"Diamlah jangan bawel," ucapku. Dia merentangkan tangannya, kuberikan sebuah tanda merah di dadanya. Kembali kancing kutautkan setelahnya, senyum tipis menghias bibirku.
Kami berdiri berhadapan, kenapa ada rasa sedih saat akan melepasnya. Rasa apa ini, aku sendiri tak memahaminya. Kupaksanan senyumku, walau ada yang perih dalam hatiku. Tapi kenapa ada sakit menyapa dada ini."Jaga diri ya," ucapnya. Kedua tanganya menyentuh bahuku, aku mengangguk pelan. Apa yang harus kujaga, aku menertawakan diriku sendiri."Jaga rahasia kita," ucapnya lagi. Kembali aku hanya sangup mengangguk."Apakah kita akan bertemu kembali suatu hari nanti?" tanyaku padanya."Entahlah, terima kasih untuk malam yang begitu mengesankankan, kita tim yang hebat." Pria itu tersenyum lebar."Terima kasih sudah mendengar kisahku," ucapku lagi.Pria itu mengangguk, mengusap rambutku pelan, berbalik badan berjalan kepintu."Selamat tinggal, terima kasih untuk semuanya," ucapnya menoleh kearahku, sesaat kemudian membuka pintu dan menghilang di baliknya.Entah kenapa, ada rasa sedih yang terus mendekapku, aku menangis yah tapi kenapa? Apa yang kutangisi? Harusnya aku bahagia mimpiku akan segera terwujud. Tapi disisi lain, ini pintu gerbang menuju neraka yang sebenarnya.Surga kami menyebutnya, setelah ini aku akan melayani pria-pria lainnya. Barang baru sepertiku, akan dijual dengan harga yang mahal, itu artinya uang tak akan menjadi masalah lagi bagiku.Terdengar pintu berderit, Mami Erna dan Jenny menghampiriku sambil menebar pandangannya ke sekeliling kamar. Jenny langsung menuju tidur."Wow," ucapnya pelan sambil menutupkan jari ke mulutnya. Mami Erna tersenyum melihatnya."Kamu menangis?" tanyanya, saat memindai wajahku."Apakah saya harus tertawa setelah melepas keperawanan saya?" ucapku.Wanita bertubuh montok itu tersenyum puas. Dan kembali melihat ke sekeliling."Tapi kamu beruntung, cowok ganteng yang merengut keperawananmu hahaha." wanita itu tertawa."Ihh cucok bener, eike juga mau hihihi," timpal Jenny. Dia terlihat mengambil gambar dengan ponselnya entah untuk apa."Dah pulang, pakaianmu ada di lemari, Mami tunggu diluar," ucap Mami Erna lagi. Aku mengangguk pelan. Beranjak ke lemari mengambil baju gantiku. Mengamati sebentar seisi ruangan sebelum aku meninggalkan kamar itu.Rumah yang sangat besar, seperti istana tapi aku tak nampak siapapun sampai aku ke garasi dan masuk ke mobil Mami Erna. Aku duduk bersebelahan dengan Mami Erna, Jenny duduk di depan di samping Pak Rahman, sopir Mami Erna."Bayaranmu sudah Mami siapkan, juga hadiah yang sudah Mami janjikan. Kamu mami beri libur satu minggu setelah itu kamu akan kembali bekerja," jelas Mami Erna padaku. Aku mengangguk mengerti."Bukan pekerjaan yang berat bukan, enak-enak di bayar, dapat uang. Berdoa saja dapat pelanggan tampan seperti semalam," ucap Mama Erna.Ponsel di tangannya terlihat bergetar. Buru-buru diangkatnya."Iya Tuan Bram.""Hahahhaaha, tau setampan itu saya sendiri yang turun tangan,Tuan.""Hahaha, terima kasih, senang bekerjasama dengan Tuan."Mami Erna masih menyisakan tawa, walau panggilan sudah berakhir, tangannya masih menari lincah di atas layar ponselnya. Entah apa yang di lihatnya, dia tertawa puas sekali sepertinya.~"Aku tidak memberimu uang cash, ini Buku Tabunganmu, ini ATM mu ada Pin-nya juga, buku tabunganmu di simpan di sini, kamu lihat saja saldonya dua puluh juta ya," jelas Mami Erna sesamanya kami di rumah Mami Erna, Dia menunjuk isi buku tabunganku. Mataku membulat angka nolnya banyak sekali setelah angka dua."Ini baju, ponsel dan perhiasan untukmu, sebagai hadiah. Dan Tuan Bram menambahi dua juta cash sebagai hadiah untukmu. Tumben, rejekimu itu ambilah," tambah Mami Erna, senyumku terlulas cerah."Rahman yang akan mengantarkan kamu pulang, satu minggu lagi Rahman juga yang jemput, jangan berfikir melarikan diri, Mami pasti menemukanmu," pesannya lagi. Aku mengangguk mengerti.Setelah beberapa bulan tak boleh keluar, apalagi pulang, rasanya rindu sekali. Aku sempatkan meminta tolong Pak Rahman, untuk mampir ke toko pakaian, membeli baju untuk Mama Ella, kakak, dan keponakanku. Tak lupa belanja berbagai jajanan serta mainan untuk kedua keponakan kembarku.Sesampainya di rumah, lima lembar uang ratusan aku selipkan di kemeja Pak Rahman, sebagai ucapan terima kasih. Ucapan terima juga dia berikan padaku.Mama Ella menyambutku dengan air mata bukan tawa, aku tau apa artinya. Bukan maksudnya menjualku, dia terpaksa melakukan ini semua. Dan aku tak pernah menyalahkannya.~Tak banyak yang aku lakukan selama liburan, bahkan aku hampir tak keluar rumah. Dua kali aku keluar, itupun hanya untuk mengambil uang, aku berikan pada Mama Ella untuk membayar kontrakan.Waktu liburku telah habis, Pak Rahman kembali menjemputku. Setelah malam itu, nyaliku tak sebesar dulu. Ada rasa engan pergi, ada rasa tak rela membayangkan tubuh ini di jamah banyak pria. Tapi aku bisa apa? Sepertinya aku harus bersahabat dengan takdir. Menikmati semua apa yang mungkin sudah di gariskan untukku.Tiba-tiba rasa sedih itu kembali, bahkan ternyata aku tak bahagia saat nyata telah memiliki banyak uang. Hanya rasa senang, bisa membalas kebaikan Mama Ella yang sudah mengasuhku semenjak bayi, selebihnya tak ada. Semua hampa ..."Kenapa neng?" tanya Pak Rahman menyadari aku menyeka berulang kali air mataku." Nggak apa-apa Pak," jawabku kemudian.Malam itu aku masih beruntung, tapi akankah malam-malam selanjutnya akan ada lagi keajaiban. Itu tak mungkin, dan aku tak ada pilihan lain, aku tak bisa lari. Kalaupun bisa, bagaimana nasib Mama Ella, pasti kena imbasnya.Zanna, bersiaplah sayang. Bersahabatlah dengan takdirmu nikmati surga duniamu. Dengan begitu kau tak akan terluka, menikmati semua dengan ikhlas, tanpa rasa terpaksa.Papa mengenalkanku pada istri dan anaknya. Wanita berhijab itu menyambutku, baik. Meski tetap terasa kaku dan berjarak, atau hanya perasaanku saja. Aku harus belajar banyak dari Ibu, yang bisa mengendalikan perasaan dengan dengan sangat baik.Perasaanku saja, atau memang seperti itu adanya. Aku merasa Papa masih memiliki perasaan ke Ibu, dari cara mereka menatap terlihat berbeda. Ini bukan hal baik, tapi, siapa yang bisa mengatur perasaan.•••"Sayang, aku ingin kita tinggal bertiga. Aku, kamu dan anak kita. Tinggal dirumah impian, tak perlu besar, tapi, nyaman. Aku akan menyiapkan untuk kalian. Sebuah rumah dengan taman kecil, untukku dan Al bermain bola nanti." Aku tersenyum mendengar Kenzi. Dia memelukku dari belakang, dan meletakkan dagunya di bahuku. "Tapi, apa Oma mengijinkan?" tanyaku kemudian."Aku kepala keluarga, aku yang memiliki tanggung jawab atas kalian, berdua. Kita hanya tinggal terpisah, masih bisa setiap saat bersama. Keluarga kita pasti bisa memahami itu semua." T
Tanganku langsung meraih jemari Ibu. Wanita itu tercekat melihat seseorang di depannya. Wajahnya memerah, matanya basah. Tangannya meremas jariku kuat, aku ikut merasakan apa yang Ibu rasakan. Semua terdiam, dadaku terasa sesak seketika. Apa yang sedang Ibu rasakan sekarang? Ibu segera menyeka air mata dengan sebelah tangannya. Mengerjapkan mata, mencoba untuk menahannya agar tak kembali keluar. Oma, Tante Fenny, dan pria itu berdiri bersamaan."Zanna, ini … Papa kamu." Oma memanggilku. Aku masih tercekat, terdiam. Aku kembali melihat ke arah Ibu, yang mengarahkan pandangan ke arah lain. Sedikit menaikkan wajah. Ibu sedang mengendalikan hatinya."Mala …." Pria itu memanggil nama Ibu. Berjalan ke arahku dan Ibu."Mas." Suara Ibu terdengar serak. Hanya itu yang keluar dari bibir Ibu."Zanna, ini Papa Sayang." Aku masih berdiri mematung, entah apa yang aku rasakan sekarang. "Pah …." Aku menoleh ke arah suara. Sosok gadis kecil muncul dari dalam, bersama seorang wanita berhijab. Ibu jug
Meski dalam hatiku, aku tak yakin Bara bisa secepat itu membuka hatinya untuk orang lain. Walau, terlihat baik - baik saja aku yakin ada luka, yang sedang berusaha ditutupinya. Itulah Bara, malaikat tak bersayapku.•••Aku belum menanyakan apa saja yang dibicarakan tadi oleh keluarga Kenzi dan keluargaku. Yang pasti semua terlihat membaik, meski masih terasa kaku dan canggung, tapi, semua nampak baik. Sepertinya banyak hal yang dibicarakan. Mama Kenzi mengajakku menginap di rumah mereka tadi. Hanya saja entah untuk alasan apa, Oma belum mengijinkan. Aku juga merasa belum siap. Akhirnya Kenzi yang akan tinggal sementara di rumah Oma. Dia sedang pulang mengambil pakaian dan barang - barangnya.••"Non, susunya Bibi taruk di meja, ya." Bi Nur datang membawakan segelas susu hangat untukku. "Iya, Bi. Terima kasih," ucapku. Aku masih duduk di sofa mengutak atik ponsel lama dan ponsel baruku. Bayiku sudah terlelap sedari tadi. Ponselku bergetar ada panggilan masuk, dari Bara. Aku buru - b
"Non, ditunggu Oma di ruang baca." Bi Nur masuk, dan memberi tau. Aku baru saja memberikan bayiku ASI dan sekarang dia kembali tidur."Iya, Bik." Aku menjawab sambil mengangguk. Sesaat kemudian aku menidurkan bayiku, menciumnya.dan beringsut turun dari atas ranjang."Zanna titip ya, Bik," ucapku."Iya, Non. Bibi jagain." Bi Nur menjawab.Aku segera beranjak keluar kamar, berjalan sedikit cepat menuju ruang baca Oma. Setelah mendorong pintu, kudapati sudah ada Om Rei dan juga Tante Fenny disana. "Kenzi?" tanya Oma saat aku masuk."Sudah Zanna telepon, Oma. Sebentar lagi sampai." Aku menjawab. Kemudian menyapa Om dan Tante bergantian."Mah, kenapa nggak minta Mas Febian saja, yang tanam modal di perusahaan suami Zanna," ucap Tante Fenny."Em, bener Ma. Perusahaan Mas Febian berkembang cepat dua tahun terakhir, bahkan dia sudah buka cabang hampir di setiap kota loh." Om Rei menambahkan."Semakin banyak yang sadar akan pentingnya makanan sehat. Sayang, kalau di Indonesia kita buat kaya
"Mama?" tanya Kenzi memastikan. Bi Nur mengangguk membenarkan."Terima kasih, Bi," ucapku pada Bi Nur, perempuan setengah baya itu mengangguk. Ada kecemasan terlihat di wajah yang sudah sedikit keriput itu. Dia berbalik badan dan berjalan perlahan.Aku menatap Kenzi lekat, ada kecemasan dan ketakutan dalam hatiku. Mama sangat dekat dengan Carla. Lalu apa pendapatnya tentangku, yang hanya menikah kontrak dengan anaknya.Kenzi menangkupkan tangannya di wajahku. Matanya menatapku tajam, seolah ingin meyakinkan semua akan baik - baik saja."Kita ajak Ken, ketemu Omanya?!" kata Kenzi kemudian."Bukan Ken, panggilannya Al." Aku memberi tahu, bahkan bukan sesuatu yang penting untuk dibahas saat sekarang. Hanya respon spontanitas saja."Iya, kita ajak Al ketemu Oma dan Tantenya." Kenzi meralat kalimatnya. Aku mengangguk, kemudian berjalan ke arah ranjang dan mengangkat tubuh mungil itu kemudian."Biar aku yang gendong," pinta Kenzi padaku. Hati-hati aku memberikan pada Kenzi bayi laki - lakin
"Beri aku waktu, kondisi perusahaan sebenarnya sudah membaik. Hanya saja, bila kelaurga Carla bertindak seperti ancaman mereka, perusahaanku belum siap. Bantuan mereka sangat berpengaruh besar pada perusahaan.""Rumit sekali." Aku menarik napas dalam dan menghembuskan sekaligus."Aku akan bicara dengan Carla, hanya aku butuh waktu yang tepat. Dia pasti tak akan tega, bila tau akibat dari di hentikannya kerjasama itu.""Tapi, kita sudah menyakitinya.""Dia, wanita hebat. Dia berhak bahagia, tapi, bukan denganku.""Kaliaan … sudah ….""Aku tak bisa melakukannya, selain denganmu. Aku katakan kalau aku sakit."Ada kelegaan, diantara pikiran rumit yang berkecamuk dalam benakku. "Carla masih belum bisa menerimanya. Dia hanya diam, tak mau berbicara apapun juga. Aku mengerti, ini sulit untuk dia diterima.""Keluargamu?""Semua menentangku, aku bertahan hanya demi perusahaan. Disana banyak bergantung kehidupan orang lain. Aku akan berusaha semaksimal mungkin. Yang pasti, keputusanku sudah bu