Dukun tua yang mengikat perjanjian darah antara sang buyut dengan Nyi Kukun, mahkluk gaib haus darah perawan, telah tiada. Kini, beban mengerikan itu jatuh ke pundak Aminah. Setiap bulan, ia harus mempersembahkan darah haid para perawan desa. Jika tidak, seluruh desa akan dilanda kutukan mengerikan. Lantas, bagaimana nasib Aminah? Terlebih, kedua putrinya mulai curiga dan hal itu ternyata menggangu ketenangan Nyi Kukun....
Lihat lebih banyakBab 1.
Gudang itu pengap, cahaya dari jendela kecil di ujung ruangan nyaris tak sanggup menembus tirai debu yang bergelantung di udara. Di sebuah dipan usang, Bu Aminah terkulai pasrah, tubuhnya telentang, dengan hanya tersisa pakaian bagian atas tubuhnya. Tangannya gemetar, memeluk dadanya seolah melindungi sesuatu yang tak terlihat. Nafasnya terputus-putus, sesekali rintihan pelan lolos dari bibirnya yang pucat. Matanya tertutup rapat, kepalanya bergerak perlahan seperti menahan sakit yang tak terlukiskan. Sesekali tubuhnya bergetar, menggeliat di atas dipan dingin yang berbau lembap dan tua. "Ingat dua hari lagi, aku minta lebih dari ini." Suara serak, setengah berbisik mengisi ruangan yang tampak sepi dari luar. Aminah hanya mengangguk, masih dengan posisi dan keadaan yang sama. *** Sementara itu, di rumah, Pak Taryo melempar pandangan ke arah putrinya, Renata, yang duduk bersandar malas di sofa dengan ponsel di tangan. Gadis itu asyik scroll layar tanpa peduli. “Ibumu ke mana?” tanya Pak Taryo, matanya sedikit menyipit karena merasa ada yang ganjil. Renata, tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel, menjawab seadanya, “Tadi kasih makan ayam, Yah.” Pak Taryo hanya mengangguk pelan, lalu melangkah menuju belakang rumah. Namun... Kreeet! Derit pintu tua membuat langkah Pak Taryo terhenti, sosok Bu Aminah muncul. Wajahnya pucat, rambutnya agak berantakan, keringat mengalir di pelipis meski dia mencoba mengatur napasnya agar tampak tenang. "Bu, beli sayuran sama bahan pokok, ini sudah siang," perintah Pak Taryo, tidak menyadari kegelisahan yang tersembunyi di balik tatapan istrinya. Aminah menarik napas panjang, mencoba tersenyum meski sangat lelah. “Nanti sore aja, ya Pak, sekarang mah masih ada urusan.” “Urusan? Ibu... Ibu, buat apa ngumpulin pembalut bekas warga? Apa gak jijik, Bu? Udah atuh, Ibu teh ulah aneh-aneh!” ejek Pak Taryo sambil melirik sinis ke arah istri yang masih terlihat linglung. Bu Aminah menatapnya tajam, mencoba menahan emosi. “Aku teh, kan lagi bantu warga, Pak. Biar kampung ini aman dari teror Kukun. Apa bapak tidak merasakan bedanya? Aku teh udah ngomong ini berkali-kali. Teu ngarti wae ari Bapak!” ucapnya pelan namun tegas, matanya masih menyiratkan kegelisahan. "Bu. Ibu teh sekarang lagi isi lagi. Kalau kata sepuh mah, lagi bau-bau nya kecium sama makhluk astral. Atuh kalau gitu mah, jadi nyelakain diri sendiri. Niat bantu orang, ngorbanin diri sendiri." "Udah ah Pak, ngobrol sama Bapak mah capek. Da ibu yang ngrasain, gak usah kudu ikutan repot, Bapak teh. Ibu mah baik-baik saja ko," sahut Aminah sambil berlalu ke tempat kantung kresek bekas, yang sengaja Aminah kumpulkan kalau dari berbelanja. Renata yang sedari tadi diam, mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. Mata remajanya menelusuri penampilan ibunya yang sedikit berantakan. “Bu, itu bajunya kotor. Apa gak ganti dulu? Malu ih kelihatan orang-orang,” tegurnya, melihat ada bercak seperti tanah dan debu di baju Bu Aminah. “Gak usah. Nanti juga kotor lagi,” jawab Aminah singkat, nadanya datar dan tak peduli. Tiba-tiba ponsel di tangan Renata bergetar. Ia melihat layarnya sebentar lalu menyerahkan pada ibunya. “Eh, Teh Leha? Ada apa dia nelepon? Tumben." "Iya Teh. Aya naon?" tanya Renata pada sambungan telepon. "Kasih teleponnya ke, Ibu." Bu Aminah menerima ponsel itu dengan sedikit gemetar. “Halo, Leha. Kumaha kabar kamu?" Dari seberang, terdengar suara Leha yang ceria. “Aku baik, Bu. Oh ya, lusa aku pulang. Semua urusan kuliah udah selesai!” Bu Aminah terdiam sejenak, wajahnya yang tadi lelah kini berubah. Tatapannya tajam dan penuh pertimbangan, seolah tengah menyusun rencana yang tak terucap. "Leha... kamu gak perlu pulang dulu. Cari sekolah buat ngajar di kota aja. Dedikasiin ilmumu di sana." Leha terdiam sesaat, tak menyangka. “Tapi, Bu, aku kuliah juga buat memajukan kampung kita…” Aminah mendesah panjang. Tidak ada yang bisa ia katakan lagi untuk menahan Leha. “Kalau begitu, hati-hati, ya.” Setelah menutup telepon, Bu Aminah memandangi ponsel di tangannya. Pikirannya berputar cepat. Semuanya harus rapi sebelum Leha pulang, atau semuanya akan hancur. Tanpa banyak bicara, Bu Aminah melanjutkan tugasnya. Ia berkeliling kampung, mengetuk satu rumah ke rumah lain, mengumpulkan pembalut dari para wanita. Pembalut dengan darah haid yang masih segar, tidak dicuci. Setiap kali menerima, wajahnya serius, seperti merasakan sesuatu dari barang-barang itu. "Kamu ngapain ikut? Gak sabar banget," bisik Aminah saat berkeliling kampung. Orang lain tidak tahu bahwa Aminah tidak berjalan sendiri. Sesekali Aminah, mengusap tangan yang menjinjing kantung kresek yang berisi pembalut-pembalut. Seakan-akan ada orang yang menggelayut, menguntit tidak sabar menginginkan apa yang ada di dalam kantung itu. "Eh, Mak Aminah. Tugas Mak?" sapa salah seorang warga yang kebetulan ada di depan rumahnya. "Iya Bu. Ada tidak?" jawab Aminah, sambil menanyakan apakah di rumah ibu tersebut ada pembalut yang harus ia ambil. "Lagi gak ada nih, Mak. Anak-anak lagi pada libur di neneknya." "Oh... Mangga atuh." Saat sampai di rumah terakhir, seorang tetangga tersenyum sambil menggendong bayi perempuan yang baru lahir. Mata Bu Aminah menajam, senyumnya melengkung misterius. "Mak Aminah. Lagi tugas?" sapa ibu muda itu. "Iya, Neng." Bu Aminah menyahut sambil menghampiri. "Lahiran kapan ini Neng? Kok baru tahu," lanjutnya. "Kemarin malam, Mak." "Kebetulan bayi ini perempuan, ya," ucapnya dengan nada yang nyaris tak terdengar, menatap bayi itu dengan pandangan penuh arti. "Apa Mak?" sahut ibu muda itu, dia agak mendengar sesuatu yang diucapkan Aminah. Bersambung...Bab 41"Astaghfirullahaladzim...," gumam Leha. Dia tahu yang didengarnya adalah halusinasi.Leha tetap melanjutkan perjalanan, melewati jalan kecil di desa yang sunyi, hanya ada beberapa orang yang terlihat di pinggir jalan. Namun, ada sesuatu yang aneh.Orang-orang itu berdiri dengan posisi kaku, kepala mereka sedikit miring, dan mata mereka kosong, seolah menatap jauh ke dalam jiwa Leha. Beberapa bahkan tersenyum lebar, tetapi senyuman itu terasa dingin dan tidak manusiawi.Saat Leha melewati mereka, ia merasakan udara dingin menusuk kulitnya. Salah satu dari mereka, seorang lelaki tua dengan topi anyaman, melambaikan tangan pelan. Leha hampir menghentikan motornya untuk membalas, tetapi ia melihat tangan lelaki itu terlalu panjang, jari-jarinya menghitam seperti hangus.Leha menghela napas, mencoba untuk tidak panik.“Ini cuma imajinasi... Cuma pikiran aku aja,” gumamnya, namun hatinya tetap gelisah.Ketika hampir sampai di tikungan menuju sekolah, ia melihat seorang perempuan muda
Bab 40Keesokan harinya, suasana pagi di rumah Leha masih diliputi kesunyian yang terasa ganjil. Di meja makan, Leha menyiapkan diri untuk berangkat mengajar. Taryo, yang sejak tadi memperhatikan putrinya, akhirnya membuka percakapan."Leha," panggil Taryo sambil menyeduh kopi hitam. "Ayah mau ngomong. Kamu nggak capek jadi guru honorer? Gajinya kecil, tenagamu habis. Belum lagi bensin tiap hari. Gimana kalau kamu nerusin warung almarhum ibumu saja? Lebih praktis, kan?"Leha menghentikan sendoknya yang sedang mengaduk teh. Ia memandang ayahnya dengan raut wajah dilema."Ayah, Leha jadi guru bukan cuma soal uang," jawabnya pelan, mencoba menahan gejolak hatinya. "Leha ingin desa ini berubah. Anak-anak di sini butuh pendidikan, biar nggak gampang ditipu atau terjerumus pada hal-hal yang salah. Apalagi sekarang... teror ku... Em, maksud Leha, teror kemalasan dan gaptek, sudah semakin parah. Kalau Leha berhenti, siapa yang akan ngajari mereka?"Taryo meletakkan cangkirnya dengan sedikit k
Bab 39 Renata yang sejak tadi terdiam, tiba-tiba mendekat dan memeluk Leha erat. Air matanya mengalir saat ia mencoba menenangkan kakaknya. "Teh, tenang, ya. Kita butuh Teh Leha. Jangan seperti ini," ujar Renata, suaranya bergetar. Dede, adik bungsu mereka, ikut bergabung dalam pelukan itu. Meskipun ia masih kecil, ia tahu keluarganya sedang menghadapi sesuatu yang besar dan menakutkan. "Teh Leha jangan marah-marah. Dede takut," gumamnya pelan. Pelukan itu membuat kemarahan Leha perlahan surut. Ia menarik napas panjang, menenangkan diri. Suara tawa di luar sana yang tadi menggema kini perlahan mereda. Namun, keheningan itu justru terasa semakin menekan. Juju dan Sastra memandang cucu-cucunya dengan tatapan cemas. Mereka menyadari bahwa suara tawa itu tak mungkin berasal dari manusia. Namun, mereka memilih diam, tak ingin membuat keadaan semakin tegang. Tentunya saja wajah cemas yang ditunjukkan kedua lansia itu, palsu. Di sisi lain, Taryo hanya mengamati dengan bingung. I
Bab 38 Setelah tiba di rumah, Renata tak mampu menahan emosinya. Tubuhnya bergetar, napasnya memburu, dan air matanya terus mengalir. Ia berlari menuju kamar ibunya, tadinya mau menumpahkan kesedihan di sana.Namun, dia melihat Kakaknya sedang duduk memandangi kain putih milik mendiang Aminah."Teh!" Renata terisak, suaranya serak oleh kesedihan yang menyesakkan dada. "Ibu... Ibu hilang! Jenazahnya tidak ada!"Leha terdiam sejenak, wajahnya yang pucat menegang. "Apa maksudmu? Hilang?!" tanyanya dengan nada tak percaya.Renata mulai menjelaskan, meski kalimatnya tak beraturan. Ia bercerita bagaimana jenazah ibu mereka menghilang dari liang lahat, diiringi suara tawa mengerikan dan keanehan yang tak masuk akal.Mata Leha menyala oleh emosi. Ia melompat dari tempat duduknya, membuka pintu kamar dengan kasar, dan berjalan keluar dengan langkah cepat. Juju, nenek mereka, yang sedang duduk di ruang tengah bersama Sastra, kaget melihat cucunya melintas dengan penuh amarah."Leha! Mau ke man
Bab 37Renata dan Dede yang terguncang berusaha bangkit, tetapi kakinya lemas. "Ibu? Ibu kemana?" teriak mereka dengan suara terbata, tubuh terasa sangat lelah dan terhimpit oleh rasa takut yang mendalam.Tak jauh dari sana, sesosok bayangan tampak melintas dengan cepat, seperti sesuatu yang menunggangi angin. Beberapa orang di bisa merasakan kehadiran makhluk asing, seolah sesuatu yang sangat kuat tengah mengawasi mereka."Ini... bukan kebetulan," pikir Juju dalam hati. "Ini adalah perbuatan mereka... makhluk-makhluk itu."Taryo mencoba tenang, namun ia tak mampu menyembunyikan kekhawatiran yang terlihat jelas di wajahnya."Nak... kita harus pulang. Ini bukan tempat yang aman," katanya, namun suara ketakutannya tak bisa ia sembunyikan.Para kerabat yang hadir tampak panik. Mereka semua mulai menjauh dari liang kubur, mencoba untuk lari dari tempat itu. Keanehan ini tidak hanya menyerang Keluarga duka, namun semua orang yang ada di sana merasakan adanya kekuatan yang tak kasat mata.T
Bab 36. Aminah menoleh, tapi dia tidak berbicara apa pun."Ibu, ayo. Nanti Ibu kecapean," paksa Leha.Berkali-kali Leha memaksa, karena Aminah cuma diam dan terus berjalan, setelah menatap Leha."Ibu, jangan kaya gitu. Leha gak tega kalau harus pulang sendiri. Padahal ibu kerepotan," paksa Leha sekali lagi.Aminah menggeleng pelan, dengan sorot mata redup tapi tajam. Bahkan tangannya sedikit terangkat, menandakan penolakan.Leha terdiam, ada rasa merinding melihat tatapan ibunya."Yaudah, kalau gitu Leha pulang duluan ya Bu."Aminah tidak merespon. Yang Leha lihat Aminah terus berjalan sambil menenteng kresek besar, yang kelihatannya terasa berat.Dalam perjalanan pulang, Leha berpikir. Mungkin ibunya tidak mau diajak, karena takut bau amis darah dari pembalut mengotori motor, atau membuat Leha tidak nyaman. Dia berpikir positif saja.###Ketika Leha tiba di rumah, suasana sudah berubah mencekam. Banyak orang berkerumun di halaman, beberapa bahkan menangis histeris."Bendera kuning?"
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen