"Mas Heru!" Gumamku dengan senyum terkembang. Terdengar suara deru mobil berjalan memasuki halaman rumah. Aku yakin itu mobilnya. Aku bergegas turun dari lantai atas kamarku.
"Bu, hati-hati jalannya, jangan lari!" Mbok Yem asisten rumah tangga yang sudah lama kerja ikut keluargaku, terdengar khawatir tapi tidak kudengarkan. Aku terlalu senang hingga terus berlari riang menyambut kedatangan belahan jiwa. Mas Heru, suami yang setia mendampingiku baik senang maupun duka. Apalagi saat aku terpuruk kehilangan penglihatan, dia tetap setia disampingku.
Rasanya tidak sabar memberikan kejutan kepadanya. Pasti dia tidak menyangka kalau aku sudah bisa melihat.
Namun belum sampai di pintu depan, langkahku terhenti, senyumku lenyap seketika saat mata ini melihat dengan jelas dari balik jendela kaca rumah, kalau Mas Heru keluar dari mobil bersama Lastri--sekretaris dan juga merupakan sahabat dekatku. Bukan hal yang aneh, karena mereka sering datang bersama ke rumah ini. Yang janggal kenapa harus bergandengan tangan. Mesra lagi.
Degup jantungku berdetak lebih cepat, dadaku berdebar hebat. Apa ini? Bukan dia yang terkejut tapi aku. Apakah selama ini mereka sedekat itu?
Segera aku berbalik dan duduk di kursi tamu dengan pikiran kacau. Kuraba dada ini. Bunyi degupnya masih terdengar tidak beraturan.
'Tidak mungkin. Mungkin aku cuma salah paham saja.' Mencoba berpikir positif. Namun rasanya sulit, melihat senyum bahagia mereka, sisi hatiku menolak.
Pintu depan terdengar terbuka. Masih terdengar gelak tawa mereka dari tempatku duduk.
Kuhitung dalam hati. 'Satu … dua … tiga.'
"Delia? Kok a--ada di sini?" Tergagap Mas Heru bertanya. Dia tampak terkejut melihatku duduk sendirian di ruang tamu. Refleks dia mengurai genggaman tangan Lastri. Lalu berjalan mendekat.
Perhitunganku tepat. Selama aku buta, pendengaranku lebih sensitif. Aku dapat menghitung jarak dan suara langkah kaki. Dapat menghitung berapa langkah dari arah pintu depan sampai ke tempatku duduk. Saat seperti ini ternyata sangat berguna.
Sedang Mbok Yem sudah berdiri di depanku dengan tatapan yang entah, penuh misteri. Seperti ada yang ia pikirkan atau pendam. Dia terlihat menggelengkan kepala dengan wajah takut mengarah ke Mas Heru. Kenapa? Aku tidak dapat melihatnya langsung karena takut Mas Heru curiga.
"Bosan, Mas. Di kamar terus," jawabku datar. Mas Heru duduk di sebelah. Dia seperti mengamati. Apa sandiwaraku ketahuan ya?
"Nggak apa sayang, kamu bisa keliling rumah ini. Bebas mau kemana saja. Ke taman belakang juga bisa, biar nggak bosan. Kan kamu suka lihat bunga-bunga yang kamu tanam," ujarnya sambil mengelus lembut rambut panjangku. Sedang tangan sebelahnya di udara mengkode Lastri untuk duduk di seberang kursiku.
Aku tersenyum kecut. "Bagaimana aku bisa melihat bunga tersebut Mas, kamu lupa kalau aku,"
"Ma--maaf Sayang. Bukan maksud Mas untuk, e … ehm, maaf," sesalnya langsung memotong ucapanku. Tampak merasa bersalah.
"Lupakan, kamu sama siapa Mas ke sini? Kudengar tadi ada suara perempuan, Lastri ya?" Kusunggingkan senyum tipis ke arah depan. Berpura tidak tahu.
"E … ehm, iya Sayang, sama Lastri. Tuh, dia duduk di depanmu." Aku mengangguk dengan tatapan lurus ke depan, seolah menyapanya. Ya, di depanku duduk dengan diam atau memang diam-diam, agar aku tak tahu kalau dia ada di sini. Sekretaris suamiku. Aku sendirilah yang merekomendasikannya kepada Mas Heru, karena waktu itu Lastri sangat butuh pekerjaan. Kupinta saja Mas Heru untuk menerimanya, entah sebagai apa, asal dia bekerja.
Dari sini, dapat kulihat dia tersenyum tertahan dengan menatapku sinis. Duduk dengan jumawa sambil mengangkat satu kakinya ke atas kaki lainnya. Sengaja memperlihatkan paha mulusnya. Untuk apa? Apa untuk menarik perhatian Mas Heru? Heh! Roknya terlalu pendek. Setahuku dulu tidak seperti ini cara berpakaiannya.
"Mbok Yem, bisa pergi. Biar Delia saya yang urus," titah mas Heru.
"Jangan!" Teriakku.
Mereka terkejut melihatku tetiba berteriak.
"Maksudku, Mbok Yem tetap di sini. Aku merasa tenang kalau dia berada di sampingku. Kalau aku butuh apa-apa biar cepat diambilkan."
"Lo, kan sudah ada Mas. Biasanya juga begitu. Sudah Mbok pergilah," ucapnya lagi.
"Tapi Pak, Ibu," sahut Mbok Yem tertahan.
"Mbok," panggil tegas Mas Heru.
"I--iya, saya pergi." Seperti takut Mbok Yem berlalu pergi dari sini.
Aku diam, biarlah. Mungkin itu lebih baik. Kalau tetap kularang, dia bisa curiga dengan sikapku barusan.
"Ehm … bagaimana kabarmu Las? Hampir sebulan aku tidak melihatmu. Biasanya kamu selalu mengunjungiku," tanyaku basa-basi dengannya. Mengalihkan pembicaraan.
"Hm, baik. Aku sibuk. Pekerjaan di kantor sangat banyak. Iya kan, Mas?" Dia melepas stilettonya dan berjalan pelan maju ke depanku. Tidak, tapi berbelok ke samping ke arah Mas Heru. Lalu duduk di dekatnya. Sangat dekat sampai tubuh Lastri menempel ke tubuh Mas Heru. Kupaksakan melihatnya dari sudut mataku. Agak sulit, karena terlihat samar, tapi dapat kupastikan tangannya bergelayut manja di bahu Mas Heru.
Aku terhenyak takjub akan penglihatanku saat ini, ingin kumelotot melihatnya namun kutahan. Degup jantung berpacu cepat lagi. Kukepalkan tangan ke belakang badan.
'Sabar Delia, sabar. Jangan emosi. Berpuralah kamu tidak melihatnya. Tahan.
Jadi selama ini mereka menjalin hubungan di belakangku? Atau jangan-jangan mereka telah lama berselingkuh? Sungguh tega.
"Lastri, kamu di mana? Kenapa suaranya seperti di sampingku?" Sengaja kupancing pertanyaan ini.
Terdengar sayup suara seperti berbisik, dari sudut mataku dapat kutangkap gerakan tangannya Mas Heru menyuruh Lastri kembali ke tempat duduknya.
"Aku masih di sini, di depanmu, kenapa?" Jawabnya ketus. Marah. Dia sudah berpindah ke tempatnya. Sama, dengan jalan dibuat sepelan mungkin. Mencoba mengelabuiku, sayangnya aku bisa melihatnya. Apakah selama aku buta dia bertindak seperti ini? Pura-pura tidak terlihat.
"Kenapa kemari? Mengunjungiku atau ada kerjaan bersama Mas Heru?" Nada suaraku terdengar ketus, sulit untuk bersikap wajar setelah terbuka wajah busuknya.
"Iya, kami ada kerjaan bersama. Harus selesai malam ini." Wajahnya kembali ceria, dia tersenyum nakal sambil mengedipkan mata ke arahku, tepatnya ke arah Mas Heru.
"Iya, Sayang. Kami malam ini lembur, nggak apa kan malam ini kamu tidur sendiri. Ehm … maksudku tidur duluan. Nanti aku nyusul kalau pekerjaanku sudah selesai, kamu nggak marah 'kan?" sahut Mas Heru seraya mengusap tanganku yang berada di pangkuannya.
"Nggak apa Mas, aku ngerti. Kerjanya jangan terlalu diforsir nanti kalian sakit. Nggak lucu kan kalau sakitnya barengan juga," Kekehku, kupaksakan melucu menghibur hatiku yang sakit terluka karena penghianatan mereka.
Mereka tergelak ikut menertawakan leluconku.
"Iya Sayang, nggak akan," sahutnya masih dengan bibir tertarik ke atas.
"Mas, tolong antar aku ke atas," pintaku dengan memegang tangannya erat. Rasanya malas berlama-lama duduk di sini.
"Oh, iya Sayang, yuk! Sini Mas tuntun."
"Lastri, maaf kutinggal dulu. Anggaplah rumah sendiri," ujarku pamit dengannya. Terpaksa.
"Tentu, pasti itu, aku sudah menganggapnya seperti rumah keduaku." Jawabannya membuat langkah kakiku terhenti.
Rumah kedua? Maaf Las, tidak akan kubiarkan itu terjadi. Itu hanya dianganmu saja.
"Kenapa Del? Kok berhenti?"
"Tidak apa Mas. Ayo!" Ajakku lagi.
Aku berjalan berpura tidak melihat. Mata tetap fokus ke depan tidak melirik ke kanan dan ke kiri. Kubiarkan Mas Heru menuntunku pelan seperti orang buta hingga sampai naik ke atas, ke dalam kamar.
Setelah berhasil mendudukkanku ke tepi ranjang, Mas Heru berlalu pergi. Dia sempat berpesan kalau perlu sesuatu panggil lah dia atau Mbok Yem. Aku mengangguk mengiyakan.
Aku terduduk, merenungi ini semua. Mataku memanas mengingat kejadian barusan.
Sekarang baru kutahu kalau Lastri menusukku dari belakang. Ternyata mereka selama ini berselingkuh dariku. Kapan? Lamakah? Atau baru saja saat aku kehilangan penglihatan?
Baik Mas, Lastri. Aku ikuti permainan kalian. Mari kita bertarung, siapa yang menang dan mampu bertahan bersandiwara lebih lama, aku atau kalian?
Pintu kukunci dari dalam, hanya ingin leluasa bergerak tanpa dilihat orang lain terutama Mas Heru. Aku tidak ingin dia tahu kalau sekarang aku sudah bisa melihat. Dia tidak boleh tahu sampai aku bisa membalaskan sakit hatiku padanya.Cukup sudah aku dibodohinya. Aku harus segera bertindak. Selama ini, semua tanggung jawab perusahaan dan aset kekayaan, kuserahkan penuh kepada Mas Heru. Ya, aku terlalu percaya kepadanya, hingga semua yang kumiliki bebas dimiliki dan diaksesnya tanpa pernah kutanya, Untuk apa dan kemana ia pergunakan.Namun tidak kali ini, Mas. Aku akan mengambil semua aset kekayaan keluargaku, dan akan kukelola sendiri. Tanpamu, karena itu milikku. Secepatnya, setelah semua ini beres, maka kita akan bercerai, Mas. Tidak Sudi aku hidup dengan seorang pengkhianat dan juga seorang benalu.Namun sebelumnya, aku harus tahu dulu apa saja yang terjadi di rumah ini selama aku buta. Aku merasa ada
Kupindai sekelilingku. Sepi. Tentu saja, penghuninya sudah tidur jam segini. Kecuali mereka yang berada di balik kamar ini. Suara desahannya semakin nyaring membuat hatiku panas mendengarnya. Tanganku gemetar, gerakan membuka handle pintu terhenti. Kuseka air mata yang keluar menahan pedih di hati. Aku tidak boleh menangis, harus tegar. 'Jangan lemah, Delia. Air matamu tidak pantas untuk mereka.'Aku berbalik dan menuju ke lantai atas. Ke kamarku. Sampai di kamar, kuambil benda penting, kecil, pipih berbentuk segi empat. Lalu segera turun ke bawah.Di bawah, tepat di depan kamar ini, kuredam degup jantungku yang berdetak kencang karena habis berlari kecil. Aku masih terengah, napasku belum teratur.Aktivitas di dalam masih terdengar. Itu bagus. Ada yang harus kulakukan. Tangan ini masih gemetar saat menggerakkan handle pintu. Pelan, sepelan mungkin kucoba membuka.Klek.
Mataku mengerjap terbuka. Gelap. Apa mati lampu? Atau aku sudah mati? Aku ingat, rasanya aku baru saja mengalami kecelakaan. Mobilku menghantam pohon besar, yang sengaja kualihkan stirnya ke sana untuk menghindari tabrakan dengan mobil lainnya. Entah kenapa rem mobilku tidak berfungsi. Padahal baru diservis kemarin. Kutepuk pipiku pelan. Masih gelap. Aneh. Kutepuk lebih keras. "Aww," lirihku meringis kesakitan. Perih."Delia? Kamu sudah sadar Sayang. Tunggu biar kupanggilkan dokter."Itu suara suamiku. Dokter? Benar aku tidak bermimpi. Ini pasti di rumah sakit. Syukurlah aku masih hidup. Namun kenapa cahayanya gelap."Mas Heru? Kamu di mana? kenapa gelap? Aku tidak bisa melihat apapun." Kusentuh kedua mata. Aku yakin tidak sedang bermimpi. Apa di sini mati lampu? "Mas, tolong! Ada apa dengan mataku." Tanganku bergerak di udara mencoba menggapai sesuatu tapi tida
Aku senang melihat Mbok Yem masuk ke dalam kamarku. Dia membawakan sarapan seperti biasanya."Loh, Ibu gimana sih, harusnya duduk aja. Kalau mau kemana, bilang sama saya, biar Mbok bantu," ujarnya memaksaku duduk kembali ke kursi di depan meja rias. Dia juga memasangkan kacamata hitam yang ada di atas meja kepadaku. Kelakuannya sungguh aneh."Mbok, sa." Belum selesai sudah disela Mbok Yem."Ini makan dulu. Duduk yang benar, biar Mbok suapin," ucapnya lagi menyuapiku sembari mengedipkan sebelah mata. Lalu, seperti memberi tanda lewat sorot matanya, mengarah ke perempuan muda yang sedang sibuk merapikan tempat tidur.Ya, setiap hari datang dua pekerja tambahan, untuk membantu Mbok Yem membersihkan rumah ini. Mereka tidak menginap, cuma bekerja sampai pekerjaan mereka selesai.&
Baru enam bulan aku tidak dapat melihat dunia, rasanya banyak yang berubah di dalam rumah ini. Dari orang baru, hingga dekorasi di dalamnya. Kuamati setiap jengkal dari sisi rumah. Banyak dekorasi dan penempatan barang yang dirubah. Kata Mbok Yem, ini semua ulah Lastri. Heran, apa haknya di rumah ini. Dia hanya orang asing bergelar teman. Tidak seharusnya mengotak-atik isi dalam rumahku.Aku juga mengamati bagaimana Dini dan Sari bekerja. Cukup bagus. Sejauh ini mereka cekatan dalam membersihkan rumah. Bahkan sampai tugas berkebun dikerjakan oleh mereka pula. Secara bergantian.Taman belakang, yang dulu sering dikunjungi sebagai tempat favoritku, ternyata masih indah dan terawat dengan baik. Katanya Sari dan Dini yang merawatnya. Syukurlah. Tidak ada salahnya tetap mempekerjakan mereka di rumah ini.***&nbs
Kosong? Kemana perginya? Untuk apa Mas Heru mengambil semua perhiasanku?Aku terkejut, saat mendapati bagian atas dalam brankas kosong. Di bagian atas adalah tempat untuk menyimpan perhiasan. Di sana, terdapat lima kotak perhiasan full set, dan tiga kotak kecil berisi cincin berlian. Kebanyakan, perhiasan yang kumiliki adalah berlian. Terus, ada juga beberapa perhiasan emas yang memang kuletakkan begitu saja tanpa kotaknya. Itu juga raib. Padahal kalau di total, jumlah keseluruhan perhiasanku itu bernilai miliaran rupiah. Untungnya, surat menyurat di bagian bawah dalam brankas masih ada dan lengkap. Sudah kulihat isi dalamnya, tidak ada yang berubah dan surat-suratnya kuteliti masih asli.Aku duduk melantai, dan tersandar ke dinding ruangan, memikirkan ini semua. Kuambil ponsel yang tergeletak di lantai, ingin menghubungi seseorang yang penting."Halo, Pak Darwin? selamat siang. Maa
Aku menuruni tangga dengan pelan. Tongkat di tangan dan kacamata hitam tidak lupa kukenakan. Memang seperti inilah seharusnya penampilanku. Bukankah aku masih berpura buta?Saat di anak tangga terakhir, aku bisa melihat sosok laki-laki muda dengan kemeja biru langit duduk di sofa di ruang tengah. Kuhampiri dia dengan berjalan pelan. Dia menoleh ke arahku. Masih muda. Sepertinya seumuran denganku. Apa benar dia adalah dokter yang akan memeriksaku?"Selamat siang Bu Delia, saya Ryan, dokter yang akan memeriksa anda, menggantikan tugas dokter Richard," sapanya datar."Siang," jawabku."Silakan duduk," tawarku. Dia mengangguk dan segera menghempaskan bokongnya ke atas sofa."Mbok Yem, tolong
"Sudah lah Bu, jangan terlalu dipikirkan, Mbok Yakin, dokter Dian itu orangnya baik," ucap Mbok Yem sambil meletakkan sebuah cangkir berisi teh hangat ke atas meja, di samping tempat dudukku. "Ryan, Mbok. Bukan Dian," ucapku membenarkan. "Iya, salah dikit saja, Ryan," sanggah Mbok Yem, ikut duduk di sebelahku. "Tapi Bu, kalau Pak Heru nanya tentang CCTV gimana? 'kan ketahuan Bu. Wong saya lihat jelas sekali tuh alat ada dimana-mana." "Sengaja Mbok, saya mau lihat reaksinya nanti," jawabku. Aku yakin Mas Heru akan melakukan sesuatu setelah melihat banyak CCTV terpasang di rumah. Selain CCTV yang tampak terlihat, ada juga yang ukuran kecil terpasang di tempat tersembunyi, khususnya di dalam kamar baca--tempat Brankas tersimpan dan kamar tamu. Kurasa itu merupakan tempat favorit Mas Heru saat ini. &