Share

Bab 3 (Bayi Ajaib)

Pagi begitu mendung, hujan dalam hitungan menit akan segera turun. Sulastri sudah berada di pekarangan rumah Mbok Siem untuk mencari tahu akan kebenaran yang selama ini dia pertanyakan dalam hati.

“Mbok Siem, mbok-” sahut Sulastri. Wajahnya dipenuhi pertanyaan yang tak henti-hentinya. Langkahnya gusar menemui sang dukun beranak sakti yang dipercaya oleh seluruh warga di kampungnya.

“Aku tahu akan maksud kedatanganmu kemari Lastri!” Mbok siem masih setia mengunyah sepahan daun sirih gambir di mulutnya hingga berwarna merah seperti habis makan ayam hidup. “Dimana bayi itu? kenapa kau tinggalkan dia sendirian di rumah!”

Mbok Siem tampak murka karena Lastri hanya datang sendiri.

“A-Aku tinggalkan dia di rumah MBok.”Sesal Sulastri. “Lagipula dia kan bayi tidak akan kabur kemana-mana, aku hanya ingin tahu tentang-”

Belum sempat dia meneruskan ucapannya Mbok Siem segera memotong ucapannya, ”Jangan menganggapnya bayi biasa, dia adalah bayi ajaib.”

“Bayi ajaib?apa maksud mbok Siem?”tanya Sulastri keheranan.

“Dia adalah anak yang terlahir dari jelmaan manusia setengah dewa, dia itu anak ajaib!”

Sulastri membenarkan segala kejadian yang dialami olehnya saat mengasuh bayi tersebut. Hanya dalam satu minggu sang bayi sudah bisa belajar berjalan dan mulai berbicara. Bukan seperti bayi pada umumnya yang berkembang sesuai usianya.

“Jaga bayi itu hingga usia dia lima tahun, jangan sekalipun membiarkan dia pergi ke hutan,” pesan MBok Siem pada Lastri. Sulastri yang mendengar hal tersebut mempercayai penuh apa yang diamanatkan oleh sang dukun desa.

Namun sebenarnya di balik kebaikan sang dukun desa tersirat niat jahat yang Sulastri tidak ketahui.

“Baiklah saya pulang dulu, saya mengerti akan segala yang terjadi selama ini, aku jadi sudah tidak bingung lagi mbok.” Sulastri pergi dari rumah sang dukun dan kembali ke rumahnya dengan sedikit perasaan lega setelah mendengar penjelasan dari sang Dukun Sakti tersebut.

Beberapa saat kemudian, Lastri kembali kaget dengan ulah sang bayi ajaib, Rangga yang sebelumnya di tinggalkan sedang bermain air saat mandi, kini sudah berpakaian rapi dan sedang menikmati ubi rebus di bale depan rumahnya.

“Ka-kamu? lama-lama aku bisa gila melihat semua tingkah anehmu nak.”

Sang bayi ajaib hanya tertawa seolah menertawakan nenek angkatnya tersebut. Sulastri masuk ke dalam rumahnya dan memasak untuk sang anak saat pulang nanti.

“Ibunda, Arya pulang membawa banyak buah hari ini,” ucap Arya seraya memberikan buah-buahan yang ada di tangannya.. Rangga tidak banyak menunjukkan kehebatannya pada Arya, dia hanya senang menggoda nenek angkatnya.

“Arya kamu pasti tidak akan percaya kalau ibu bercerita mengenai anak ajaib ini.”

Sulastri menceritakan hal ajaib yang dialaminya saat Arya pergi ke hutan. “Arya hanya tersenyum tipis dan menganggap ibunya sedang kelelahan hingga bisa berasumsi berlebihan. “Ibu, lebih baik istirahat dulu ya, biar Arya yang bergantian menjaga Rangga.”

Arya masih tidak mempercayai hal aneh yang terjadi pada bayi yang ia beri nama Rangga tersebut.

Sebelumnya di hutan, Arya bertemu lagi nenek gendeng di dalam hutan, dan sang nenek berkali-kali mengingatkan untuk menjaga baik-baik sang bayi. Arya tetap saja tidak menganggapnya serius. Baginya perkataan mbah Ratih maupun ibunya bukan hal serius yang perlu dia pikirkan. Namun pada kenyataannya bayi Rangga adalah memang bayi ajaib yang lahir di tahun emas tepat di bulan purnama. JIka saja Rangga jatuh di tangan yang salah maka binasalah dunia akan keserakahan aliran hitam.

“Mengapa banyak orang menganggap Rangga ini bayi istimewa? Bapa berjanji akan menjagamu nak,” janji Arya sambil mengusap kepala sang bayi. Bayi rangga tersenyum lalu kembali tertidur dan bermimpi indah.

***

Hanya Sulastri, Mbok Siem dan mbah Rasih yang mengetahui kebenaran tentang sang bayi. Arya masih bersikukuh tidak percaya dengan cerita-cerita ibunya yang menurutnya tidak masuk akal.

Beberapa bulan berlalu, tiba saatnya musim panen di pertengahan tahun emas.

“Bu, besok aku mau ke kampung Padalang menjual singkong dan ubi yang sudah aku panen kemarin.”

Arya mengasah pisaunya untuk dia bawa berkelana. Sudah menjadi kebiasaan warga kampung duku untuk berkelana saat musim panen tiba. Itu sudah menjadi kebiasaan yang turun temurun. Termasuk saat hilangnya ayah Arya yang sedang berkelana ke kampung seberang yang cukup jauh bersama sahabatnya.

“Apakah kamu yakin akan pergi?” Sulastri selalu mengkhawatirkan anaknya saat hendak mencari pengalaman ke daerah lain. Tujuan utama selain berdagang adalah untuk menambah ilmu dan pengalaman bagi para pemuda desa.

“Ibu tidak mau kehilangan lagi setelah ayahmu.”

Sulastri menghela nafas panjang ini adalah tahun kesepuluh suaminya pergi dan tak pernah kembali. Dan ini adalah kali kedua bagi Arya hendak berkelana ke daerah lain yang jauh dari tempat tinggalnya. “Aku titip Rangga ya bu,” ucap Arya dengan wajah penuh harapan.

Malam semakin larut, Arya sudah tidak sabar untuk pergi ke kampung Padalang esok dengan pemuda-pemuda lainnya. Tidak jarang beberepa pemuda yang kemudian menikah dengan penduduk kampung tempat mereka berkelana. Begitupun Arya yang sangat berharap segera bertemu dengan jodohnya di usianya yang sudah tidak muda lagi.

Kicauan burung Nuri dan beberapa burung kecil lain di dahan-dahan pohon besar. Arya

terbangun dan menatap bayangan mentari yang sudah cukup tinggi. “Bu, mengapa tidak membangunkanku?” Arya gusar dan segera menuju sumur untuk membersihkan diri. Sulastri nampak sedang menyuapi Arya dengan tepung beras yang ia tumbuk sendiri kemarin.

“Ibu memang sengaja tidak membangunkanmu Arya,”lirih Sulastri sambil terus menyuapi cucunya. “Nek, tidak boleh begitu sama bapa Arya!” celoteh Rangga pada neneknya.

“Sudah diam kamu anak bayi tahu apa?”

Lastri kemudian menyiapkan makanan untuk perbekalan anaknya selama di perjalanan.

“Bu, aku pamit dulu,” Arya mencium tangan ibunya kemudian mencium kening Rangga.

“Jangan nakal ya nak, bapa tidak lama.”

Rangga hanya tersenyum.

“Bawa bekal ini, ibu tahu kamu tidak akan mau sarapan sekarang karena sudah terlalu siang, mungkin juga teman-temanmu yang lain sudah pergi jauh Nak, apa tidak lebih baik kamu di rumah saja?” tanya Sulastri.

Arya menggeleng dan tetap pada pendiriannya, “Biarkan aku tertinggal, nanti juga ketemu bu di kampung Padalang.”

Sulastri melepas anaknya dengan mata berkaca-kaca. Dia selalu berdoa agar anaknya tidak mengalami hal yang sama seperti ayahnya.

Pikiran Sulastri tiba-tiba kembali ke masa saat melepas suaminya pergi untuk berkelana. Dulu mereka memiliki ladang yang begitu luas, namun setelah kepergian ayah Arya dan menghilang tanpa jejak. Kini ladang yang digarap tinggal beberapa petak saja.

Sulastri tetap saja setia melihat punggung anak lelakinya yang berlalu dari rumahnya hingga bayangannya tak terlihat lagi, sementara itu Sulastri yang terlena karena kepergian Arya hingga melupakan cucunya yang makin banyak bertingkah saat di tinggalkan oleh Arya. “Ya ampun aku melupakan Rangga, dimana bayi ajaib itu?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status