Home / Horor / Pesugihan Kandang Bubrah / 159. Gerbang yang Terbuka

Share

159. Gerbang yang Terbuka

Author: Ndraa Archer
last update Last Updated: 2025-02-09 23:54:45

Angin dingin bertiup semakin kencang, membuat dedaunan di hutan berbisik seperti suara-suara samar yang sulit dipahami. Lila menggenggam tangan Jatinegara erat, matanya menatap ke sekeliling dengan waspada.

Dimas berdiri tegap di depan batu besar dengan simbol aneh yang mereka temukan. Senter di tangannya mulai redup, seolah cahaya dari dunia nyata tidak bisa bertahan lama di tempat ini.

Ustadz Harman masih berdoa dengan khusyuk, suaranya terdengar tenang meskipun udara di sekitar mereka semakin berat.

Lalu, dari dalam kegelapan, terdengar suara langkah kaki yang semakin mendekat.

Lila menahan napas. “Apa itu?”

Dimas meraih sebilah pisau kecil yang selalu ia bawa, siap menghadapi apa pun yang muncul.

Siluet sosok tinggi muncul dari dalam bayangan pepohonan. Langkahnya lambat, tetapi setiap gerakannya terasa menekan. Cahaya senter yang redup hanya cukup untuk menampilkan bentuk samar tubuhnya.

Lila merasa tenggorokannya mengering. Itu bukan manusia biasa.

Sosok itu semakin dekat. Wajah
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Pesugihan Kandang Bubrah   160. Bayangan di Balik Ketenangan  

    Dan dalam sekejap mereka tidak lagi berada di hutan. Lila membuka matanya perlahan. Ia melihat rumah kecil mereka di kejauhan. Tanah yang kering, suara ayam berkokok, dan udara pagi yang lebih hangat dari sebelumnya.”Mereka benar-benar telah keluar.” Suara dari sekitar Lila.Jatinegara menatap sekeliling dengan bingung, lalu memeluk ibunya erat. “Ibu… kita pulang…”Lila menangis. Ia memeluk anaknya erat.Dimas menghela napas panjang. “Kita berhasil…”Namun, sebelum mereka bisa benar-benar tenang, suara lirih terdengar di belakang mereka.“Kalian sudah kembali… tapi ingatlah… tidak semua pintu yang tertutup akan tetap terkunci selamanya.” Lila menoleh.Tidak ada siapa-siapa.Mereka mungkin telah keluar. Tapi pesugihan Kandang Bubrah belum benar-benar hilang.Matahari pagi menyinari tanah yang masih basah oleh embun. Lila berdiri di depan rumah kecilnya, menatap ke kejauhan dengan pikiran yang masih dipenuhi kegelisahan.Mereka telah kembali. Tidak ada lagi suara bisikan dari hutan, ti

    Last Updated : 2025-02-10
  • Pesugihan Kandang Bubrah   161. Jeritan di Balik Pintu

    Angin dingin langsung masuk ke dalam rumah, membuat lampu redup bergoyang-goyang.Di ambang pintu, berdiri sesosok pria dengan pakaian yang sudah sobek dan tubuh yang tampak pucat.”Arif. Atau sesuatu yang menyerupai Arif,” gumam Lira, lebih berbisik.Matanya kosong, wajahnya pucat seperti mayat, tetapi bibirnya menyunggingkan senyuman tipis. “Lila…”Lila membekap mulutnya sendiri, menahan jeritan yang hampir keluar.Dimas berdiri di depannya, melindunginya dari sosok itu. “Kau bukan Arif.”Sosok itu menoleh perlahan ke arah Dimas, lalu tersenyum lebih lebar. “Apa kau yakin?”Suara itu dalam, tetapi terdengar lebih bergema dari suara manusia biasa.Ustadz Harman mulai membaca doa dengan suara lantang, mencoba melawan kehadiran makhluk itu.Namun, sosok Arif tidak bergerak. Ia tetap berdiri di ambang pintu, menatap lurus ke arah Lila.“Kau mengembalikan koin itu…” suaranya terdengar lirih. “Tapi kau lupa satu hal.”Lila menelan ludah. “Apa?”Sosok Arif itu menyeringai. “Kau… masih mema

    Last Updated : 2025-02-11
  • Pesugihan Kandang Bubrah   162. Kabut Pekat Menggantung di Udara

    Jatinegara berusaha menyembunyikan wajahnya di dada ibunya, menangis keras.Ustadz Harman membaca doa semakin cepat, tapi bayangan itu hanya diam, menatap mereka dengan tatapan kosong.Lalu, bibirnya bergerak. Tapi suara yang keluar bukanlah suara dari satu orang. Itu suara dari banyak orang—berlapis-lapis, bercampur menjadi satu, mengalun dalam bisikan yang menyesakkan dada.“Kalian pikir bisa pergi?”“Kami sudah ada di sini sejak lama.”“Dan kalian… adalah bagian dari kami.”Lila menggigit bibirnya sendiri, tubuhnya gemetar. Ia ingin menutup matanya, ingin mempercayai bahwa ini hanyalah mimpi buruk, tapi ini nyata.Dimas menarik Lila ke belakang, lalu berbisik cepat. “Kita harus keluar dari sini.”“Tapi bagaimana?” bisik Lila panik.Bayangan itu mulai bergerak maju. Langkahnya lambat, tapi setiap gerakannya terasa seperti mengguncang rumah ini dari dalam.Ustadz Harman berteriak, “Keluar! Sekarang!”Dimas langsung menarik Lila dan Jatinegara, memaksa mereka berlari ke pintu belakang

    Last Updated : 2025-02-12
  • Pesugihan Kandang Bubrah   163. Liontin Kecil

    Dalam sekejap, makhluk itu bergerak dengan kecepatan yang tidak masuk akal. Ia melompat mendekat, menerobos barisan pekerja yang tetap bekerja tanpa reaksi. Tangan besarnya hampir menyentuh Lila saat ia dengan cepat merunduk dan berlari sekuat tenaga menuju hutan yang lebih dalam.Dedaunan tajam mencambuk wajah dan lengannya, tetapi ia tidak peduli. Ia harus pergi dari sini, sebelum ia menjadi mangsa berikutnya.Di belakangnya, suara langkah makhluk itu semakin dekat. Napas beratnya menggetarkan udara, suaranya seperti raungan ribuan roh yang tersiksa. Lila menoleh ke belakang dan melihat makhluk itu melompat dari satu pohon ke pohon lainnya dengan cara yang tidak alami.Matanya bersinar merah pekat dalam kegelapan, seperti bara api yang menyala di dalam tubuh hitamnya.Makhluk itu terlalu cepat. Ia tidak mungkin bisa lari selamanya. Tiba-tiba, ingatannya menangkap sesuatu.”Liontin.” Tangannya meraba lehernya, mencari benda kecil yang diberikan Ustadz Harman sebelum mereka memulai per

    Last Updated : 2025-02-13
  • Pesugihan Kandang Bubrah    164. Perjalanan yang Belum Usai

    Suara berat itu membuat Lila menoleh cepat. Ustadz Harman berdiri di ambang pintu dengan ekspresi penuh keprihatinan. Di belakangnya, Jatinegara duduk bersandar di dinding, wajahnya pucat seperti orang yang baru saja melihat hantu.“Kau sudah sadar?” tanya Ustadz Harman, mendekat sambil membawa secangkir teh hangat.Lila mencoba bicara, tetapi tenggorokannya terasa kering. Ia hanya mengangguk pelan sebelum akhirnya berusaha mengumpulkan keberanian untuk bertanya, “Apa yang terjadi? Aku… aku ada di hutan. Lalu tiba-tiba aku—”“Kau pingsan,” potong Ustadz Harman dengan suara lembut. “Tadi kau berlari keluar rumah dalam keadaan linglung, seolah ada sesuatu yang menarikmu ke tempat lain. Kami mencoba menghentikanmu, tetapi kau terus berteriak… menyebut nama Arif.”Mata Lila melebar. ”Arif… aku melihatnya!”Jatinegara yang sedari tadi diam kini bersuara, suaranya serak. “Ibu, kau yakin? Maksud Jati, kita tahu Ayah Arif sudah…”“Tidak!” potong Lila cepat. “Aku melihatnya! Dia tidak sepenuhn

    Last Updated : 2025-02-14
  • Pesugihan Kandang Bubrah   165. Bayangan di Kegelapan

    Angin malam bertiup semakin kencang, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan bau anyir samar.Desa yang biasanya sunyi kini terasa lebih menyeramkan, seolah ada sesuatu yang bersembunyi di balik bayang-bayang. Lila menahan napas.Suara lirih dari dalam sumur semakin jelas. “Ibu… tolong aku…”Bu Wati kembali menangis, mencoba melepaskan diri dari genggaman Ustadz Harman yang menahannya. “Lepaskan saya, Ustadz! Itu suara anak saya! Dia ada di dalam sana!”“Bu Wati, dengarkan aku!” suara Ustadz Harman tetap tegas meski lembut. “Kalau itu memang Irfan, kita harus berpikir jernih! Jangan langsung turun ke sana, kita belum tahu apa yang sebenarnya ada di dalam sumur ini.”Bu Wati menangis semakin keras, tubuhnya gemetar. “Tapi… tapi itu suara Irfan! Saya tidak peduli! Saya akan menyelamatkan anak saya!&r

    Last Updated : 2025-02-15
  • Pesugihan Kandang Bubrah   166.  Isyarat Sang Penjaga

    Angin malam bertiup semakin kencang, membuat dedaunan berguguran dan dahan-dahan pohon meliuk seperti tangan-tangan kurus yang berusaha meraih sesuatu. Aroma tanah basah semakin tajam, bercampur dengan hawa dingin yang seakan menembus tulang.Lila menggenggam tangan Jatinegara erat-erat, mencoba menenangkan anaknya meskipun dirinya sendiri gemetar ketakutan. Matanya masih terpaku pada sosok kera putih raksasa yang berdiri tegak, memperhatikan mereka semua dengan tatapan penuh makna.Sementara itu, Ustadz Harman tetap berdiri tegak di sisi mereka, sorot matanya tajam, membaca situasi dengan penuh kewaspadaan.Kera itu tidak bergerak, tetapi tubuhnya yang besar memancarkan aura yang sulit dijelaskan bukan ancaman, tetapi juga bukan sesuatu yang sepenuhnya aman.Suara-suara yang tadi bergema dari sumur telah menghilang, meninggalkan keheningan yang justru terasa semakin menakutkan.

    Last Updated : 2025-02-16
  • Pesugihan Kandang Bubrah    167. Jejak di Balik Asap

    Angin berhembus semakin dingin, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan sesuatu yang lebih pekat—bau kematian.Lila berdiri tegang di depan rumah Pak Roji yang terbakar dengan api kebiruan yang aneh. Asap hitam membubung dari celah-celah atap, tetapi api itu sendiri tidak membakar kayu. Rumah itu tampak masih berdiri utuh meskipun dilalap nyala yang tidak wajar.Pak Roji tergeletak di tanah dengan tubuh kaku seperti patung, sementara Ustadz Harman terus melantunkan doa perlindungan. Di tangan Lila, gulungan kain putih yang ia temukan tadi masih terasa dingin, seakan mengandung energi yang bukan berasal dari dunia ini.Jatinegara, yang sejak tadi diam, menyalakan senternya ke arah pintu rumah yang terbuka sedikit. Bayangan seseorang tampak bergerak di dalam, samar-samar di balik asap pekat.“Ibu… ada orang di dalam,” bisiknya.Lila menoleh cepat, m

    Last Updated : 2025-02-17

Latest chapter

  • Pesugihan Kandang Bubrah   Terima kasih ya, Teman-teman....

    Terima kasih ya, Teman-teman...Nggak kerasa, ya? Kita udah bareng-bareng dari Bab 1 sampai Bab 262. Cerita Arif Mahoni dan dunia mistis Kandang Bubrah udah nemenin kita selama berbulan-bulan (atau bahkan tahunan? hahaha maksud aku akhir tahun2024-2025 seolah tahunan). Rasanya nano-nano banget nulis cerita ini kadang aku tuh merinding, kadang nangis sendiri, kadang pengin nyubit karakter buatan sendiri.Tapi yang bikin aku terus semangat nulis sampai tamat itu kalian. Iya, kalian yang tiap update langsung baca. Yang rela ngulang bab-bab sebelumnya, yang rajin komentar, yang kirim DM /WA langsung penuh semangat, bahkan yang suka nyebutin adegan favorit, tau ngak? kalian tuh the real MVP. Tanpa kalian, cerita ini mungkin nggak akan pernah selesai.Shout-out khusus buat pembaca aktif dan penggemar setia yang dari awal udah jadi saksi hidupnya Arif. Kalian tahu siapa kalian, kan? Yang suka bikin teori, yang marah kalau tokohnya nyebelin, yang minta ending macem-macem, sampai yang suka ngan

  • Pesugihan Kandang Bubrah   262. Menjelang Senja

    Senja datang perlahan seperti kabut tipis yang menyelimuti perbukitan di kejauhan. Cahaya jingga merambat di dinding rumah, memantulkan warna emas pada bingkai foto dan kaca jendela yang berembun. Di beranda, Lila duduk ditemani secangkir wedang jahe dan suara angin lembut yang menyisir pohon kenanga.Hari itu, seluruh warga desa berkumpul di balai untuk doa bersama. Jatinegara diminta untuk menyampaikan sepatah dua patah kata sebagai perwakilan generasi muda. Lila tak ikut, tubuhnya sudah terlalu letih. Tapi ia tidak sendiri. Ia ditemani segala kenangan yang selama ini disimpannya dalam diam.Ia menatap foto Arif yang kini terbingkai lebih kokoh dari sebelumnya. Dalam hati, ia berbicara, seperti berbicara pada seseorang yang duduk di sampingnya."Aku nggak tahu berapa lama lagi waktu akan memberiku ruang, Rif. Tapi aku nggak takut. Aku sudah lihat kamu dalam mimpiku. Aku pernah tinggal bersama bayang-bayangmu. Dan sekarang, aku tinggal di dunia yang kita bentuk bersama... meski kau l

  • Pesugihan Kandang Bubrah   261. Surat yang Tak Pernah Terkirim

    "Kepada Dimas...Jika kau memang pernah ada, terima kasih sudah menemani aku di dunia yang tak nyata itu. Mungkin kau hanya bayangan, bentukan dari rasa sepi dan kehilangan. Tapi dalam mimpi itu, aku merasa dicintai, aku merasa dilindungi, dan aku merasa masih punya masa depan.Kau hadir ketika aku paling rapuh, dan kau tinggal hingga aku kembali kuat. Itu lebih dari cukup.Hari ini, aku menatap hidupku apa adanya. Tak ada Dimas. Yang ada hanyalah Arif, suamiku yang telah lama tiada. Dan Jatinegara, anak kami yang kini berdiri kokoh meski tumbuh tanpa pelukan ayahnya.Aku tidak lagi bertanya kenapa hidup tak seperti dalam mimpiku. Aku hanya bersyukur, karena pernah punya keberanian untuk mencintai—meski hanya dalam tidur panjangku."Lila berhenti menulis. Air mata mengalir perlahan di pipinya. Tapi ia tersenyum. Ada sesuatu yang lega dalam dirinya. Seperti beban yang lama mengendap akhirnya luruh bersama hujan pagi itu.Ia melipat surat itu perlahan, lalu meletakkannya di dalam kotak

  • Pesugihan Kandang Bubrah   260. Antara Kenangan dan Kenyataan

    Mungkin memang tidak ada Dimas. Tapi ada Arif, yang dulu pernah ia cintai, yang memberinya Jatinegara. Ada dirinya yang kuat. Ada kenangan yang meskipun hanya mimpi, terasa nyata hingga akhir hayat.Hari itu, udara di Desa Misahan membawa aroma kenanga dan tanah basah. Lila duduk di kursi rotan di beranda rumah, selimut menutupi kakinya yang mulai sulit digerakkan. Di sampingnya, secangkir teh melati mengepul pelan. Suasana begitu hening, namun tidak sunyi. Heningnya menenangkan, seperti bisikan yang sudah akrab didengar selama puluhan tahun.Jatinegara sibuk menyapu halaman. Tubuhnya tinggi tegap, langkahnya mantap. Beberapa kali ia melirik ke arah ibunya, memastikan Lila baik-baik saja. Sesekali, ia melempar senyum. Lila membalasnya dengan anggukan kecil.“Bu, nanti siang aku masak sop ya,” seru Jatinegara dari kejauhan.“Jangan lupa kasih seledri,” jawab Lila pelan, suaranya mulai bergetar, tapi masih hangat.Jatinegara tertawa. “Iya, Bu. Aku ingat.”Lila menatap langit. Awan putih

  • Pesugihan Kandang Bubrah   259. Tangan yang Menyatu

    Dalam perjalanan pulang, Lila dan Dimas mampir ke kebun warga. Beberapa anak muda sedang bangun rumah kaca kecil dari bilah bambu dan plastik bening."Lagi nyoba tanam tomat, Bu," kata salah satu dari mereka. "Sama cabai dikit-dikit."Lila jongkok, memperhatikan tanah yang baru dicangkul."Bagus. Rawat baik-baik ya. Ini bukan cuma kebun. Ini cara kita berdamai."Dimas membantu memasang atap plastik, ikut mengikat tali rafia. Saat selesai, mereka duduk di bawah pohon, menikmati air kelapa muda yang baru dipetik."Rasanya beda, ya," gumam Lila sambil menatap langit. "Bukan karena hutannya udah nggak ada, tapi karena sekarang, kita udah bisa narik napas tanpa takut."Dimas mengangguk. "Dan kita nggak sendiri lagi."Ia menggenggam tangan Lila. Di sekitar mereka, suara tawa, palu, dan cangkul menyatu jadi musik baru desa itu.Malamnya, Lila mencatat di buku hariannya:“Hari ini aku lihat wajah-wajah yang dulu takut, sekarang tersenyum. Lengan-lengan yang dulu hanya memeluk ketakutan, sekar

  • Pesugihan Kandang Bubrah   258. Selimut Pagi

    Dimas duduk di sebelahnya. "Kamu ingat waktu dulu kita duduk seperti ini tapi sambil memegangi jimat dan pisau garam?"Lila tertawa pelan. "Dan merapal doa setiap kali angin bertiup terlalu kencang. Sekarang, angin hanya angin."Setelah sarapan, mereka mengajak Jatinegara ke ladang milik warga yang mulai dikelola bersama. Dulu tanah itu tak tersentuh karena diyakini ‘tidak bersih’, tapi kini warga mulai menanam jagung, cabai, dan kacang panjang di sana.“Tanah ini dulu menyerap banyak darah dan rahasia,” kata Pak Suroto, warga tertua di desa. “Tapi anak-anak sekarang akan menyiramnya dengan air dan tawa. Itu cukup. Lebih dari cukup.”Lila membantu menanam bibit, sementara Dimas menggali parit kecil bersama pemuda desa. Jatinegara asyik bermain tanah dengan anak-anak lain.“Dulu aku ingin pergi dari sini,” kata Lila sambil menepuk tanah. “Sekarang, aku ingin menua di sini.”Dimas memandangnya dengan mata hangat. “Kita akan menua di sini. Bersama.”Sore hari, langit mulai berwarna jingg

  • Pesugihan Kandang Bubrah   257. Langit yang Terbuka

    "Apa yang harus kami lakukan?" tanya Lila.Bu Retno menggenggam tangan Lila erat."Kalian harus kembali ke tempat asal semua ini. Hutan Misahan. Di sanalah jejak terakhir Arif terkubur. Dan mungkin... hanya di sanalah kalian bisa benar-benar membebaskan diri dari bayangannya."Malam pun tiba.Lila duduk di samping tempat tidur Jatinegara, menatap wajah anaknya yang kini tampak lebih dewasa dari usianya."Besok, Ayah dan Ibu harus pergi sebentar," bisiknya."Ke mana?" tanya Jatinegara mengantuk."Ke tempat yang dulu pernah kita tinggalkan. Tapi kali ini, untuk menutup semuanya."Jatinegara menggenggam jari ibunya. "Jangan lama-lama, ya. Aku tunggu di sini."Lila mencium kening anaknya. "Kami janji akan kembali."Dan di luar rumah, pohon mangga bergoyang pelan. Angin malam membawa bisikan samar:"Tutup yang terbuka dan lepaskan yang tertinggal."Langkah Lila sudah semakin dekat. Dia sudah tidak sanggup menghadapi segala kejadian itu.Esok hari, mereka akan kembali ke hutan.Pagi itu, si

  • Pesugihan Kandang Bubrah   256. Bisikan Terakhir

    Malam itu, mereka berdua duduk di teras, menatap bintang sambil berbicara pelan."Kamu pikir ini... sisa dari dunia yang dulu?" tanya Lila, nada suaranya penuh kekhawatiran."Mungkin," jawab Dimas. "Atau mungkin, ini bentuk baru. Bentuk dari semua luka, ketakutan, dan harapan yang pernah kita alami."Lila memeluk dirinya sendiri, merasa sedikit dingin."Aku cuma takut," katanya. "Takut kalau kita belum benar-benar bebas."Dimas meraih tangan Lila, menggenggamnya erat."Apa pun yang terjadi, kita hadapi bersama. Kita sudah lewati kegelapan. Kita bisa lewati apa pun," katanya, penuh keyakinan.Lila tersenyum tipis. "Aku percaya itu."Angin malam berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dan bunga kenanga. Di kejauhan, suara serangga malam berdengung pelan, seperti irama alam yang mengiringi percakapan mereka.Beberapa hari kemudian, saat Lila membawa Jatinegara bermain di taman kecil mereka, anak itu menunjuk ke arah tunas mangga yang kini tumbuh setinggi pinggang orang dewasa. Daunny

  • Pesugihan Kandang Bubrah   255. Tanda-Tanda Kehidupan Baru

    Namun, dalam keheningan malam, ada kalanya Lila terbangun. Bukan karena ketakutan, melainkan karena rindu. Rindu akan kenangan yang perlahan memudar—ulang tahun pertama Jatinegara, suara tawa Arif di halaman, percakapan-percakapan kecil yang dulu terasa biasa tapi kini sangat berarti.Setiap kali rindu itu datang, Lila akan duduk di beranda, menatap bintang, dan berbicara dalam hati."Terima kasih, Rif. Karena cinta dan keberanianmu, kami bisa bertahan."Di dalam rumah, Jatinegara dan Dimas tidur tenang, di bawah atap yang kini benar-benar menjadi rumah, bukan lagi tempat berteduh dari kegelapan.Dan di taman kecil itu, di tempat biji mangga ditanam, sebuah tunas kecil mulai muncul, menghijau di bawah sinar matahari.Tanda kehidupan baru.Tanda bahwa di balik setiap luka, selalu ada harapan yang tumbuh.Mereka telah kehilangan banyak. Tapi mereka juga telah menemukan sesuatu yang jauh lebih berharga:Kehidupan, cinta, dan keberanian untuk melangkah maju, meski jalan itu pernah dipenuh

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status