Share

BAB 2 Pemakaman

Author: Nurmelyaa_
last update Huling Na-update: 2024-07-05 15:14:14

Rupanya langit yang cerah sudah terlihat mendung bagi dirinya. Hanya dalam hitungan detik, Tuhan berhasil mengambil segalanya dari hidup Zaheen; kasih sayang keluarganya, tempat berteduh, kebahagiaan dan perlindungan, tak ada yang tersisa.

Ia hanya bisa meringkuk di depan orang-orang yang kini tak ia kenali. Ruangan kecil yang terbuat dari kayu rapuh dan juga banyaknya lalat memenuhi tempat itu, ia menatap anak laki-laki yang tadi membawanya dengan paksa.

“Kau jangan khawatir, kau aman di sini,” katanya sembari tersenyum. Sepertinya dia anak baik meski suka memaksa.

“Namamu Zaheen, kan? kenalin aku Kian.” Ia tersenyum dan memberikan roti miliknya pada Zaheen. “Sebagai tanda pertemanan kita, makanlah roti ini, kau pasti lapar, kan?”

Tentu saja, Zaheen sangat lapar. Meski hanya sepotong roti tapi ia akan bersyukur bisa makan hari ini. Kian tersenyum sumringah saat Zaheen menerima makanannya dan mulai memakannya dengan cepat. “Kau sungguh kelaparan ya?” gumamnya takjub setelah Zaheen menghabiskan roti itu.

“Lukamu sudah di balut dengan benar, kalau tidak mungkin akan infeksi. Untung saja ada kak Sera,” kata Kian lagi.

Zaheen melirik seorang gadis yang usianya sekitar dua puluh tahun yang sedang berbicara dengan anak lain di depan rumah tua tersebut, dialah yang mengobati Zaheen tadi, dia sangat lembut dan sepertinya anak-anak menyukainya.

“Oh ya, jika kau Zaheen Magani lalu siapa jasad yang akan dimakamkan bersama ayah dan ibumu?” tanya Kian tiba-tiba.

“Itu ... Jasad pamanku, dia adiknya ibuku yang paling bungsu, umur kami hanya beda lima tahun jadi mungkin mereka mengira itu adalah aku,” jawab Zaheen.

Kian mengangguk paham. “Lalu kau ingin pergi ke pemakaman mereka, aku bisa mengantarmu,” ucap Kian bersedia membantunya.

Zaheen terdiam sebentar, ia menunduk melihat bekas darah ibunya yang masih ada di baju yang ia kenakan sekarang. Ia sungguh takut jika Isaac nanti akan menemukannya tapi ia tidak ingin membiarkan keluarganya pergi sendirian, ia ingin menemani mereka hingga peristirahatan terakhir mereka.

“Kau tahu jalan yang tidak seorang pun tahu?”

Kian mulai berpikir. “Aku ada jalan tapi mungkin lebih jauh sampai ke kampungmu, tidak masalah, kan?”

Zaheen mengangguk. “Baiklah, besok kita harus bangun subuh sekali untuk berangkat, kita naik sepeda itu saja, kau lihat,” seru Kian sembari menunjuk sepeda yang digunakan anak lain di luar sana.

 Zaheen mengerutkan alisnya. “Jangan melihat penampilan sepeda itu yang jelek tapi lihatlah pertahanannya, aku sudah menjelajahi seluruh kota ini dengan sepeda rongsokan itu,” jelas Kian.

Zaheen tersenyum tipis melihat tingkah Kian yang lucu, padahal Zaheen tak menatap aneh sepeda itu namun ia hanya berpikir jika dulu, sepeda yang bahkan terlihat masih baru saja langsung dibuang oleh Zaheen jika sudah tak menyukainya dan mengganti dengan yang baru.

Jika saja Zaheen mengenal Kian lebih cepat, ia akan memberikan sepeda yang pernah ia buang untuk Kian. Saat ia punya segalanya, ia lupa dan tak pernah bersyukur dengan apa yang ia miliki namun hari ini, ia telah melihat segalanya. Jika ternyata ada orang yang begitu membutuhkan barang yang sering ia buang dulu.

****

“Apa yang sebenarnya telah terjadi, bukankah kau baru menelepon Grayson waktu itu?” tanya pria tua beruban  yang sungguh terpukul melihat bagaimana menggenaskannya Grayson meninggal. Ia masih tak menyangka jika musibah besar itu akan menimpa keluarga baik yang sering membantunya dulu.

“Iya. Itu benar, Pak. Setelah mengambil cuti selama dua hari untuk berlibur bersama keluarganya, Grayson  pulang dan saat aku menelepon ia katanya masih di jalan, mungkin tiga atau dua jam lagi akan sampai. Sayangnya, beberapa jam kemudian aku malah mendapatkan kabar menyedihkan jika dia kecelakaan,” jelas Isaac.

Pak tua itu melihat Isaac lagi. “Semuanya tak tersisa pak, bahkan barang bawaannya pun semuanya telah hancur terbakar,” sambungnya.

Dengan langkah yang berat, ia mulai mendekati peti Grayson dan keluarganya, saat ia membuka peti yang bertuliskan nama Zaheen ia mengerutkan alisnya.”Apakah Zaheen tumbuh setinggi ini sekarang?” gumamnya pelan, padahal ia baru bertemu dengan Zaheen beberapa bulan yang lalu tapi perasaannya mengatakan tubuh dan postur jasad tersebut seperti bukan Zaheen.

“Apa tak ada orang lain saat mobil itu kecelakaan?” tanyanya pada seorang polisi.

“Tidak ada pak, kami sudah memeriksa tempat itu,” jawab polisi tersebut.

“Sudahlah pak, jangan mengacaukan keadaan, kita semua terpukul sama seperti bapak,” ucap Isaac mencoba menenangkan pria tua yang sekiranya berusia lima puluh tahun lebih itu.

“Ini bukan Zaheen, sepertinya anak itu masih hidup, kita harus mencarinya ...” Semua orang terdiam melihat pak tua tersebut. “Aku mengenal anak itu, dia mungkin bukan Zaheen, itu bukan jenazah Zaheen,” lanjutnya.

“Bawa dia pergi, dia bikin malu kita saja kalau begini,” perintah Isaac setelah melihat beberapa tamu sedang menonton mereka.

Isaac menutup kembali peti tersebut dan menghela napas berat. “Aku masih menyelenggarakan pemakaman yang layak untuk mereka, kenapa ada saja yang membuatku kesal,” gumamnya mencoba meredakan amarahnya, ia tak boleh lengah dan harus menjadi sahabat baik yang dilihat oleh publik.

Ia ingin mendapatkan citra yang baik. Tiba-tiba saja, ada tangan kecil yang memegang tangannya.

“Ayah, boleh aku keluar dari sini?” kata gadis mungil yang sepertinya tak nyaman berada di sana.

“Jangan, Nora. Sebentar lagi acara di mulai, bersabarlah nak. Setelah ini, kita ke mall ya untuk belanja.”

“Ayah janji?”

“Janji, nak.” Isaac tersenyum sambil mengelus kepala anak perempuan satu-satunya itu, hanya dengan sentuhan anaknya ternyata ampuh meredakan amarahnya. Ia menggendong anaknya tersebut lalu duduk karena acara dan doa akan segera di mulai.

****

Zaheen dan Kian berdiri dibalik pohon pelindung yang sangat besar, mereka memperhatikan orang-orang yang sedang menangis di depan kuburan keluarganya. Bodohnya, ia juga melihat kuburan atas namanya sendiri, dia sudah dianggap mati oleh orang-orang itu.

Angin sungguh kencang hingga membuat dedaunan berjatuhan, mungkin karena sebentar lagi akan turun hujan. Zaheen juga pernah ikut bersama ayahnya ke pemakaman dan saat itu juga hujan, Zaheen akhirnya tahu, jika bumi pun menangis harus melepaskan orang baik yang meninggalkan dunianya.

Lalu bagaimana jika orang seperti Isaac, apakah bumi juga akan menangis?

“Zaheen, kau baik-baik saja?” tanya Kian tiba-tiba.

“Ya ... Aku sungguh baik-baik saja,” jawabnya datar.

“Sungguh?”

“Apa yang kau harapkan dari seorang anak yang batinnya berduka seumur hidupnya?”

Kian berbalik melihat Zaheen, Kian membulatkan matanya saat melihat air mata itu jatuh kembali namun wajah Zaheen begitu datar.

“Kian.”

“I ... Iya?”

“Kau ingin kaya?”

Kian terdiam. Ia tak bisa menjawabnya.

“Bekerja samalah denganku, kita hancurkan pak tua yang sedang menggendong anak perempuannya itu.”

Kian mengikuti arah mata Zaheen, dari banyaknya orang-orang, ia akhirnya melihat Isaac dan putrinya.

“Jadi dia yang mengkhianati ayahmu.”

           

           

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Pembalasan Dendam Sang Pewaris    BAB 34 Menyampaikan Sesuatu

    Akhirnya, proyek hotel yang telah menjadi pusat perhatian Nora selama hampir setahun terakhir kini berdiri megah di depan matanya. Selesai dibangun dengan segala kerumitan dan dedikasi, hotel ini tampak seperti sebuah mahakarya yang memadukan kemewahan dan kenyamanan. Dengan langkah yang perlahan tapi pasti, Nora berjalan menyusuri koridor, menikmati setiap detail dari interior yang telah dirancang dengan penuh cinta dan ketelitian.Ketika memasuki lobi utama, Nora terpesona oleh luasnya ruangan yang dipenuhi dengan cahaya alami. Langit-langit tinggi dihiasi dengan lampu gantung kristal besar yang berkilau, memancarkan cahaya lembut ke seluruh penjuru ruangan. Lantai marmer yang berwarna krem bersih berkilauan di bawah kaki Nora, menciptakan kesan elegan dan megah. Di tengah lobi, sebuah meja resepsionis yang terbuat dari kayu mahoni mengkilap berdiri kokoh, dengan ukiran-ukiran halus yang menunjukkan sentuhan seni tradisional.Di sepanjang dinding, karya seni kontemporer tergantung d

  • Pembalasan Dendam Sang Pewaris    BAB 33 Siapa Dia

    Bus itu berhenti dengan suara rem yang berdecit, membangunkan Zaheen dari lamunannya sejenak. Dengan langkah pelan, ia naik ke dalam bus, memilih kursi paling pinggir di dekat jendela. Zaheen duduk, menempelkan kepala pada kaca yang dingin, dan memandangi kota malam yang berselimut kabut tipis. Lampu-lampu jalan bersinar redup, menciptakan bayangan panjang di trotoar basah.Di luar sana, kehidupan terus berjalan, kendaraan berlalu-lalang, dan orang-orang yang terburu-buru pulang. Namun, di dalam bus yang hampir kosong ini, waktu seolah melambat. Zaheen terdiam, pikirannya melayang-layang antara kenyataan dan ingatan yang menyakitkan. Masa depan tampak begitu jauh, seperti bayangan samar di ujung jalan yang gelap.Ia memikirkan mimpi-mimpinya, harapannya, dan semua ketakutan yang mengiringi setiap langkah. Ada trauma yang masih melekat di dalam hatinya, seperti bekas luka yang belum sepenuhnya sembuh. Kenangan-kenangan lama itu muncul tanpa diundang, menyesakkan dadanya. Zaheen menarik

  • Pembalasan Dendam Sang Pewaris    BAB 32 Makam Keluarga Dan Pertemuan

    Zaheen berdiri di depan gerbang pemakaman dengan hati yang berdebar-debar. Selama bertahun-tahun, ia menghindari tempat ini, tempat yang penuh dengan kenangan pahit dan rasa sakit yang tak terucapkan. Angin sore menghembus lembut, membawa aroma bunga kamboja yang gugur dari pepohonan tua di sekitar makam.Langkahnya terasa berat saat ia mulai berjalan menyusuri jalan setapak berbatu menuju area pemakaman keluarga. Hatinya berkecamuk dengan berbagai perasaan; rasa bersalah, kehilangan, dan kerinduan yang mendalam. Sejak kecelakaan tragis itu terjadi, Zaheen selalu merasa terjebak dalam lingkaran penyesalan, bertanya-tanya apakah ia bisa melakukan sesuatu untuk mengubah nasib keluarganya.Zaheen berhenti di depan dua nisan yang berdiri berdampingan dan satu batu nisan kecil yang menandakan batu nisan adik perempuan tersayangnya, tertutup rumput liar yang sudah mulai tumbuh lebat. Ia berlutut, tangannya gemetar saat meraih rumput-rumput itu dan mencabutnya perlahan. Di hadapannya, terpah

  • Pembalasan Dendam Sang Pewaris    BAB 31 Pernyataan Cinta

    “Jadi kau tahu, aku telah mengundurkan diri?”Nora menunduk lalu bertanya. “Apa yang mengganggumu?”Zaheen terdiam dengan pertanyaan itu. “Tak ada Nora, hanya… aku tak ingin di ketahui oleh orang-orang jika aku kekasihmu. Aku juga takut, ayahmu tahu tentang kita.”Deg.“Belum lagi, reputasimu sebagai anak dari seorang CEO terkenal, penari balet dan pewaris akan hancur berantakan hanya karena mencintai seorang pekerja proyek. Aku tentunya memikirkan itu semua, Nora.”Gadis itu mendongakkan kepalanya, ia menatap Zaheen dengan mata yang berkaca-kaca.“Maafkan aku karena tak memberitahumu terlebih dahulu.” Tangan Zaheen perlahan menyentuh tangan Nora, ia menyentuhnya dengan lembut seakan mencoba meminta maaf dan semoga Nora bisa mengerti dengan alasannya, semua itu demi kebaikan bersama. Tak perlu ada yang mengetahui mereka punya hubungan karena semua akan rusak.Ya. Hubungan itu tidak akan bertahan selamanya, seiring berjalannya waktu mereka tetap akan berpisah karena memang suatu saat b

  • Pembalasan Dendam Sang Pewaris    BAB 30 Wanita Ular

    “Jadi kau tak bisa mengelak lagi padaku, kau adalah Zaheen Magani. Ya, kan. Zaheen?”Emilia berjalan selangkah mendekat, ia berdiri tepat di depan tubuh Zaheen lalu mendekatkan wajahnya perlahan namun pasti, ia menatap dalam pria itu seolah tipu dayanya dan godaannya pada lelaki itu akan berhasil.“Iya, aku memang Zaheen.” Suara itu terdengar jelas di telinganya membuat Emilia makin mendekatkan wajahnya seolah akan mencium pria itu namun Zaheen berdiri dan malah melangkah mendekati jendela guna menghirup udara segar pagi ini. Bersama Emilia begitu panas dan sesak menurutnya.Gadis itu berkacak pinggang, ia mencoba memendam rasa kesalnya karena sudah berkali-kali di tolak. “Jadi Nora termasuk dalam rencanamu menghancurkan paman Isaac, itu artinya kau tak sungguh-sungguh menyukainya, bukan?”Zaheen terdiam mendengar pertanyaan Emilia yang terus-terus saja berulang, seperti sulit sekali menjawab kebohongan yang Zaheen ciptakan sendiri, bahkan dirinya sendiri pun tidak tahu akan jawaban s

  • Pembalasan Dendam Sang Pewaris    BAB 29 Ahli Waris Sebenarnya

    “Aku Aiden, pria yang kau lihat bersama Eleonora. Aku sudah lama menguntitmu, ternyata kau ini kekasihnya.”“Aiden? Pria yang mengemis cinta pada kekasihku beberapa bulan lalu yaa?”Zaheen dan Aiden saling bertatapan dengan tajam. Mata mereka beradu, seolah ada ketegangan yang menggantung di antara mereka. Orang-orang di sekitar mereka berlalu lalang, tak menyadari pertemuan yang penuh emosi ini. Hiruk pikuk ramainya kota pun tak mampu meredakan emosi kedua pria itu.“Sebenarnya apa sih maumu?” tanya Zaheen menyelidik. “Pasti, kau tidak serius dengannya kan? Apa yang sedang kau rencanakan?” lanjutnya.“Siapa yang tidak mau dengan gadis seperti dia. Eleonora begitu cantik, anggun, cerdas dan yang paling penting pewaris Magani Company,”jelas Aiden dengan percaya diri.Zaheen mengerutkan alisnya lalu ia tersenyum miring. “Cih... kau sungguh tak tahu apapun ya,” gumamnya.“Kau yang tak tahu apapun, brengsek. Pria miskin sepertimu yang tak punya pendidikan memangnya tahu apa, hah!” suara A

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status