Zanna, bersiaplah sayang. Bersahabatlah dengan takdirmu nikmati surga duniamu. Dengan begitu kau tak akan terluka, menikmati semua dengan ikhlas, tanpa rasa terpaksa.
Pandanganku lepas keluar jendela mobil, jalanan sore ini nampak padat, mobil yang Pak Rahman kemudikan beberapa kali melambat dan berhenti. Ingin rasanya waktu berhenti juga dan aku tak harus kembali ke tempat itu lagi. Ah, kenapa rasa itu hadir lagi, rasa enggan.Zanna, apa yang kau risaukan sayang? Kehormatan? Sejak kapan orang miskin punya kehormatan. Siapa dirimu harus memikirkan kehormatan, yang perlu kau pikirkan bagaimana hari ini bisa makan, keluargamu punya tempat tinggal.Aku tersenyum getir bahkan diriku sendiri saja seolah telah hilang harapan. Sedikitpun tak kudapati sebuah sinar, yang bisa memberi petunjuk jalan agar lepas dari semua hal ini. Bahkan mimpi indah pun enggan menyapaku. Aku tak memiliki mimpi apapun sekarang.Kemarin anak terbuang ini masih bermimpi tentang banyak uang dan hidup senang. Tapi, tidak untuk sekarang, semua yang kudapatkan sedikitpun tak membuat hati ini bahagia. Rasanya justru semakin sakit, kala Mama Ella melepasku dengan airmata.Wanita itu sudah tak setangguh dulu, yang mampu bekerja dari pagi hingga petang, dari buruh cuci setrika, tukang pijat, hingga pekerjaan serabutan lainnya. Usia telah mengikis tenanga yang dimilikinya.Kedua anaknya juga tak bisa banyak membantunya. Kakakku Ridwan, selepas kecelakaan dua tahun lalu, kondisinya tidak kunjung membaik, aku tak tau kenapa, padahal sudah operasi beberapa kali. Tapi cidera di kepalanya cukup parah katanya.Sedangkan Kak Mutia, suaminya pergi meninggalkannya begitu saja, dengan sepasang anak kembar yang masih kecil. Miris sekali rasanya, kenapa nasib baik tak maunsekalipun menyapa. Mereka orang baik, mereka memperlakukan diriku seperti keluarga yang sebenarnya, sebagai anak sebagai adik.Hanya untuk itu, sedikit asa yang tersisa dalam diriku. Memberikan senyuman pada dua keponakanku, teringat betapa senangnya mereka saat kubawakan banyak mainan waktu itu. Baju baru, susu dan banyak makanan. Dadaku sesak sekali, apa yang sekarang aku rasakan, aku tak memahami."Neng Zanna, kenapa?" tanya Pak Rahman lagi, mungkin dia mendengar isakku. Aku tak pernah menangis selama ini, aku terima semua yang sudah menjadi takdirku. Tapi entah mengapa setelah malam itu, rasanya lain. Aku tak tau ..."Nggak papa Pak, masih rindu saja sama keluarga, kan dah berapa bulan nggak ketemu, ketemu cuma sebentar," jawabku."Dari dalam hati Bapak, tidak tega rasanya melihat Neng Zanna, tapi kita hanya orang miskin, tidak bersekolah tinggi, tidak tahu mesti gimana lagi," ucap Pak Rahman.Aku tertawa hambar."Ya begitulah Pak, jangankan sekolah, buat makan aja kagak ada, bisa sekolah sampai SMP saja karena sekolahnya gratis.""Neng yang sabar, Bapak cuma bisa mendoakan, Bapak juga bekerja di sana karena hutang budi dan hutang uang, kalau tidak lebih baik kerja lain, hati tenang," cerita Pak Rahman.Kami memiliki kisah pedih masing-masing, dan aku anak terbuang ini sedang memulai kisah baru, babak baru dalam hidupku. Tak ada lagi mimpi, semua akan kujalani, mengikuti alur hidup, karena keadaan memaksaku memilih jalan ini.Tak ada jaminan aku kan baik-baik saja, bila kumemilih lari. Dunia luar tak kalah kejamnya, setidaknya itu yang sering aku dengar. Apalagi dengan kelebihan fisik dan rupa yang aku miliki, bisa jadi bukan menjadi keberuntunganku tapi nasib malangku.Apa bedanya dengan yang kujalani sekarang, permasalahan orang miskin semua sama, uang. Disini aku lebih mudah mendapatkannya, pelanggan Mami Erna juga bukan orang sembarangan. Paling tidak aku akan melayani pria-pria bersih dari kalangan atas.Ingatanku kembali pada pria muda itu, ada rasa geli dan sedih mengingatnya. Apa kabar dengannya, apa dia masih mengingatku. Ah, mana mungkin dia mengingatku, dan untuk apa juga mengingat diriku. Aku tersenyum kemudian menertawakan perasaanku sendiri.Setelah cukup lama, karena jalanan macet sore tadi sampai juga di gerbang neraka. Bukan, bukan pintu surga, karena di sana akan kudapatkan surga duniaku. Mobil masuk ke garasi belakang rumah besar itu.Aku hanya membawa sebuah koper kecil berisi baju dan segala perlengkapan. Menariknya pelan, berjalan mengekor Pak Rahman yang membawaku ke ruang kerja Mami Erna. Pria bertubuh jangkung itu mengetuk pelan, terdengar suara yang menyuruh kami untuk masuk.Pak Rahman hanya membukakan pintu untukku kemudian pamit. Aku melangkah pelan, selain Mami Erna ada seorang pria yang duduk di depannya. Matanya memindaiku dari atas kebawah."Ini, yang yang Kak Er maksud barang baru, premium ini," ucap pria itu pada Mami Erna, tanpa melepas pandangannya dariku."Iya, baru lepas segel minggu kemarin," jawab Mami Erna. "Sana, hubungi relasi kamu yang royal, mumpung masih anget.""Hahaha, gampanglah itu Kak." Pria itu berdiri dan berjalan ke arahku. Tangannya memegang daguku, matanya liar memindaiku."Aku bawa dulu lah semalam," ucap pria itu kemudian kembali duduk. Mami Erna terdiam terlihat memikirkan sesuatu."Kalau belum aku nyoba sendiri, mana bisa promo hahahha," ucap pria itu lagi."Huh, modus aja kamu kalau ada barang baru," balas Mami Erna. Pria itu terkekeh."Malam ini, kamu layani Bara, dia adikku, beruntung lagi kamu dapat laki-laki tampan," ucap Mami Erna padaku. Aku hanya mengangguk pelan."Taruk barangmu sana, lalu kesini lagi," suruh Mami Erna padaku. Aku kembali mengangguk dan kemudian beranjak keluar. Sebuah kamar di bangunan belakang menjadi tempat untukku beristirahat selama ini. Sebuah ranjang kecil, lemari dan meja rias serta nakas.Adik Mami Erna? Ah, bagaiman ini. Aku masih perawan, kalau dia menggauliku dan mendapati diriku masih perawan, apa yang akan terjadi.Yang pasti dia akan puas karena mendapatkan keperawananku, tapi apa ada jaminan dia tak mengatakan hal ini pada Mami Erna. Aku tak pernah memikirkan hal ini sebelumnya.Aku berjalan mondar mandir dalam kamar kecil itu, mencari ide untuk mengatasi masalah ini. Pandanganku tertuju pada pembalut di dalam kantong plastik yang tergantung di balik pintu. Kuambil dua buah dan memasukkan kedalam tas. Aku mengaku saja baru dapat haid setelah berhubungan dengan pria itu. Pasti darahnya sama saja bukan.Sepasang pakaian dalam juga aku masukkan dalam tas, bergegas aku keluar kamar dan kembali ke ruang Mami Erna sebelum dia memarahiku karena lama menunggu.Pria itu membukakan pintu, saat aku mengetuknya."Kak, langsung aku bawa, ya. Besok aku kembalikan," ucap pria itu menoleh ke dalam ruangan."Iya, sudah sana. Sehari saja, tak kau kembalikan Kakak suruh Jenny kesana," balas Mami Erni dari dalam ruangan.Pria itu tertawa terkekeh.Tangannya langsung menarikku, setelah menutup pintu ruang kerja Ma
"Kamu suka?" Bisiknya disela tautannya. Nafasnya mulai memburu, senyum terulas saat menyadari aku telah ikut tengelam dalam permainan kotor ini. Berlahan aku mulai membalasnya, bekal teori yang telah aku dapatkan mulai aku praktekkan. "Wauw, mulai nakal rupanya," ucapnya. Senyum tipis kuulas. Aku sudah pasrah, apa yang terjadi, terjadilah. Untuk apa bertahan, jelas-jelas aku sudah hina dan hitam.Suara dan getaran panggilan di ponselnya mengalihkan fokus kami. Terlihat kesal saat panggilan itu tak berhenti juga."Sial," umpatnya, kemudian mengangkat panggilan tersebut."Iya, honey," jawabnya dengan memaksa agar terdengar manis."Di depan?" Suaranya terdengar kanget."I ... iya aku bukain. Sebentar aku kebelet, sabar ya." ucap pria itu. Menutup pangilan dan membanting ponselnya di atas ranjang. Dia kemudian melihat kearahku. Wajahnya terlihat memerah. Dia merapikan baju dan rambutnya. Akupun juga merapikan pakaianku."Kamu sembunyi dulu, di kamar depan," perintahnya. Aku menyahut tas
"Maaf, aku sedang haid," ucapku setelah mendorongnya pelan. Mata pria itu menyipit seolah memastikan apa yang baru saja didengarnya."Maksudmu?""Aku datang bulan, sekarang," jawabku memberi penjelasan."Kau sedang tidak berbohong?" Pria itu sedikit memiringkan kepalanya, sepertinya dia tidak percaya dengan apa yang aku katakan."Untuk apa aku berbohong, lihat sendiri saja kalau tak percaya," balasku lagi kemudian.Kening kami masih beradu, desah nafas hangatnya masih terasa olehku. Aku akui, dia memiliki paras dan tubuh yang sempurna sebagai laki-laki. Pantas saja, para wanita menginginkannya. Sangat mabusiawi aku sebagai seorang perempuan juga merasakan ketertarikan seperti yang lainnya."Aku lapar, ayo pulang," ucapku lagi. Dia masih tetap memeluk tubuhku."Kau berhutang padaku." "Bukan salahku," jawabku membela diri."Aku tak peduli, ingat kamu berhutang padaku untuk satu malam," ucapnya lagiBibirnya kembali menautku, aku hanya membiarkan tak menolak tak juga membalasnya."Aku g
Dia sengaja tak menyapaku, pura-pura tak mengenalku. Kenapa ada perih dalam hatiku. Apa juga alasanku, untuk sakit hati. Ah rasa ini kenapa menyesakkan hati, ada apa ini?Aku menatap wajahku di cermin yang terpasang di dalam toilet, semua wanita pasti ingin terlahir dengan kecantikan alami, aku memilikinya. Namun, kecantikan ini pula yang akhirnya membawaku ke lembah hitam, dunia pelacu*an. Haruskah aku syukuri, atau sebaliknya aku sesali anugerah kecantikan dan tubuh indah ini. Ah, tak ada gunanya mendebat takdir, bersahabat dengannya akan lebih baik untukku. Aku mengambil bedak dari tasku, menyapukan tipis ke wajahku, lipstik berwarna lembut kuoleskan di bibir. Menyisir rambut dengan tanganku dan merapikan pakaianku.Langkahku terhenti di depan toilet, pria muda itu berdiri di sana. Senyumnya terulas saat melihatku, dia tak melupakanku. Aku mengigit bibirku, ada rasa lega dan bahagia menyeruak, tapi kenapa dadaku sesak. Sepertinya hati ini terharu, melihat pria muda itu tersenyum,
Aku berjalan pelan menuju kamarku, entah mengapa kamarku terpisah sendiri. Anak asuh Mami Erna yang lain ada di sebelah kanan bangunan. Mereka juga bisa bertegur sapa dengan yang lain. Di samping kamarku hanya ada dua kamar, yang di tempati penjaga dan pembantu di sini.Siang itu aku kembali membersihkan diri, kemudian merebahkan badanku di atas ranjang. Bayangan Kenzi tadi siang berdiam dalam benakku. Ah, ada sesuatu yang aku lupakan tapi apa. Sejenak aku mencari apa, oh ... nomor telepon Kenzi, aku melupakannya.Kenzi sudah menyimpan nomor teleponku, akankah dia menelponku. Kenapa aku berharap sekali, pria itu menghubungiku. Tak tau diri sekali diriku ini, siapalah aku ini berharap dia menghubungiku. Ingin tidur, kantuk sepertinya engan menyapapku. Aku pergi saja ke dapur biasanya Mba Mimi dan Mba Marni sedang masak untuk makan malam. Benar saja kedua orang itu tengah sibuk di dapur."Zanna, ngapain main di dapur?" tanya Mba Marni padaku."Mau bantulah Mba, kayak biasanya," jawabku
Tangan itu mengusap lembut punggungku, memberikan sensasi yang berbeda, tautan bibirnya juga kurasa lebih halus dari sebelumnya. Berlahan tapi pasti, aku mulai terhanyut oleh cumbuannya. Kesadaran itu mulai menepi, yang ada hanya nafsu yang menuntut untuk dipuaskan.Tubuhku semakin menghangat, deru nafas berlomba dengan syahdunya lengkuhan hasrat. Aku semakin terbang tinggi, melayang dalam rasa yang tak bisa aku gambarkan. "Kamu milikku," bisiknya.Hasrat sudah terpetik, semua sudah dimulai, dan harus ada penyelesaian dalam permainan ini. Ketika semua yang melekat dalam tubuh ini luruh satu persatu, selaras dengannya luruh juga asa yang masih tersisa. Tak ada keajaiban kembali, yang ada hanya kenyaataan bahwa semua akan berakhir dan berawal pada malam ini.Dalam sekejap, nafsu terkutuk sudah membekapku, menguasai sepenuhnya sadarku. Menjadi gila akan lebih baik, hingga tak ada rasa terpaksa. Rela atau tidak tak penting lagi, jadi aku tak akan menyiksa diri lagi.Ini pertama kalinya,
Mataku terasa berat untuk dibuka, kulihat sekeliling, aku sudah berada di dalam kamar. Sepertinya aku tertidur semalam saat bercerita tentang kelamnya kisahku. Berarti, pria itu yang mengangkatku sampai di sini. Kepalaku masih terasa sakit, menangis semalam sepertinya membuatnya terasa berat.Untuk kesekian kalinya aku terselamatkan, tapi, entah sampai kapan. Apa yang Tuhan rancanakan untukku? Akankah ada hal manis yang bisa kudapatkan. Atau, nasib baik sudah mulai mau menyapaku. Semoga saja begitu, meski aku takut untuk melambungkan sebuah pengharapan.Aku masih takut untuk bermimpi atau pun berharap untuk aku bisa terbebas dari situasi ini. Seperti sebuah hal yang mustahil untukku. Dan lagi aku juga tidak tau apa yang aku bisa lakukan di luar. Apakah hidupku akan menjadi lebih baik, tidak ada jaminan untuk gadis miskin sepertikuAku beranjak pelan, menuju kamar mandi. Mataku terlihat bengkak akibat menangis tadi malam. Kubasuhkan air hangat ke wajah kuyuku. Setidaknya mencuci muka
"Sudahlah, kita lanjutkan nanti. Habiskan sarapanmu, aku mau mandi dulu." Bara meneguk tehnya, kemudian turun dari kursinya. Diraihnya kepalaku dan mengecupnya, sebelum beranjak ke kamar. Roti di tanganku masih tersisa separuh sebenarnya. Tadi, masih bisa kurasakan nikmat, akan tetapi, entah sekarang kenapa berubah menjadi hambar.Aku memaksanya masuk kedalam mulut dan menekannya dengan teh hangat yang tadi Bara buatkan untukku. Apa yang pria itu ucapkan memang benar adanya, mungkin hari ini aku selamat, siapa yang bisa menjamin, esok akan terulang lagi keajaiban ini. Tidak ada jaminan untuk hal itu, semua pasti akan terjadi sesuai dengan yang seharusnya. Semua hanya soal waktu saja.Langkahku gontai, menuju kamar. Terdengar suara air dari arah kamar mandi. Aku mengambil tasku dari atas nakas. Kemudian keluar, menuju kamar satunya yang berada tepat di depan kamar Bara. Melempar tasku ke atas ranjang dan melangkah ke kamar mandi.Air hangat yang mengalir membasahi tubuhku, sedikit mer