Hai kak , novel ini sedang ikut kontes, bantu bintang nya ya , dan kalau boleh dukungan gemnya terima kasih. Saya akan update minimal 2 bab setiap harinya mengingat saya libur sampai tanggal 15 ada urusan. Tapi tenang bab buat kalian aman kok. Salam sayang dari Ndraa Archer.
Hari-hari berikutnya berjalan sesuai rencana Arif. Kedekatan Gibran dan Wina mulai menjadi perbincangan hangat di desa. Wina yang biasanya sombong kini tampak lebih ramah, sementara Gibran terlihat sering menghabiskan waktu di rumah gadis itu. Arif tersenyum puas setiap kali mendengar kabar tersebut. Santet yang dia gunakan telah berhasil mengubah pandangan Gibran, membuatnya tergila-gila pada Wina.Namun, tidak semua orang menyambut kabar ini dengan senang. Lila, yang menyaksikan perubahan Gibran, merasa ada sesuatu yang tidak wajar. Suatu malam, saat mereka sedang bersiap makan malam, Lila memanggil Arif dengan nada serius.“Arif, aku ingin bicara,” katanya sambil menatap suaminya.Arif yang sedang menuangkan teh berhenti sejenak, lalu meletakkan teko di atas meja. “Ada apa, Lila?” tanyanya dengan nada tenang.Lila duduk di kursi di depannya, wajahnya penuh dengan keraguan.
Arif duduk di ruang tengah bersama Lila, keduanya tampak santai setelah makan malam. Dengan hati-hati, Arif mencoba menyampaikan kabar terbaru tentang Gibran. Wajahnya tenang, tetapi pikirannya penuh perhitungan. Dia tahu bahwa informasi ini harus disampaikan dengan cara yang tepat agar Lila tidak curiga.“Lila, aku ingin memberitahumu sesuatu,” katanya dengan nada lembut.Lila yang sedang merapikan piring di meja menoleh. “Apa itu, Arif?”“Gibran... sepertinya dia benar-benar serius dengan Wina,” jawab Arif sambil tersenyum kecil. “Dia bilang ingin melamar Wina.”Lila terdiam sejenak, matanya membesar mendengar itu. “Melamar Wina?” tanyanya, nyaris tidak percaya. “Kamu serius, Arif?”Arif mengangguk sambil tertawa pelan. “Ya, dia bilang Wina adalah takdirnya. Aku pikir ini kabar baik. Setidaknya dia ak
Lila terduduk lemas di sudut ruangan, wajahnya basah oleh air mata. Isaknya memenuhi udara malam yang mencekam, sementara tubuhnya bergetar tanpa henti. Kejadian di jalan utama tadi masih terbayang jelas di matanya, dan perasaan takut bercampur sedih menyelimuti seluruh dirinya.“Ayah... di mana ayah?” isaknya, sambil menggenggam lututnya erat-erat.Arif berdiri tidak jauh darinya, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menenangkan istrinya. Namun, sebelum Arif sempat mendekat, sebuah tangan menyentuh bahu Lila.Lila menoleh dengan terkejut dan di hadapannya berdiri Suryanto, ayahnya. Pria itu terlihat pucat, wajahnya seperti kehilangan darah, dan matanya merah seolah-olah ia habis menangis. Namun, ada sesuatu yang lebih menyeramkan, ekspresinya penuh dengan ketakutan.“Ayah!” seru Lila histeris, langsung memeluk pria itu. “Ayah baik-baik saja? Kenapa tadi semua oran
Pagi itu, pasar desa penuh dengan hiruk-pikuk seperti biasanya. Para pedagang sibuk menjajakan dagangan mereka, sementara para pembeli berdesak-desakan memilih barang kebutuhan sehari-hari. Namun, di balik keramaian tersebut, ada bisikan yang tidak biasa.Desas-desus tentang kecelakaan di jalan utama mulai menyebar dari mulut ke mulut, mengubah suasana pasar yang biasanya riuh menjadi penuh dengan rasa takut dan penasaran.“Katanya tubuh pria itu menghilang, ya?” bisik seorang wanita tua kepada temannya.“Iya, hanya darah yang tertinggal. Seram sekali,” jawab temannya sambil melirik sekeliling, seolah-olah takut ada yang mendengar pembicaraan mereka.“Dan motor bututnya masih ada di sana. Tapi siapa sebenarnya pria itu? Dan kenapa tubuhnya bisa menghilang begitu saja?”Pertanyaan-pertanyaan seperti itu terus terdengar di sepanjang lorong pasar.
Desas-desus tentang kecelakaan yang menimpa mertua Arif semakin tersebar cepat di pasar. Setiap pelanggan yang datang, baik yang sedang berbelanja atau sekadar bertanya-tanya, tak henti-hentinya bertanya tentang kondisi mertua Arif.Beberapa dari mereka bahkan penasaran, mengapa korban kecelakaan itu tidak pernah muncul lagi di tengah-tengah mereka. Hanya ada kabar burung yang beredar tentang kejadian tersebut, dan ini membuat banyak orang merasa gelisah.Di warung kopi yang terletak di pinggir jalan, dua orang pria tengah duduk sambil meminum kopi hangat. Mereka berbicara pelan, namun cukup untuk didengar oleh warga yang duduk tidak jauh dari mereka."Jadi, kata orang, Arif itu tahu sesuatu soal kecelakaan itu, ya?" tanya salah seorang pria."Entahlah, tapi Aku dengar dari orang-orang, katanya ada yang melihat Arif kemarin malam di dekat kecelakaan itu. Malah ada yang bilang, dia ngeliat sesuatu yan
Malam pertama setelah ritual larung sesaji seharusnya membawa rasa lega bagi warga desa. Namun, kenyataan berkata lain. Ketenangan itu hanya ilusi singkat, sebuah jeda sebelum badai besar menghantam. Ketika senja tiba, dan matahari perlahan tenggelam di balik cakrawala, desa kembali diselimuti ketegangan yang tak terjelaskan. Seperti ada sesuatu yang bergerak di antara bayang-bayang malam, sesuatu yang tak terlihat namun keberadaannya terasa sangat nyata.Warga mulai merasakan keanehan yang sulit dijelaskan. Suara tawa nyaring terdengar dari kejauhan, menggema di udara seperti permainan kejam yang tak seorang pun tahu asalnya. Kegelapan malam terasa lebih pekat dari biasanya, seolah-olah menyembunyikan rahasia mengerikan yang siap menerkam. Angin dingin berhembus, membawa aroma busuk yang menusuk hidung, memaksa semua orang berlindung di balik pintu-pintu yang terkunci rapat."Ini belum selesai," pikir seorang warga dalam ketakutan, sambil m
Di pasar yang terletak tak jauh dari rumah Arif, beberapa orang berkumpul di warung kopi yang sederhana. Mereka berbicara pelan, saling bertukar cerita tentang kejadian-kejadian aneh yang terjadi setelah ritual di sungai. Salah satunya adalah Pak Darto, seorang pedagang yang sudah cukup lama tinggal di desa tersebut."Jadi, Arif," Pak Darto memulai percakapan, "Apakah kamu juga dengar suara tawa itu? Suara kuntilanak, kan?"Arif yang sedang sibuk melayani pembeli hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. "Ah, itu hanya bayangan kalian saja. Jangan terlalu percaya pada hal-hal seperti itu," jawabnya dengan suara tenang. "Malam memang terasa sedikit menakutkan, tapi kita harus tetap tenang. Percayalah, semuanya akan baik-baik saja."Namun, kata-kata Arif tak mampu meredakan rasa takut yang telah mencengkeram hati warga. Ketakutan itu semakin dalam, seperti racun yang merayap perlahan. Warga saling berbisik di sudut-sudut r
Bayang-Bayang di Balik Pernikahan.Arif terjaga malam itu, matanya terbuka lebar menatap langit-langit kamar yang gelap. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, menyatu dengan rasa cemas yang terus membebani pikirannya."Kenapa semua ini tidak berakhir?" gumamnya lirih, suara yang nyaris tak terdengar di tengah keheningan malam.Teror yang mendera desa semakin hari semakin parah, meski ritual larung sesaji telah dilakukan. Seharusnya, ritual itu membawa ketenangan, namun nyatanya hanya menyisakan kekosongan dan ketegangan yang lebih pekat.Arif mengusap wajahnya dengan kedua tangan, mencoba menghapus lelah yang terasa tidak hanya di tubuh, tetapi juga di jiwa. Suasana desa yang dulunya damai kini berubah menjadi mencekam. Setiap langkah warga penuh dengan kehati-hatian, setiap bisikan malam membawa rasa takut yang tidak terjelaskan.A
Terima kasih ya, Teman-teman...Nggak kerasa, ya? Kita udah bareng-bareng dari Bab 1 sampai Bab 262. Cerita Arif Mahoni dan dunia mistis Kandang Bubrah udah nemenin kita selama berbulan-bulan (atau bahkan tahunan? hahaha maksud aku akhir tahun2024-2025 seolah tahunan). Rasanya nano-nano banget nulis cerita ini kadang aku tuh merinding, kadang nangis sendiri, kadang pengin nyubit karakter buatan sendiri.Tapi yang bikin aku terus semangat nulis sampai tamat itu kalian. Iya, kalian yang tiap update langsung baca. Yang rela ngulang bab-bab sebelumnya, yang rajin komentar, yang kirim DM /WA langsung penuh semangat, bahkan yang suka nyebutin adegan favorit, tau ngak? kalian tuh the real MVP. Tanpa kalian, cerita ini mungkin nggak akan pernah selesai.Shout-out khusus buat pembaca aktif dan penggemar setia yang dari awal udah jadi saksi hidupnya Arif. Kalian tahu siapa kalian, kan? Yang suka bikin teori, yang marah kalau tokohnya nyebelin, yang minta ending macem-macem, sampai yang suka ngan
Senja datang perlahan seperti kabut tipis yang menyelimuti perbukitan di kejauhan. Cahaya jingga merambat di dinding rumah, memantulkan warna emas pada bingkai foto dan kaca jendela yang berembun. Di beranda, Lila duduk ditemani secangkir wedang jahe dan suara angin lembut yang menyisir pohon kenanga.Hari itu, seluruh warga desa berkumpul di balai untuk doa bersama. Jatinegara diminta untuk menyampaikan sepatah dua patah kata sebagai perwakilan generasi muda. Lila tak ikut, tubuhnya sudah terlalu letih. Tapi ia tidak sendiri. Ia ditemani segala kenangan yang selama ini disimpannya dalam diam.Ia menatap foto Arif yang kini terbingkai lebih kokoh dari sebelumnya. Dalam hati, ia berbicara, seperti berbicara pada seseorang yang duduk di sampingnya."Aku nggak tahu berapa lama lagi waktu akan memberiku ruang, Rif. Tapi aku nggak takut. Aku sudah lihat kamu dalam mimpiku. Aku pernah tinggal bersama bayang-bayangmu. Dan sekarang, aku tinggal di dunia yang kita bentuk bersama... meski kau l
"Kepada Dimas...Jika kau memang pernah ada, terima kasih sudah menemani aku di dunia yang tak nyata itu. Mungkin kau hanya bayangan, bentukan dari rasa sepi dan kehilangan. Tapi dalam mimpi itu, aku merasa dicintai, aku merasa dilindungi, dan aku merasa masih punya masa depan.Kau hadir ketika aku paling rapuh, dan kau tinggal hingga aku kembali kuat. Itu lebih dari cukup.Hari ini, aku menatap hidupku apa adanya. Tak ada Dimas. Yang ada hanyalah Arif, suamiku yang telah lama tiada. Dan Jatinegara, anak kami yang kini berdiri kokoh meski tumbuh tanpa pelukan ayahnya.Aku tidak lagi bertanya kenapa hidup tak seperti dalam mimpiku. Aku hanya bersyukur, karena pernah punya keberanian untuk mencintai—meski hanya dalam tidur panjangku."Lila berhenti menulis. Air mata mengalir perlahan di pipinya. Tapi ia tersenyum. Ada sesuatu yang lega dalam dirinya. Seperti beban yang lama mengendap akhirnya luruh bersama hujan pagi itu.Ia melipat surat itu perlahan, lalu meletakkannya di dalam kotak
Mungkin memang tidak ada Dimas. Tapi ada Arif, yang dulu pernah ia cintai, yang memberinya Jatinegara. Ada dirinya yang kuat. Ada kenangan yang meskipun hanya mimpi, terasa nyata hingga akhir hayat.Hari itu, udara di Desa Misahan membawa aroma kenanga dan tanah basah. Lila duduk di kursi rotan di beranda rumah, selimut menutupi kakinya yang mulai sulit digerakkan. Di sampingnya, secangkir teh melati mengepul pelan. Suasana begitu hening, namun tidak sunyi. Heningnya menenangkan, seperti bisikan yang sudah akrab didengar selama puluhan tahun.Jatinegara sibuk menyapu halaman. Tubuhnya tinggi tegap, langkahnya mantap. Beberapa kali ia melirik ke arah ibunya, memastikan Lila baik-baik saja. Sesekali, ia melempar senyum. Lila membalasnya dengan anggukan kecil.“Bu, nanti siang aku masak sop ya,” seru Jatinegara dari kejauhan.“Jangan lupa kasih seledri,” jawab Lila pelan, suaranya mulai bergetar, tapi masih hangat.Jatinegara tertawa. “Iya, Bu. Aku ingat.”Lila menatap langit. Awan putih
Dalam perjalanan pulang, Lila dan Dimas mampir ke kebun warga. Beberapa anak muda sedang bangun rumah kaca kecil dari bilah bambu dan plastik bening."Lagi nyoba tanam tomat, Bu," kata salah satu dari mereka. "Sama cabai dikit-dikit."Lila jongkok, memperhatikan tanah yang baru dicangkul."Bagus. Rawat baik-baik ya. Ini bukan cuma kebun. Ini cara kita berdamai."Dimas membantu memasang atap plastik, ikut mengikat tali rafia. Saat selesai, mereka duduk di bawah pohon, menikmati air kelapa muda yang baru dipetik."Rasanya beda, ya," gumam Lila sambil menatap langit. "Bukan karena hutannya udah nggak ada, tapi karena sekarang, kita udah bisa narik napas tanpa takut."Dimas mengangguk. "Dan kita nggak sendiri lagi."Ia menggenggam tangan Lila. Di sekitar mereka, suara tawa, palu, dan cangkul menyatu jadi musik baru desa itu.Malamnya, Lila mencatat di buku hariannya:“Hari ini aku lihat wajah-wajah yang dulu takut, sekarang tersenyum. Lengan-lengan yang dulu hanya memeluk ketakutan, sekar
Dimas duduk di sebelahnya. "Kamu ingat waktu dulu kita duduk seperti ini tapi sambil memegangi jimat dan pisau garam?"Lila tertawa pelan. "Dan merapal doa setiap kali angin bertiup terlalu kencang. Sekarang, angin hanya angin."Setelah sarapan, mereka mengajak Jatinegara ke ladang milik warga yang mulai dikelola bersama. Dulu tanah itu tak tersentuh karena diyakini ‘tidak bersih’, tapi kini warga mulai menanam jagung, cabai, dan kacang panjang di sana.“Tanah ini dulu menyerap banyak darah dan rahasia,” kata Pak Suroto, warga tertua di desa. “Tapi anak-anak sekarang akan menyiramnya dengan air dan tawa. Itu cukup. Lebih dari cukup.”Lila membantu menanam bibit, sementara Dimas menggali parit kecil bersama pemuda desa. Jatinegara asyik bermain tanah dengan anak-anak lain.“Dulu aku ingin pergi dari sini,” kata Lila sambil menepuk tanah. “Sekarang, aku ingin menua di sini.”Dimas memandangnya dengan mata hangat. “Kita akan menua di sini. Bersama.”Sore hari, langit mulai berwarna jingg
"Apa yang harus kami lakukan?" tanya Lila.Bu Retno menggenggam tangan Lila erat."Kalian harus kembali ke tempat asal semua ini. Hutan Misahan. Di sanalah jejak terakhir Arif terkubur. Dan mungkin... hanya di sanalah kalian bisa benar-benar membebaskan diri dari bayangannya."Malam pun tiba.Lila duduk di samping tempat tidur Jatinegara, menatap wajah anaknya yang kini tampak lebih dewasa dari usianya."Besok, Ayah dan Ibu harus pergi sebentar," bisiknya."Ke mana?" tanya Jatinegara mengantuk."Ke tempat yang dulu pernah kita tinggalkan. Tapi kali ini, untuk menutup semuanya."Jatinegara menggenggam jari ibunya. "Jangan lama-lama, ya. Aku tunggu di sini."Lila mencium kening anaknya. "Kami janji akan kembali."Dan di luar rumah, pohon mangga bergoyang pelan. Angin malam membawa bisikan samar:"Tutup yang terbuka dan lepaskan yang tertinggal."Langkah Lila sudah semakin dekat. Dia sudah tidak sanggup menghadapi segala kejadian itu.Esok hari, mereka akan kembali ke hutan.Pagi itu, si
Malam itu, mereka berdua duduk di teras, menatap bintang sambil berbicara pelan."Kamu pikir ini... sisa dari dunia yang dulu?" tanya Lila, nada suaranya penuh kekhawatiran."Mungkin," jawab Dimas. "Atau mungkin, ini bentuk baru. Bentuk dari semua luka, ketakutan, dan harapan yang pernah kita alami."Lila memeluk dirinya sendiri, merasa sedikit dingin."Aku cuma takut," katanya. "Takut kalau kita belum benar-benar bebas."Dimas meraih tangan Lila, menggenggamnya erat."Apa pun yang terjadi, kita hadapi bersama. Kita sudah lewati kegelapan. Kita bisa lewati apa pun," katanya, penuh keyakinan.Lila tersenyum tipis. "Aku percaya itu."Angin malam berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dan bunga kenanga. Di kejauhan, suara serangga malam berdengung pelan, seperti irama alam yang mengiringi percakapan mereka.Beberapa hari kemudian, saat Lila membawa Jatinegara bermain di taman kecil mereka, anak itu menunjuk ke arah tunas mangga yang kini tumbuh setinggi pinggang orang dewasa. Daunny
Namun, dalam keheningan malam, ada kalanya Lila terbangun. Bukan karena ketakutan, melainkan karena rindu. Rindu akan kenangan yang perlahan memudar—ulang tahun pertama Jatinegara, suara tawa Arif di halaman, percakapan-percakapan kecil yang dulu terasa biasa tapi kini sangat berarti.Setiap kali rindu itu datang, Lila akan duduk di beranda, menatap bintang, dan berbicara dalam hati."Terima kasih, Rif. Karena cinta dan keberanianmu, kami bisa bertahan."Di dalam rumah, Jatinegara dan Dimas tidur tenang, di bawah atap yang kini benar-benar menjadi rumah, bukan lagi tempat berteduh dari kegelapan.Dan di taman kecil itu, di tempat biji mangga ditanam, sebuah tunas kecil mulai muncul, menghijau di bawah sinar matahari.Tanda kehidupan baru.Tanda bahwa di balik setiap luka, selalu ada harapan yang tumbuh.Mereka telah kehilangan banyak. Tapi mereka juga telah menemukan sesuatu yang jauh lebih berharga:Kehidupan, cinta, dan keberanian untuk melangkah maju, meski jalan itu pernah dipenuh