Ini adalah sebuah cerita yang menjadi mitos di salah satu daerah transmigrasi di luaran sana. Konon, ada sebuah desa transmigrasi yang harus kehilangan salah satu warganya ketika mereka baru saja pindah dan tinggal tiga bulan di sana. Sayangnya, kematian mendadak itu diiringi keanehan-keanehan yang tak masuk akal. Satu per satu teror bermunculan, hingga ketenangan hilang. Sebenarnya, apa yang terjadi dengan orang tersebut? Kenapa dia menginginkan kematian yang lain?
view moreDesa Muara Ujung, circa 1996.
Desa Transmigrasi itu begitu terpencil, dikelilingi hutan lebat tidak berujung. Kota begitu jauh, mungkin agak sulit untuk dicapai bagi para penduduk yang tinggal di tempat tersebut.
Aku memandang ke langit, menikmati gulungan awan yang terlihat mengundang. ‘Kenapa aku setuju ke tempat ini?’ batinku, sedikit menyesali kesepian yang menyelimuti.
Perlahan, gulungan awan hitam menghalangi cahaya matahari, menelan awan putih bersih yang kunikmati.
‘Sepertinya akan hujan,’ batinku lagi seraya bangun dari kursi, berniat membereskan jemuran yang seharusnya sudah kering. ‘Kapan Satria akan pulang, ya?’
Satria adalah suamiku, pria yang membuatku setuju untuk datang ke tempat terpencil yang jauh dari keramaian ini. “Tinggal di desa lebih enak, Dek. Nggak ramai, nggak ada tekanan berat juga. Kita tinggal di desa aja, ya,” ujar pria itu dahulu ketika akhirnya kusetujui lamarannya.
Terlanjur cinta. Pernyataan klise, tapi nyata. Kalau bukan karena cinta, aku pastinya tidak akan setuju tinggal di tempat suram seperti ini.
Hutan mengelilingi desa, lampu di malam hari pun hanya segelintir. Terkadang, aku bisa mendengar lolongan dari dalam hutan, entah apa itu hewan … atau makhluk jelmaan.
Selesai membereskan jemuran, aku beranjak dengan niatan memasak makan malam. Namun, baru saja ingin kuraih pisau di dapur, sebuah teriakan lantang menghentikanku, “Minah! Aminah!!”
Teriakan tersebut terdengar panik, membuatku bergegas lari keluar untuk melihat siapa pemilik suara. “Pak Dani?” panggilku dengan alis tertaut. “Kenapa–”
Dengan wajah pucatnya, Pak Dani mencengkram tanganku kuat, membuatku tersentak karena tindakannya yang agak kasar. “Satria, Minah. Satria ditemukan tenggelam di rawa-rawa!”
***
Berulang kali kudengar ucapan-ucapan doa dari para warga yang mengiringi rombongan penggotong peti. Sejumlah warga desa yang menjadi bagian dari rombongan dengan wajah datar dan suram mengucapkan kata itu seakan ingin menyadarkanku dari kenyataan mengerikan,
Berbeda dengan anggota keluarga yang seharusnya menangis ketika ditinggal orang tercinta, diriku hanya terdiam dengan pandangan kosong selagi berjalan bersama rombongan. Bukan, bukan karena tidak bersedih, tapi karena aku tidak mampu menerima kenyataan.
“Dek Aminah, yang sabar ya,” ujar Pak Dani, kepala desa, mencoba untuk menghibur diriku yang sekarang terduduk di sisi kuburan Satria. Manik hitamnya melirik sosok di sampingku, lalu kembali berbisik, “Dek Aminah harus sabar. Masih ada Ayu yang harus dijaga.”
Ucapan tersebut membuatku melirik gadis kecil dengan pakaian hitam yang membalut dirinya. Pandangannya jernih, tidak sedih maupun menangis. Kentara jelas bahwa Ayu, anak sambungku dari pernikahan pertama Satria, masih tidak mengerti bahwa sang ayah telah tidak ada.
“Bapak pamit dulu ya, Dek,” ujar Pak Dani seraya melangkah pergi, membiarkanku dan Ayu berdua di sisi makam.
Menyadari tatapanku padanya, Ayu pun mengangkat pandangannya dan membalas tatapanku dengan manik hitam segelap malamnya. “Bunda, kok Ayah tidur di dalam tanah?” tanyanya. “Ayah kapan keluar dan main sama Ayu, Bu?”
Pertanyaan Ayu sontak memaksaku menghadapi kenyataan. Tubuhku bergetar, dan air mata pun luruh menuruni wajahku.
Kupeluk Ayu dengan erat. “Ayu, Ayah sudah nggak ada, Sayang. Ayah sudah pergi ninggalin kita. Ayu harus kuat sama Bunda, ya,” tangisku.
Mendengar balasanku, Ayu melepas pelukan dan menatapku bingung. “Bunda kok ngomong gitu? Ayah jelas-jelas tidur di dalam.”
Pernyataan Ayu membuatku membeku, mengira bahwa bocah tersebut masih belum bisa menerima kenyataan atas kepergian ayahnya dan mulai berhalusinasi. “Ayu, Ayah sudah meninggal! Ayah tenggelam di rawa saat pergi sama kamu!” teriakku, mengguncang tubuh Ayu yang mungil itu, melampiaskan amarah dan emosi tidak terimaku.
“Ah! Bunda sakit! Lepasin Ayu!” teriak gadis itu seraya mencoba membebaskan diri. Mata hitamnya menatapku dalam selama beberapa saat sebelum mendadak berpindah dan membesar. “Itu Ayah sudah keluar!”
Teriakan Ayu membuatku semakin marah. “Ayahmu sudah nggak–!”
“Aminah,” sebuah suara parau memanggilku dari belakang, membuat bulu kudukku berdiri.
‘Suara ini,’ batinku, mengenalinya.
Perlahan, aku pun menoleh, mencoba melihat siapa yang sekarang berada di belakangku.
Detik berikutnya, aku mematung di tempat. Ekspresiku berubah ngeri, dan tubuhku pun melemas.
Satu sosok familier yang sempat kucintai itu–Satria–terlihat di hadapan. Hanya saja, tanaman rambat yang melilit lehernya kencang tampak menghancurkan tulang-tulangnya, menekan aliran darah dan membuat wajahnya membiru. Kulit yang membusuk akibat terendam lama di air rawa mengeluarkan bau anyir yang memuakkan.
Suasana Bandung pada sore itu sangatlah ramai. Maklum, liburan panjang membuat banyak orang terutama dari ibukota mengunjungi Bandung untuk sekedar ke restoran atau ke tempat-tempat wisata yang bisa membuat pikiran mereka kembali fresh setelah penat oleh pekerjaan mereka di setiap harinya. Aku, yang menjadi penulis dari cerita ini, kini mempunyai hobby baru, selain menuangkan tulisanku di dalam karyaku, aku juga kini menjadi seorang podcaster amatir dengan gimmick sebagai duo demit yang seringkali mengomentari manusia dalam podcastku. Cerita horor yang aku tulis dalam keadaan serius, membuatku harus mencari kesibukan lain sehingga aku bisa melepas tawa meskipun obrolannya masih sama tentang tahayul, mitos, juga para mahluk yang ada di sekitar kita. Matahari sore itu tampaknya sedikit mendung, tepat ketika aku keluar studio. Aku hari ini berencana untuk bertemu seseorang yang ingin bercerita di tempat kerjanya yang sekarang. Sebuah cerita yang mungkin saja bisa aku angkat menjadi cer
Sebuah desa yang menjadi mitos dalam keluarga dirinya, yang katanya desa itu ditinggalkan oleh ayahnya sendiri karena suatu hal yang tidak dia ketahui kini berada tepat beberapa meter di depan matanya.Pepohonan yang lebat serta ilalang yang menutupi hingga melebihi tubuhnya membuat desa ini sangat susah untuk diketahui. Bahkan warga di Desa Muara Damar yang kini menjadi sebuah kecamatan besar pun tidak mengetahui bahwa ada desa di tengah hutan seperti ini.Bahkan mereka pun terlihat enggan untuk berjalan selama enam jam lebih hanya untuk ke tempat ini, karena mereka takut hewan buas yang mungkin akan menerkam mereka di tengah hutan. Mereka pun sebenarnya tidak mengetahui bahwa ada sebuah desa terlupakan di tengah hutan yang tinggalkan oleh penghuninya yang salah satunya ayahnya sendiri.Ayahnya masih ingat bagaimana dia tiba-tiba terbangun seperti mimpi, dan terbangun di pagi hari di dekat rawa-rawa seberang Desa Muara Damar bersama dengan para warga yang lain. Namun semuanya tidak i
Aku masih ingat Bu Cucu berkata ‘TAHAAAAAN!’ dengan keras di dekatku, aku benar-benar tidak kuat ketika tuselak itu masuk ke dalam tubuhku, rasa sakit disertai rasa dingin benar-benar aku rasakan di dalam tubuhku, seperti ada ratusan jarum yang menusuk-nusukku dari dalam.Sungguh cara yang gila yang aku lakukan, namun sudah tidak ada cara lain lagi karena hal itu harus aku lakukan.Butuh waktu lima belas menit hingga tuselak itu seluruhnya masuk ke dalam tubuh, tubuhku yang merasakan sesuatu yang asing langsung melakukan penolakan dan ingin memuntahkannya, namun Bu Cucu berkata bahwa aku harus bisa menahannya hingga tuselak itu bersemayam di dalam tubuhku dengan segel dari Bu Cucu agar tidak bisa memberontak dari dalam sana.Hingga akhirnya.Aku melihat Ayu yang awalnya berdiri dengan tegap tiba-tiba jatuh seketika dengan luka darah yang mengucur dari punggungnya, jantungnya mendadak berhenti tepat ketika tuselak itu masuk ke dalam tubuhku.Aku sempat berteriak dan ingin menangkap tub
Srak, srak, srak, Tanah yang berwarna coklat tua disertai dengan banyak sekali akar-akar pohon yang berada di dalam tanah kini secara perlahan aku pindahkan kembali setelah aku gali selama beberapa jam ini. Sinar matahari yang terik sangatlah terasa dengan bau keringat yang menyengat karena dari semalam aku tidak sempat membersihkan diri atas apa yang terjadi. Aku mengangkat tanganku, menutupi wajahku yang penuh keringat, melihat langit yang kini biru dengan sedikit awan di atas sana. Apa yang terjadi semalam kini kembali berubah menjadi normal kembali ketika matahari tiba. Namun bedanya, kini semuanya telah usai. Desa Muara Ujung yang awalnya ramai, penuh dengan canda tawa, penuh dengan rasa semangat dari orang-orang yang hidupnya kembali ke titik nol di tempat ini, kini harus terusir oleh apa yang keluargaku lakukan. Haaaaaahhh Aku menghela nafas panjang, tepat ketika aku menyelesaikan pekerjaanku sekarang, aku menurunkan cangkul yang aku bawa di tanah, dan memandang sebuah pek
Kedua tanganku benar-benar berkeringat, aku menahan Ayu agar tidak bisa bergerak dengan cara apapun, parang yang aku tancapkan masih terlihat menembus punggungnya.Aku sengaja menusuknya ke arah dada, agar parang itu tidak tertahan oleh tulang rusuk yang bisa menyulitkanku ketika aku menahan Ayu.Aku benar-benar menjadi pembunuh sekarang, pembunuh dari anak tiriku sendiri, meskipun tubuhnya kini di selimuti oleh sesuatu kekuatan yang gelap yang membuatnya bisa bergerak meskipun seharusnya tubuhnya telah mati akibat luka yang dia terima.Namun tetap saja, aku adalah bagian dari pembunuhan itu, pembunuhan terhadap anak kecil tidak berdosa yang didalamnya terdapat suatu makhluk yang mengerikan.Aku yakin, Ayu sekarang sudah tiada, dia hanyalah sebuah tubuh kosong yang diambil Alih oleh tuselak.Sehingga, ketika Bu Cucu mengambil tuselak itu dengan kedua tangannya, maka tubuhnya akan seketika berhenti bergerak.“TAHANN MINAH, SEDIKIT LAGI!” kata Bu Cucu yang dengan sigap menarik bayangan
‘Aku harus bertanggung jawab.’‘Aku harus mengakhiri semua ini.’‘Ini tidak boleh dibiarkan begitu saja, karena kalau Bu Cucu meregang nyawa, maka para warga desa tidak bisa lagi melarikan diri dan mereka bisa menjadi korban.’Suara-suara itu berkecamuk dalam diriku, ditengah-tengah suasana genting yang bisa saja mengakibatkan nyawaku melayang.Aku melihat ke sekeliling ketika sebuah angin yang sangat besar menghempaskan semua yang ada di sekitarku sehingga banyak dari mereka yang terpental ke segala arah.Banyak anak kecil yang terlepas dari pangkuan ibunya, banyak juga para orang tua yang terjatuh dan terguling di semak-semak. Semuanya benar-benar kacau.Apalagi, Bu Cucu sudah tampak kelelahan dengan luka yang dia terima pada saat itu.Tanganku tiba-tiba bergetar hebat, parang yang masih aku pegang dengan erat aku lihat dengan seksama.Keberanian dan ketakutan tercampur aduk saling beradu satu sama lain di dalam diriku pada saat itu.Apakah yang akan aku lakukan sekarang, apakah aku
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments