Alura, seorang ratu iblis dari dunia bawah, dikirim ke dunia manusia untuk menyelesaikan ujian terakhirnya: hidup sebagai manusia biasa selama 100 hari. Untuk bertahan, ia menerima tawaran menjadi istri kedua kontrak dari pria kaya dan misterius bernama Arga. Tapi Arga bukan pria biasa—ia adalah pembunuh bayaran berhati dingin yang menyembunyikan masa lalunya dari semua orang, termasuk istri pertamanya. Alura mulai mencintai manusia itu, justru saat kekuatannya yang tersegel perlahan bangkit… dan serangkaian pembunuhan misterius terjadi di sekolah tempat ia menyamar sebagai siswi. Siapa musuh sebenarnya? Dan siapa yang harus ia selamatkan, dirinya, cinta, atau dunia?
view moreTangan Alura masih gemetar saat ia menatap tanda tangan yang menunggu untuk ia goreskan di sana. Pena hitam di tangannya terasa berat, seolah menampung seluruh beban dunia yang tiba-tiba jatuh di pundaknya.
Di seberang meja, Arga berdiri dengan sikap tenang dan wajahnya yang dingin itu seolah tidak pernah bergeser sedikit pun dari ekspresi tanpa emosi. Tatapan tajamnya tertuju pada Alura, menunggu keputusan yang akan mengikat hidup mereka berdua untuk selamanya. “Ini bukan sekadar pernikahan,” kata Arga dengan suara rendah yang menggema di ruangan hening itu. “Ini sebuah perjanjian. Perjanjian yang menentukan nasib kita. Dan lebih dari itu, nasib dunia yang kita tinggali.” Alura mengerjap, mengalihkan pandangannya ke jendela di baliknya. Hujan turun perlahan di luar, membasahi taman kecil yang dulu pernah menjadi tempat ia bermain masa kecil. Sekarang, dunia di luar sana tampak begitu jauh dan dingin. Ia menghela napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya yang kacau. Selama ini, Arga adalah pria yang dingin dan penuh rahasia. Tetapi kontrak di hadapannya itu, yang katanya adalah alasan mereka harus menikah, menjadi teka-teki yang lebih berat dari yang pernah ia bayangkan. “Kalau aku tidak tanda tangani... apa yang akan terjadi?” suara Alura terdengar rapuh, hampir seperti bisikan. Arga akhirnya duduk, meletakkan kedua tangannya di atas meja. Matanya menatap dalam ke arah Alura, seolah ingin menyampaikan sesuatu yang tidak terucapkan lewat kata-kata. “Kau tidak punya pilihan, Alura. Ini bukan soal kehendakmu lagi,” jawabnya pelan. “Kontrak ini mengikat kita dengan kekuatan yang lebih besar daripada kita berdua. Takdir yang sudah lama ditulis, dan kini waktunya tiba.” Detik-detik berlalu perlahan, tapi baginya seperti waktu berhenti. Jantungnya berdetak keras, dan udara di sekitarnya terasa semakin berat. Ia merasakan ada sesuatu yang menahan napas di balik bayang-bayang, sesuatu yang lebih besar dari dirinya dan Arga. Ia menunduk, matanya menatap tinta di kertas itu, dan bayangan wajah ibu yang telah lama hilang terlintas dalam pikirannya. Ibu yang tak pernah ia kenal, yang meninggalkan dunia ini dengan rahasia besar yang kini menuntutnya untuk bangkit. “Kau tahu, aku bukan hanya menikah karena cinta atau kesepakatan biasa. Ini adalah ikatan darah yang tak bisa diabaikan,” lanjut Arga, suaranya semakin serius. “Darah yang mengalir dalam tubuhmu adalah kunci, Alura. Kunci yang bisa membuka atau menutup segel yang sudah lama terkunci.” Alura mengerutkan kening, jantungnya berdegup lebih cepat. Segel? Apa maksudnya? Kenapa selama ini ia tidak pernah diberi tahu tentang hal ini? “Kau tidak pernah menceritakan ini sebelumnya,” katanya pelan, menatap tajam pada Arga. “Karena aku tak ingin kau terbebani sebelum waktunya,” Arga menjawab. “Tapi sekarang... waktunya sudah tiba. Pilihan ada di tanganmu.” Alura merasakan sesuatu di dalam dirinya seperti tersentuh dan tergerus oleh gelombang emosi yang bercampur takut, bingung, marah, dan juga sebuah rasa tanggung jawab yang perlahan tumbuh. Ia menatap kertas kontrak itu sekali lagi, dan dalam hatinya ia tahu, tanda tangannya akan membawa konsekuensi yang tidak bisa ia tarik kembali. Tapi ia juga tahu, jika ia menolak, bukan berarti jalan itu akan tertutup. Bahaya yang mengintai jauh lebih besar dari yang pernah ia bayangkan. Dunia yang selama ini ia anggap aman, sebenarnya menyimpan rahasia dan ancaman yang mengerikan. Alura menutup matanya sejenak, membayangkan sebuah dunia di mana ia harus berjuang untuk melindungi semua yang ia cintai, dan juga untuk menjaga keseimbangan antara kekuatan yang ingin bangkit dan dunia manusia biasa. “Kau siap, Alura?” suara Arga memecah kesunyian, dengan nada yang tak bisa dibantah. Ia membuka matanya perlahan. Rasa takut masih ada, tapi ia tahu waktu untuk ragu telah habis. Dengan tangan yang kini sudah lebih mantap, ia meraih pena dan menandatangani kontrak itu. Seketika, ruangan terasa bergetar halus, dan cahaya lampu gantung seolah berdenyut mengikuti detak jantungnya. Arga menatapnya, kali ini dengan sedikit senyum tipis yang sangat jarang ia tunjukkan. “Kau sudah resmi menjadi bagian dari perjanjian ini, Ratu. Tidak ada jalan kembali.” Alura menatap dokumen itu, kini sudah terisi dengan tanda tangannya sendiri. Di luar jendela, hujan berhenti, dan angin malam membawa bisikan halus yang hanya bisa didengar oleh mereka yang mengerti. “Ini baru permulaan,” bisiknya pada diri sendiri. Setelah menandatangani kontrak itu, Alura duduk terpaku, rasa campur aduk menguasai hatinya. Pena di tangan terasa berat, seolah bukan hanya tinta yang mengikat, tapi juga takdir yang menjerat. Ia teringat masa kecilnya yang bebas, tanpa bayang-bayang janji dan rahasia. Kini, semua itu berubah, pernikahan ini bukan sekadar ikatan, tapi sebuah perjanjian yang membawanya ke dunia yang belum ia mengerti sepenuhnya. Alura menatap Arga, yang diam menunggu dengan wajah serius. Ada beban yang tersembunyi di matanya, rahasia yang belum terungkap. “Arga,” suara Alura pelan namun tegas, “apakah aku benar-benar punya pilihan? Ataukah ini takdir yang tak bisa kuhindari?” Arga menarik napas panjang. “Pilihan selalu ada, tapi bukan berarti mudah. Kadang kita harus menerima jalan yang sudah digariskan dan memilih bagaimana melangkah di dalamnya.” Kata-katanya menyentuh hati Alura. Ia sadar ini bukan akhir, melainkan awal sebuah perjalanan penuh tantangan. Dengan tekad baru, Alura berdiri dan menatap jendela yang menyambut dinginnya malam. “Kalau begitu, aku akan jalani ini. Bersama.” Arga mengangguk pelan, senyumnya tipis tapi tulus. “Kau tidak sendiri.”Ruang bawah tanah Obsidian masih bergetar tipis setelah perjanjian darah itu selesai. Udara di sana, yang sebelumnya penuh dengan aroma dupa dan api biru, kini terasa berat seakan dilapisi oleh kabut tak kasat mata. Setiap orang merasakan sesuatu yang asing menempel pada kulitnya sebuah ikatan yang tak bisa diputuskan lagi. Alura berdiri di tengah lingkaran, telapak tangannya masih memerah akibat torehan darah yang baru saja ia lakukan. Matanya menatap ke arah cahaya redup di atas mereka, seakan ingin menembus langit-langit batu. Di dalam pupilnya, sesaat tadi muncul bayangan yang hanya dia yang melihat: siluet Myra, berdiri di antara reruntuhan, tersenyum samar namun matanya kosong. Nafasnya tertahan, tapi wajahnya tetap tenang. Ia tahu tak ada seorang pun yang boleh tahu apa yang barusan ia lihat. “Ap—apa yang kau lakukan pada kami?” salah seorang imam manusia berbisik gemetar. Tangan tuanya meraba tanda merah samar di pergelangan, bekas dari ikatan sumpah. “Aku bisa merasakan se
Langit di atas Obsidian pecah seperti kaca yang disapu palu raksasa. Retakan merah melebar, dan dari celah itu, tetes-tetes hitam jatuh perlahan. Tidak cepat, tidak deras, justru karena lambat, setiap tetesan terasa seperti ancaman yang disengaja, seperti tinta dari pena yang sedang menulis ulang takdir dunia. Satu tetes pertama jatuh ke tanah di luar dinding benteng. “Jangan sentuh!” teriak Rafael cepat, melihat beberapa prajurit manusia hendak mendekat. Tapi peringatan itu terlambat. Seorang prajurit, wajahnya masih pucat dari ujian sebelumnya, mengangkat tangan mencoba menyentuh cairan hitam yang menetes di ujung tombaknya. Begitu kulitnya bersentuhan, jeritannya membelah udara. Daging tangannya melepuh seketika, bukan terbakar, bukan membeku, tapi seperti dilahap dari dalam. Urat-urat hitam menjalar cepat ke lengannya, merayap ke dada. Dalam hitungan detik, tubuhnya kaku, matanya kosong. Tubuh itu jatuh ke tanah dengan suara tumpul, dan dari bekas lukanya, kabut hitam merembes
Aula Obsidian masih dipenuhi aroma besi dan darah, bercampur dengan asap tipis yang tersisa dari ritual sumpah. Lingkaran merah di lantai perlahan memudar, tapi cahaya samar yang tertinggal seakan menempel di kulit mereka, tak bisa dihapus bahkan dengan mantra suci atau api iblis. Tak seorang pun berbicara. Para utusan masih memegangi tangan mereka masing-masing, menatap tetesan darah yang baru saja mereka korbankan. Bukan sekadar luka kecil, itu adalah tanda, ukiran halus yang berdenyut samar di bawah kulit, berbentuk lingkaran dengan retakan menjalar keluar seperti jaring laba-laba. “Ini… bukan hanya perjanjian,” bisik salah seorang imam dengan suara serak. Ia menatap telapak tangannya yang bergetar. “Ada sesuatu yang… hidup di dalam tanda ini.” Alura masih berdiri tegak di singgasananya. Rambut hitamnya jatuh di bahu, mata merah emasnya berkilat samar. “Tepat sekali,” ujarnya dingin. “Itu bukan sekadar simbol. Itu adalah pintu yang mengikat kalian pada satu kenyataan: selagi kal
Ruang bawah tanah Obsidian masih bergetar oleh sisa gema perdebatan. Rantai biru yang membelenggu makhluk kabut berdesis pelan, seperti ular yang resah karena mendengar terlalu banyak suara manusia. Udara di sana pekat, penuh campuran keringat, dupa imam, dan abu iblis. Alura duduk kembali di kursi batunya. Dari luar, ia tampak tenang, dingin seperti biasa, namun di balik tatapan matanya, ada sesuatu yang bergerak. Ketegangan itu membuat bahkan bayangan-bayangannya menempel lebih rapat di dinding, seakan mereka tahu tuannya sedang menahan badai dalam dirinya. Rafael berdiri di belakangnya, tegap, matanya menyapu semua wajah yang hadir. Setiap prajurit, setiap imam, setiap penyihir. Ia tahu, cukup satu langkah salah, ruang bawah tanah ini akan berubah menjadi arena pembantaian. “Persekutuan,” gumam seorang imam tua. Kata itu seolah masih asing baginya, seakan lidahnya menolak menyebutkannya. “Tapi bagaimana kita bisa percaya, setelah ratusan tahun kitab suci kami menuliskan bahwa ka
Aula Obsidian terasa lebih dingin dari sebelumnya, meski api biru di dinding berkobar lebih terang. Para utusan masih berdiri dalam formasi yang berantakan, sebagian wajah pucat, sebagian lain berusaha menyembunyikan kegelisahan di balik kesombongan. Kata-kata terakhir Alura masih menggantung di udara, menggema di telinga mereka seperti kutukan yang tak bisa dihapus. “Ujian pertama…” suara Alura lirih, namun cukup keras untuk menusuk hati semua orang. “…akan dimulai sekarang.” Kabut merah yang sebelumnya merayap pelan di lantai, kini berputar seperti pusaran air. Dari dalamnya muncul lingkaran hitam berkilat, seolah tanah itu pecah membuka rahasia yang sudah lama terkubur. Arga bergerak refleks, tangannya menyalakan api gelap. Rafael merapatkan pegangan pada pedangnya, sementara para imam mulai melantunkan doa dengan suara terguncang. Dari lingkaran itu, sebuah makhluk perlahan bangkit. Tubuhnya seperti tersusun dari daging busuk dan besi berkarat. Dua tanduk patah mencuat dari te
Api biru di aula Obsidian telah meredup, hanya menyisakan bara halus yang berkelip di sepanjang dinding. Perundingan itu berakhir, setidaknya di permukaan. Para utusan masih berada di benteng, masing-masing dikawal oleh bayangan untuk mencegah pengkhianatan sebelum waktunya. Namun bagi Alura, keheningan setelah kata sepakat justru terasa lebih menakutkan daripada pertengkaran yang memanas tadi. Ia tahu, setiap senyum, setiap anggukan, setiap sumpah yang diucapkan malam ini hanyalah topeng. Di baliknya, setiap pihak sudah menajamkan pisau mereka masing-masing. Rafael berdiri di dekat jendela tinggi, menatap keluar pada hamparan malam dunia iblis. Angin hitam berembus membawa suara samar, suara yang hanya bisa ditangkap oleh telinga mereka yang pernah mencicipi neraka. “Mereka menunggu kita lengah,” katanya pelan. Alura berjalan mendekat, gaun hitamnya berderak pelan. “Tentu saja. Setiap janji yang mereka buat tadi lahir dari rasa takut, bukan dari kesetiaan. Dan rasa takut selalu me
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments