"Pakaian, alat mandi..." Sal mencermati ransel-ransel di kakinya lalu mengangkatnya masuk ke dalam bagasi. "Drone, DSLR, charger, RC..."
"Itu di jok belakang aja." Gavin meraih tas selempang berisi perlengkapan fotografi dan memasukkannya ke mobil. "Portable power station sama batrai cadangan biar di bagasi."
"Siap." Sal meraih benda yang lain. "Gitar, tenda, sleeping bag... Eh, ini kita bawa tenda, Ra?"
Raya yang sejak tadi bersandar di sisi bagasi mengangguk. "Buat jaga-jaga aja, siapa tahu kita nggak dapet penginapan."
Sal meringis. Untuknya yang punya prinsip 'healing itu untuk ngilangin pusing bukan bikin tambah rungsing', membayangkan berkemah jelas membuatnya merinding. Paling tidak hotel bintang tiga, atau bintang dua yang dekat dengan pusat jajanan. Atau glamping minimal, dengan catatan keharusan toilet yang bersih dan akses wara wiri yang nyaman.
Mengingat Raya yang merencanakan ini, sepertinya Sal harus buang jauh-jauh ekpekstasi penginapan nyaman tersebut.
"Udah, percaya aja sama gue." Raya meraih perlengkapan tenda yang masih tergeletak di lantai carport dan memasukkannya ke bagasi.
Sal menghela nafas pasrah. "Oke. Obat-obatan pribadi, P3K?"
"Udah gue selipin di kantung jok depan," sahut Gavin.
"Sip. Terus gun-gunting kuku? Buat apaan?"
"Buat gunting kuku lah." Asta tiba-tiba muncul dengan keripik singkong di tangan. "Siapa tahu ada yang cantengan di jalan. Gue juga bawa cotton bud tuh."
"Kalau ada yang budek mendadak?" Sal menebak-nebak.
"Itu juga bisa. Lo taruh dimana, Vin?"
"Ada di kotak P3K."
"Sip, thank you." Asta nyengir.
Sal memutar bola mata. Lantas menutup pintu bagasi setelah dirasa tak ada yang tertinggal.
"Gimana Liverpool?" tanya Raya, ikut mencomot keripik singkong di tangan Asta.
"Extra time nya ganas. MU lolos semifinal." Asta tersenyum kecut. Tangannya yang hendak memasukkan keripik singkong ke mulut mendadak tertahan di udara. “Padahal udah seri, eh malah kebobolan sama Diallo di menit-menit terakhir. Seneng gue pas liat doi dapet red card.”
Raya menepuk-nepuk bahu Asta menyabarkan. “Semoga efek jeleknya nggak sampe ke perjalanan malem ini, ya.”
“Aamiin ya Allah!” Sal berteriak kencang di belakang mereka.
Gavin terbahak-bahak.
Setelah beres dengan semua tetek bengek soal barang bawaan, mereka lantas pamit meninggalkan ibu kota. Menghilang sejenak dari kesibukan Jakarta, membebaskan diri dari kepenatan, keluar dari zona nyaman. Entah kejutan apa yang menanti di depan. Yang jelas, mereka tahu mereka aman saat berjalan bersamaan. Because you can pack for every ocassion, but good friends will always be the best thing you could bring.
---
Kapal KMP Portlink III tengah merapatkan diri saat mereka tiba di dermaga. Meski bukan libur panjang, antrian kendaraan tetap mengular hingga beberapa ratus meter ke belakang. Masih ada waktu empat puluh menit sebelum keberangkatan. Waktu yang kemudian digunakan Gavin untuk menerbangkan drone nya, sedang Sal dan Asta memilih untuk menyusuri dermaga. Raya sendiri memutuskan untuk tetap berada di antrian, berbincang dengan sekelompok muda-mudi di mobil sebelah.
Pukul setengah lima, antrian kendaraan bergerak memasuki kapal. Suara klakson panjang yang menggema di udara menjadi pertanda KMP Portlink III siap berlayar meninggalkan Pelabuhan Merak. Karena sudah menyempatkan tidur di rumah Asta dan belum mengantuk, mereka putuskan untuk berkeliling kapal saja. Sal dan Asta yang paling antusias lantaran ini pengalaman pertama mereka menyebrangi Selat Sunda. Mereka menyusuri kabin penumpang, membuat video di kantin kapal, melongok sedikit ke ruang nahkoda, hingga berakhir di geladak paling atas, menikmati matahari yang muncul lamat-lamat di balik cakrawala.
Sal berdecak kagum.
"Gimana? Bagus kan?" Raya tersenyum bangga. Ia hirup dalam-dalam aroma asin air laut bercampur solar yang entah bagaimana selalu membuatnya candu. Raya bahkan rela membuka jendela sejak masih dalam antrian SPBU hanya untuk mencium bau satu itu. Kelainan Raya yang lain, kata Asta.
"First trip gue naik kapal. Gue kira gue bakal mabok laut." Sal memandang sekeliling. Ada keluarga yang menggelar tikar tak jauh di belakang mereka. Juga empat bapak-bapak yang berbincang sambil merokok beberapa meter di sisi kanan.
Raya terkekeh. "Nggak bakalan. Kecuali hujan badai, kapal-kapal disini lebih stabil karena ukurannya besar."
"Lo kalau mudik naik ini, Ra?" ganti Asta bertanya.
Raya mengangguk. "Dulu waktu masih sama bokap bisa setahun dua kali mudik naik ini."
"Berarti terakhir mudik itu...?"
"Tujuh belas tahun yang lalu. Umur sebelas," jawab Raya pelan. Sedikit bergetar.
Sejujurnya, saat kecil, Raya dan sang ayah tak pernah terpisahkan. Makan apapun asal disuapi ayah, pergi kemanapun asal ditemani ayah, tidur larut malam menemani ayah nonton pertandingan bola favoritnya. Hingga usianya sebelas, di suatu malam, ibunya berteriak kencang, memaki dengan puluhan nama binatang diikuti suara dentum jatuh tubuhnya yang dipukul ayah.
Raya kecil yang tak mengerti apapun duduk saja di ruang tamu. Menunggu. Hingga sang ibu kemudian berlari menuju dapur, mengambil gunting, mengancam akan menusuk Raya kecil pada ayah yang saat itu sudah menggantung ranselnya di satu bahu. Tapi ayah tak bergeming, bahkan ketika sang ibu benar-benar melakukannya, menusuk pahanya sehingga membuat gadis kecil itu menangis berdarah-darah, sang ayah hanya mengamatinya sebentar, lalu keluar dari rumah.
Sejak hari itu, Raya membenci ayahnya. Bahkan melebihi kebenciannya pada sang ibu yang telah menusuknya. Ia mungkin sembuh, tapi luka jahitnya menjadi bukti betapa secepat itu hidup berputar di depannya.
"Lo lagi ngeliat apa?" tanya Gavin.
Jelas Raya sedang tidak mengamati langit perak keunguan di hadapan mereka yang saat ini bergradasi manis dengan warna jingga. Atau sekumpulan burung yang muncul dari pulau-pulau di sekeliling mereka, yang terbang rendah hingga nyaris menyentuh permukaan air. Atau beriak air yang tergulung baling-baling kapal. Atau kapal-kapal lain yang saling menyapa dengan klakson singkat. Tidak, ia tidak melihat pemandangan-pemandangan itu di kedua mata Raya.
“Ada Raya kecil lagi lari-lari di dek, Vin. Ayah sama ibunya duduk di tangga, makan mie instan. Udah ditawarin tapi Raya nggak mau karena lagi asik main.” Raya menahan napasnya. Tak menyangka sebuah kapal bisa berubah jadi mesin waku untuknya.
“Kalo gue yang tawarin sushi, mau?” tanya Asta sembari mengeluarkan kotak bekalnya dari dalam tas.
Raya tersenyum tipis. “Boleh? Itu kan spesial buatan Laras.”
"Buat Raya boleh. Tapi buat Gavin sama Sal, enggak!" Asta memukul tangan Sal yang nyaris menyentuh sushi miliknya. Matanya mendelik tajam.
“Astaghfirullah, Ta. Lo ngasih kita jam tangan seharga motor, giliran sushi sebiji pelitnya minta ampun.” Sal mengeluh.
“Beda lah. Jam tangan kan yang bikin bukan Laras.” Asta tak kalah sewot.
“Tapi itu kan masih banyak, Ta."
“Bodo amat, sushi-sushi gue, yang bikin juga cewek gue, suka-suka gue dong.”
Sal menarik napas panjang. Terlihat betul menahan keinginannya untuk menjitak kepala Asta. “Sabar, Sal, perjalanannya baru dimulai, sabar.”
Sementara itu, Raya sudah kembali melamun memandangi lautan. Isi kepalanya ramai. Berbagai perasaan berkecamuk dalam hatinya seperti badai. Sebentar ia merasa bahagia, sebentar ia takut. Sebentar ia bersemangat, tapi juga khawatir disaat yang bersamaan. Sebentar ia merasa percaya diri, tapi ragu datang menerjangnya. Benarkah ia ada di atas kapal ini sekarang?
“Keputusan gue… udah tepat kan, Vin? Balik lagi kesini?”
Gavin yang sedang mengamati pertengkaran teman-temannya lantas menoleh. Mendapati awan hitam bergumul diatas kepala Raya.
“Terus kalo keputusan lo nggak tepat, lo mau apa? Puter balik?”
Raya menggigit bibir. Matanya memandang kosong pada corak jingga yang berpendar terang di sepanjang garis cakrawala. Jemarinya saling memilin dengan gusar. Ia tak yakin dengan jawabannya.
“Nggak ada keputusan yang bener-bener tepat, Ra. Yang ada cuma keputusan yang matang atau keputusan yang tergesa-gesa. And you've been waiting for this trip for so long." Gavin menambahkan.
“Tapi kayaknya gue belum siap, Vin.”
“Nggak pernah ada orang yang bener-bener siap, Ra. Bahkan untuk hal-hal baik sekalipun.”
“Tapi kalo dikasih duit 10 milyar, gue sih siap.” Sal tiba-tiba nyeletuk.
“Iya, terus ujung-ujungnya lo bingung mau diapain itu duit. Akhirnya nyesel kenapa ngak dibuat ini, kenapa nggak dibuat itu, kenapa nggak dibuat sesuatu yang ternyata lebih penting lagi.” Asta menunjuk sekitarnya dengan sushi ditangan, lalu memasukkannya ke mulut. “Itu juga disebut nggak siap namanya.”
“Keputusan baru bisa dikatakan tepat kalau kita udah sampai di akhir, Ra. Ketika kita sadar kalau keputusan itu membawa dampak baik ke hidup kita. Itupun harus diiringi sama rencana yang matang juga," kata Gavin lagi.
“Kalau ternyata keputusan gue ini akhirnya buruk?”
“That's why we're here.” Sal mengusap kepala Raya. “Supaya lo nggak ngerasain buruk-buruknya sendirian.”
“Emang, lo mau ngapain kalo udah sampe sana, Ra?” tanya Asta. Memasukkan kembali kotak bekalnya ke dalam tas. Isinya sudah habis tak bersisa.
Raya nampak berpikir. “Nggak tau ya, gue belum kepikiran apa-apa. Sejauh ini, gue cuma mau nengokin nenek gue.”
Gavin bisa menangkap kegelisahan dalam suara Raya. Gelisah yang timbul akibat kebohongan yang diciptakannya sendiri. Jelas-jelas Gavin bisa melihat ada yang ingin gadis itu cari dalam perjalanannya kali ini. Jawaban dari segala pertanyaan yang selama ini membayangi hari-harinya yang hampa dan sepi. Yang membuatnya berakhir dalam perjalanan sejauh ratusan kilometer setiap bulannya. Atau yang membuat gadis seceria itu bisa memiliki keinginan untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Hanya saja, Raya sepertinya terlalu takut jika jawaban-jawaban yang ia temui justru akan semakin menyakiti perasaannya. Sehingga ia memilih untuk mengabaikan keingintahuannya begitu saja.
“Jalan-jalan.” Sal sepertinya juga menyadari apa yang Gavin pikirkan. “Kalau lo ngerasa khawatir, inget aja tujuan utama lo kesini buat jalan-jalan dan seneng-seneng bareng kita.”
Raya menyunggingkan senyum. Tangannya merogoh tas selempangnya mencari botol-botol obat. “Kalian kalau jadi penasehat kepresidenan cocok deh."
“Gue sih emang sebijak itu. Baru sadar?” Sal melipat lengannya di depan dada. Tertawa penuh kebanggan.
“Dih, najis. Sok ganteng banget ni orang.” Asta berdecak kesal. Tangannya berkacak pinggang.
“Lah, emang gue ganteng. Problem?"
"Kesambet setan laut temen lo, Vin. Rukyah dulu apa?”
“Lo berdua gue rukyah sini.”
“Gue balikin jam tangan lo deh, Ta. Sumpah.” Sal masih tak mau kalah.
“Nggak usah, gue nggak terima jam tangan second.”
Gavin menangkap butiran obat yang nyaris terjatuh ke lantai kapal lantaran Raya tertawa kencang. Dengan segera Gavin meminta gadis itu meminumya setelah menyodorkan sebotol air mineral.
“Bangke, belum juga di pake.” Sayup suara Sal masih berdebat dengan Asta.
“Tetep aja udah lo pegang-pegang.”
Alis Raya berkerut saat mendapati Gavin memijat-mijat kening sembari mengamati lautan di bawahnya dengan raut wajah super serius. “Kenapa, Vin?"
“Bantuin gue yuk.”
"Ngapain?”
“Nyeburin dua orang ini," kata Gavin dengan aura singa siap menerjang mangsa, sukses menghentikan Sal dan Asta dari pertengkaran mereka.
---
Terima kasih banyak untuk kalian yang mau membaca cerita ini. Semoga hangatnya persahabatan mereka bisa sampai pada kalian para pembaca.
Udara dingin yang menusuk membangunkan Sal dari tidur lelapnya. Dengan tubuh yang sedikit menggigil ia duduk, memasukkan tangan ke saku jaket yang ia kenakan saat tidur, dan mendapati selimut yang membalut tubuhnya semalam sudah berpindah ke tubuh pria lain di sebelahnya. Padahal Asta sudah menggunakan sweater juga selimut miliknya sendiri. Masih saja main asal tarik selimut Sal.Satu kasur lipat berukuran single bergeser beberapa centi di sebelah Asta. Terdorong oleh kaki pria itu, sepertinya. Diatasnya, terbaring Gavin, meringkuk, membungkus diri dibalik sleeping bag hijau yang dipinjam dari Raya.Sal tak lagi bisa terpejam. Ia putuskan untuk keluar dari kamar setelah mencium wangi semerbak bumbu dapur dan mendengar suara lidi bergesekan dengan lantai beton di halaman.Pekarangan rumah Nenek Raya ternyata jauh lebih luas dari yang bisa Sal tangkap saat gelap semalam. Terisi oleh kebun herbal dan pohon buah-buahan. Kolam ikan di sisi kiri rumah, bersebelahan dengan antena parabola dan
Selalu ada yang magis dari rumah nenek. Sesuatu yang bisa mengubahmu kembali menjadi anak kecil hanya dengan duduk di ruang tamunya yang besar, sembari menghirup aroma furnitur kayu tua yang bercampur dengan wangi tanah setelah hujan, berselang seling dengan semerbak wangi makanan di dapur. Belum lagi pigura-pigura yang menempel di dinding, yang fotonya masih terbatas pada warna hitam putih atau sephia, yang dengan itu menampilkan deret bahagia kehidupan di masa lampau seperti film yang terputar secara acak dalam proyektor.Sampai pada bagian dimana kamu menyadari beberapa orang dalam film itu berubah, tak lagi sama, tak lagi ada, maka kamu akan menangis sejadi-jadinya dan merindukan itu semua. Menyesali betapa naif nya kita saat kecil dulu karena meminta dewasa datang lebih cepat. Kecuali bisa membeli apapun yang kita inginkan - jika ada uangnya - menjadi dewasa, ternyata tidak semenyenangkan itu."Minum dulu, Ra."Bang Faris datang dan menyodorkan segelas teh hangat pada Raya yang s
Lagu End of The Road-nya Boz II Men melantun merdu. Mengisi keheningan di dalam mobil yang melintas dijalanan gelap dan berliku. Awan yang sejak tadi menggantung berubah warna jadi kelabu. Beriringan dengan gemuruh guntur dan cahaya berkilat di langit. Sejurus kemudian, milyaran tetes air turun. Sal melamun. Matanya memandang lurus pada hujan lebat di luar jendela, tapi pikirannya masih berada pada percakapannya dengan Gavin beberapa menit lalu. Saat pria itu mengatakan bahwa ia sekarat, dan Sal masih berusaha tersenyum, berharap Gavin hanya membual. Tapi kemudian pria itu terbatuk kencang beberapa kali, disertai darah yang keluar dari mulutnya, pertanda ia tak berdusta soal kondisi tubuhnya yang sekarat itu."Kita obrolin lagi nanti," kata Sal, memandang Gavin khawatir. "Lo masih bisa jalan, kan?"Gavin mengangguk lemah. Ia lepaskan tangan Sal yang menyangga bahunya, dan dengan langkah sedikit terseret keluar dari hutan sawit. Sal bisa melihat Gavin berusaha menegakkan tubuh, merap
"Ini ada pempek bakar, buat kalian nyemil di jalan." Umak menutup kotak bening berukuran sedang dihadapannya. Tubuhnya masih berbalut mukena putih, baru selesai sholat dzuhur. Raya dan Asta yang duduk di kiri dan kanannya memperhatikan dengan seksama.Mereka kembali dari Air Terjun Temam satu jam yang lalu. Lantas makan siang, sholat, dan bersiap untuk meninggalkan Lubuklinggau. Semua ransel dan barang bawaan telah rapi, sedang dimasukkan oleh Gavin dan Sal ke bagasi."Nah yang ini, ayam goreng sama malbi. Jaga-jaga kalau kalian kemalaman di jalan. Jalur ke Kerinci ndak ada restoran buka lepas maghrib." Umak menunjuk kotak-kotak yang lain. Raya membantu dengan menutup salah satunya."Makasih ya Umak. Harusnya Umak nggak perlu repot-repot begini.""Ndak apo. Dah lamo rumah Umak ndak ramai macam ini. Umak cuma berdua abangnya Rahman dirumah. Rahman baru balik dari Padang satu atau dua bulan sekali. Umak senang kalian datang."Raya mengelus-ngelus lengan Umak, terharu mendengar kalimat w
Langkah kaki Raya berhenti tepat di pijakan terakhir anak tangga. Persis di pinggiran sungai yang dibatasi oleh pagar setinggi pinggang orang dewasa. Di hulu sungai itu, mengalir deras air terjun setinggi 12 meter yang muka alirannya melebar sepanjang 25 meter. Dikelilingi oleh susunan bebatuan besar yang dari celah-celahnya, mencuat berbagai variasi lumut dan tanaman paku-pakuan. Kedalaman sungainya sekitar 4 meter di beberapa titik, dan lebih rendah di titik-titik yang lain. Ada gua kecil di balik air terjun itu, yang bisa digunakan untuk duduk-duduk sembari merasakan langsung hempasan angin bercampur partikel air. Pohon-pohon karet dan pepohonan liar yang tinggi menjulang, memberi nuansa sejuk diantara sinar matahari menyelinap diam-diam. "Tadi apa namanya, Man? Air terjun demam?" Asta bertanya setelah menurunkan ranselnya. Ia regangkan tangannya tinggi-tinggi di atas kepala."Temam, Ta." Sal memutar bola mata. "Kalau demam lo ceburin paracetamol biar sembuh."Asta pura-pura terta
Sal terbangun setelah merasa tubuhnya diguncang kasar oleh seseorang. Beriringan dengan bunyi dering telpon dan suara pria yang menyerukan namanya dengan nada kesal."Sal! Bangun! Hape lo bunyi daritadi tuh."Meski matanya belum sepenuhnya terbuka, dan sel-sel saraf di otaknya belum tersambung semua, Sal tahu itu Asta. Dengan malas ia meraih ponselnya yang tersimpan di bawah bantal, dan mengangkatnya tanpa melirik layar."Halo." Suaranya masih terdengar parau. "Iya, gue balik minggu depan." Sal berdeham, memastikan suaranya lebih nyaman di dengar. "He-eh, pake aja." Ia mengangguk. Sempat mengatakan 'iya' beberapa kali sebelum mengucapkan salam, lalu bangkit perlahan dan duduk bersandar ke dinding."Siapa?" tanya Asta, basa basi. "Abang gue, mau minjem mobil.""Oh."Setelah beberapa menit terdiam untuk memproses pemandangan yang ditangkap oleh indra penglihatannya, Sal akhirnya menoleh ke kiri. Mendapati Asta sedang duduk bersila tak jauh darinya, dengan tangan kanan menggenggam sebung
Suara petik gitar melantun merdu memecah keheningan yang membungkus malam. Bersahut-sahutan dengan suara jangkrik dan kepak sayap kelelawar. Di teras rumah Rahman yang remang, Sal ditemani Asta dan Arip, masih asik berbincang ringan sambil sesekali menyanyikan sebuah lagu. Sementara Gavin terlihat dari pintu yang terbuka, tengah duduk di kasur yang digelar di ruang tamu sembari menonton sesuatu di ponselnya."Bentar bentar, nggak dapet nadanya." Sal membetulkan kembali posisi jarinya. Mencari chord yang tepat untuk lagu Two Is Better Than One-nya Boys Like Girls ft. Taylor Swift yang di request Asta barusan. "Terus, tau Andalas dari mana?" Asta kembali pada Arip sembari menunggu Sal selesai dengan lagunya. Ia katupkan jaketnya rapat-rapat untuk menghalau angin dingin yang berhembus."Dari temen, Bang. Dia bilang mau lanjut kuliah disini, pas saya udah daftar, nggak taunya dia malah bilang nggak jadi. Yaudah, terlanjur deh. Nggak bisa di cancel juga," jawab Arip sambil terkekeh getir.
Langit sudah gelap saat mereka tiba di Lubuklinggau. Jalanan lengang. Di minimarket pertama yang mereka temui di kota itu, Raya menepi."Tunggu ya, orangnya belum dateng. Kalau kalian ada yang mau dibeli, sekalian aja," jelas Raya sembari menaikkan tuas rem. Ia raih ponselnya yang terselip di saku pintu, dan mengabari seseorang melalui pesan singkat.Sal lantas turun dari mobil. Mampir ke depan mesin ATM, lalu menyusuri rak berisi perlengkapan mandi untuk membeli sikat gigi lantaran teringat sikat giginya tertinggal di hotel tadi. Setelah memilih satu merk, pria itu lalu berjalan lagi menuju kulkas berisi minuman dingin. Sudah ada Gavin di sana, berdiri di depan pintu kulkas kaca yang masih tertutup, sambil menimbang-nimbang minuman apa yang ingin ia beli.“Tumben nggak beli vitamin c,” ujar Sal saat menyadari Gavin ternyata memperhatikan kulkas yang isinya minuman berkafein.“Lagi pengen aja,” jawab Gavin tanpa menoleh pada Sal sedikit pun. Dibukanya pintu kulkas tersebut, lalu ia amb
Rasanya baru semalam Sal duduk-duduk di Jembatan Ampera, memuaskan hasratnya makan pempek Palembang langsung di Palembang, menghabiskan pagi di Benteng Kuto Besak, makan siang diatas Sungai Musi dengan menu pindang pegagan yang nikmatnya masih melekat di lidah. Kini, diantara sayup-sayup adzan maghrib, dengan latar langit jingga yang begitu memanjakan mata, ia sudah berada di SPBU daerah Musi Rawas, meregangkan otot-otot yang kaku setelah empat jam berada dalam mobil sembari menghabiskan Martabak HAR yang tadi sempat Raya beli sebelum meninggalkan Palembang.Seluas penglihatan matanya, tak ada yang mencolok dari tempat tersebut, kecuali pohon-pohon besar yang mengitari SPBU – yang tentu saja tak pernah ia temui SPBU dengan latar hutan seperti ini di wilayah Jabodetabek, jalan utama selebar tujuh meter yang hanya terisi dua-tiga kendaraan sejak tadi, dan sebuah rumah warga yang lampu depannya terlihat redup di seberang jalan tersebut. Masih sekitar 60 kilometer lagi menuju pemberhentia