Share

Kepergok di Kantor

Dari sisi dinding Sinta tersenyum, dia yang mendengar jika Alda akan datang ke kantor. Dengan licik merencanakan sesuatu untuk mencelakainya. Entah memang nasib buruk Alda, sehingga Sinta berhasil membuatnya celaka. 

"Mampus kamu," gumamnya. Setelah itu Sinta memutuskan untuk pergi. 

Sepuluh menit kemudian, Faris yang mendengar jika istrinya jatuh. Dengan cepat berlari menuju ke toilet, pria berkemeja putih itu terkejut saat melihat istrinya sudah tak sadarkan diri, dengan cairan merah yang sudah mengotori lantai. 

"Alda kamu kenapa." Faris berusaha menyadarkan istrinya, tetapi hasilnya nihil. 

"Cepat siapkan mobil." Faris langsung mengangkat tubuh istrinya dan berlari keluar dari toilet. 

Setibanya di pelataran kantor, Faris segera masuk ke dalam mobil, dengan memakai supir kini mereka sudah dalam perjalanan menuju rumah sakit. Faris terus berdo'a agar istrinya baik-baik saja. Sementara itu, Sinta yang melihat suaminya sangat khawatir, merasa cemburu. 

Tidak butuh waktu lama, mereka tiba di rumah sakit, dan saat ini dokter tengah menangani Alda. Di luar Faris terus mondar-mandir tidak jelas, panik dan khawatir berubah menjadi satu. Hanya satu yang Faris inginkan, yaitu Alda selamat. 

"Faris apa yang terjadi, bagaimana keadaan Alda." Riyanti yang baru saja datang langsung menghampiri putranya. 

Faris menggelengkan kepalanya. "Aku nggak tahu, Ma."

Riyanti berdiri di sebelah putranya, ia juga cemas dengan keadaan menantunya itu. Selang beberapa menit, pintu ruangan terbuka, Faris yang melihat itu segera berjalan menghampiri seorang dokter yang baru saja keluar. 

"Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Faris dengan raut wajah khawatir. 

"Untuk saat ini kondisinya masih lemah, dan maaf kami tidak bisa menyelamatkan janin yang ada di dalam kandungan," jelas Dokter Nila. Sontak Faris serta Riyanti terkejut mendengar hal tersebut. 

"Jadi istri saya sedang hamil, Dok?" tanya Faris dengan suara bergetar. 

"Loh memangnya, Bapak tidak tahu," jawab Dokter Nila, sementara Faris hanya menggeleng. 

"Apa saya bisa menemuinya, Dok?" tanya Faris. 

"Bisa, kalau begitu saya permisi dulu." Setelah itu Dokter Nila beranjak meninggalkan tempat tersebut. Sementara itu, Faris serta Riyanti beranjak masuk ke dalam ruangan. 

Faris berjalan menghampiri brangkar di mana Alda terbaring lemah di sana. Faris tidak pernah menyangka jika istrinya hamil, kehamilan yang selama ini mereka tunggu. Di saat impiannya menjadi nyata, tetapi justru Allah mengambilnya begitu cepat. 

"Sayang." Faris duduk di kursi, lalu menggenggam erat tangan istrinya. 

"Memangnya kamu nggak tahu kalau Alda hamil?" tanya Riyanti. 

"Aku nggak tahu, Ma." Faris menggelengkan kepalanya. 

"Kamu yang sabar ya, mungkin ini bukan rezeki kalian. Berdo'a saja, semoga Alda bisa segera hamil lagi," ujar Riyanti seraya mengusap punggung putranya. Sementara itu, Faris hanya mengangguk. 

Waktu berjalan begitu cepat, pukul tujuh malam Alda mengerjapkan matanya. Wanita berjilbab itu mengedarkan pandangannya, suasana nampak asing. Tiba-tiba saja mata Alda menangkap sosok suaminya yang baru saja masuk. Melihat istrinya sadar, Faris segera menghampirinya. 

"Alhamdulillah kamu sudah sadar." Faris mengusap wajah istrinya dengan lembut. 

"Aku ada di mana, Mas?" tanya Alda. 

"Kamu ada di rumah sakit," jawab Faris. Rasanya Faris tidak tega menceritakan jika istrinya itu baru saja kegugupan. 

"Mas, pas jatuh perut aku sakit." Alda meraba perutnya. Seketika Faris menjadi salah tingkah, apakah harus mengatakan sekarang. 

"Kamu yang sabar ya, malaikat yang selama ini kita nantikan diambil kembali." Faris menggenggam erat tangan istrinya. Sontak Alda terdiam dan berusaha untuk mencerna ucapan suaminya. 

"Maksud kamu, aku keguguran, Mas." Mata Alda yang berkaca-kaca menatap netra hitam milik suaminya. Faris hanya mengangguk, tanpa sanggup untuk berkata. 

"Maaf, Mas. Aku tidak bisa menjaganya, aku sudah .... "

"Kamu tidak bersalah, ini bukan salah kamu. Kita berdo'a saja, semoga kamu cepat hamil lagi." Faris memeluk tubuh istrinya dengan erat. Tangan kekarnya mengusap punggung Alda untuk menenangkannya. 

Sementara itu, dari balik pintu Sinta mendengar dan melihat apa yang Faris lakukan. Sinta tidak menyangka, ternyata Faris sangat peduli dengan Alda. Bahkan mungkin di hatinya hanya ada nama Alda. 

***

Dua hari telah berlalu, hari ini Faris sudah siap untuk berangkat ke kantor. Selama dua hari Faris memilih untuk menemani sang istri, bahkan pesan serta telepon dari Sinta. Awalnya Faris masih ingin di rumah, tapi tanggung jawab di kantor tidak bisa ia tinggalkan terlalu lama. 

"Sayang aku berangkat dulu ya, baik-baik di rumah," ucap Faris seraya memakai jasnya. 

"Iya, Mas. Hati-hati di jalan," sahut Alda. 

"Aku pergi sekarang ya, assalamu'alaikum." Faris mencium kening istrinya. 

"Wa'alaikumsalam." Alda mencium punggung tangan suaminya. Setelah berpamitan, Faris bergegas keluar dari kamar. 

Faris berjalan menuruni anak tangga, setibanya di bawah terlihat jika ibunya sedang duduk di sofa ruang tengah. 

"Nggak sarapan dulu?" tanya Riyanti. 

"Nanti aja di kantor, pergi dulu, Ma." Faris mencium punggung tangan ibunya. 

"Iya, hati-hati di jalan," ucap Riyanti. Setelah itu Faris beranjak pergi. 

Setelah menempuh perjalanan cukup lama, Faris sudah tiba di kantor. Bahkan pria berjas hitam itu langsung menuju ke ruangan meeting, karena meeting akan segera dimulai. Beruntung meeting berjalan dengan lancar, tidak butuh waktu lama telah selesai. 

"Huft, akhirnya." Faris melepas jasnya, lalu ia taruh di punggung kursi. 

Tiba-tiba saja pintu ruangan terbuka, Sinta masuk ke dalam lalu berjalan menghampiri Faris yang hendak duduk di kursi. Melihat Sinta datang, Faris mengurungkan niatnya, lalu berjalan menghampiri istri mudanya itu. 

"Kenapa cemberut seperti itu, hem?" tanya Faris. 

"Kenapa pesan aku nggak dibalas, ditelpon juga nggak bisa, kamu sengaja ya." Sinta mendorong tubuh Faris hingga jatuh ke sofa. 

"Sayang, aku bisa jelasin," ucap Faris, tetapi Sinta tidak peduli. 

"Kamu mau ngapain?" tanya Faris saat melihat Sinta mendekat lalu melepas dasinya yang melingkar di leher. 

"Dua hari kamu mengabaikan aku, kamu pikir aku tidak tersiksa, iya." Dengan paksa Sinta melepas kancing kemeja Faris. Sontak Faris terkejut dengan apa yang Sinta lakukan. 

"Sinta, aku bisa .... " ucapan Faris terhenti saat mendengar pintu ruangan terbuka. 

"Faris." Suara dari ambang pintu membuat Faris serta Sinta menoleh. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status