[Assalamualaikum, Dek! Mohon maaf Mas Aryo besok lusa tidak bisa hadir ke pernikahan Dek Nur, ya. Semoga sakinah, mawadah, dan warrahmah]Pagi-pagi kubuka pesan kiriman dari Mas Aryo. Di akhirnya ia bubuhi emotikon senyum manis dengan tangan beradu meminta maaf. Kutinggikan alis keduanya setelah membaca pesan darinya. Diiringi helaan napas pasrah dan flashback ke sosok si Mas Yadi yang kurang ajar. Huwh … istighfar, Nur!Mas Aryo masih online. Apa aku jawab jujur atau bagaimana ya?Lekas kubalas saja pesannya dengan menyempatkan bokong duduk di kursi plastik depan meja kasir di kedai.[Waalaikum salam. Tidak apa-apa, Mas. Mas tidak perlu datang. Lagipula acaranya sudah selesai]TerkirimBelum ceklis dua dan kusempatkan untuk menyapa pelanggan dan yang satunya kukasih kembalian setelah membeli cemilan dengan jumlah lebih dari 50 ribu rupiah."Mbak, saya mau tanya untuk pesanan ketring. Apa di sini bisa pesan? Atau di mana ya? Ini mepet, Mbak. Mertua saya mendadak menggugurkan tanggung
"Mas Aryo turut prihatin. Mas pikir kamu hanya bercanda keterlaluan," komentarnya lagi."Masak iya, Mas. Oiya, Mas menelepon Nur hanya ingin tanya soal ini? Atau … atau Mas mau tanya soal Mbak Widya, ya?" Aku bertanya memancing. Lagipula, apa yang akan diobrolkan mantan adik ipar dengan mantan kakak ipar. Soal cinta? Haha. Bukanlah."Em, ini … iya. Bagaimana keadaan Widya? Dia masih dengan Panjul?"Mendengar jawaban yang ditekankan pada pertanyaan kehidupan Mbak Widya, sontak dadaku memburu sedikit kurang mengerti kenapa harus gelisah. Seharusnya aku bodo amat.Kupasang wajah datar secara refleks. Namun pura-pura senyum saat menjawabnya kini. Eh, padahal tidak sedang video call. Tapi ekspresi ini memaksa untuk mensupport nada supaya tidak ketahuan gelisah."Em, Mbak Widya baik-baik saja, Mas. Sepertinya mereka jadi keluarga bahagia. Cocok kali ya, Mas. Hehe. Terakhir kami bertemu di toko elektronik, Mas. Mereka berdua sedang mau beli barang. Hem." Eh, aku malah curhat sembari menatap
"Eh, eh, eh, apaan itu? Mobil pick up tadi bawa apa itu, Nur?"Tiba-tiba nyelonong Mbak Widya yang dandanannya super nyentrik. Matanya melirik dengan apik.Dia seperti Mbak Kunkun, tidak kelihatan dari arah mana, tahu-tahu sudah muncul. Belakang tubuhnya juga sama-sama bolong. Hanya saja si Mbak Widya tidak kelihatan usus dan tulang rusuknya. Kalau kelihatan aku mungkin semakin takut.Di sini tersisa hanya aku saja. Yang membantu pekerjaan katering sudah pulang sejak tadi setelah pekerjaan beres. Laras juga masih di kampus karena ada kelas tambahan katanya.Bola mata Mbak Widya menyipit ke arah mobil pick up yang kini telah lenyap dari pandangan kami. "Kamu barusan kasih apa? Kok banyak dusnya? Jangan-jangan ada barangmu yang dijabel ya?" Dia penasaran.Sudah malas saja menjawabnya. Kurang-kurang beristighfar, sudah kutampol dia! Ngomong-ngomong ada apa dia. "Heem, barangku dijabel. Kenapa, Mbak? Memang apa urusan Mbak? Apa kepentingan Mbak ke mari?" tanyaku langsung dengan hati yang
"Alhamdulillah kalau Mbak suka ya, Mbak. Setelah dapat pesanan pertama dari Mbak Wati. Saya memutuskan untuk ambil orderan kalau ada yang perlu jasa katering lagi, Mbak. Mbak Wati kalau punya kenalan yang mau hajatan. Mbak bisa kasih nomor saya ya, Mbak!" seruku di keesokan hari setelah acara Mbak Wati usai. Ngomong-ngomong dulu aku yang serundul kalau ngomong, sekarang agak dikurang-kurangi. Hihi."Siap, Mbak. Nanti saya sembari iklanin deh. Rasa masakannya juga lumayan enak. Hehe. Maaf ya kalau pakai lumayan." Dia tipikal orang yang jujur dan tak suka cari muka."Gak apa-apa, Mbak. Semoga nanti saya bisa lebih enak dan lebih bagus lagi kalau membuat katering seperti itu. Makasih loh ya, Mbak, saya gak ada ide buat katering kayak begitu. Tapi Mbak menginspirasi saya."Mbak Wati tak percaya. "Lah, jadi Mbak Nur ini bukan tukang buat kateringan beneran? Jadi perdana dong saya? Tapi bagus ini, Mbak. Packingnya rapih juga. Ini kayak yang udah lihai dan sering bikin pesanan!" pujinya lagi
Tok tok tok!Kuketuk pintu rumah pribadi untuk melihat siapa pria yang sedang duduk itu. Sejak aku datang baru terlihat belakang kepalanya saja. Badannya lumayan tinggi dan berisi. Pacar si Laras? Rambutnya juga bagus. Hemh, habis cukur kayaknya.Setelah mengetuk pintu pura-pura, pada akhirnya pria itu menoleh. Laras tidak terlihat di sekitar, apa dia sedang membuatkan minuman? Eh, tidak, minuman sudah ada di meja. Dengan cemilan sedikit menemani supaya si gelas tidak sepi."Lah, Mas Aryo?" batinku kaget saat pria itu menampakkan wajahnya. Lalu ia pun tersenyum dan setelah itu menundukkan pandangannya sejenak.Lanjut dia berdiri dan aku masih diam mematung di ambang pintu. Ada dag Dig dug serrr tidak bisa berhenti. Ini seperti melihat hantu berenkarnasi. Eh iya, istilahnya aku lupa. Maklum, bukan penggemar film-film seperti itu."Eh, Mbak Nur udah pulang? Ada tamu, Mbak!" seru Laras yang saat ini membuat pandanganku beralih menatapnya. Liurku terteguk saat Laras bilang ada tamu."Em,
"Kalau begitu Mas pamit dulu ya, Dek. Jangan sebut siapa dan mau apa kalau Mas datang lagi ke mari!" ujarnya sebelum pamit malam-malam seperti ini.Aku pun agak sedikit cemas. "Iya, Mas. Mas sudah saya anggap sebagai saudara. Tapi .. apa Mas tidak kembali besok saja. Mas bisa menginap di rumah Pak RT!" saranku.Dia pun menjawab. "Oh jangan khawatir. Mas tidak akan pergi ke Jawa langsung. Mas akan ke rumah teman dulu yang ada di perbatasan kabupaten ini. Mas akan menginap di sana karena ada urusan."Aku pun paham. "Oh begituh, ya sudah, Mas hati-hati ya. Salam untuk orang di sana!" sahutku."Insyaallah Mas salamkan. Kamu gak nitip salam juga buat yang sampein salam?" ucapnya. Namun saat aku sadar karena telmi, entah kenapa dadaku memburu. "Hemh? Maksudnya, Mas?" heranku.Mas Aryo malah tertawa kecil. "Sudah, jangan bahas." Dia pun menyalakan mesin kendaraan miliknya. Eh iya, punya dia atau punya temannya? Ah masa bodo."Ya sudah, Mas, hati-hati di jalan. Salamkan buat Mas Aryo dari sa
PoV Nur***"Nur, asyik banget. Abang ada perlu sama kamu!"Degh!Di sela-sela perselorohan antara aku dan Menul, tiba-tiba muncullah seorang pria yang membuat mataku membola. Si Menul saja sampai kaget. Ada apa lagi dia datang? Apalagi ini dalam suasana ramai. Ah, mau cari mati kah?"Bang Panjul, ngapain?" protes si Menul. Aku melihat dari raut wajahnya dia sama sekali tak suka dengan kedatangan pria ini. Aku juga sama, tidak suka sama sekali."Aku mau bicara sama kamu, Nur!" ujarnya lagi dengan nada yang agak naik. Bola matanya tidak berhenti tatap sana dan tatap sini. Apa dia aneh dengan tempat kerjaku ini?"Halah, sepertinya mau minjem duit, Nur!" celetuk si Menul lagi. Aku pun hanya diam tanpa menanggapi si Bang Panjul."Diam kamu gentong minyak!" hujat si Bang Panjul pada si Menul. Dia sok iye. Ngomong-ngomong, pelangganku yang sedang duduk menikmati makan siang pun sama gendutnya. Semoga tidak tersinggung.Si Menul pun tak diam. "Enakkan aku gentong minyak. Itu tandanya aku se
PoV Nur**"Huhah, huhah, ayok bayar 128 rebu. Es teh manisnya 4 gelas. 4 kali 5 rebu. Terus kerupuknya tadi habis 10 rebu. Jadi total 158 rebu. Ayok bayar!" Aku menagih janjinya yang akan membayar si pelanggan tadi."Hah? Kira-kira dong, Nur. Kamu namanya memeras aku. Mana mungkin dia makan segitu. Dia bukan buto ijo!" Dia malah berdalih."Heh, Bang, dia itu memang segitu makannya. Saya dekat dengan rumah dia. Ayok bayar!" Pria di sana membela dan meminta si Panjul langsung bayar. Untung saja ada saksi. Haha."Eh, tapi …." Si Bang Panjul keteteran."Jangan tapi-tapian, ayok bayar!" gertakku."Nur, sini, kita bicara dulu!"Dia malah menarik tanganku sampai keluar kedai. Orang-orang di sana pun heran. Aku memaksa supaya dia lepaskan tarikan tangannya. "Lepaskan!""Eh, Nur. Jangan berontak kenapa. Kita bisa bicara baik-baik. Abang bayar 30 ribu dulu, ya. Abang gak ada uang. Abang belum gajian. Gajian baru Minggu depan!" Dia mengelak."Enak saja. Pelangganku tadi sudah lari, dan itu gara