1 bulan kemudian ….
"Aaa …!"
Aku berteriak histeris setelah mengerjapkan mata terbangun dan melihat disampingku terbaring seorang lelaki tanpa mengenakan pakaian.
Kubuka selimut yang menutupi tubuh, bingung melihat kondisi sendiri lalu berteriak kembali. "Aaa!" Ternyata bukan mimpi. Ini nyata.
"Ada apa sih te, aww …." Lelaki bersuara serak tersebut terpental ke bawah karena kutendang. Aku tak peduli. Sebisa mungkin menyingkirkan sesuatu yang kukira adalah mimpi buruk, siapa tahu lenyap seketika.
"Hah!" Lelaki itu terlihat kaget setelah mendapati dirinya toples tanpa sehelai benang menutupi tubuhnya. Ia terlihat kebingungan. Mencoba menarik selimut tapi sayangnya kugenggam erat. Mana mungkin aku mau berbagi selimut dengannya. Semua yang terlihat harus kututupi. Kupalingkan wajah karena tidak i
"Num, kamu tunggu di sini, aku mau ambil minuman dulu.""Jangan lama-lama San, aku takut," ucapku pada Santi dengan mengedarkan pandangan ke setiap sisi ruangan besar ini. Santi berlalu pergi meninggalkanku duduk sendirian di depan sebuah bar kecil. Aku sendiri tidak tahu harus bagaimana? Tempat ini sangat asing bagiku. Sebelumnya tidak pernah mendatangi pesta ulang tahun yang mirip seperti pesta dugem ini. Sekarang kami berada di sebuah villa, di kediaman hunian keluarga Alan yang lainnya. Orang tuanya yang sangat kaya itu pasti mempunyai banyak rumah dan villa, dan ia mengadakan pesta ulang tahunnya di tempat ini. Rumah yang sangat besar yang disulap menjadi tempat hiburan malam, lampu diskotik berkelap kelip disertai hentakan kerasnya suara musik. Kalau tahu pestanya seperti ini, aku bakalan menolak keras ajakan dadakan dari Santi. Orangtuaku juga tidak akan mengizinkan kami pergi ke tempat seperti ini. Aku mau datang karena kata Santi, Fa
Aku menyerah terpaksa bersedia diantar Alan. Sepanjang perjalanan kami hanya diam. Aku tidak ingin menoleh sedikitpun ke arahnya. Dia pun demikian, fokus mengemudikan mobilnya. Air mata tidak berhenti mengalir. Sudah kutahan tapi tidak bisa. Aku terlalu rapuh. Hidupku sudah hancur, masa depanku suram. Apa yang bisa kulakukan lagi?"Ini." Alan mengulurkan selembar tisu. Hanya kulihat, enggan untuk kuambil. Lalu kembali menoleh ke samping jendela kaca mobil, membuang muka.Kudengar Alan membuang napas. "Aku akan bertanggung jawab," gumamnya memecah keheningan diantara kami."Aku tak butuh tanggung jawabmu!" Kuusap air mata dengan kasar menjawab pernyataan Alan.Memang itu kan yang diinginkannya. Mendapatkanku dengan cara yang licik."Sumpah demi Allah, Num. Aku tidak ingat apapun dan aku juga tidak ingat ap
"Num, kamu kenapa? Kenapa menangis? Iya aku salah karena telat menghubungimu. Entah kenapa ponselku hilang tiba-tiba. Sudah dicari ke segala sisi dalam rumah juga nggak ketemu. Eh kamu tahu ketemunya dimana? Di depan teras rumah di atas meja. Aneh kan?" Aku masih menangis terisak. Penjelasan Fatih tidak kugubris. Pikiranku semakin semrawut bagai benang kusut."Num, jangan nangis dong. Masa' karena hal kecil kamu marah, iya aku minta maaf." Fatih mencoba menghiburku tapi sia-sia. Terlambat, semua tidak sama lagi Tih, aku merasa tidak pantas untukmu."Kita putus," ucapku setelah dapat menahan tangis.Hening. Tidak terdengar suara apapun dari seberang sana.Yang terdengar hanya hembusan napas kasar. Lalu, "Kamu marah sampai minta putus? Yakin?" Nada suara Fatih kalau serius memang terdengar menakutkan di kupingku. Seperti mengintimidasi.
Ayah dan Kaif merangsek masuk ke dalam kamar inapku dengan tergesa-gesa. "Ada apa, Bun. Shanum baik-baik saja kan?" Raut wajah Ayah penuh kekhawatiran. Ia menelisikku yang masih terbaring di ranjang berseprei putih di ruangan ini. Kugelengkan kepala meyakinkannya kalau aku baik-baik saja meskipun wajahku masih tampak pucat. "Kaif. Keluarlah dulu. Ayah dan Bunda perlu bicara berdua." Ada keheranan di raut wajahnya, tapi da tak membantah dengan mengerjapkan mata tanda setuju. Setelah Kaif keluar, Ayah menarik kursi mendekati ranjangku. Matanya menyorot ke Bunda minta penjelasan. "Num, cerita lagi sama Ayah sama seperti yang kamu ceritakan sama Bunda." Aku menoleh ke arah Bunda dan Ayah secara bergantian. Sebenarnya apa yang
Kami semua membisu dalam ruangan serba putih ini. Sesekali saling lirik lalu sama-sama membuang muka. Om Yudha terlihat sibuk dengan ponselnya yang selalu berdering. Aku maklum, karena dia seorang pengusaha sukses. Ayah banyak bercerita tentang temannya ini.Pintu dibuka, kami semua serempak menoleh.Ternyata Kaif yang datang, mungkin kami semua berharap itu adalah Ayah.Matanya menyorot padaku seperti bertanya heran. Aku hanya mengedikkan bahu, malas menjawab. Lalu ia ikut duduk di samping Bunda. Syukurlah adikku ini pandai membaca situasi dengan tetap memilih diam tanpa bertanya lebih lanjut menuntaskan rasa penasarannya.Selang tidak berapa lama, suara derit terdengar tanda pintu dibuka kembali.Ayah. Wajahnya datar. Ia masuk membawa lembaran kertas, aku yakin itu hasil pemeriksaanku.
"Makanya pilih teman itu dilihat bebet, bibit, bobotnya ja--""Mi …!" Om Yudha melirik tajam ke arah istrinya menghentikan Tante Anya bicara. Tante Anya langsung diam dan memanyunkan bibirnya. Ini mungkin untuk kesekian kalinya ditegur oleh Om Yudha.Memang Tante Anya ini kalau bicara suka ceplas-ceplos, tidak tahu yang diomongin benar apa nggak, tetap aja bicara. Aku tidak tahu sesabar apa Om Yudha menghadapi istrinya. Terlalu cerewet dan ingin menang sendiri. Menuduh seseorang seenak udelnya tanpa berkaca bagaimana anaknya sendiri juga bisa saja dijebak oleh temannya sendiri."Artinya dari orang terdekat ya? kak Santi dan Kak Dino. Ada tiga kemungkinan. Pertama memang mereka pelakunya dan saling bekerja sama. Kedua, ada yang memerintahkan mereka atau tiga, ada yang menjebak mereka juga untuk menjebak Kak Alan dan Kak Shanum seolah mereka dijadikan kambing hitam," j
"Ayah, Bun. Memangnya foto apaan? Boleh Shanum lihat?" Ujarku dengan mengulurkan tangan karena penasaran.Bunda mendesah berat. "Nggak usah dilihat ya, Nak. Foto itu isinya gambarmu sama Alan sedang tidur bersama." Aku menutup mulutku, terkejut. "Ada yang sengaja memfoto kalian saat tidak sadarkan diri," lanjut Bunda.Buliran bening lolos dari kedua pelupuk mata. "Maaf, Bun, Yah. Gegara Shanum, kalian jadi kena masalah." Aku menangis tergugu mengingat kebodohanku mau datang ke sana dengan berbohong pada mereka. Berharap bertemu sang pujaan hati, tapi malah petaka yang kudapat.Bunda memelukku. "Sudah, tidak perlu menyalahkan diri sendiri. Jadikan ini pelajaran buat kamu, lain kali nurut apa kata orang tua. Nggak mungkin kami menjerumuskanmu ke hal yang buruk." Dielusnya bahuku lembut, memberikan ketenangan.Penyesalan selalu datang diakhir. Kata
"Iya, Ma. Ini lagi di jalan mau pulang. Mama dimana?" Ayah lagi menjawab telepon. Dari nada bicaranya itu sepertinya Nenek yang menelepon."Iya, nanti Ryan jelaskan di rumah. Waalaikumsalam.""Mama?" tanya Bunda menyelidik.Ayah mengangguk. "Iya.""Pasti Bi Sumi sudah ngadu sama Mama.""Sepertinya," jawab Ayah lesu. Ibu menengok ke arahku. Kutundukkan wajah tidak ingin bersitatap dengannya."Apa yang harus kita jelaskan pada Mama." Bunda membalikkan badannya menghadap Ayah."Katakan yang sebenarnya. Mau gimana lagi." Ayah masih fokus ke depan, menyetir.Kudengar Bunda mengembuskan napas pelan. Pasti ini sangat berat untuknya dan juga Ayah.Kenapa aku tidak mati saja.