Suara bising dari tempat itu langsung menyerbu telinga seorang wanita dengan gaun hitam selutut. Seumur hidupnya tidak pernah memasuki tempat seperti itu, jika dilihat lagi, banyak sekali jalang yang sedang mencari tuannya, bau alkohol ada di mana-mana dan banyak sekali orang-orang tak tahu malu yang sedang bermaksiat di sana. Sungguh menjijikkan.
“Nora sahabatku, cintaku... akhirnya kau datang juga!” seru wanita berambut pendek dengan pakaian seksi dan hiasan menor itu.
Perhatian semua orang tentunya langsung teralihkan oleh wanita yang masih berdiri di depan pintu itu. “Ayo masuk, jangan malu. Ini tempat duduk khusus untukmu,” ujar Angelica penuh semangat sembari menunjukkan kursi untuk wanita bernama lengkap Eleonora itu.
Karena Nora yang tidak bergerak sama sekali, akhirnya Angelica menarik tangan wanita itu lalu mendudukkannya di depan beberapa orang yang tidak Nora kenal, hanya satu atau dua orang yang ia tahu namun tidak akrab.
Semua adalah teman-teman Angelica.
“Perkenalkan gadis ini adalah Eleonora, Dia adalah anak pengusaha sukses terbesar di kota kita!”
Seakan jiwanya bangkit, seorang pria dengan hoodie hitam yang terduduk paling ujung diantara deretan kursi itu, melirik seorang perempuan yang katanya adalah anak dari pengusaha terbesar di Jakarta.
Pengusaha terbesar katanya, mungkin itu lebih bisa diartikan sebagai pencuri terbesar di kota ini.
“Dasar sampah,” gumamnya masih menatap wanita itu dengan tatapan tajam. Ini tak terduga ketika mereka kini berada di tempat yang sama, berkumpul bersama orang-orang untuk bersenang-senang. Sudah dua puluh tahun lamanya, akhirnya mereka berdua duduk di tempat yang sama.
“Sepertinya wanita itu tak mengenalmu,” bisik lelaki di sampingnya.
“Tentu, dia tak tahu apa-apa soal ayahnya yang bajingan itu,” katanya sembari tersenyum miring pada lelaki di sampingnya.
Pria tersebut kembali melirik Nora dan tatapan mereka tiba-tiba saja bertemu, Nora mengangkat alisnya menatap pria yang terus melihatnya dengan aneh.
“Ayo nikmatilah pesta ini!” seru Angelica.
Semua orang bersenang-senang menikmati lagu yang di bawakan oleh artis yang datang di club tersebut, kecuali Nora tentunya. Ia tidak suka suara yang bising, itu membuat telinganya sakit namun yang parahnya adalah, tangannya kembali ditarik oleh Angelica dan membawanya ke panggung, di mana banyak sekali orang yang berjoget di sana.
Rasanya, Nora sangat ingin keluar dari sana. Namun, tubuhnya seperti di tarik dan di dorong kembali dengan orang-orang yang tidak ia kenal itu. Ia seperti terperangkap.
Sedangkan sopirnya sedang khawatir di luar club itu karena Nora menyuruhnya untuk menunggu dan jangan pernah ikut campur.
Lama sekali Nora terjebak di dalam panggung tersebut hingga akhirnya...
Sebuah tangkapan bagus dari lengan besar yang berhasil menangkap Nora setelah ia hampir saja jatuh.
“Bukankah itu menyebalkan, Nona?”
Nora berbalik dan menyadari jika kini tubuhnya sedang ditahan oleh pria berhoodie hitam yang menutupi seluruh kepalanya, namun yang Nora tangkap adalah tatapan teduh dari pria itu. “Dia si pria yang menatapku?” batin Nora.
Dia terlihat sangat misterius, tubuhnya yang kekar dan lengannya yang besar dapat dengan mudah menangkap tubuh Nora, Wanita itu terpesona untuk beberapa saat hingga pria itu melepaskan tubuhnya.
Tangannya ditarik oleh pria misterius tersebut lalu mengeluarkannya dari panggung. “Pergilah,” katanya dengan suara berat.
Nora ingin berterima kasih namun pria itu pergi meninggalkannya melalui pintu lain. “Hei, tunggu...”
“Nona, kau tak apa-apa?” Nora berbalik dan melihat sopirnya Daniel kini sudah ada dihadapannya.
“Sebaiknya kita pulang, Nona,” bujuk Daniel.
Nora masih melihat pintu yang tadi pria itu lewati. “Nona, ada apa?” tanya Daniel lagi.
Nora berbalik melihat Daniel. “Tidak apa-apa, ayo kita pulang sebelum Angelica melihat kita.” Nora langsung pergi begitu saja meninggalkan club itu.
****
Waktu memang begitu cepat, tak terasa sudah seminggu berlalu. Namun wanita anggun itu masih memikirkan pria yang ia temui di club malam itu. Bukan apanya, dia hanya penasaran dengannya, seperti ada ketertarikan pada hatinya terhadap pria tersebut.
Jika mereka berjodoh, pasti mereka akan kembali bertemu. Nora tersenyum kecut, sejak kapan ia mengharapkan seseorang hadir dihidupnya. Itu sungguh konyol.
“Nora, ayah tunggu kau di pelantikan sebentar malam.” Pria tua berkumis tipis itu masih berlalu lalang di dalam hotel tersebut, sepertinya mencari sesuatu yang Nora juga tidak peduli.
“Ya, ayah.” Nora Kembali menatap indahnya Kota Manchester melalui jendela Hotel The Edwardian, Hotel yang hanya bisa disewakan oleh orang-orang terkaya.
Cahaya biru menarik perhatiannya, kata orang-orang, itu adalah cahaya yang berasal dari lampu besar yang berada di Etihad Stadium, kota yang terpecah antara merah dan biru itu, membuat Nora merasa hal tersebut adalah seni yang sempurna.
“Pakai gaun yang bagus, kau harus lebih cantik dari Emilia.”
“Untuk apa, bukannya ini pesta ayah Emilia. Aku tidak sopan jika menuruti ucapan ayah.”
“Baiklah. Terserah saja, tapi jangan mengecewakan ayah.” Nora kini berbalik melihat ayahnya yang sudah berpakaian lengkap. “Kalau begitu, ayah duluan.”
Nora hanya mengangguk pelan.
Seperti biasa. Nora akan naik mobil bersama dengan Daniel, Nora kini telah lengkap dengan gaun berwarna hitam berpotongan elegan dengan detail yang mencolok seperti pita di pinggang dan renda di sekitar lehernya. Gaun itu meruncing ke bawah atau gaya A-line, menyesuaikan dengan bentuk tubuhnya yang menampilkan kesan anggun pada penampilannya.
Dia mungkin selalu memakai pakaian hitam atau putih.
“Sepertinya acaranya sudah dimulai, Nona.”
Dari kejauhan, Nora sudah bisa melihat banyaknya orang yang berkerumun di luar sana. Nora tak pernah menyadari jika ternyata itu bukan seperti apa yang telah ia bayangkan.
Daniel segera menghentikan mobilnya lalu melihat situasi yang begitu aneh itu. Apa yang sebenarnya sedang terjadi, ini bukanlah sebuah pesta namun ini seperti sebuah pemberontakan.
“Nona, jangan keluar!” teriak Daniel setelah menyadarinya.
Sialnya, Daniel yang biasanya membukakan pintu Nora kini tidak melakukan tugasnya dengan benar, wanita itu malah membuka sendiri pintu mobilnya dan keluar, tanpa tahu apa yang terjadi.
Suara tembakan di langit malam itu begitu keras hingga membuat orang berlarian menghindari sang predator, beberapa polisi juga mulai berdatangan di lokasi kejadian.
Daniel segera keluar untuk menyuruh Nora kembali masuk ke dalam mobil namun ia segera mematung setelah melihat wanita yang begitu ia hormati kini sudah berada di tangan si pria yang tidak ia kenal sama sekali.
Pria itu berdiri di belakang Nora sembari menodongkan pistol pada wanita itu, jika polisi bergerak maka ia akan langsung menekan pelatuknya dan membunuh Nora malam itu juga.
Namun Nora menghadapinya dengan tenang. Ia tak bergerak sama sekali. Nora menyebarkan pandangannya melihat beberapa polisi yang kini berada di depannya mulai mundur, karena ini sangatlah berbahaya. Sedangkan sopir andalannya terlihat begitu panik namun juga tak bisa melakukan apa-apa.
Matanya perlahan mulai melirik pria tersebut, meski hanya sedetik namun ia mulai menyadari siapa pria itu. Dia adalah pria yang pernah ia temui di bar itu, pria yang beberapa hari ini ia pikirkan.
Ya. Pria dengan hoodie hitam misterius.
Ini bukanlah sebuah kebetulan. Tapi mengapa, dia malah menghancurkan pesta itu. Apakah dia adalah seorang kriminal?
Akhirnya, proyek hotel yang telah menjadi pusat perhatian Nora selama hampir setahun terakhir kini berdiri megah di depan matanya. Selesai dibangun dengan segala kerumitan dan dedikasi, hotel ini tampak seperti sebuah mahakarya yang memadukan kemewahan dan kenyamanan. Dengan langkah yang perlahan tapi pasti, Nora berjalan menyusuri koridor, menikmati setiap detail dari interior yang telah dirancang dengan penuh cinta dan ketelitian.Ketika memasuki lobi utama, Nora terpesona oleh luasnya ruangan yang dipenuhi dengan cahaya alami. Langit-langit tinggi dihiasi dengan lampu gantung kristal besar yang berkilau, memancarkan cahaya lembut ke seluruh penjuru ruangan. Lantai marmer yang berwarna krem bersih berkilauan di bawah kaki Nora, menciptakan kesan elegan dan megah. Di tengah lobi, sebuah meja resepsionis yang terbuat dari kayu mahoni mengkilap berdiri kokoh, dengan ukiran-ukiran halus yang menunjukkan sentuhan seni tradisional.Di sepanjang dinding, karya seni kontemporer tergantung d
Bus itu berhenti dengan suara rem yang berdecit, membangunkan Zaheen dari lamunannya sejenak. Dengan langkah pelan, ia naik ke dalam bus, memilih kursi paling pinggir di dekat jendela. Zaheen duduk, menempelkan kepala pada kaca yang dingin, dan memandangi kota malam yang berselimut kabut tipis. Lampu-lampu jalan bersinar redup, menciptakan bayangan panjang di trotoar basah.Di luar sana, kehidupan terus berjalan, kendaraan berlalu-lalang, dan orang-orang yang terburu-buru pulang. Namun, di dalam bus yang hampir kosong ini, waktu seolah melambat. Zaheen terdiam, pikirannya melayang-layang antara kenyataan dan ingatan yang menyakitkan. Masa depan tampak begitu jauh, seperti bayangan samar di ujung jalan yang gelap.Ia memikirkan mimpi-mimpinya, harapannya, dan semua ketakutan yang mengiringi setiap langkah. Ada trauma yang masih melekat di dalam hatinya, seperti bekas luka yang belum sepenuhnya sembuh. Kenangan-kenangan lama itu muncul tanpa diundang, menyesakkan dadanya. Zaheen menarik
Zaheen berdiri di depan gerbang pemakaman dengan hati yang berdebar-debar. Selama bertahun-tahun, ia menghindari tempat ini, tempat yang penuh dengan kenangan pahit dan rasa sakit yang tak terucapkan. Angin sore menghembus lembut, membawa aroma bunga kamboja yang gugur dari pepohonan tua di sekitar makam.Langkahnya terasa berat saat ia mulai berjalan menyusuri jalan setapak berbatu menuju area pemakaman keluarga. Hatinya berkecamuk dengan berbagai perasaan; rasa bersalah, kehilangan, dan kerinduan yang mendalam. Sejak kecelakaan tragis itu terjadi, Zaheen selalu merasa terjebak dalam lingkaran penyesalan, bertanya-tanya apakah ia bisa melakukan sesuatu untuk mengubah nasib keluarganya.Zaheen berhenti di depan dua nisan yang berdiri berdampingan dan satu batu nisan kecil yang menandakan batu nisan adik perempuan tersayangnya, tertutup rumput liar yang sudah mulai tumbuh lebat. Ia berlutut, tangannya gemetar saat meraih rumput-rumput itu dan mencabutnya perlahan. Di hadapannya, terpah
“Jadi kau tahu, aku telah mengundurkan diri?”Nora menunduk lalu bertanya. “Apa yang mengganggumu?”Zaheen terdiam dengan pertanyaan itu. “Tak ada Nora, hanya… aku tak ingin di ketahui oleh orang-orang jika aku kekasihmu. Aku juga takut, ayahmu tahu tentang kita.”Deg.“Belum lagi, reputasimu sebagai anak dari seorang CEO terkenal, penari balet dan pewaris akan hancur berantakan hanya karena mencintai seorang pekerja proyek. Aku tentunya memikirkan itu semua, Nora.”Gadis itu mendongakkan kepalanya, ia menatap Zaheen dengan mata yang berkaca-kaca.“Maafkan aku karena tak memberitahumu terlebih dahulu.” Tangan Zaheen perlahan menyentuh tangan Nora, ia menyentuhnya dengan lembut seakan mencoba meminta maaf dan semoga Nora bisa mengerti dengan alasannya, semua itu demi kebaikan bersama. Tak perlu ada yang mengetahui mereka punya hubungan karena semua akan rusak.Ya. Hubungan itu tidak akan bertahan selamanya, seiring berjalannya waktu mereka tetap akan berpisah karena memang suatu saat b
“Jadi kau tak bisa mengelak lagi padaku, kau adalah Zaheen Magani. Ya, kan. Zaheen?”Emilia berjalan selangkah mendekat, ia berdiri tepat di depan tubuh Zaheen lalu mendekatkan wajahnya perlahan namun pasti, ia menatap dalam pria itu seolah tipu dayanya dan godaannya pada lelaki itu akan berhasil.“Iya, aku memang Zaheen.” Suara itu terdengar jelas di telinganya membuat Emilia makin mendekatkan wajahnya seolah akan mencium pria itu namun Zaheen berdiri dan malah melangkah mendekati jendela guna menghirup udara segar pagi ini. Bersama Emilia begitu panas dan sesak menurutnya.Gadis itu berkacak pinggang, ia mencoba memendam rasa kesalnya karena sudah berkali-kali di tolak. “Jadi Nora termasuk dalam rencanamu menghancurkan paman Isaac, itu artinya kau tak sungguh-sungguh menyukainya, bukan?”Zaheen terdiam mendengar pertanyaan Emilia yang terus-terus saja berulang, seperti sulit sekali menjawab kebohongan yang Zaheen ciptakan sendiri, bahkan dirinya sendiri pun tidak tahu akan jawaban s
“Aku Aiden, pria yang kau lihat bersama Eleonora. Aku sudah lama menguntitmu, ternyata kau ini kekasihnya.”“Aiden? Pria yang mengemis cinta pada kekasihku beberapa bulan lalu yaa?”Zaheen dan Aiden saling bertatapan dengan tajam. Mata mereka beradu, seolah ada ketegangan yang menggantung di antara mereka. Orang-orang di sekitar mereka berlalu lalang, tak menyadari pertemuan yang penuh emosi ini. Hiruk pikuk ramainya kota pun tak mampu meredakan emosi kedua pria itu.“Sebenarnya apa sih maumu?” tanya Zaheen menyelidik. “Pasti, kau tidak serius dengannya kan? Apa yang sedang kau rencanakan?” lanjutnya.“Siapa yang tidak mau dengan gadis seperti dia. Eleonora begitu cantik, anggun, cerdas dan yang paling penting pewaris Magani Company,”jelas Aiden dengan percaya diri.Zaheen mengerutkan alisnya lalu ia tersenyum miring. “Cih... kau sungguh tak tahu apapun ya,” gumamnya.“Kau yang tak tahu apapun, brengsek. Pria miskin sepertimu yang tak punya pendidikan memangnya tahu apa, hah!” suara A
“Kau harus menerima semuanya, agar hatimu tak terlalu sakit jika tuhan berkehendak untuk memisahkan kita.”Kata-kata itu terus saja terngiang-ngiang di telinga Nora, ia masih bisa membayangkan pria pemilik tatapan teduh itu menatapnya dengan dalam, seperti mengisyaratkan hal itu akan segera terjadi. Nora sampai sekarang tidak mengerti atau mungkin hatinya masih menolak takdir mereka yang begitu berbeda.Matanya tak sengaja melihat bunga gerbera di sebuah pot di ujung meja salah satu karyawan di perusahaan ayahnya. Itu benar, ia baru saja keluar dari ruangan ayahnya untuk memberitahu sudah sampai mana perkembangan hotel yang ia pantau sejauh ini.Nora mendekati pot tersebut dan memegang bunga gerbera yang begitu cantik. Hanya ada satu warna di sana yaitu putih. Ia tersenyum karena mengingat suatu film yang pernah ia tonton dulu, film menyedihkan yang tak akan pernah Nora nonton lagi, pikirnya.“Selamat siang nona, saya sangat tersanjung karena anda datang ke mari,” ujar karyawan cantik
Apakah ini takdir yang tertukar?Tidak, ini memang takdir yang telah tertulis.Zaheen sudah terbiasa dengan hidupnya yang sekarang namun hidupnya masih belum tenang jika ia masih melihat pembunuh ayahnya menikmati harta ayahnya. Lalu apakah Nora juga punya kesalahan? Tentu, karena ia lahir menjadi anak Isaac Williston.Hari itu, Tuhan membawa langkah Eleonora masuk ke dalam club yang tidak pernah ia masuki sebelumnya, lalu Zaheen juga datang karena mengikuti sahabatnya, Kian. Itu bukanlah kebetulan, melainkan sebuah cerita dan skenario baru untuk mereka berdua, di mana kisah cinta terlarang akan di mulai.Hingga sejauh ini, perjalanan mereka mulai memasuki babak baru.Seorang pria membuang puntung rokoknya sembarangan di tengah ruangan berlantai di konstruksi proyek yang sudah berjalan lebih dari tujuh bulan. Ya, waktu sangat cepat berlalu, meninggalkan banyak cerita baru yang terlewatkan.“Kau tak ingin membuat boss marah lagi dengan kelakuan gilamu itu, Kian.” Zaheen menginjak bekas
“Bagaimana jika gadis itu memberitahu Eleonora soal dirimu yang asli, apakah semua rencanamu akan berakhir?”Kedua pemuda itu terduduk di sebuah taman kecil di tengah kota, sudah tak ada kendaraan yang melaju mengingat ini sudah hampir menunjukkan jam dua belas malam, mereka memang sudah terbiasa hidup di jalanan jadi mereka tak takut apapun di malam hari seperti ini.“Tidak, aku sejujurnya tidak butuh Nora untuk rencana ini. Ada ataupun tidak ada dia, semua akan tetap berjalan bagaimana semestinya,” jawab Zaheen.Kian mengangguk paham. “Beda cerita jika Emilia memberitahu Isaac soal hubungan anaknya denganku, aku tak bisa membayangkan Nora akan dihukum seperti apa lalu pria tua itu pasti akan berusaha mengejar kita lagi,” jelas Zaheen kembali.Kian menyandarkan punggungnya dan menatap langit yang terang karena rembulan yang hadir menyinari malam dingin ini. “Yang harus kau lakukan adalah meyakinkan orang-orang jika kau masih hidup, tapi pertanyaannya siapa yang akan percaya kecuali.