Pintu kukunci dari dalam, hanya ingin leluasa bergerak tanpa dilihat orang lain terutama Mas Heru. Aku tidak ingin dia tahu kalau sekarang aku sudah bisa melihat. Dia tidak boleh tahu sampai aku bisa membalaskan sakit hatiku padanya.
Cukup sudah aku dibodohinya. Aku harus segera bertindak. Selama ini, semua tanggung jawab perusahaan dan aset kekayaan, kuserahkan penuh kepada Mas Heru. Ya, aku terlalu percaya kepadanya, hingga semua yang kumiliki bebas dimiliki dan diaksesnya tanpa pernah kutanya, Untuk apa dan kemana ia pergunakan.
Namun tidak kali ini, Mas. Aku akan mengambil semua aset kekayaan keluargaku, dan akan kukelola sendiri. Tanpamu, karena itu milikku. Secepatnya, setelah semua ini beres, maka kita akan bercerai, Mas. Tidak Sudi aku hidup dengan seorang pengkhianat dan juga seorang benalu.
Namun sebelumnya, aku harus tahu dulu apa saja yang terjadi di rumah ini selama aku buta. Aku merasa ada yang janggal.
Mbok Yem pasti tahu sesuatu. Dia berada di rumah ini dua puluh empat jam bersamaku, pasti semua tindak tanduk Mas Heru diketahuinya dengan baik. Namun kenapa dia diam saja. Apa karena takut? Mungkin itu juga yang membuat sikapnya berbeda saat kedatangan Mas Heru tadi. Syukurnya Mbok Yem diam saja melihatku berpura-pura buta. Padahal dia tahu kalau aku sudah bisa melihat. Aku yakin Mbok Yem berada dipihakku. Aku harus bicara dengannya.
***
"Del, Sayang, kok pintunya dikunci?" Aku kaget karena Mas Heru berada di depan pintu kamar. Dari tadi aku mondar-mandir sibuk memikirkan semua rencanaku.
"Iya, tunggu bentar," sahutku dari dalam.
Klek.
Pintu kubuka.
Mas Heru menatapku heran. Ternyata di sampingnya ada Lastri. Mata tetap kufokuskan ke depan.
"Maaf Mas. Aku ketiduran," ucapku dengan sengaja menguap lebar di depannya.
"Tumben dikunci?"
"Masa? maaf Mas, mungkin nggak sengaja."
Dia tersenyum, lalu tanganku sengaja menyentuh dada bidangnya dan turun ke tangannya. Mas Heru menuntunku ke dalam. Anehnya Lastri juga ikutan masuk. Lagi dengan pelan dan diam-diam.
Aku yakin selama ini dia pasti sering ke rumah, dan masuk ke kamar ini tanpa sepengetahuanku. Dasar, tak tahu malu. Aku tak percaya bisa menganggapnya sahabat.
"Mas mau mandi," ucapnya tanpa kutanya. Aku sudah duduk di tepi ranjang dengan mata fokus ke depan. Sesekali kepala kugerakkan ke kiri dan ke kanan untuk melihat pergerakan mereka.
"Mau kupilihkan, Mas?" tanyaku. Intonasiku penuh penekanan. Ada yang membuatku kesal.
Gerakan tangan seseorang melepas pakaian terhenti. Ya, Mas Heru tidak melepaskan sendiri pakaiannya, tapi dibantu Lastri. Ditambah dengan kecupan-kecupan yang menjijikan. Bayangkan, aku harus melihat adegan mesra layaknya pasangan suami-istri di depan mataku sendiri.
Mata ini memanas, sengaja kutengadahkan kepala ke atas hanya untuk mencegahnya mengeluarkan air mata. Perih. Jadi begini kelakuan mereka saat aku buta.
"Tidak perlu sayang, aku bisa sendiri." Dia berjalan dengan bertelanjang dada membuka lemari pakaian, diikuti oleh Lastri.
"Mas, apa kamu mencium bau sesuatu?" Kutahan suaraku agar tidak bergetar.
"Bau?" Berpikir sejenak. "Memangnya bau apa?"
"Bau parfum wanita. Sepertinya bukan parfum aku deh, Mas. Aneh. Masa bau aroma kamar ini berbeda? Apa di dalam kamar ini ada orang lain?"
Baju yang dipilih Lastri terjatuh. Mas Heru tampak gugup. "Ti--tidak ada Sayang, di sini kan cuma kita berdua," kilahnya dengan mendorong Lastri keluar dari kamar secara pelan dan diam-diam pula. Aku tersenyum kecut melihatnya.
'Bodoh, tidak ada bau apapun di kamar kita, Mas. Baru begitu saja kau sudah kelabakan, bagaimana kalau kulabrak benaran.'
***
"Sayang, aku ke bawah dulu ya, Mbok Yem sebentar lagi juga akan naik ke atas, mengantarkan makananmu," ucap Mas Heru sambil berkaca menyugar rambutnya yang basah.
"Kamu sudah makan, Mas?" Dia menggeleng.
"Ini juga mau ke bawah, makan bareng Lastri. Nggak enak kan, masa dia kerja bantu aku lembur tapi tidak kutawari makan," selorohnya.
"Tapi, Mas--"
"Permisi." Tiba-tiba Mbok Yem datang membawakan makan malamku. Biasanya aku makan malam di kamar. Disuapi Mbok Yem.
"Temani Ibu makan malam ya," ujarnya kepada Mbok Yem yang menghampiriku. Mbok Yem mengangguk.
"Tunggu, Mas!" Mas Heru yang ingin beranjak pergi menghentikan langkahnya.
"Mbok, bawa kembali makanan itu ke bawah." Mas Heru mengernyit, heran mendengar perintahku pada Mbok Yem.
"Aku ingin makan makan bareng denganmu?"
Mas Heru terkejut mendengar ucapanku. Dia tampak gelisah.
"Ehm ... Ayo," ujarnya setuju. Masih dengan wajah keheranan.
***
Aku sudah duduk di depan meja makan bersama mereka. Suami dan sahabatku.
Lastri tampak terkejut melihatku ikut duduk di sini dengannya.
Dia mengkode Mas Heru seolah bertanya kenapa aku ada di sini. Tentu saja dia heran. Mungkin dikiranya aku akan makan malam sendiri di dalam kamar. Maaf Las, kamu salah. Tidak akan kubiarkan Mas Heru makan malam berduaan denganmu. Bukan karena kucemburu. Namun karena aku hanya tidak ingin melihat kalian bersenang-senang diatas penderitaanku.
Mbok Yem menyiapkan piringku dengan makanan yang tersaji di atas meja makan.
"Mas, sini piringmu! Biar kusiapkan," ujar Lastri dengan tersenyum sumringah.
"Jangan! Biar Mbok Yem yang mengambilkannya untuk Mas Heru," pintaku. Lastri terdiam, gerakan tangannya terhenti seketika.
"Kamu kan tamu di rumah ini Las, cuma sebatas tamu. Jadi jangan bertindak seperti penghuninya," ucapku tegas. Terserah apa anggapannya. Aku hanya menunjukan batasan dirinya di rumah ini.
Wajah Lastri seketika masam. Dia merengut menoleh ke arah Mas Heru.
"Del, kok ngomongnya gitu. Lastri kan cuma mau bantu aku ngambil makanan," bela Mas Heru.
"Kan ada Mbok Yem. Apa dia ingin menggantikan tugas Mbok Yem? Jangan sampai aku menyuruhmu mencuci piring Las, itu terdengar lucu," Kekehku.
Bertambah merahlah wajah Lastri. Sepertinya dia marah.
"Del,"
"Aku cuma bercanda Mas. Maaf Las. Ayo kita makan," ucapku sambil menyendok makanan ke dalam mulut. Cuek.
Setelahnya kami makan dalam diam. Hanya terdengar suara denting sendok dan garpu beradu di atas piring.
Namun, aku masih bisa melihat Lastri yang mencuri pandang ke arah Mas Heru. Menyebalkan.
'Dasar, pagar makan tanaman. Sebentar lagi akan kujadikan kau pagar benaran di rumah ini Las, tunggulah.'
***
Malam berlalu, pintu kamar kukunci kembali, saat Mas Heru bilang dia akan sangat sibuk dengan Lastri di ruang kerja. Ruangannya tepat di sebelah kamar ini. Aku diminta tidur duluan. Kuiyakan saja semua perkataannya, karena ada yang harus kulakukan malam ini.
Menunggu beberapa menit dan merasa aman, aku bergegas mencari sesuatu. Hal pertama yang kucari adalah berkas penting, surat menyurat mengenai aset kekayaan. Dulu kuletakkan di dalam brankas dan sudah lama tidak pernah sekalipun kubuka.
Aku masuk ke dalam ruangan yang lebih kecil di dalam kamar ini. Tempat penyimpanan barang berharga. Sayangnya Mas Heru mengetahui ruangan ini. Aku tidak pernah merahasiakan karena kupikir dia suamiku, dan dia berhak tahu apa pun yang ada di rumah ini. Di sana ada brankas yang tersembunyi di belakang lemari buku. Bila orang awam melihat kamar ini, terlihat biasa saja, seperti ruang baca dengan satu kursi santai di dalamnya.
Kutekan kode pin untuk membuka pintu brankas tapi gagal. Kode pin salah. Kok bisa? Itu artinya ada yang mengganti kode pinnya? Mas Heru kah? Sial, lagi-lagi aku terlambat. Kucoba berpikir. Angka berapa yang jadi kode pin brankas ini.
Oke, tenang Delia. Kamu pasti bisa. Kejahatan tidak pernah menang. Kusugesti diriku berulang kali agar tetap optimis.
Beberapa kali gagal hingga aku harus istirahat sejenak agar bisa mencoba lagi.
Lelah. Semua kode yang kucoba tidak ada yang tepat.
Bagaimana ini. Semua sia-sia. Brankas tetap tidak bisa dibuka. Kenapa dia mengganti kode pinnya? Haruskah kutanyakan itu padanya? Bagaimana kalau dia curiga? Tapi itu hartaku, wajar kalau aku bertanya.
Mumet. Kepalaku pusing memikirkannya. Rencanaku berantakan.
Akhirnya aku kembali ke kamar, dan berbaring di tempat tidur dengan hati nelangsa. Mata ini tidak bisa kupejamkan. Waktu sudah berlalu dengan cepat. Ini bahkan sudah tengah malam. Mas Heru juga tidak kembali ke kamar untuk tidur. Apa mereka masih sibuk. Selarut ini?
Lebih baik kuperiksa keadaan mereka.
Aku keluar dengan meraba tembok kamar dibantu tongkat di tangan kanan. Setidaknya aku harus berlagak seperti orang buta. Memang seperti itu kan yang mereka tahu.
Hening. Tidak terdengar suara atau aktivitas seseorang dari ruang kerja Mas Heru. Kucoba untuk membuka pintunya.
Kosong. Kemana mereka? Sudah selesai atau mereka kerja di ruangan lain? Hatiku jadi tidak nyaman. Aku berjalan dengan cepat menuju ke lantai bawah.
Entah kenapa fellingku mengatakan kalau mereka ada di sana.
Dengan setengah berlari akhirnya sampai di depan kamar tamu. Entah kenapa hati memaksa diri untuk ke sini. Rasa gugup seketika menyerang. Kucoba mendekatkan telingaku ke daun pintu.
Degh.
Hatiku perih, ada yang tercabik di dalam sini walau sudah kutahu ini yang pasti terjadi. Haruskah kuketuk dulu pintu ini atau kudobrak saja, saat mendengar suara desahan seseorang saling bersahutan di dalamnya?
Cup! Sebuah ciuman mendarat di bibir ranum Shanum kala ia selesai berbincang puas bersama keluarga. Mata Alan mengerling menggoda dengan menaik turunkan alisnya setelah berhasil membuat istrinya tersebut melotot tajam. "Masih sore, papinya baby A." Shanum mencubit hidung menukik tajam miliknya Alan dengan terkekeh kecil. Mereka memang sudah memberi inisial huruf untuk nama anaknya kelak dengan awalan huruf A untuk mempermudah memanggilnya saat ini, meskipun sudah ada beberapa pilihan nama lengkap yang sudah dipersiapkan oleh mereka berdua. "Nggak papa. Kan di rumah cuma kita berdua. Ingat kata dokter, paling bagus begituannya sesering mungkin di bulan mendekati HPL ini, biar mempermudah jalan lahir baby A nanti." Alan beralasan untuk memuluskan kehendaknya. Bayangan Shanum yang hanya mengenakan handuk barusan tadi masih membekas di benaknya hingga memunculkan kembali hasrat kelelakiany
"Masih mencintainya?" Lagi Hanum bertanya setelah melihat Fatih hanya diam tidak menjawab pertanyaan sebelumnya."Tidak. Jangan tanyakan dia. Sekarang fokus ke hidup kita. Jangan merusak kebahagian kita dengan bertanya tentang orang lain. Wanita itu hanya masa lalu. Tidak ada hubungan apapun lagi denganku. Kita juga sudah mempunyai pasangan masing-masing. Soal aku yang mungkin pernah menyebut namanya saat tidur, akupun tidak menyadarinya tapi bukan menjadikan itu alasanku masih mencintainya." Fatih mencoba menyangkal dan memberi pengertian."Benarkah? Tapi kenapa rasanya aku sakit ya setelah melihat wanita itu secara langsung." Hanum melirik Fatih sekilas, lalu memalingkan muka kembali menghadap jendela kaca mobil."Please … Num, jangan dimulai.""Justru itu, aku mau menyelesaikan semuanya sekarang. Aku ingin kejelasan apa kamu mencintaik
Hingga sampailah Heru di sebuah tempat yang sebenarnya tidak begitu layak disebut rumah."Heru?!" Seorang wanita paruh baya berjalan tertatih mendekati Heru dengan cepat. Raut wajahnya tidak dapat menyembunyikan rasa keterkejutan dengan matanya yang membulat sempurna tatkala mendapati sosok yang dikenalnya dulu datang ke rumah kecilnya.Heru mengaku sebagai teman dari wanita yang diduganya adalah Lastri agar bisa mampir ke rumah remaja tersebut. Tak disangka yang ia temui adalah orang dari masa lalunya."Bu." Heru mendekat ingin mencium takzim tangan wanita sepuh itu, tapi ditepis kasar."Darimana kamu tahu rumah kami?" Matanya melotot tajam ke arah Heru saat bertanya. Sekarang Heru yakin kalau wanita yang ia kira Lastri itu benar dia orangnya dan wanita tua yang memandang sinis ini adalah mantan mertuanya. 
"Jadi dia yang namanya Shanum." Fatih tertegun seraya melirik Hanum yang membuka obrolan dalam perjalanan pulang ke hotel. Wanita yang garis wajahnya tidak beda jauh dari Shanum itu tidak berani menatap ke arah suaminya saat bertanya.Fatih hanya mengangguk pelan tanpa ingin bersuara. Bibirnya terkatup rapat malas untuk membahas nama yang sedang dipertanyakan isterinya tersebut."Cantik. Pantas masih Mas panggil di tiap tidur Mas." Fatih mendesah berat mendengar sindiran halus dari Hanum. Jujur hatinya merasa tak enak karena kedapatan sering menyebut nama wanita lain saat tidur.Shanum. Nama itu begitu membekas di hati Fatih. Bahkan setelah melewati beberapa purnama, nama itu masih bertahta kuat di hatinya. Baginya, wanita itu adalah cinta pertama yang sulit dilupakan. Kalau bukan karena permintaan ayah sambungnya, mungkin dia akan tetap memperjuangkan wanita itu agar tetap
POV authorAlan memutuskan kembali ke Inggris dengan memboyong Shanum ikut dengannya ke sana. Melanjutkan kuliah mengambil S2 dengan jangka waktu setahun. Ini dilakukan untuk mengoptimalkan kinerja kerjanya nanti saat memasuki perusahaan Keluarga Atmanegara. Shanum pun demikian, ikut mengambil S2 juga memanfaatkan momentum yang ada. Ia pikir daripada berdiam diri di rumah menunggu kepulangan Alan, kenapa tidak ikut menimba ilmu untuk meningkatkan kualitas ilmu yang sudah diperoleh sebelumnya. Alan pun mendukung keinginannya. Keluarga juga merestui. Mereka akhirnya memutuskan pergi setelah melengkapi segala berkas dan keperluan di sana. Kakek sudah membeli lagi satu apartemen baru untuk mereka tinggali. Yang pasti lebih besar dari apartemen Alan sebelumnya.***"Alhamdulillah, sebentar lagi kita bakal punya cucu," ucap Anya melirik Delia membuka obrolan. Tiga wanita berkumpu
POV ShanumCantik. Satu kata untuk kamar pengantin yang telah dipersiapkan untuk kami di salah satu kamar hotel berbintang lima.Taburan kelopak bunga mawar dibentuk menyerupai hati menghiasi atas tempat tidur yang didominasi warna putih. Harum semerbak menguar dari lilin beraroma terapi. Ada juga lilin-lilin kecil yang sengaja diletakkan di berbagai sudut kamar untuk menambah suasana semakin romantis."Suka?" Bisik Alan di dekat telinga. Mata masih takjub memandang keindahan kamar ini. Hati mendesir. Suaranya membuat bulu romaku berdiri. Kucoba mengendalikan rasa yang ada.Aku mengangguk. "Kamu yang buat?"Ia menggeleng lalu meraih tanganku. Menuntunku mendekati ranjang pengantin."Bukan. Orang hotel, tapi aku yang minta dibuatkan secantik mungkin. Mana ada