Masih dapat kuhirup aroma tanah basah yang sore tadi kugenggam. Bayang-bayang batu nisan bertuliskan nama bapak juga masih jelas di depan mata. Hidup dalam teror selama 40 hari lamanya, ketika kehadiran pocong Bapak terus muncul dan menghantui mulai menguak misteri yang lebih dalam. Ada sesuatu yang masih menahannya. Apakah itu penyesalan, amarah, atau rahasia yang tak pernah terucap semasa hidupnya? Kegelapan yang terus menghantui adalah jawaban yang harus diungkap sebelum semuanya terlambat. Bersiaplah menghadapi ketakutan yang paling dekat—ketika yang sudah mati enggan pergi.
View More“Bapak! Bangun, Pak!”
Murni masih memeluk tubuh Raharjo yang kini telah terbujur kaku. Beberapa kali ia menggoyangkan tubuh bapaknya, berharap agar laki-laki yang begitu ia cintai dapat membuka kedua matanya kembali. “Bu, ini ndak mungkin. Bapak belum meninggal kan, Bu?” tanya Murni yang kemudian beralih memeluk sang ibu yang juga duduk di samping jenazah suaminya. Memang sulit untuk dipercaya, tak ada angin tak ada hujan, Raharjo meninggal begitu saja. Dia yang lebih dikenal sebagai Juragan Harjo sama sekali tak sakit. Bahkan, pagi harinya Juragan Harjo masih mampu pergi menagih utang dari para warga yang kerap kali meminjam uang padanya. Raharjo merupakan seorang tuan tanah yang sangat disegani. Luasnya area lahan yang dia miliki, serta kekayaan yang mungkin tak akan habis untuk tujuh turunan membuatnya begitu berkuasa di desa itu, Desa Juwono namanya. “Murni … ikhlaskan bapakmu, Nduk,” ucap Lasmi seraya mengusap punggung putrinya itu dengan lembut. “Tapi, Bu. Murni ndak sempat berpamitan sama Bapak.” Murni kembali terisak di dalam pelukan sang ibu. Beberapa hari yang lalu memang Raharjo sempat menghubungi Murni dan memintanya untuk pulang. Juragan Harjo adalah satu-satunya orang yang memiliki telepon rumah di desa itu. Dengan kekayaan yang ia miliki, Juragan Harjo memang sengaja menyekolahkan Murni di kota. Dia tidak ingin jika Murni menjadi seperti warga desa lainnya yang tidak berpendidikan tinggi. Murni, yang pada saat itu tengah berharap dengan tugas yang menumpuk, tentu saja tidak dapat pulang ke desa begitu saja. Ia harus mencari waktu yang tepat untuk meminta izin dari universitas. Namun, inilah yang saat ini ia temui. Sang ayah sudah terbaring, terbujur kaku dan menjadi mayat tepat di hadapannya. Bendera kuning menyambutnya tatkala ia memasuki pekarangan rumahnya sore itu. “Biarkan bapakmu tenang, Nduk. Jangan tangisi lagi.” Lasmi melonggarkan pelukan dan mengusap pipi Murni yang masih dibanjiri dengan air mata. “Aji, ajak mbakmu ini masuk ke dalam,” titah Lasmi pada Aji–anak keduanya yang masih berusia 17 tahun. “Iya, Bu,” jawab Aji singkat. “Ayo, Mbak,” ajak Aji lembut. “Ndak mau! Mbak mau di sini, mau nemenin Bapak!” Murni berteriak, menolak ajakan Aji untuk masuk ke dalam. “Murni!” seru Lasmi yang terlihat tidak ingin dibantah. Semua orang yang ikut hadir, segera menoleh setelah mendengar suara Lasmi yang menggema di seluruh ruangan. Suasana di rumah Juragan Harjo semakin hening. Para pelayat yang datang hanya bisa menunduk, tak berani berkata apa-apa. Murni sendiri terhenyak saat sang ibu membentaknya. Seumur-umur, baru kali ini Lasmi bersuara tinggi padanya. Di sudut ruangan, Aji berdiri memandangi kakaknya. Di usianya yang baru menginjak 17 tahun, ia merasa beban berat tiba-tiba menimpa pundaknya. Kepergian bapaknya begitu mendadak, dan meskipun ia bukan putra sulung, Aji tahu ia harus mulai bersiap menjadi laki-laki dewasa di keluarganya. “Mbok Tum, tolong bawa Murni ke kamarnya,” ucap Lasmi pelan kepada salah satu pelayan yang sudah begitu lama tinggal bersama keluarganya. Mbok Tumini yang sejak tadi duduk di dekat pintu pun mengangguk paham. “Cah ayu, ayo Nduk, istirahat dulu. Biar bapakmu didoakan yang baik-baik oleh yang lain,” ucap Mbok Tumini. Dengan suara bergetar, ia mencoba mengajak Murni untuk bangkit. Murni masih bergeming. Matanya yang sembab tertuju pada wajah pucat bapaknya. Dalam benaknya, ia teringat berbagai kenangan bersama Raharjo—bapaknya yang selama ini menjadi tumpuan hidup keluarga. Sebuah rasa sesal terus menghantui benaknya. Seandainya ia sempat pulang lebih cepat, mungkin ia masih bisa bercengkerama dengan bapaknya. Dan …. Seketika itu juga terbesit dalam ingatan Murni saat almarhum bapaknya mengatakan, “cepat pulang, Nduk. Ada yang ingin Bapak sampaikan.” Degh! Perasaannya menjadi bergemuruh. Apa itu? Apa yang ingin disampaikan? Murni kembali menangis saat kembali menyadari jika semua sudah terlambat sekarang. “Maafkan Murni, Pak,” ucapnya dalam hati. “Ndak, Mbok. Murni mau di sini. Bapak ndak boleh ditinggalin sendirian.” Air mata kembali jatuh membasahi pipinya yang semakin pucat. "Bu Lasmi, almarhum sudah siap dibawa ke kubur," ucap seorang laki-laki paruh baya yang bernama Kasnan. "Baiklah, Pak. Bawa saja!" jawab Lasmi singkat. "Astaghfirullah, Bapak kenapa pergi secepat ini." Murni mencoba untuk mengumpulkan tenaga yang tadi sempat terkuras untuk menangis. Akhirnya, dengan mencoba melapangkan dada atas apa yang terjadi, Murni pun ikut mengiring jenazah almarhum sang ayah ke peristirahatan terakhirnya. Awalnya, semua masih berjalan normal dan baik-baik saja, tapi tidak setelah mayat mulai diangkat. Saat keranda keluar rumah, suasana yang semula khusyuk mulai berubah. Tiba-tiba, para pengangkat keranda merasakan sesuatu yang aneh. "Berat sekali, Pak!" seru Kasnan. Tampak keringat mulai membasahi wajahnya. Kasnan, yang berada di bagian depan, segera memanggil beberapa pria lain untuk membantu. Delapan orang kini berkumpul, berusaha keras mengangkat keranda Juragan Harjo, namun tetap saja keranda itu terasa semakin berat. Bahkan, delapan orang pun tampaknya tidak cukup. "Kenapa jadi begini? Biasanya keranda tidak seberat ini," gumam Paimin yang mulai merasakan keanehan. Lasmi, Murni dan Aji yang mengikuti di belakang, juga merasakan perubahan suasana. Murni menoleh ke arah ibunya, wajahnya memancarkan kekhawatiran. Lasmi menahan napas, tatapan matanya kosong, seolah ia merasakan sesuatu yang tak terkatakan. Tiba-tiba, angin kencang datang, menggulung dedaunan dan membuat suasana semakin tegang. Suara gemerisik angin yang berhembus di antara pepohonan terdengar seperti bisikan-bisikan gaib yang mencekam. Langit mendung mulai menutupi sinar matahari yang memang tengah menuju peraduannya. Setiap langkah menuju pemakaman terasa semakin berat, seolah ada tangan tak terlihat yang menarik keranda ke arah yang berlawanan. "Ya Allah, apa ini?" desis salah satu pemanggul keranda yang mulai pucat. Mereka berusaha tetap melangkah, namun angin yang terus berhembus makin kencang seolah menolak keberadaan jenazah Raharjo di dunia ini. Tanpa diduga, terdengar suara retakan keras. Kayu penyangga keranda mulai patah. Kasnan yang berada di depan terpeleset, dan dalam sekejap keranda terjatuh ke tanah dengan suara yang cukup keras. Orang-orang berteriak kaget. Jenazah Raharjo yang terbungkus kain kafan—pocong—tergelinding keluar dari keranda, tubuhnya berputar-putar di tanah basah, membuat semua orang yang menyaksikan terpaku dalam ketakutan. "Pocongnya jatuh!" teriak salah seorang warga dengan suara bergetar. Ketakutan segera menyelimuti para pelayat. Murni langsung berlari menuju jenazah bapaknya. "Bapak! Ya Allah, jangan tinggalkan Bapak begini!" tangisnya pecah, tubuhnya bergetar hebat. Tapi ketika tangannya hampir menyentuh kain kafan itu, sesuatu yang tak terduga terjadi. Kain kafan yang membungkus tubuh Raharjo bergerak perlahan, seolah ada sesuatu yang hidup di dalamnya. Semua orang yang menyaksikan mundur dengan cepat, ketakutan menjalar di antara mereka. "Astaghfirullah, apa ini?!" pekik Murni. - Bersambung -Laras & Sopir Truk: Lolos dari Teror PocongSopir truk itu menggertakkan giginya, tangannya mencengkeram setir erat-erat. Laras menutup matanya rapat-rapat, tubuhnya bergetar hebat. Keduanya sama-sama tahu bahwa mereka sedang dikejar oleh sesuatu yang tidak seharusnya ada di dunia ini.Jalanan semakin menurun tajam, membuat truk melaju lebih kencang. Namun, ketika sopir menoleh ke spion, jantungnya hampir berhenti berdetak.Sosok pocong itu masih ada di sana. Melompat-lompat, mendekat semakin cepat. Tubuhnya yang membusuk bergerak tidak wajar, sementara mulutnya yang menganga terus mengeluarkan suara parau:"Kembaaliii... Kembaaliiii...."Laras mencengkeram sabuk pengamannya erat-erat, air mata mulai menggenang di matanya. "Pak, jangan berhenti! Tolong, jangan berhenti apa pun yang terjadi!"Sopir truk mengangguk cepat, meskipun keringat dingin sudah membasahi dahinya. "Saya nggak akan berhenti, Mbak! Pegangan yang kuat!"Truk terus melaju di jalanan gelap, melewati tikungan demi tiku
Sopir truk itu mengguncang tubuh Laras dengan cemas. "Mbak! Sadar, Mbak! Kamu dari mana?! Kok tiba-tiba muncul dari hutan?!" Laras terhuyung sedikit, kesadarannya masih berkabut. Nafasnya memburu, tubuhnya gemetar hebat. Ketakutan masih mencengkeram pikirannya. Ia menatap sopir itu dengan mata kosong, sebelum akhirnya berbisik dengan suara serak. "Tolong ... Bawa saya pergi dari sini, Pak." Sopir itu mengerutkan kening, jelas kebingungan. "Mbak, kamu kenapa? Kamu kelihatan kayak habis lihat setan!" Laras menelan ludah, tubuhnya masih bergetar. Bayangan Joni, Rani, dan Damar masih jelas di pikirannya. Bisikan-bisikan itu masih terngiang di telinganya. Ia merasa lelah, begitu lelah, dan satu-satunya yang ia inginkan hanyalah pergi sejauh mungkin dari tempat terkutuk itu. "Aku nggak mau ada di sini lagi." suaranya lirih, hampir seperti rintihan. "Tolong, Pak ... Cepat pergi." Sopir itu menatapnya ragu sejenak, lalu mengangguk. "Ya sudah, ayo naik. Tapi, kita mau ke mana, Mbak?" "P
Laras berdiri di depan rumah kecil Pak Warso, merapikan tas ransel yang menggantung di punggungnya. Malam masih menyisakan sisa dingin, dan kabut tipis mengambang di antara pepohonan desa.Pak Warso menghela napas panjang, menatap Laras dengan mata penuh pemahaman. “Jadi, kamu benar-benar mau pergi?”Laras mengangguk. “Saya sudah nggak punya alasan untuk tetap tinggal di sini, Pak.” Suaranya bergetar, meski ia berusaha terdengar tegar.Darto dan Giman, yang berdiri tak jauh darinya, saling bertukar pandang sebelum akhirnya Darto bicara, “Laras, kami ngerti, Nduk. Setelah kedua temanmu, Joni dan Rani …” Ia berhenti, tak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Nama kedua temannya itu kini hanya tinggal bayang-bayang di tempat terkutuk yang tak boleh lagi mereka datangi.“Dan sekarang Damar juga menghilang.” Suara Laras semakin kecil. Hatinya terasa berat. Damar adalah satu-satunya harapan yang tersisa, satu-satunya alasan untuk tetap bertahan. Tapi kini ia juga sudah pergi, entah hilang dalam
Damar berdiri kaku di depan rumah tua itu. Ucapannya masih menggantung di udara, sementara Joni dan Rani menunggu tanpa sedikit pun bersuara—atau mungkin, dengan harapan licik bahwa Damar akan menyerah. Angin malam berembus pelan, membawa bisikan dari sebuah tempat gelap yang tak terlihat. Rumah tua itu seakan bernapas, meresapi kebimbangan Damar untuk memilih. "Setiap kutukan butuh penebus." Kata-kata yang terucap dari mulut Joni terus bergema di kepalanya. Apakah benar-benae harus seperti itu? Jika ingin bebas, ia harus menyerahkan seseorang lainnya sebagai gantinya. Satu nama pun seketika melintas di benaknya—Laras. Damar memejamkan mata, mengingat bagaimana Laras menatapnya dengan penuh cinta, tetapi juga sarat ketakutan. Ia tak ingin melihatnya ketakutan lagi. Ia tak ingin Laras menjadi bagian dari kegelapan yang saat ini membelenggunya. Alih-alih menjadikan Laras sebagai penebus, Damar justru berkeinginan untuk kembali bersamanya. Keinginan itu begitu kuat hingga mampu mem
Darto menoleh cepat, matanya menajam ke arah Laras. “Apa maksudmu, Laras?”Laras menggigit bibir, suaranya bergetar saat berbicara. “Damar… dia ada di sini. Aku bisa merasakannya.”Mbah Rebo mengetukkan tongkat kayunya ke tanah tiga kali lagi. Suara ketukan itu menggema di udara, seolah memantul dari sesuatu yang tak terlihat. Angin semakin kencang, membuat dedaunan kering berputar-putar di sekitar mereka.“Jangan panik,” ujar Mbah Rebo tenang, meski matanya waspada. “Tetap dekat dan jangan sampai ada yang terpisah.”Tiba-tiba, dari balik pohon, terdengar suara gemerisik. Seperti seseorang yang berjalan di atas dedaunan kering.Giman menoleh cepat. “Siapa di sana?”Tak ada jawaban. Hanya suara langkah yang semakin mendekat.Laras menegang. Ia bisa merasakan hawa dingin menjalari tubuhnya. Perlahan, dari balik batang pohon yang besar, sesosok bayangan muncul.Damar.Pakaian yang dikenakannya sama seperti terakhir kali Laras melihatnya—kemeja putih yang kini lusuh dan sobek di beberapa
Pagi menjelang dengan lambat, membawa serta kabut tipis yang menggantung di udara desa. Darto menguap lebar, matanya sembab karena semalaman tak bisa tidur. Warso duduk bersandar di dinding, wajahnya masih menyisakan ketegangan semalam. Sementara itu, Laras tertidur di tikar dengan nafas berat, tubuhnya masih terasa lemah setelah apa yang terjadi.Mbah Rebo, yang sedari tadi duduk bersila sambil memegang tongkat kayunya, menghela napas panjang. “Kita tak bisa berdiam diri. Meski makhluk itu sudah pergi, aku yakin ia belum benar-benar menyerah.”Warso mengangguk pelan. “Jadi apa yang harus kita lakukan, Mbah?”Orang tua itu menatap ke luar jendela. “Aku harus mencari tahu siapa makhluk itu dan mengapa ia begitu menginginkan Laras. Ada sesuatu yang belum terungkap.”Darto menelan ludah. “Mbah … tadi malam, sebelum makhluk itu muncul, Laras sempat menyebut nama Damar. Apakah mungkin … Damar benar-benar ada hubungannya dengan ini?”Mbah Rebo terdiam sejenak. “Mungkin. Kita harus mencari t
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments