Share

Bab 4

Hening, kamp kesehatan terasa hening meskipun ada banyak orang di dalamnya. Setelah teriakan yang begitu tiba-tiba, tidak ada yang berani bersuara. Terlebih lagi sosok lelaki yang berdiri dengan belati di tangannya.

Kepala lelaki itu menunduk, tangannya bergetar, dia tampak tertekan.

“Apa tidak ada di antara kalian yang ingin bicara?”

Hening, tidak ada yang menjawab, Sanchia menghela napas lelah. Apakah mereka menjadi bisu mendadak?

“Kau, katakan apa yang terjadi.” Sanchia menunjuk prajurit di sana secara acak. Tidak peduli siapa yang penting dia mendapatkan informasi. Perempuan itu tidak pernah menduga perbedaan keadaan luar dan dalam kamp sangat berbeda.

“Nona, ini hanya kesalahpahaman,” jawab lelaki itu tanpa emosi. Ucapannya terdengar meyakinkan, tidak ada jejak keraguan di matanya. Jika saja Sanchia tidak melihat ketegangan sebelumnya mungkin dia akan percaya.

“Shh,” desis seorang lelaki memegangi pergelangan tangannya. Mata Sanchia kembali terbelalak kala melihat titik dua di sana, kulit lelaki itu sudah mulai membiru.

“Air, cepat ambilkan air!” teriak Sanchia panik. Dia hafal dengan bekas luka itu, gigitan ular.

Tidak membunuh namun, dapat menyebabkan kelumpuhan. Seseorang yang memiliki racun ular semacam ini akan menjadi sampah dalam beberapa hari jika tidak mendapatkan perawatan.

Tangan Sanchia bergerak lincah dan cekatan, membasuh dan membersihkan luka tanpa membuatnya penderita mengalami kesakitan lebih. Tidak lupa pula Sanchia memerintahkan beberapa prajurit membuat obat, setidaknya masa kritisnya akan dilalui dengan cepat dan efek racun tidak begitu kuat.

“Ular itu menggigit Rex, saya langsung mengambil belati dan membunuhnya. Tapi tidak disangka mereka menuduh saya ingin membunuh Rex. Maaf atas tindakan saya yang gegabah, Nona,” ucap lelaki yang masih memegang belati itu berlutut, kepalanya menunduk. Namun, tidak ada raut menyesal di wajahnya.

Sanchia terdiam, lalu menatap kepala ular yang telah terpisah dari tubuh panjangnya, buntut ular itu masih bergerak seolah masih memiliki nyawa.

Tidak disangka, benar-benar salah paham.

“Kalian kembalilah istirahat, saya akan menangani masalah ini,” titah Sanchia datar.

Dia rasa masalah kali ini tidak perlu dibesar-besarkan, bisa saja semuanya memang salah paham. Meskipun begitu di lubuk hati Sanchia yang paling dalam, dia merasa puas. Mereka memiliki rasa saling peduli dan melindungi.

“Berapa banyak kesediaan obat yang tersisa?” tanya Sanchia pada seorang lelaki yang berdiri di sampingnya sedari tadi.

Melihat lencana di dadanya membuat Sanchia yakin jika dia bertanya pada orang yang tepat. Hanya sedikit orang yang memiliki lencana di tempat ini, paling tidak pimpinan kelompok kecil yang bertugas dan cukup familier akan keadaan markas.

“Hanya sedikit, tidak cukup untuk semuanya,” ucapnya pelan tidak terperinci, Sanchia tidak bertanya lagi. Otaknya berpikir lebih keras, bagaimana cara untuk mendapatkan persediaan obat? Rumah di desa sudah terbakar, tidak mungkin ada yang tersisa.

“Ah, iya lumbung.” Sanchia tersenyum senang mengingat tempat tersembunyi yang mungkin menjadi solusi permasalahan mereka.

Menjadi keturunan tetua membuatnya mudah bergerak, tentu saja lumbung adalah pengetahuan khusus. Tidak semua orang tahu, hanya tetua dan para pewaris saja. Beruntung dia adalah satu-satunya cucu yang kakeknya miliki..

“Tidak tahu, apa isi di dalamnya,” gumam Sanchia berjalan cepat. Tanpa menghiraukan tatapan heran sekaligus bingung oleh lelaki yang dia ajak bicara tadi.

Empat orang prajurit mengikuti Sanchia dari belakang, mereka adalah bawahan yang gadis itu percayai. Meninggalkan benteng tanpa jejak dan menyusup ke balai desa yang terkenal angker dan terlarang.

Balai desa adalah bangunan tua berukuran sedang, cukup sederhana tapi memiliki ornamen yang indah. Tempat ketiga yang dihindari masyarakat desa.

Selain hanya diperuntukkan tetua desa, balai desa juga terkenal dengan kekuatan magis yang mengitarinya. Meskipun hanya rumor namun, beberapa orang pernah mengalami hal aneh kala melewati balai.

“Nona, apakah tidak apa jika kami mengikuti Anda ke dalam?” Hick bertanya sembari menatap ngeri aura suram dari aula tanpa cahaya di depan mereka. Tidak memiliki garis keturunan tetua membuat Hick merasa tidak pantas menginjakkan kaki di tempat khusus dan suci ini.

Keberadaannya akan menodai aula dengan aroma garis keturunannya.

“Siapa yang melarang? Aku satu dari tiga  keturunan tetua yang tersisa. Keputusanku demi kebaikan desa, tidak ada yang bisa melarang meskipun ingin.” Sedikit angkuh namun Sanchia tidak peduli.

Dia melakukan hal semacam ini hanya demi desa meskipun harus mengekspos satu dari sekian banyak rahasia yang tetua simpan.

Ukiran kuno mengitari tujuh kursi tetua yang melingkar di lapangan kecil di depan mereka. Tanpa sebuah meja di sana. Ruangan itu pun masih terlihat luas karena tidak ada apa pun di dalamnya.

“Hanya ada kursi, Nona. Apakah para tetua benar-benar berdiskusi di aula ini?” Wilkin bertanya kali ini. Pemuda dengan topeng di wajah bagian kiri itu terlihat sangat penasaran.

Sanchia tersenyum tipis, itulah rahasianya. Sekilas biasa saja namun, jika diamati benar-benar aneh. “Ya dan tidak.”

Sanchia melangkah ke depan dengan tiga ketukan dari garis pintu, lalu mundur sebanyak dua langkah. Obor tiba-tiba menyala, menyinari kursi para tetua . Keempat prajurit itu melongo, tidak percaya, apakah mungkin dengan beberapa kali ketukan bisa menghidupkan obor?

Nyatanya tidak, pikiran mereka salah, bukan ketukan yang menyalakan obor tapi sistem bawah tanah yang terbuka menghidupkan obor secara otomatis.

“Aula ini telah dibangun semenjak zaman kuno dan sistem ruang bawah tanah ini telah ada selama bertahun-tahun. Sistem keamanan semacam ini belum dikembangkan, selain rumit bahan pokok dalam pembuatannya sangat sulit ditemukan.”

Sanchia berjalan menuju kursi tetua ke tiga berusaha untuk menggeser kursi berat itu seorang diri. Empat prajurit itu tidak tinggal diam, dalam diam mereka membantu Sanchia menggeser kursi itu hingga beberapa langkah.

Di bantu Calvin dan Drew Sanchia mengangkat ubin di lantai hingga terlihat anak tangga sebagai penghubung ke lantai dasar.

“Tidak disangka desa kita memiliki harta sebanyak ini,” ucap Wilkin terkesima.

Tidak disangka ‘Lumbung’ yang orang tuanya maksud adalah penyimpanan harta leluhur. Tidak heran jika balai desa menjadi tempat terlarang. Tidak hanya pangan dan obat-obatan ada beberapa peti emas yang tersimpan rapi di pojok ruangan.

Sanchia terpaku, mereka bisa membangun desa dengan jumlah emas yang mereka miliki. Setidaknya warga desa tidak akan mati kelaparan.

“Nona, apakah semua ini adalah pajak yang ditimbun dari kerajaan?” Tubuh Sanchia tersentak, dia baru menyadarinya.

Akan sangat mungkin jika harta yang ditimbun tetua desa menjadi satu dari sekian banyak alasan yang menjadikan desanya target penjahat.

Lantas, apakah kerajaan mengetahui hal ini dan sengaja mengabaikan desanya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status