“Loh, kok diam saja Arya? Ayo, naik kita berangkat sekarang!” seru Peri Salju. “Iya, tapi sebaiknya aku ganti pakaian dulu, sepertinya pakaian yang aku jemur itu sudah kering!” ujar Arya sambil memunggut pakaian yang ia jemur di samping mulut goa itu. “Oh, ya silahkan! Kami akan menunggumu!” setelah mengambil pakaian yang ia jemur Arya masuk kembali kedalam goa mengganti pakaiannya. Beberapa menit kemudian Arya pun tampak ke luar dari mulut Goa, Peri Salju kembali memintanya naik ke punggung kuda putih bersayap tunggangannya itu. Arya melesat ke atas kuda di belakang Peri Salju duduk, dengan tersenyum Peri Salju memerintahkan kuda putih bersayap itu untuk terbang kembali ke negeri diatas awan. ***** “Apa yang mulia yakin pemuda dari negeri 1.500 tahun yang akan datang itu tidak akan selamat dari luka yang ia alami saat bertarung kemarin?!” tanya Durgama, saat ia diminta berkumpul dengan para petinggi istana lainya diruang utama Kerajaan Angkasa. “Ha.. Ha.. Ha..! Aku benar-benar
Setelah menyusun dan merembukan dengan matang rencana penyerangan ke istana Kerajaan Angkasa, ke empat peri yang memimpin 4 penjuru kawasan negeri diatas awan itu kembali ke istana mereka masing-masing, sementara Arya tetap tinggal di istana ratu hingga esok pagi seluruh pasukan berkumpul di sana. Peri Salju setibanya di istana salju di kawasan utara segera menyampaikan berita itu pada seluruh pasukannya, begitu pula dengan Peri Api dan Peri Laut di kawasan selatan dan barat. Sementara Peri Bulan sebelum menuju istananya dikawasan timur, ia singgah dulu di istana Kerajaan Permata Timur menemui Benggala dan Yuda Tirta selaku Raja serta Panglima Kerajaan. “Mari silahkan masuk yang mulia Peri Bulan! Baginda Benggala ada didalam istana!” tutur Yuda Tirta yang menyambut kedatangan Peri Bulan dihalaman istana Kerajaan Permata Timur itu. “Terima kasih, Yuda!” ucap Peri Bulan dengan senyum ramahnya, kemudian ia diiringi Yuda Tirta masuk kedalam istana menemui Benggala. “Sebuah kehormatan
Pasukan gabungan peri dan Kerajaan Permata Timur pun tak berselang lama setelah itu mampu pula menaklukan ribuan prajurit istana Kerajaan Angkasa, sebagian besar dari mereka tewas bersimbah darah, dan sebagian lagi dipaksa menyerah. Sementara duel sengit antara Arya dan Batara Durja masih berlangsung, sejauh ini Arya belum mampu mendekat apalagi menghantamkan pukulannya ke tubuh Batara Durja, karena raja segala licik dan tamak itu selalu menghantamkan senjata mustikanya berupa gada ke arah Arya, hingga membuat sang pendekar dipaksa menghindar bahkan beberapa kali mundur. Mendapatkan beberapa kali serangannya gagal dan mengetahui jika Guru dan sebagian besar prajuritnya tewas, Batara Durja pun murka. Dengan segera ia merubah wujudnya menjadi Raksasa Durja Iblis, yang tentu saja diiringi semakin besarnya senjata mustikanya berupa gada itu. “Wuuuuuuuuuuus..! Blaaaaaaaaaaaam..!” tanah yang terkena hantaman gada itu bak dilanda gempa dahsyat membuat semua yang ada di kawasan itu terpent
Lalu kedua telapak tangannya ia hadapan ke angkasa seperti hendak mencakar langit, tiba-tiba kedua pergelangan tangannya itu berubah menjadi putih ke perak-perakan. Sejurus dengan itu ia pun melesat bak elang ke arah tubuh Raksasa Durja Iblis, dua sinar putih menderu menghantam tubuh Raksasa Durja Iblis itu. “Buuuuuuuuuum..! Kraaaaaaaak...! Blaaaaaaaaaar..!” Ledakan maha dahsyat pun terdengar seiring dengan hancurnya tubuh Raksasa Durja Iblis hingga menjadi debu bertaburan di tanah, itulah ajian andalan Sang Pendekar Rajawali Dari Andalas yang bernama ajian Rajawali Melebur Sukma. Pekik dan sorak kemenangan bergemuruh dari ribuan prajurit gabungan istana peri dan Kerajaan Permata Timur, istana megah Kerajaan Angkasa itu pun telah rata dengan tanah seiring terbenamnya tubuh Raksasa Durja Iblis saat dihantam ajian Telapak Suci Budha yang dilesatkan Arya tadinya sebelum tubuh Raksasa Durja Iblis itu hancur berkeping-keping dihantam ajian Rajawali Melebur Sukma. Tubuh Arya yang tad
Puncak Gunung Sumbing pagi itu nampak berkabut akibat hujan yang turun cukup lebat tadi malam. Hampir keseluruhan dedaunan pepohonan di gunung itu masih tampak basah dan berembun. Arya yang tengah asyik berlatih, lantas berhenti lalu melangkah ke arah pondok begitu mendapat panggilan sang guru. Pondok itu berukuran tidak terlalu besar, tetapi memiliki anak tangga yang tingginya sekitar 5 kaki. Arya pun menaiki tangga itu di mana di dalam pondok Nyi Konde Perak tengah duduk bersila. Setiba di atas pondok itu Arya pun ikut duduk bersila di depan Nyi Konde Perak, tak lama kedua mata perempuan tua di depannya terbuka setelah beberapa saat yang lalu ia picingkan. “Kenapa tiba-tiba saja Eyang memanggil saya? Padahal saya belum selesai berlatih pagi ini,” tanya Arya. “Saya rasa sudah cukup kamu berlatih, semua ilmu yang saya wariskan sepertinya telah kau kuasai dengan baik. Saya memanggilmu ingin memberi tahu bahwasanya sudah waktunya kamu untuk turun gunung muridku,” tutur Nyi Konde P
Lebat dan luasnya hutan belantara sejak dari lembah di lereng Gunung Sumbing, membuat Arya masih berada di kawasan hutan belantara itu. Saat hari mulai gelap, barulah ia tiba di ujung hutan belantara itu. Namun, sungai besar berair keruh dan deras membuat Arya terdiam. Terlebih, ia menyadari bahwa gerimis telah turun. Hujan lebat akan menyusul. Pemuda itu juga melihat tak satu pun ada bebatuan yang dapat diloncati untuk sampai ke seberang. “Untuk menyeberangi sungai besar, aku membutuhkan rakit," gumam Arya.Melihat situasi yang tak memungkinkan, pemuda itu lantas memutuskan untuk bermalam di pinggir hutan itu.Arya kemudian memilih sebuah pohon yang paling besar dan berdaun rindang untuk tempatnya bermalam. Sebelum hari benar-benar gelap, ia telah mengumpulkan ranting-ranting kering untuk dijadikan api unggun di bawah pohon rindang menyerupai pohon beringin itu. “Hemmm ... di sini, aku akan aman meskipun nanti hujan lebat turun tidak akan mengenai tubuhku dan juga api unggun itu
"Tetapi?" tanya Arya penasaran. "Tetapi, yang menculik salah seorang warga kami itu adalah Gento Ireng, anak buahnya.” Arya kembali terkejut untuk beberapa saat. Dia hanya terdiam belum tahu apa yang musti ia perbuat. Sesekali, ia arahkan pandangannya ke arah lubuk tengkorak lalu kemudian pada rombongan warga Desa Sedayu yang berbaris tak beraturan di depannya. Setelah merenung beberapa saat dan belum menemukan solusi akan kejadian yang secara tiba-tiba itu, Arya kemudian melangkah lebih mendekat pada rombongan warga Desa Sedayu itu. “Saya memang mendengar suara semak dan kayu-kayu kecil tersibak dan patah lalu dentuman di tengah-tengah lubuk itu," ucap Arya lugas, "tetapi, saya tak melihat dengan jelas asal suara. Saat ini, saya sendiri belum bisa membantu Kisanak semuanya untuk membebaskan salah seorang warga yang diculik itu. Karena berbahaya, alangkah sebaiknya kalau para Kisanak memperbolehkan saya untuk bertemu dengan Kepala Desa Sedayu. Demikian, kita dapat membicarakan
Arya terkejut, tetapi dia kembali menormalkan ekspresinya. “Maaf Ki, sedapat mungkin, kita bukan hanya mencegah saja. Kita juga harus berusaha membebaskan beberapa orang warga yang telah diculik itu.”Beberapa warga lantas menunduk. Bahkan ada yang menggelengkan kepala mendengar ucapan pemuda naif itu.“Iya, kami juga inginnya begitu Arya. Akan tetapi, tak ada yang dapat kami lakukan. Seperti yang telah kami bicarakan tadi, kami pernah melakukan ronda secara bergiliran setiap malam untuk menangkap Gento Ireng jika muncul di desa ini,” tutur Ki Darmo, "awalnya, kami pikir akan berhasil, tetapi penculikan justru terjadi siang hari." Arya terdiam. Gento Ireng ternyata memiliki pikiran cerdik, buktinya dia masih saja dapat melakukan aksinya ketika siang hari saat sebagian besar warga desa sibuk di sawah dan di ladang mereka. “Kalau boleh tahu, sudah berapa lama hal ini terjadi Ki?” tanya pemuda itu akhirnya. “Setahun yang lalu, Nak. Gento Ireng sebenarnya salah seorang warga Desa Seda