.

Pedro beringsut mundur, dia tertawa hampa. “Jangan bilang ini bercanda.”

 

Aku memusatkan perhatian sejenak. Bangunan itu adalah bilik. Yang harus dibuka saat sudah mendapatkan kunci. 

  

Pedro mematikan senter, kegelapan mencengkeram kami. 

“Keluarkan semuanya, aku ada rencana.”

Aku menurut, ikut menumpahkan isi tas. Beberapa barang berhamburan, baik yang dari panitia maupun barang bawaan kami. Semuanya tercecer di tanah. Pedro menjangkau magazin di dekat kakiku, dia merakit senapan seperti balita menyusun lego. Sentuhan terakhir, temanku itu menancapkan magazin berisi peluru penuh. Senapan itu berwarna hitam-legam, milik ayah Pedro. Karena katanya, “Barang lama lebih mematikan.”

Kami bergerak maju tanpa suara setelah menyiapkan beberapa alat. Pedro belum membeberkan rencananya, tapi aku tahu garis besar kenapa kami sudah mengeluarkan senjata: kami akan menjaga bilik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status