Ini hal gila yang aku lakukan. Mengizinkan Tama masuk ke unit. Entah apa yang aku pikirkan ketika membolehkannya datang dan menerima ajakan makan malam masakan ibunya. Aku tahu ini salah. Tapi biarkan aku bahagia sejenak. Nggak masalah kan? Setelah ini aku akan menjauh, menciptakan jarak agar bisa membatasi rasa sukaku padanya. Aku sempat lintang pukang setelah menerima telepon dari Tama. Mendadak aku ingin terlihat mengesankan, meski berada di rumah. Lalu aku pilih midi dress sepanjang lutut bergambar dora emon super big, disambung dengan celana legging tiga perempat. Aku merasa ini adalah penampilan terbaikku saat ada di rumah. Santai, tapi nggak berantakan. Aku nggak memakai chussion seperti saat ke kantor, bedak dingin dan olesan lip blam menjadi pilihan alternatif tampil cantik ala-ala gadis rumahan. Jantungku seakan lolos dari rongganya ketika mendengar bunyi bel pintu. Aku menarik dan mengembuskan napas beberapa kali untuk menetralisir degup jantung yang menggila sebelum aku
Aku merasa sudah bisa menguasai diri setelah makan malam. Meski Tama yang sering bercerita, tapi aku bisa merespons dengan kalimat panjang. Aku berhasil memecah kecanggungan dalam diriku sendiri. Mungkin karena sikap luwes Tama yang dominan. Sehingga membuatku nyaman. Meskipun tetap saja ada batasan yang harus aku jaga. Aku nggak mungkin memperlakukan Tama seperti aku memperlakukan Giko dan Danar, kan? "Kasih tips dong kenapa persahabatan kalian bisa awet," ujar Tama saat kami menutup kegiatan makan malam dengan sepotong buah apel. "Kasih formalin." Tama tertawa mendengar jawabanku. "Memangnya mayat? Ada-ada aja kamu. Tapi aku bisa menduga sesuatu sih." Dia menatapku sejenak mengambil potongan buah apel yang aku simpan di sebuah wadah. "Apa?" "Kamu sahabat yang asyik makanya kalian bisa awet." Aku melengkungkan bibir ke bawah. Dugaannya salah besar. Aku nggak seasyik yang dia pikir. Kata Giko aku cewek paling menyebalkan. Meski Danar nggak bilang aku yakin dia juga berpikiran ya
Giko menambah dua kali nasi. Dia terlihat lahap makan nasi padang plus sambal goreng ati pedas. Sampai-sampai keringat di pelipisnya bermunculan. Sepertinya dia sakit hati gara-gara Bu Rina makan siang bareng Pak Beni. Aku di depannya cuma bisa mengulum senyum. Sekali-kali Giko memang perlu dikasih pelajaran biar nggak asal nemplok sama cewek. "Mau nambah lagi?" tanyaku saat Giko berhasil menandaskan piring keduanya. Dia menggeleng dan mendorong piringnya menjauh lantas menarik gelas es teh dingin di dekatnya. "Cukuplah, gue bisa bengkak. Sore gue bakal ke gym lagi buat buang kalori siang ini." Tentu saja. Makan siangnya kali ini seperti orang kesurupan. Aku sampe ngeri sendiri melihatnya. "Lo nimbun banyak kolesterol loh." "Besok gue diet," ucapnya menyeruput es teh tanpa gulanya. Kata 'ah' meluncur ketika dia berhasil menandaskan isi gelas. "WA Danar gih, Win. Dia udah sampai di kantor belum?" Aku menurut saja dan mengambil ponsel di kantong dompetku yang berukuran panjang. Su
Ketika aku kembali ke kantor, Arin sudah ada di kubikelnya. Senyum merekah di bibirnya yang bersenandung. Sebuah earphone tersumpal di kedua telinganya. Seperti sudah mendapat doorprize. Dia terlihat bahagia setelah pergi bersama Danar. "Rin, kok lo di sini?" tanyaku heran. Setahuku Danar pergi bertemu klien lagi. "Urusan dengan Inti Persada udah kelar. Masa gue mau di sana terus?" sahut Arin menurunkan salah satu earphone-nya. Aku kira dia nggak dengar. "Pak Danar emang pergi lagi buat prospek klien baru. Tapi gue disuruh balik." Mulutku membulat. Aku bergerak mengambil facial foam di kabinet bawah. "Lo makan di mana, Win?" tanya Arin. Dia memutar kursi menghadapku."Gue makan nasi padang bareng Giko." "Nah, itu!" serunya tiba-tiba. "Ketimbang sama gue, kayaknya lo yang lebih cocok sama Pak Giko. Lo lebih bisa mengendalikan dia, lo pawang yang pas buat dia." "Ngaco banget. Ya nggak mungkinlah gue sama dia. Feel-nya nggak dapat. Kalau kami sama-sama mau udah dari dulu kali." Aku
"Rin, besok ikut lagi, ya." Aku yang lagi menekuri pekerjaan sontak mendongak. Lalu tatapku bergeser ke kubikel sebelah tempat di mana Arin berada. Danar persis di depannya. Dua lengan lelaki itu bertumpu di partisi kubikel."Ke mana, Pak?"Ada binar yang bisa aku lihat dari wajah sumringah Arin saat menanyakan itu."Tanda tangan kerja sama lagi sama klien. Pagi, ya." Binar itu seketika memudar, dan cukup dengan sebuah anggukan membuat Danar menjauhinya segera. Lelaki itu dengan santai kembali ke ruangannya tanpa menghiraukan raut galau Arin. "Beneran tukang PHP," desah Arin menyandarkan punggungnya agak kasar. "Di mana letak PHP-nya?" tanyaku, mengernyit bingung. Kalau Arin mau berpikir jernih sedikit saja, dia nggak akan lagi menyebut Danar tukang PHP. "Lha tadi datang-datang langsung bilang: Besok ikut lagi ya, apa namanya kalau bukan PHP?"Wanita itu ribet. Itu kata Giko yang nggak sepenuhnya aku percaya. Tapi aku nggak pernah membantah atau pun mengiyakan. Mengingat aku send
Aku menatap layar ponsel yang masih bercahaya menampilkan caller ID Tama. Cuma ditelepon, tapi dadaku bergetar hebat. Padahal tadi malam aku sudah lumayan rileks bicara padanya. Aku menarik napas panjang dan mengembuskannya sebelum menerima panggilan dari Tama itu. Sedikit berdeham, lantas kudekatkan benda persegi itu ke telinga. "Halo." "Hai, Win. Kamu udah pulang?" tanya Tama begitu panggilannya itu aku angkat. "Belum masih di kantor," Aku menjawab seraya melirik jam tangan. Pukul setengah lima sore. "Aku pikir udah pulang. Kira-kira pulang jam berapa nanti?" Aku nggak pernah mematok akan pulang jam berapa jika sedang lembur begini. "Nggak tau, sih. Tergantung selesainya pekerjaan aja. Kenapa?" "Tadinya mau nawarin pulang bareng. Kita kan searah." Aku sontak terdiam. Tama mengatakan itu terdengar tanpa beban apa pun, sementara hatiku kalang kabut mendengarnya. "Halo, Wina. Kamu masih di sana, kan?" Aku terkesiap. Beruntung Tama nggak melihat reaksiku. Sehingga aku bisa menc
Aku dan Danar saling melirik horor. Mungkinkah pikirannya sama denganku? Shit! Orang bejad mana yang melakukan hal gila di parkir basemen? Ya Tuhan, ini masih pukul delapan. Masih terlalu sore untuk ukuran Kota Jakarta. "Kita samperin atau biarin?" tanyaku ragu. "Samperin. Itu bisa merusak citra perusahaan," ucap Danar dan langsung kembali melangkah. Aku panik. Tidak menyangka kalau Danar akan menghampiri mereka. "Kayaknya enggak usah, deh, Nar." Aku mengejar langkahnya. "Kita harus memberi efek jera sama pelakunya biar nggak ngulangin lagi.""Tapi, Danar..." Aku nggak bisa mencegah lagi saat Danar benar-benar mengetuk kaca mobil itu. Goyangan pada mobil sontak terhenti. Kaca film yang tidak terlalu tebal membuat kami bisa melihat isi dalam mobil itu meskipun kurang jelas. Tapi yang pasti ada laki-laki dan perempuan di dalam sana. Kaca mobil nggak langsung terbuka ketika Danar mengetuk bertubi-tubi. Sepertinya orang di dalam terlalu sibuk. Sekitar lima menit kemudian, baru kaca
Tama mengangsurkan botol minum yang segelnya sudah dibuka. "Minum dulu." Aku menerima dan untuk menghormatinya, aku meminumnya langsung. "Makasih," ucapku pelan. Kami lantas jalan beriringan menuju lift. "Malam banget baru pulang? Tadi diantar siapa?" tanya Tama. Kami berhenti di depan pintu lift. Hanya sebentar karena pintu besi itu segera terbuka. Kami lantas masuk. "Itu tadi Danar. Kebetulan dia lembur juga." "Jadi kalian satu divisi? Dan Danar pemimpinnya?" Aku mengangguk. Aku melihat ke arah angka digital di atas pintu, menghitung tiap lantai yang sudah kami lewati. "Giko juga, tapi beda divisi, begitu kan?" "Iya, benar.""Pantas kalian itu makin akrab." Ada senyum kecil yang aku lihat samar di sudut bibirnya. Lalu hening menguasai kami. Aku heran pada diri sendiri, yang menjadi pendiam jika sedang berdua dengan Tama. Aku pikir setelah malam kemarin itu, aku nggak akan menemukan situasi canggung seperti ini. "Boleh tanya sesuatu?" Aku menoleh ketika Tama bersuara kembal