Lontaran dari sungut ibu mertuaku benar-benar mengganjal di hati. Otakku yang sudah memanas ini semakin mendidih mendengar pernyataannya. Sadis sekali, apa dia tidak bisa pura-pura mengiba di hadapan yang lain?~~"Astaga! Nyebut, Bu, nyebut! Apa yang barusan Ibu bilang? Hey, angkuh sekali ya Anda, Bu!" Si Menul menimpali sungut mertuaku barusan.Ibunya si Bang Panjul menyerang si Menul dengan tatapan kuda liarnya. "Heh, ya bener, kalau ketahuan selingkuh seperti ini lebih baik, biar si Panjul istrinya si Widya saja. Apaan si Nur, dia pelit, dan gaya juga Ndeso!" tegas mertuaku lagi dengan sarkas. Dia sepertinya ingin perang denganku.Pak RT pun sampai geleng-geleng kepala. "Sudah, sudah, Ibu ini membela anak Ibu yang sudah mengotori kampung kami? Astaghfirullah! Dan kalau begitu, lebih baik kita selesaikan saja masalah ini sekarang dengan surat perjanjian." "Pak RT, surat perjanjian apa? Jangan ngawur ya, Pak! Saya bisa bawa ini ke hukum kalau macam-macam!" cungur Mbak Widya menyang
"Bu, bangun, Bu! Bangun!"Bang Panjul terus menyadarkan ibu mertuaku yang tengah jatuh pingsan. Dia syok yang mengetahui kalau rumah ini adalah rumahku, bukan rumah Mbak Widya. Bahkan, aku juga sudah memberikan bukti pada Pak RT, kalau Mbak Widya telah merampas semu milikku. Aku banyak harta peninggalan bapak. Sedangkan dia dan aku beda turuan."Biarkan dulu saja, sekarang lebih baik kamu tanda tangan saja. Kamu juga segera manalak Dek Nur di depan kami semua." Pak RT menekankan lagi."Itu aturan kenapa rumit sih, Pak RT? Kenapa harus bayar-bayar denda segala?" Si Bang Panjul emosi."Iya, jangan membodohi kami ya, Nur!" sungut Mbak Widya."Oke, terserah saja. Tapi, kalau kasus perselingkuhan ini dibawa ke pengadilan, kata temannya temanku yang pengacara, kamu akan lebih melarat Bang. Karena kamu harus membayar gegara kamu selingkuh, juga kasih aku uang santunan!" jelasku dengan tegas. Ya, kalau tidak salah menurut buku yang aku baca ya begitu. Lalu siapa temanku yang punya teman penga
Dadaku sakit sekali, tapi harus kebal. Kebodoa amatan ini harus kupupuk supaya lebih subur makmur."Ya sudah Kenapa harus lama-lama! Ayo tanda tangani sekarang dan segera talak aku!" tandasku lagi.Dan dengan penuh tekanan dan juga penuh pertimbangan akhirnya dia menandatangani juga surat perjanjian di atas materai. Aku menginginkan Mbak Widya menikah dengan Si Panjul itu supaya mereka bisa saling merasakan bagaimana menjadi seorang pasangan yang dulunya selingkuh namun menjadi suami istri. Sok perhatian dan sok sayang-sayangan itu pasti pas cuma pacaran saja, sedangkan setelah menikah dengan adanya kebutuhan ekonomi pasti yang tadinya romantis sedikit demi sedikit akan semakin hambar. Apalagi mereka sama-sama mata duitan."Baiklah, aku talak kamu, Nur."Dan akhirnya kalimat yang aku tunggu pun telah keluar dari mulutnya yang bau jengkol itu. Benar-benar lega sekali karena sebentar lagi aku akan bercerai darinya.Dan setelah penandatanganan selesai juga talak terhadapku telah diucapka
Ah, aku lega, kini aku sudah ditalak oleh si Bang Panjul. Dan di rumah ini, dia sudah tidak ada lagi. Dia sudah kuhempas, tinggal menunggu sidang pertama perceraian kami berlangsung. Bukan hanya sidang perceraian aku, tapi juga sidang Mbak Widya. Semoga saja tidak ada kendala, biar si tukang selingkuh itu bisa cepat menikah dan merasakan bagaimana bila hidup bersama dalam sebuah pernikahan.Aku duduk-duduk manis di kasur empuk lantai atas tempat Mbak Widya sejak awal. Dan kini sudah aku tempati. Dia tidak bisa menolak karena aku juga berontak, tidak bisa diam.Kakakku itu masih di rumah ini. Ya, setidaknya sebelum dia dengan si Panjul belum menikah, bolehlah kukasih tumpangan dia sebentar. Aku juga tak kejam-kejam amat.Pagi ini adalah pagi pertama setelah statusku di mata agama sudah menjadi janda. Meski kecewa pada pernikahan ini, tapi hidup harus terus dijalani, seperti sebuah lagu yang sering diputar saat hatiku merasa hancur."Humh, wangi." Aku bergumam sendiri setelah usai masa
Kupingku jingkrak-jingkrak mendengar suara nyeleneh dari pintu depan. Ternyata eh ternyata, yang datang adalah ibunya si Bang Panjul. Dia datang ke rumah ini membawa rantang makanan. Oh, pasti request-an dari calon mantunya. Hebat, hebat."Iya, Wid, ini Ibu sengaja bawakan buat kamu. Sebentar lagi kamu 'kan akan jadi mantu Ibu yang paling cantik dan montok. Ibu akan sangat bangga!" sahut mulut si mantan mertuaku itu. Karena secara agama, dia telah jadi mantan mertua.Oh, mereka pasti sengaja ingin memanas-manasiku. "Ehm!" Aku hanya berdehem."Masuk, Bu, masuk! Aduh, wangi sekali masakan Ibu," kata si Mbak Widya sok manis. Sengaja ia lantangkan suaranya supaya aku mendengar. "Iya, Wid, sengaja, ini spesial buat kamu." Ibunya Bang Panjul menyahut lagi."Aduh, Ibu memang mertua yang baik. Eh, calon. Hihi." Si Mbak Widya sok manis."Iya, Ibu gak pernah gini sama si Nur dulu, tapi sama kamu, kamu 'kan spesial, Wid. Spesial, mantu cakep, ah!" Terus saja wanita paruh baya itu mengindahkan k
"Yaudah, Ibu pulang dulu ya, Wid. Ibu doakan kamu lancar cerainya sama si Aryo itu, biar bisa cepat nikah sama si Panjul. Ibu udah gak sabar mau pamer menantu wajah glowing, gak kumel kayak si Nur!" sungut ibu mertua secara hukum telah mencubit hatiku. Keterlalun dia menghinaku."Aku gak glowing, Bu, tapi cantik natural!" timpalku karena dia meledekku.Si Mbak Widya dan calon mertuanya itu terkekeh. "Haha, ada yang kesindir, Bu!""Iya, ya.""Lah, bukannya kalian menyindir dengan sebut nama? Ya jelas aku tersindir. Tapi perlu diingat, jangan sok jumawa, Mbak, kecantikan itu bisa lenyap kalau gak ada MODAL!" celetukku sembari berlalu."Ah, bilang saja iri. Si Panjul 'kan gajinya itu mandor, hanya dia sembunyikan aja darimu. Kan kamu itu kalau dipermak begimanapun, pasti wajahnya tetep anyep!" tandas wanita paruh baya itu dengan tajam."Ah, biar saja, yang penting hatiku tidak buruk rupa!" Mereka malah tergelak berdua. Biarkan saja, aku juga tidak mengusir Mbak Widya dengan paksa karena
"Mundur kamu, Nur, mundur!" Dia semakin ketakutan, "mau, kamu Mbak hajar? Atau kamu akan Mbak bunuh!" ancamnya."Boleh, setelah aku rusak wajahmu tapi ya, Mbak. Biar kamu bunuh aku, aku masuk ke surga, dan kamu sengsara di penjara." Aku tergelak tawa di depannya.Ujung bibir Mbak Widya menyungging menahan emosi. Terlihat kalau dia tidak menyangka aku tidak mundur atau takut sama sekali."Kamu kerasukkan! Kamu dulu baik dan ahli surga, sekarang gila kamu!" Dia lagi-lagi membahas masa lalu."Masa bodo, bodo amat! Ini masih panas, melepuh sih kalau ditekan ke kulit. Ayok!"Wanita yang telah menjadi duri di kehidupanku pun itu kini lari ke dalam kamarnya. Dia mengunci pintu mungkin karena ketakutan. Hahah, aku tertawa terbahak-bahak. Begitu saja takut!***"Aduh, kalau aku lama-lama di rumah ini, aku bakalan mati perlahan, Bang. Tapi, kalau aku keluar dari rumah ini, aku belum tau di mana si Nur simpan sertifikat rumah ini. Bagiku ini masih seperti mimpi dan bencana, kok bisa anak bodoh i
Dua Minggu berlalu, hari ini aku baru pulang dari pengadilan telah melakukan mediasi di sidang pertama. Yang hadir hanya aku ditemani si Minul, biar persidangan tidak ribet dan cepat usai. Alhamdulillah, lancar juga, dan tak ada omongan keluar dariku untuk rujuk. Sedang aku menuju sidang ke dua, pun dengan Mbak Widya, dia juga tengah menunggu sidang berikutnya dengn Mas Aryo. Bagaimanapun juga, aku harus memastikan mereka pisah. Tidak boleh sampai mereka rujuk, aku tak rela Mas Aryo yang baik masih jadi istrinya Mbak Widya si lakn*t."Gak sabar aku nunggu statusmu jadi janda, Nur. Hahaha …." Si Menul tertawa dalam penderitaanku. Eh, tapi bukan penderitaan, malah ini kegembiraan."Gila kamu, Nul, masak iya orang cerai kamu tertawain. Tapi gak papa lah, aku juga senang. Hahaha."Kami berdua tergelak tawa. Sampai akhirnya aku tiba di rumah dan si Menul pulang ke kandangnya, dan di rumahku di sana sudah ada si calon mantan suami. Sepertinya sedang ngapel sama si Mbak Widya. Cocok, cocok