หน้าหลัก / Fantasi / Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin / Bab 80. Langkah Pertama di Tanah Terakhir

แชร์

Bab 80. Langkah Pertama di Tanah Terakhir

ผู้เขียน: Quennnzy
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-08-03 13:22:46

Jejak kaki Alura menancap perlahan di atas tanah yang tak seperti dunia yang pernah ia kenal. Bukan batu, bukan debu, bukan pula rerumputan. Tapi sesuatu yang lembut, hampir seperti pasir halus yang berdenyut pelan, seolah memiliki detak sendiri. Warna tanah itu bukan cokelat atau merah, melainkan abu kebiruan seperti tubuh dunia yang sudah lama mati.

Rafael berdiri di sampingnya. Dingin di wajahnya, tapi sorot matanya menunjukkan sesuatu yang belum pernah Alura lihat: kewaspadaan yang benar-benar tajam. Seolah seluruh kekuatan pembunuh dalam dirinya ditarik keluar dari tidur panjangnya.

“Aku tahu tempat ini,” gumam Rafael lirih.

Alura menoleh. “Bagaimana mungkin?”

“Aku tak tahu kenapa, tapi... ada serpihan dalam ingatanku yang pernah menyentuh tanah ini.” Ia berlutut, meraba permukaan lembut itu. “Ini bukan tanah biasa. Ini... sisa-sisa dunia sebelum segel pertama terbentuk.”

Alura merasakan sesuatu di dadanya bergetar. “Tanah sebelum segel pertama?”

Rafael mengangguk. “Sebelum
อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
บทที่ถูกล็อก

บทล่าสุด

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 194. Retakan yang Memanggil

    Langit Obsidian retak seperti kaca raksasa, cahaya merah merembes keluar dari celah-celahnya. Retakan itu tidak hanya terlihat, tapi juga terdengar setiap serpihan udara yang patah mengeluarkan bunyi mendengung rendah, seakan dunia sendiri sedang runtuh dari dalam. Nyanyian darah semakin keras. Nada rendah itu menembus telinga, tulang, hingga ke sumsum. Tak ada yang bisa menutupinya, bahkan imam yang memekikkan doa sekuat tenaga pun tak mampu meredam suara itu. Satu per satu, prajurit manusia jatuh berlutut, tangan mereka menutupi telinga, darah menetes dari hidung. Beberapa prajurit iblis menggeliat, tubuh mereka bergetar hebat seolah darah mereka dipaksa menari mengikuti irama asing. Alura berdiri kaku, matanya memerah emas, tubuhnya bergetar. Nyanyian itu masuk terlalu dalam ke dalam dirinya. Itu bukan sekadar suara; itu adalah panggilan. Panggilan yang mengenalnya. Silvanna… kembalilah. Ia merasakan dadanya sesak, seakan ada dua hati yang berdetak di dalam tubuhnya. Jantungny

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 193. Gerbang yang Menyanyikan Darah

    Langit di atas benteng Obsidian terus berdenyut merah, seakan daging langit itu sendiri sedang bernapas. Cahaya yang keluar darinya bukan sekadar cahaya, melainkan nadi, nadi dari sesuatu yang masih tertidur, tapi sebentar lagi bangkit. Aula Obsidian dipenuhi rasa takut. Doa-doa para imam terdengar patah-patah, lebih seperti ratapan ketimbang seruan iman. Para bangsawan manusia saling berbisik, suara mereka rendah namun sarat kepanikan. Sementara prajurit iblis dan manusia sama-sama menggenggam senjata, meski di lubuk hati mereka tahu: tidak ada pedang atau tombak yang bisa melawan bintang yang bernapas. Di singgasananya, Alura berdiri tegak. Api biru yang memayungi tubuhnya bergejolak, tapi ia tampak lebih tenang dibanding siapa pun. Hanya Rafael yang berdiri cukup dekat untuk melihat rahangnya mengeras, dan matanya sesekali berkedip dengan lambat, seolah ia sedang berjuang menahan sesuatu dari dalam dirinya. Arga, yang sejak tadi menatap Alura penuh tuduhan, akhirnya mengalihkan

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 192. Pintu yang Tidak di Undang

    Langit dunia iblis terus berdenyut merah, seolah ada jantung raksasa yang baru saja terbangun setelah tidur ribuan tahun. Setiap kali cahaya itu bergetar, tanah di bawah Obsidian ikut bergetar, membuat debu hitam turun dari langit-langit aula. Tidak ada doa yang bisa meredakan rasa takut itu. Bahkan imam tertua pun kini hanya terdiam, wajahnya memutih, seakan menyadari kalau doa mereka tidak pernah dimaksudkan untuk menahan sesuatu sebesar ini. Rafael masih berdiri kokoh, pedangnya terangkat setengah, tapi bukan untuk melawan. Matanya menatap ke langit, lalu kembali ke arah Alura. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan, tapi untuk pertama kalinya, ia memilih diam. Ia tahu, apapun jawabannya tidak akan mengubah kenyataan yang sedang terbuka di depan mereka. Arga, sebaliknya, tidak sanggup menahan lidahnya. Api gelap di sekujur tubuhnya menyala, napasnya berat, matanya liar. “Kau lihat sendiri, Alura! Ini bukan kebetulan. Begitu namamu dipanggil, begitu kabut itu menyebutmu, langit me

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 191. Mata yang Membuka Pintu

    Langit di atas Obsidian seolah robek. Bintang merah itu atau lebih tepatnya mata, berdenyut perlahan, mengirimkan gelombang energi yang terasa sampai ke batu-batu aula. Getarannya membuat Obsidian berderak, suara retakan halus terdengar seakan benteng itu sendiri menahan napas. Para utusan berhamburan keluar aula, sebagian tersungkur, sebagian lagi berusaha menutupi wajah mereka dari cahaya merah yang menusuk kulit seperti bara. Doa dan jeritan bercampur jadi satu, menambah kepanikan. Namun di singgasana, Alura tetap berdiri. Matanya menatap lurus pada cahaya di langit, seolah mencoba mengukur berapa dalam jurang yang baru saja terbuka. “Ini… lebih cepat dari yang kukira,” bisiknya. Rafael berdiri di sampingnya, pedang hitamnya masih tergenggam erat. “Kalau itu pintu, maka sesuatu akan masuk. Dan kalau sesuatu bisa masuk, berarti kita belum punya cukup waktu.” Tatapannya keras, tapi ada kilatan kekhawatiran yang jarang terlihat di wajah dinginnya. Arga mendengus, api gelap di ta

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 190. Nama yang Tidak Pernah Mati

    Api biru yang sebelumnya padam menyala kembali satu per satu, namun cahaya yang biasanya membawa kesan agung kini terasa asing, seperti mata ratusan makhluk yang mengintip dari balik kegelapan. Aula Obsidian berdiri dalam keheningan yang berat. Tidak ada yang berani bicara, seolah gema nama yang baru saja diucapkan kabut tadi masih menggantung di udara. Silvanna. Nama itu bergaung di kepala semua yang hadir. Sebagian besar utusan memang tidak memahami arti sebenarnya, namun getaran gaib yang menyertainya cukup untuk membuat mereka tahu: itu bukan sekadar nama. Itu adalah panggilan yang membawa beban sejarah, beban yang bahkan para imam paling tua tidak berani sebut. Alura berdiri di singgasananya, wajahnya tanpa ekspresi, tapi matanya berkilat merah emas. Dalam dadanya, jantungnya berdegup keras. Ia tidak pernah membiarkan siapapun menyebut nama itu di hadapannya. Bahkan ia sendiri menguburnya jauh di bawah lapisan ingatan. Rafael melangkah maju, suaranya dingin tapi tegas. “Apa a

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 189. Nama yang Tidak Pernah di Panggil

    Kegelapan merayap ke seluruh aula Obsidian. Api biru yang tadi menyala di sepanjang dinding telah padam satu per satu, seperti dipadamkan oleh tangan tak kasatmata. Udara menjadi berat, dingin, dan sarat dengan desisan halus yang terdengar seperti bisikan ribuan mulut. Para utusan merapatkan formasi, sebagian gemetar, sebagian lain mulai melantunkan doa. Tapi kata-kata mereka tenggelam oleh kegelapan yang semakin menekan dada. Rafael berdiri di depan Alura, pedang hitamnya berkilau samar meski nyaris tak ada cahaya. Matanya tajam, menembus gelap, mencoba menangkap gerakan sekecil apa pun. Arga, di sisi lain, sudah menyalakan api gelap di tangannya, wajahnya menegang penuh kewaspadaan. “Ini bukan ujianmu, bukan juga permainanku,” desis Arga lirih. “Ada sesuatu yang masuk bersama sumpah itu.” Alura tetap berdiri tegak di singgasananya. Gaunnya bergelombang ringan, rambut hitamnya jatuh menutupi sebagian wajah. Namun matanya terbuka lebar, berkilat merah emas, menatap lurus ke dalam

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status