Share

Bab 6

Api berkobar, membumbung tinggi seolah membakar udara. Langit yang memang gelap kini menampakkan kemerahan. Aura suram menyelimuti sekitar mereka.

Uhuk!

Sanchia memuntahkan darah hitam kental, tenggorokannya terasa sakit dan radang. Dadanya terasa panas. Panas yang perlahan menjalar ke seluruh tubuh.

Tidak sampai seperkian detik, rasa panas itu berganti dengan dingin yang teramat. Seolah siap membekukan darahnya yang bahkan kekurangan oksigen untuk diedarkan.

Sanchia mengeratkan rahangnya, menahan sakit yang teramat di setiap jengkal tubuhnya. Seolah tubuhnya terkoyak-koyak.

“Sanchia, sadarlah! Jangan tutup matamu.” Kakek Aren mengguncang tubuh lemah Sanchia.

Tubuh gadis itu telah terkapar di tanah keras samping api pembakaran.

Lemah tidak berdaya, persis seperti bertahun-tahun yang lalu.

“Panas, Kakek,” lirih Sanchia menekan dadanya. Seolah ada api besar yang membakar setiap organnya.

“Dingin ... dingin sekali. Ayah, Ibu, dingin.” Sanchia bergumam lirih. Matanya tampak sayu, fokus pada api yang menyala-nyala.

Uhuk ... uhuk!

Sanchia mengeratkan kedua tangannya, menahan rasa panas dan dingin di dalam tubuhnya. Dua hawa yang berlawanan itu seolah bertengkar dan berlomba untuk mendominasi.

“Sanchi, dengar! Apa pun yang terjadi jangan tutup matamu. Kamu harus tetap sadar, ingatlah untuk membalas dendam orang tua dan warga desa. Ingatlah tujuan yang tengah kamu usahakan.”

“Sanchi, bertahanlah.” Kakek Aren berseru kencang. Jantung tuanya berdegup cepat.

Rasa khawatir menyelusup di dadanya. Bagaimanapun juga, Sanchia adalah cucu temannya, yang berarti cucunya sendiri.

Air mata mengalir di sudut mata Sanchia yang melemah. Ingatan akan ayah, ibu dan para saudara sedesanya mengalir begitu saja. Tentang bagaimana senyum ramah dan tulus itu melintas di wajah semuanya.

“Akh!” erang Sanchia kala dadanya terasa ditusuk ribuan anak panah. Seolah berniat melubangi dadanya.

“Tarik napas perlahan, jaga kesadaran kamu. Efeknya bertahan selama setengah jam, bagaimanapun rasa sakitnya kamu harus bertahan, Sanchi! Demi tujuanmu!” Kakek Aren berkata dengan sungguh-sungguh.

Lelaki yang tidak lagi muda itu dengan cekatan meracik ramuan untuk menetralkan aura yang bergejolak di dalam tubuh Sanchia. Mengabaikan sosok lelaki berwajah pucat yang terpanggang di atas sana. Walau dia mulai menunjukkan tanda-tanda kesadaran.

Drogo yang sama sekali tidak memahami apa pun. Dia hanya bisa terpaku di tempatnya. Menatap serta mendengarkan rintihan dan teriakan dua kenalan yang berbeda generasi itu.

Tangannya terkepal kuat. Rintihan Sanchi, mengingatkannya pada sosok adiknya yang telah lama menghilang semenjak kejadian bertahun-tahun yang lalu. Air mata dan rasa sakit itu serupa namun, tidak sama.

“Maaf, Sanchi, Paman membuatmu menderita.” Drogo menundukkan kepalanya.

Jika saja dirinya tidak banyak berpikir atau mengambil keputusan dengan cepat akan sangat tidak mungkin jika Sanchia akan mengambil jalan sulit semacam ini.

Yang Sanchia janjikan adalah metode untuk mengeluarkan Eric dari kondisi kritisnya bukan menyerap racunnya. Drogo tahu, Darah Neraka adalah hal yang langkah dan tidak untuk diekspos.

Jika, Sanchia memutuskan untuk mengeksposnya bukankah itu berarti kondisinya sudah sangat parah dan terancam tidak bisa diselamatkan?

Drogo berhutang banyak kali ini.

“Kau, masih juga terdiam? Tidak mau membantu temanmu itu?” Kakek Aren bertanya sinis. Dalam hatinya dia benar-benar kesal dengan dua pemuda asing yang belum lama dia temui ini.

Meskipun, tidak terlalu mengenal kakek Aren tahu bahwa mereka memiliki identitas yang tidak biasa. Sebagai salah satu tetua dan mantan pejabat istana dia mengerti dan memahami bagaimana kelas bangsawan dan rakyat biasa.

Terlebih lagi, wajah mereka benar-benar tidak asing di matanya.

Kakek Aren hanya perlu satu informasi untuk memastikan identitas mereka.

“Tetua, bagaimana saya harus mengurusnya?” tanyanya sembari berjalan mendekati posisi Kakek Aren. Drogo membungkuk hormat. Selain usia dan identitas, Drogo benar-benar menghormati lelaki tua di hadapannya ini. Selain Sanchia, beliau juga berperan penting dalam penyelamatan junjungannya.

Meskipun tidak memandang mereka sebagai yang berkepentingan namun, tetap saya layak untuk mendapatkan penghormatan. Dia bukanlah seseorang yang tidak tahu balas budi!

“Lihat bagaimana kondisinya, jika darah yang dia muntahkan sudah berwarna merah tidak lagi hitam maka bawa dia kembali.” Kakek Aren berucap acuh tak acuh, sekarang dia ingat.

Drogo adalah prajurit istana di masa lalu. Menjadi kebanggaan pangeran dan pasukan, jika tidak melihat sorot matanya yang begitu khas mungkin mata tua Kakek Aren tidak akan bisa melihatnya dengan jelas.

Dari sekian banyak prajurit yang pernah melintas di matanya hanya Drogo yang memiliki tatapan mata setajam pisau. Hanya dengan tatapannya saja orang akan tahu bagaimana dia memandang. Tidak sulit untuk menebaknya namun, hati-hati untuk tidak terkecoh.

“Baik, setelah membawanya kembali, apa yang harus saya lakukan, Tetua?” tanya Drogo lagi. Dia ingin melakukan kewajibannya sebaik mungkin. Sanchia sudah berjuang begitu keras, begitu pula dengan Kakek Aren. Jika perawatannya tidak baik, bukankah akan membuat kerja keras mereka sia-sia?

“Biarkan saja.” Kakek Aren tidak memberikan Drogo wajah. Salah siapa bertindak kejam di masa lalu. Jika bukan karena keberuntungan, mana mungkin Sanchia bisa mengorbankan darahnya untuk kedua kali?

Setelah Kakek Aren mengetahui identitas Drogo, dia benar-benar tidak menyukai lelaki itu hingga ketulang. Semua prajurit dan petinggi di masa lalu bersalah. Jika tidak, mana mungkin keluarga Carloman dibuang jauh ke desa terpencil ini? Dia juga tidak akan terdampar di desa kecil dan minim perhatian kerajaan!

Meskipun, setelah bertahun-tahun dan desa juga sudah berkembang kemarahannya tidak pernah luntur. Setelah petaka yang menimpa desa, siapa yang bisa disalahkan selain kerajaan? Mengingat hal itu Kakek Aren benar-benar marah.

“Kamu harus hidup dam membalas dendam! Jika tidak, Nenek, Kakek dan orang tuamu akan menderita di surga sana! Meskipun kamu mati, kamu juga akan menderita!” ujar kakek Aren penuh penekanan pada Sanchia yang tengah di ambang kesadarannya.

"Setidaknya jika kamu tidak memiliki kekuatan sekarang, kamu bisa membalas mereka nanti. Untuk sekarang kamu hanya perlu memiliki nyawa."

"Nyawa tidak bisa di ganti, jika kamu memilikinya maka keberuntungan dan kesempatan akan datang dengan sendiri!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status