Share

Jebakan untuk Sinta

Alda tersenyum melihat ekspresi wajah Sinta yang sudah seperti maling ketangkap basah. Apa yang Alda lakukan belum seberapa, masih banyak kejutan yang lain. Rasanya Alda tidak sabar melihat kejadian yang akan terjadi selanjutnya. 

"Aku pikir tadi Alda datang sendiri, nggak tahunnya sama kamu," ucap Faris. 

"Mumpung ada waktu yang longgar, jadi aku terima tawaran Alda untuk makan siang bareng," sahut Rian. Rian merupakan sepupu Faris, pria yang usianya dua tahun lebih muda dari Faris itu, berprofesi sebagai fotografer majalah dewasa. 

"Dia .... " Rian menggantung ucapannya. Sementara wajah Sinta sudah pucat pasi, rasanya Alda ingin tertawa melihat raut wajah Sinta. 

"Dia Sinta, sekretaris aku di kantor," ujar Faris. Sementara Rian hanya mengangguk. 

"Wajahnya seperti tidak asing, mirip ... ah terlalu banyak model yang aku potret jadi sedikit lupa. Tapi wajahnya sangat familiar," ungkap Rian. 

"Kebanyakan lihat model kamu, jadinya semua wajah dianggap sama," ujar Faris, sementara Rian hanya terkekeh. 

"Makanya jomblo jangan dipelihara," lanjutnya. 

"Jomblo itu bebas," sahut Rian, sementara Faris hanya tersenyum. 

"Ya udah ayo duduk, aku udah pesan makanannya." Faris mengajak Rian untuk duduk. 

Sinta benar-benar tidak tenang, wanita itu memilih diam dan menundukkan kepalanya. Jika bisa memilih, Sinta lebih baik pergi, tapi itu tidak mungkin. Sementara itu, Alda tertawa puas dalam hatinya, tidak sia-sia Alda membayar orang untuk menyelidiki siapa Sinta yang sebenarnya. 

"Sinta kamu kenapa? Kok wajah kamu pucat, kamu sakit?" tanya Alda dengan raut wajah khawatir. Faris yang awalnya sibuk berbincang dengan Rian, seketika menoleh. 

"Eng-enggak kok, hanya sedikit pusing saja," sahut Sinta gugup. 

Selang beberapa menit pesanan datang, Faris serta Rian langsung bersiap untuk menyantap makanan yang ada di hadapannya itu. Kedua lelaki berbeda umur itu memang gemar makan, terlebih jika sedang bersama seperti sekarang. 

"Aku permisi ke toilet sebentar." Sinta bangkit dari duduknya lalu beranjak menuju toilet. Faris menatap heran pada sekretaris sekaligus istri mudanya itu. 

"Jangan dilihatin terus, Mas. Ingat ada istri di sini, yang jauh lebih cantik." Rian menepuk pundak Faris, seketika Faris menoleh. 

"Apaan sih." Faris berusaha mengelak, tetapi dalam hatinya ia penasaran dengan istri mudanya itu. 

"Serapat apapun kamu menutupinya, pasti akan terbongkar juga," batin Alda. Ia dapat melihat raut wajah suaminya yang terlihat khawatir. 

***

Waktu berjalan begitu cepat, setelah makan siang di resto tadi. Alda memutuskan untuk pulang. Bahkan Rian sengaja mengantarnya dengan alasan ingin mampir sebentar. Padahal mereka akan menyusun rencana yang selanjutnya. 

"Mau minum apa?" tanya Alda. Kini mereka sudah tiba di rumah. 

"Air putih aja yang sehat," sahut Rian. Dengan segera Alda beranjak menuju dapur untuk mengambil minuman. 

Selang beberapa menit Alda kembali dengan membawa segelas air putih. Alda meletakkannya di atas meja, lalu menjatuhkan bobotnya di sofa. Sekarang keduanya akan membicarakan rencana yang akan Rian lakukan. 

"Jadi apa yang akan kamu lakukan?" tanya Alda. 

"Aku sudah punya rencana, pokoknya Sinta bakal jantungan kalau rencana ini berhasil," jawab Rian. 

Alda tersenyum. "Jantungan boleh, tapi jangan dibuat mati dulu ya."

"Hahaha, kamu tenang saja, pokoknya semuanya beres." Rian tertawa mendengar ucapan Alda. Setelah itu, mereka kembali berbincang. 

Di lain tempat, saat ini Sinta benar-benar tidak fokus untuk bekerja. Faris yang melihat itu, dengan segera bangkit dan berjalan menghampiri Sinta. Wanita berambut pirang itu tidak sadar jika Faris sudah berdiri di sebelahnya. 

"Kamu kenapa, hem?" tanya Faris. 

"Ah, enggak apa-apa kok, hanya sedikit pusing," sahut Sinta. Wajahnya memang terlihat pucat. 

"Ya udah kamu pulang saja, biar bisa istirahat," saran Faris. 

"Nanti pulang kerja aku ke rumah," lanjutnya. 

"Tapi nginep ya, soalnya mama hari ini nggak ada di rumah," pinta Sinta. 

"Em, iya, ya udah sekarang kamu pulang saja. Bilang sama pak Mukhlis untuk ngantar ya," kata Faris, sementara Sinta hanya mengangguk. 

Setelah Sinta pulang, Faris kembali disibukkan dengan pekerjaan kantornya. Jujur, sebenarnya malam ini Faris tidak berniat untuk menginap di rumah Sinta, tapi ia merasa kasihan pada istri mudanya itu. Mau tidak mau, Faris harus mencari alasan agar Alda tidak curiga. 

Tidak terasa malam telah tiba, sejak pulang dari kantor, Sinta memutuskan untuk tidur. Ia ingin melupakan pria yang dulu pernah mengisi hatinya itu. Sinta berharap ia tidak bertemu lagi dengan pria itu. 

Pukul delapan malam Sinta terbangun, wanita itu mengerjapkan matanya. Sontak Sinta terkejut saat melihat pria yang ia benci berada di sampingnya. Bahkan detik itu juga Sinta bangkit dan terduduk. Rasanya seperti mimpi, dari mana pria itu masuk. 

"Kamu, kenapa bisa ada di sini," ujar Sinta. 

"Kenapa, kamu tidak perlu kaget seperti itu. Seharusnya kamu senang, karena kita bisa bertemu lagi," sahutnya. Pria berjaket hitam itu tersenyum nakal. 

"Aku tidak sudi bertemu lagi sama kamu, sekarang kamu pergi dari sini." Sinta mengusir pria itu. Tetapi pria berjaket itu tidak merespon apa yang Sinta lakukan. 

"Kita bersenang-senang dulu, Sayang." Pria itu mendekat, lalu ikut naik ke atas tempat tidur. 

"Rian pergi, aku tidak sudi disentuh oleh kamu!" bentak Sinta. Matanya menatap tajam pada pria yang tak lain adalah Rian. 

Rian tersenyum. "Kamu lupa, kalau dulu kamu yang menyerahkannya sendiri padaku, tapi kenapa sekarang ... ah, lebih baik sekarang kita bersenang-senang saja, ok."

"Enggak, pergi dari sini." Sinta berteriak untuk mengusir Rian, tetapi pria itu justru semakin tertantang. Tiba-tiba saja, terdengar suara yang memanggil Sinta. 

"Sinta, kamu kenapa!" teriaknya dari depan pintu. Suara yang tidak asing di telinga. Sinta semakin panik, terlebih saat pintu mulai terbuka. Tetapi tidak dengan Rian yang terlihat santai. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status