"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Daren.Ia menatap Elisa penuh rasa penasaran. Untuk apa gadis itu ada di taman terbengkalai sendirian? Ke mana orang lain? Apa dia berjalan ke sini sendiri?"Eh, kau mengagetkanku," sahut Elisa, sedikit terkejut.Ia langsung memasang wajah jutek, tapi tampaknya Daren tidak terlalu peka dengan sikapnya itu."Kenapa kau ada di sini? Siapa yang membawamu?" Daren bertanya lagi."Itu bukan urusanmu," balas Elisa ketus. Ia benar-benar tidak ingin berada satu tempat dengan pria itu."El, kau keterlaluan pada pasanganmu sendiri," tegur Ivy."Biarkan saja. Dia memang pantas menerimanya," jawab Elisa dingin.Ia menjauh dari Daren. Tak sudi berlama-lama di dekat pria yang membuat hidupnya porak-poranda. Karena Daren, ia sering terbaring di ruang tabib. Karena pria itu juga, nyawanya selalu terancam oleh para rogue."Hei," panggil Daren, mencoba mendekati.Ia tahu Elisa menghindarinya akhir-akhir ini. Ia ingin tahu alasan sebenarnya. Mengapa Elisa selalu perg
Dua hari telah berlalu.Kini Elisa berada di sebuah lorong istana, sibuk mondar-mandir keluar masuk ruangan. Sejak pagi, ia fokus meracik ramuan untuk raja dan ratu—dua sosok paling penting di kerajaan ini. Setelah semuanya siap, ia menyerahkannya kepada pelayan yang akan mengantarkan ramuan itu.“Kia! Sudah siap belum?” teriak Elisa dari luar. Tak ada waktu untuk bersantai. Ia harus serius.Ramuan itu dibuat dari bahan herbal khusus untuk memulihkan tenaga sang raja dan ratu. Dari Kiana, ia mendengar bahwa kesehatan keduanya menurun drastis belakangan ini. Elisa menduga ada racun yang menggerogoti tubuh mereka, dan ia sudah lebih dulu memberi ramuan penawar berbahan dasar mandrake. Kini, ia hanya perlu menunggu reaksinya berkembang sepenuhnya.Setelah tugasnya selesai, Elisa berniat beristirahat di kamarnya yang lama. Namun, di tengah perjalanan, ia melihat seseorang yang sangat tidak ingin ia temui.“El, kemarilah,” panggil pria itu dengan senyum lebar.Dulu, senyum itu membuat jant
“Kak, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kalau El bersamamu, selalu saja begini?” tanya Kiana dengan nada kesal.Daren hanya diam. Ia tak berniat menjawab, apalagi menanggapi pertanyaan adiknya itu. Tatapannya tertuju pada Elisa yang terbaring lemah di atas tempat tidur. Wajah yang tadi pucat kini mulai membaik—setidaknya tak lagi seperti mayat.“Bagaimana kondisinya? Apa lukanya sudah ditangani?” tanya Daren kepada para tabib yang berjaga di sisi ranjang.“Sudah, Alpha. Semua luka telah kami bersihkan dan balut. Dalam tiga hari, seharusnya ia sudah pulih,” jawab salah satu tabib.Kiana berdecak kesal melihat sikap kakaknya yang seolah mengabaikannya. Bahkan menatap pun tidak. Kalau saja dia bukan Daren—kakaknya sendiri—sudah dari tadi kepalanya dijitak.“Kalian boleh pergi,” ucap Daren tanpa mengalihkan pandangan dari Elisa.Perasaan lega perlahan muncul. Ia tahu, semua ini salahnya. Dan untuk itu, ia hanya ingin tinggal berdua dengan Elisa.“Kau juga pergi, Kia,” tambahnya pelan.K
Daren mengamati matenya dari balik pepohonan. Ada rasa bangga yang tak bisa ia sembunyikan ketika melihat Elisa menebas leher dua rogue dengan gerakan belatinya yang cepat dan mematikan. Kini, hanya tersisa dua musuh.“Ternyata kau cukup lincah untuk ukuran gadis muda,” ujar salah satu rogue sambil menyeringai.Sebenarnya mereka berniat kabur, namun melihat dua teman mereka mati membuat mereka enggan mundur. Harga diri mereka sebagai rogue tak membiarkan mereka lari dengan pengecut.“Jangan pernah meremehkanku!” teriak Elisa meski napasnya sudah tak beraturan.Tubuhnya lelah. Tenaganya terkuras. Membunuh dua rogue sebelumnya bukan perkara mudah, dan dua yang tersisa terlihat lebih tangguh dan berpengalaman.Elisa kembali mengangkat belatinya. Kedua rogue menyeringai, seolah tahu gadis itu hampir habis tenaga.Mereka mulai berpencar, mencoba mencari celah untuk menyerang. Elisa tetap siaga meski tubuhnya penuh luka. Cakaran dari serangan sebelumnya terasa menyengat.Tanpa sengaja, mata
Aroma khas ikan bakar memenuhi udara, membuat perut keduanya bergemuruh lapar. Mereka sama-sama tak sabar untuk mencicipi hidangan itu.Elisa duduk di dekat perapian, matanya terus terpaku pada ikan yang tengah dipanggang. Air liur tak henti mengalir, dan matanya tak berkedip sejenak pun. Api- api perapian memanggilnya, mengeluarkan aroma khas ikan yang membuatnya semakin lapar.Melihat bahwa ikan-ikan tersebut telah matang, Daren segera mengambil satu dan menusukkannya dengan sebatang ranting pohon. "Silakan, cicipi," kata Daren saat menawarkan ikan tersebut kepada Elisa. Daren tahu Elisa tak bisa melepaskan pandangannya dari ikan yang telah matang. Aromanya yang menggoda membuatnya terus merasa haus.Setelah menawarkan ikan, Daren kembali ke tempat semula. Waktu sudah menjelang senja, dan udara menjadi semakin dingin setelah panas siang tadi. Angin pun semakin kencang, memaksa mereka untuk tetap berdekatan dengan api.Namun, Elisa masih belum menyentuh ikan yang ditawarkan oleh Dare
"Wah ini indah sekali!" Elisa terlihat kagum dengan apa yang ada di depannya. Hingga dirinya tak tahu telah mendorong Daren sehingga pria itu menjauh darinya. Detik kemudian ia tersadar. Dirinya mulai melototkan matanya. Tersadar dengan apa yang telah dilakukan. Tidak hanya itu, ia juga memutarkan tubuhnya perlahan menghadap Daren. Pria itu menatapnya tak percaya. Matanya begitu tajam melihat gadis tersebut. Elisa hanya bisa cengengesan karena hal tersebut. Dia sebenarnya bingung dengan sikap pria itu. Apakah marah atau tidak?Sementara itu, Daren yang telah kembali pada tubuhnya kesal dengan Greg. Bisa-bisanya ingin berganti shift tanpa berbicara dengannya. Ia rasa wolfnya sedang marah saat ini."Kau marah?" tanya Elisa dengan polosnya. Daren terus menatap gadis itu. Dia sedikit bingung pada Elisa. Menurutnya gadis itu plin plan. Terkadang bersikap baik seolah-olah tak terjadi apa-apa. Terkadang bersikap layaknya seorang musuh. Saat memikirkannya, sebuah ide pun muncul dari pikiran D