Share

Bab 5

Pangan dan obat-obatan sudah diangkut secara rahasia, ternyata ada lorong tersembunyi untuk mengeluarkan pangan dibalik berbatuan samping benteng yang berbatasan langsung dengan hutan.

“Sanchi, dari mana kamu mendapatkan begitu banyak pangan? Apakah bantuan sudah tiba?” tanya Lothar. Lelaki itu tampak senang melihat tumpukan pangan dan obat di sudut gudang.

“Aku mendapatkannya dari lumbung, aku rasa kerajaan tidak akan membiarkan warga desa kita mendapatkan pangan.” Sanchi sudah memikirkannya dengan matang. Tidak mungkin para prajurit di markas tidak tahu tentang pemberontak yang menghancurkan desa mereka.

Setiap desa memiliki mata-mata yang diutus oleh kerajaan, Sanchia melupakan fakta besar itu. Akan sangat mungkin jika kerajaan mau maka dengan sekali titah desa Odo bisa diselamatkan. Mengingat kemampuan mata-mata yang bekerja dengan kerajaan memiliki keahlian tingkat tinggi.

“Sebagai prajurit kamu tidak seharusnya berpikir buruk pada kerajaan Sanchi, kamu bisa dicap sebagai pengkhianat jika ada yang mendengar ucapanmu,” tegur Lothar.

Matanya menajam, dia dilatih dengan keras, tidak ada keraguan pada kerajaan di dalam dirinya. Dia hidup dari berkah keluarga kerajaan.

“Kamu akan menyesal setelah aku membuktikannya.” Sanchia meninggalkan Lothar dengan kemarahan.

Lothar hanya memandang kepergian Sanchia datar. Mengabaikan opini Sanchia yang tidak masuk akal menurutnya. Desa Odo adalah desa terpencil dengan kekuatan yang besar. Kerajaan akan sangat rugi jika desa Odo hilang dari peradaban.

Keyakinannya pada kerajaan sanggatlah kuat.

“Kamu dari mana saja Sanchi?” Drogo bertanya dengan nada panik.

“Eh, mengapa Paman bertanya? Bukankah Paman tidak ingin membuat kesepakatan?”

Ah, Sanchia lupa dengan lelaki yang tengah sekarat itu. Jika dia ingat-ingat sekarang telah empat jam berlalu. Astaga, memindahkan pangan membutuhkan waktu yang sangat lama ternyata.

‘Uhuk’

Laki-laki itu terbatuk, mengeluarkan darah hitam yang pekat. Sanchia melihatnya dengan kerlingan mata jijik. Semua orang tahu, betapa menjijikkannya muntah seseorang. Terlebih lagi ini darah hitam pekat dengan bau yang tidak sedap.

“Kamu yang tidak kunjung datang Sanchi, Paman sudah menunggu sedari dua jam yang lalu,” bantah Drogo dengan nada tinggi. Urat lehernya menunjukkan bahwa lelaki itu tengah marah.

‘He, apa salahnya, bukankah sedari awal lelaki itu enggan menyetujui kesepakatan yang dia buat?’ pikir Sanchia. Setidaknya jika Drogo tidak mau buka mulut, dia akan mencari seseorang yang dengan suka rela menjelaskan informasi yang dia inginkan.

“Dua jam telah berlalu Paman, kesepakatan kita otomatis batal,” balas Sanchia ringan tanpa emosi.

“Tidakkah ada cara lain Sanchi? Paman akan memberitahu apa pun yang kamu mau, tolong lakukan sesuatu untuknya,” mohon Drogo.

Lelaki berbadan besar itu tampak putus asa. Mungkin melihat penampakan lelaki itu yang berlumur darah hitam membuatnya khawatir.

“Paman, kamu tidak akan mampu membayarnya.” Sanchia berucap sungguh-sungguh, tidak bermaksud meremehkan.Setiap menitnya adalah pengurangan nyawa bagi lelaki itu. Semakin lama, rasa sakit yang menggerogoti organ dalam tubuh lelaki itu kian bertambah.

Sanchia bergidik ngeri, rasa sakitnya tidak main-main. Terlebih lagi jika menggunakan api neraka rasa sakitnya akan berlipat-lipat.

Konon beribu-ribu tahun yang lalu, sebelum zaman ini ada. Ada seorang ahli, menciptakan api neraka dengan darahnya. Api neraka dapat menjadi obat terampuh dalam menangani racun.

Namun, untuk menciptakannya api neraka membutuhkan darah garis keturunannya sendiri. Dengan ciri khusus yaitu, darah merah kehitaman yang mengental.

“Jika pun tidak bisa dibayar dengan emas, saya akan membayarnya dengan nyawa saya.” Drogo berkata dengan penuh keyakinan. Lelaki itu putus asa. Dia akan melakukan apa pun untuk menyelamatkan junjungannya.

“Kamu berutang denganku Paman,” ucap Sanchia setelah menghela napas berat. Demi segenggam informasi Sanchia rela melakukan hal gila semacam ini.

‘Ayah, Ibu, maaf,’ lirih Sanchia dalam hati. Dia hanya bisa berdoa, memohon ayah dan ibunya tidak marah di atas sana.

Malam hari yang dingin, udara menghembus. Rambut panjang Sanchia beterbangan. Balai desa, di tanah lapang tempat biasa eksekusi tahanan. Sanchia menatap lamat-lamat langit malam yang mendung. Tanpa bulan, hanya obor yang menyinari tempat ter-larang itu.

“Apakah kamu yakin Sanchi?” tanya lelaki tua dengan janggut putih panjang memenuhi dagunya. Penjaga tempat terlarang, satu-satunya tetua yang masih hidup hingga saat ini.

Awalnya Sanchia kaget melihat sosok lelaki yang sudah menua itu berdiri di depannya. Namun, tidak lama setelah itu dia memahami mengapa lelaki itu masih ada di sana setelah bertahun-tahun tidak menunjukkan keberadaannya.

“Sanchi yakin Kakek.” Lelaki tua itu menganggukkan kepalanya paham. Tidak ada gunanya membujuk seseorang yang sudah mengambil keputusan. Hanya ada kesia-siaan.

“Kakek akan membantu, setidaknya kamu tidak harus menukar nyawa untuk lelaki itu,” ucap Kakek Aren. Jika saja dia tidak mengenal leluhur perempuan itu dia tidak mau repot-repot membantu.

“Jangan coba-coba untuk menyerah atau kamu yang akan terbakar api neraka.” Kakek Aren berkata dengan penuh penekanan.

Kayu bakar telah disusun menyerupai portal, rempah-rempah telah ditabur tepat di atas tumpukan kayu. Kakek Aren menyiram minyak dengan hati-hati, Sanchia memejamkan matanya membuka balutan hitam di tangannya. Terlihat goresan besar di tangan perempuan itu, goresan berwarna gelap melintang bekas darah mengering.

“Itu ....” Mata Kakek Aren melotot melihat bekas luka yang begitu familier. Kenangan masa lalu menyeruak di kepalanya. Ritual yang serupa mengorbankan bayi perempuan yang masih berusia lima bulan.

Pisau tajam, menyayat tangan mungil bayi perempuan itu. Tangisnya bahkan tidak membuat para keluarga kerajaan iba, hanya kedua orang tua bayi itu yang menangis dalam ikatan rantai besi. Tidak mampu mencegah putrinya dilukai.

Semua orang melihatnya namun, tidak ada yang membantu. Tidak disangka bayi perempuan itu adalah Sanchi, cucu temannya sendiri. Kakek Aren merasa tidak berdaya untuk kedua kalinya.

Cepat-cepat kakek Aren mengusap air matanya, kali ini dia tidak akan gagal. Jika dulu dia tidak mampu berbuat apa pun, sekarang dia mampu. Dia memiliki pengetahuan untuk mempercepat reaksi api neraka. Sanchia, gadis itu tidak akan menderita dalam waktu yang lama.

“Tidak akan,” lirih kakek Aren dengan tekad. Darah merah kehitaman mengalir dilalap api, semakin bayak darah yang mengalir semakin besar nyala api.

Drogo mengepalkan tangannya, dia tidak tahu cara yang Sanchia maksud adalah cara terlarang. Masuk akal jika Sanchia berkata dia tidak akan mampu membayarnya. Karena taruhannya adalah nyawa.

Drogo ingat, ketika usianya menginjak lima belas tahun. Adik kandung raja mengalami pendarahan hebat karena panah beracun. Kala itu, pangeran kritis, tidak ada seorang dokter pun yang mampu menyembuhkannya.

Hanya satu metode yang bisa menyembuhkannya yaitu Api Neraka. Nyala api merah yang dibangkitkan dari darah merah kehitaman. Setelah beberapa hari mencari akhirnya peramal memberikan jawaban, yaitu bayi berusia lima bulan dari keluarga ternama.

 “Cari bayi itu dan dapatkan dengan selamat,” titah panglima yang masih duduk di atas kudanya depan kediaman keluarga Carloman.

“Habisi semua yang menghalangi!” Sejak perintah dijatuhkan maka sejak itulah kehancuran dipastikan.

Para prajurit termasuk Drogo, menghunus pedang mereka. Membasuh kediaman itu dengan darah. Mengingat kenyataan pahit itu membuat Drogo ingin membunuh dirinya sendiri.

Ternyata, orang yang selalu baik padanya adalah orang yang pernah dia lukai di masa lalu, lantas jika Sanchia tahu kenyataan pahit ini, apa yang akan perempuan itu lakukan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status