Beranda / Horor / Pesugihan Kandang Bubrah / 5. Mencari Desa Srengege

Share

5. Mencari Desa Srengege

Penulis: Ndraa Archer
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-08 11:25:35

“Aku harus segera pergi dari sini, tapi di mana letak hutan itu?” tanyanya pada diri sendiri. Arif sudah tidak ambil pusing dengan keadaan di sekitarnya yang terasa janggal.  

Suasana hutan saat itu terasa sepi, tiba-tiba awan menjadi mendung di siang hari. Arif teringat peringatan Mbah Mijan.  

“Hanya malam Jumat Kliwon, tepat di hari Kamis Legi. Waktu itu, Desa Srengege akan muncul.” Saat itu, Arif merasa jantungnya berdebar, teringat betapa pentingnya malam itu. Dia bertanya-tanya mengapa hanya malam tertentu desa itu bisa ditemukan, dan apa yang menunggu di dalam kegelapan.  

Arif teringat kembali kata-kata Mbah Mijan. “Desa itu terperangkap dalam dimensi lain,” kata Mbah Mijan terbayang di benaknya.  

“Hanya pada malam itu, gerbang menuju Srengege terbuka.” Arif merasakan keraguan menghampiri. Bagaimana jika dia terjebak di tempat itu selamanya?

Mendengar suara gemerisik di semak-semak, Arif menahan napas. Dia mengedarkan pandangan, berusaha menemukan sumber suara itu, ketika tiba-tiba seorang pemuda muncul dari kegelapan. Pemuda itu berambut panjang dan berwajah pucat, dengan tatapan tajam penuh misteri.  

“Kau terlihat seperti seseorang yang baru saja kehilangan arah,” katanya, suaranya rendah namun tegas.  

“Siapa kau?” tanya Arif, yang masih belum jelas melihat wajahnya.  

“Aku Dimas, Arif,” jawabnya sambil tersenyum sinis.  

“Aku juga mencari desa yang kau cari. Srengege, bukan?” ujarnya. Arif teringat saat Dimas menyapanya lalu hilang begitu saja; dalam hatinya ada keraguan mendalam.  

‘Kenapa wajahnya pucat, bahkan dia tampak berbeda dengan Dimas yang aku kenal?’ tanyanya dalam hati. ‘Sudahlah, siapapun dia, saat ini aku butuh teman,’ lanjutnya membatin.

Sebenarnya, kehadiran dan kata-kata Dimas membuat Arif merinding. Bagaimana pemuda itu bisa tahu tujuannya? Hanya kondisi yang sangat mendesak membuat Arif menutup semua perasaan itu.  

“Apa kau tahu di mana desa itu?” tanya Arif penuh harapan.  

“Belum, tapi aku tahu satu atau dua hal tentang tempat ini,” jawab Dimas, ekspresinya serius.  

“Ada sesuatu yang gelap mengintai di balik kegelapan. Banyak yang datang ke sini, tetapi tidak semua kembali.” Dimas mengelilingi Arif sambil bersuara pelan dan penuh misteri, sesekali berbisik menegangkan.  

Arif merasakan ketakutan menyusup ke dalam jiwanya. “Mbah Mijan bilang ada yang menunggu di sana. Apakah kau tahu apa yang dimaksud?”  

“Ya,” jawab Dimas, suaranya menegaskan.  

“Sesuatu yang sangat kuat. Mereka yang mencari kekayaan sering kali dihadapkan pada pilihan yang mengerikan.” Dimas menjelaskan, seolah mengambarkan suasana di desa itu.

Arif menelan saliva, wajahnya memucat. Bahkan dia sadar saat ini di udara yang dingin karena matahari tertutup mendung bisa membuatnya berkeringat dingin. Tapi teringat kembali dengan pertikaian yang membuat orang tuanya dipermalukan oleh keluarganya sendiri.

“Tapi aku harus pergi! Ini satu-satunya kesempatan untuk mengubah hidupku!” Arif merasakan kemarahan dan ketakutan berbaur.  

Dimas menatapnya dalam-dalam. “Baiklah, tetapi jika kau pergi, kau harus siap untuk menghadapi apa pun yang ada di depan. Dan ingat, tidak semua yang tampak seperti teman adalah teman.”  

“Aku mengerti. Mari kita pergi bersama,” Arif menjawab, memutuskan untuk mempercayai pemuda yang dia kenal tapi tampak berbeda dan misterius. Mereka mulai melangkah, menjelajahi kegelapan hutan yang semakin menakutkan.  

Namun, saat mereka berjalan, suara-suara aneh mulai terdengar di sekitar mereka. Suara bisikan, seolah-olah hutan itu hidup dan menyaksikan setiap gerakan mereka. Dimas berhenti dan menoleh ke arah Arif dengan ekspresi serius.

“Kita tidak sendiri. Sesuatu mengawasi kita.” Arif menelan saliva lagi, mendengar kata-kata Dimas, bahkan wajah Dimas yang pucat lebih menyeramkan saat megatakan hal itu. Jantung Arif berdetak lebih cepat.

“Apa maksudmu?” tanyanya, Arif merasakan kepanikan mulai menjalar.

 “Kau harus bersiap. Keputusan yang kau ambil bisa membawamu ke kegelapan yang lebih dalam,” jawab Dimas, tatapannya beralih ke bayangan di antara pepohonan.

“Ikuti instruksiku, dan jangan lupakan kata-kataku.” Arif mengangguk mendengarkan kalimat Dimas yang selanjutnya.

Sebelum Arif bisa menjawab, suara gemerisik semakin mendekat. Dari balik semak-semak, sepasang mata menyala muncul, menatap mereka dengan tajam. Arif merasa darahnya membeku, dan ketakutan mengalir di seluruh tubuhnya.

“Apa itu?” Arif berbisik, tak bisa mengalihkan pandangannya dari mata-mata itu.

Dimas menarik Arif ke belakang, melindunginya. “Jangan bergerak. Apa pun yang kau lakukan, jangan tunjukkan ketakutanmu.”

Kegelapan semakin mendekat, suara-suara aneh semakin keras, menambah rasa cemas yang menggantung di udara. Arif merasakan perasaan tak terlukiskan bahwa mereka telah memasuki wilayah yang tidak seharusnya mereka masuki.

Dengan bayangan yang semakin dekat dan misteri yang menunggu untuk terungkap, Arif dan Dimas berhadapan dengan ketakutan yang mengintai.

Dalam hati Arif mulai bertanya-tanya. ‘Apakah Kami akan menemukan desa itu, ataukah kami akan menjadi bagian dari kegelapan yang selama ini aku coba hindari?’

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Lovely
Dimas kukira kamu baik
goodnovel comment avatar
Diva
you kebanyakan gaya banget, rip. ntr nyesel lu ya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Pesugihan Kandang Bubrah   Terima kasih ya, Teman-teman....

    Terima kasih ya, Teman-teman...Nggak kerasa, ya? Kita udah bareng-bareng dari Bab 1 sampai Bab 262. Cerita Arif Mahoni dan dunia mistis Kandang Bubrah udah nemenin kita selama berbulan-bulan (atau bahkan tahunan? hahaha maksud aku akhir tahun2024-2025 seolah tahunan). Rasanya nano-nano banget nulis cerita ini kadang aku tuh merinding, kadang nangis sendiri, kadang pengin nyubit karakter buatan sendiri.Tapi yang bikin aku terus semangat nulis sampai tamat itu kalian. Iya, kalian yang tiap update langsung baca. Yang rela ngulang bab-bab sebelumnya, yang rajin komentar, yang kirim DM /WA langsung penuh semangat, bahkan yang suka nyebutin adegan favorit, tau ngak? kalian tuh the real MVP. Tanpa kalian, cerita ini mungkin nggak akan pernah selesai.Shout-out khusus buat pembaca aktif dan penggemar setia yang dari awal udah jadi saksi hidupnya Arif. Kalian tahu siapa kalian, kan? Yang suka bikin teori, yang marah kalau tokohnya nyebelin, yang minta ending macem-macem, sampai yang suka ngan

  • Pesugihan Kandang Bubrah   262. Menjelang Senja

    Senja datang perlahan seperti kabut tipis yang menyelimuti perbukitan di kejauhan. Cahaya jingga merambat di dinding rumah, memantulkan warna emas pada bingkai foto dan kaca jendela yang berembun. Di beranda, Lila duduk ditemani secangkir wedang jahe dan suara angin lembut yang menyisir pohon kenanga.Hari itu, seluruh warga desa berkumpul di balai untuk doa bersama. Jatinegara diminta untuk menyampaikan sepatah dua patah kata sebagai perwakilan generasi muda. Lila tak ikut, tubuhnya sudah terlalu letih. Tapi ia tidak sendiri. Ia ditemani segala kenangan yang selama ini disimpannya dalam diam.Ia menatap foto Arif yang kini terbingkai lebih kokoh dari sebelumnya. Dalam hati, ia berbicara, seperti berbicara pada seseorang yang duduk di sampingnya."Aku nggak tahu berapa lama lagi waktu akan memberiku ruang, Rif. Tapi aku nggak takut. Aku sudah lihat kamu dalam mimpiku. Aku pernah tinggal bersama bayang-bayangmu. Dan sekarang, aku tinggal di dunia yang kita bentuk bersama... meski kau l

  • Pesugihan Kandang Bubrah   261. Surat yang Tak Pernah Terkirim

    "Kepada Dimas...Jika kau memang pernah ada, terima kasih sudah menemani aku di dunia yang tak nyata itu. Mungkin kau hanya bayangan, bentukan dari rasa sepi dan kehilangan. Tapi dalam mimpi itu, aku merasa dicintai, aku merasa dilindungi, dan aku merasa masih punya masa depan.Kau hadir ketika aku paling rapuh, dan kau tinggal hingga aku kembali kuat. Itu lebih dari cukup.Hari ini, aku menatap hidupku apa adanya. Tak ada Dimas. Yang ada hanyalah Arif, suamiku yang telah lama tiada. Dan Jatinegara, anak kami yang kini berdiri kokoh meski tumbuh tanpa pelukan ayahnya.Aku tidak lagi bertanya kenapa hidup tak seperti dalam mimpiku. Aku hanya bersyukur, karena pernah punya keberanian untuk mencintai—meski hanya dalam tidur panjangku."Lila berhenti menulis. Air mata mengalir perlahan di pipinya. Tapi ia tersenyum. Ada sesuatu yang lega dalam dirinya. Seperti beban yang lama mengendap akhirnya luruh bersama hujan pagi itu.Ia melipat surat itu perlahan, lalu meletakkannya di dalam kotak

  • Pesugihan Kandang Bubrah   260. Antara Kenangan dan Kenyataan

    Mungkin memang tidak ada Dimas. Tapi ada Arif, yang dulu pernah ia cintai, yang memberinya Jatinegara. Ada dirinya yang kuat. Ada kenangan yang meskipun hanya mimpi, terasa nyata hingga akhir hayat.Hari itu, udara di Desa Misahan membawa aroma kenanga dan tanah basah. Lila duduk di kursi rotan di beranda rumah, selimut menutupi kakinya yang mulai sulit digerakkan. Di sampingnya, secangkir teh melati mengepul pelan. Suasana begitu hening, namun tidak sunyi. Heningnya menenangkan, seperti bisikan yang sudah akrab didengar selama puluhan tahun.Jatinegara sibuk menyapu halaman. Tubuhnya tinggi tegap, langkahnya mantap. Beberapa kali ia melirik ke arah ibunya, memastikan Lila baik-baik saja. Sesekali, ia melempar senyum. Lila membalasnya dengan anggukan kecil.“Bu, nanti siang aku masak sop ya,” seru Jatinegara dari kejauhan.“Jangan lupa kasih seledri,” jawab Lila pelan, suaranya mulai bergetar, tapi masih hangat.Jatinegara tertawa. “Iya, Bu. Aku ingat.”Lila menatap langit. Awan putih

  • Pesugihan Kandang Bubrah   259. Tangan yang Menyatu

    Dalam perjalanan pulang, Lila dan Dimas mampir ke kebun warga. Beberapa anak muda sedang bangun rumah kaca kecil dari bilah bambu dan plastik bening."Lagi nyoba tanam tomat, Bu," kata salah satu dari mereka. "Sama cabai dikit-dikit."Lila jongkok, memperhatikan tanah yang baru dicangkul."Bagus. Rawat baik-baik ya. Ini bukan cuma kebun. Ini cara kita berdamai."Dimas membantu memasang atap plastik, ikut mengikat tali rafia. Saat selesai, mereka duduk di bawah pohon, menikmati air kelapa muda yang baru dipetik."Rasanya beda, ya," gumam Lila sambil menatap langit. "Bukan karena hutannya udah nggak ada, tapi karena sekarang, kita udah bisa narik napas tanpa takut."Dimas mengangguk. "Dan kita nggak sendiri lagi."Ia menggenggam tangan Lila. Di sekitar mereka, suara tawa, palu, dan cangkul menyatu jadi musik baru desa itu.Malamnya, Lila mencatat di buku hariannya:“Hari ini aku lihat wajah-wajah yang dulu takut, sekarang tersenyum. Lengan-lengan yang dulu hanya memeluk ketakutan, sekar

  • Pesugihan Kandang Bubrah   258. Selimut Pagi

    Dimas duduk di sebelahnya. "Kamu ingat waktu dulu kita duduk seperti ini tapi sambil memegangi jimat dan pisau garam?"Lila tertawa pelan. "Dan merapal doa setiap kali angin bertiup terlalu kencang. Sekarang, angin hanya angin."Setelah sarapan, mereka mengajak Jatinegara ke ladang milik warga yang mulai dikelola bersama. Dulu tanah itu tak tersentuh karena diyakini ‘tidak bersih’, tapi kini warga mulai menanam jagung, cabai, dan kacang panjang di sana.“Tanah ini dulu menyerap banyak darah dan rahasia,” kata Pak Suroto, warga tertua di desa. “Tapi anak-anak sekarang akan menyiramnya dengan air dan tawa. Itu cukup. Lebih dari cukup.”Lila membantu menanam bibit, sementara Dimas menggali parit kecil bersama pemuda desa. Jatinegara asyik bermain tanah dengan anak-anak lain.“Dulu aku ingin pergi dari sini,” kata Lila sambil menepuk tanah. “Sekarang, aku ingin menua di sini.”Dimas memandangnya dengan mata hangat. “Kita akan menua di sini. Bersama.”Sore hari, langit mulai berwarna jingg

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status