Share

Pt 02 : Tawaran Menikah Untuk Tetap Kuliah

Aku hanya bisa menunggu di depan ruang kaprodi, sesaat setelah aku mendapat panggilan tadi. Pikiranku berputar-putar entah kemana, apa ini waktunya aku di tendang dari kampus ini? Otakku tak bisa berhenti berpikir logis. Wahai otak berhargaku, tolong bisalah berkompromi! Berpikirlah yang baik-baik saja! Kau harus bertahan, jadi tolong jangan berpikir yang aneh-aneh!. Ah, dasar otakku selalu overthinking. Dengan memainkan ponselku yang bisa di bilang sudah tidak normal lagi, tombol powernya sudah tidak berfungsi dan bentuknya sudah pecah sana-sini, ditambah lagi cara menghidupkannya harus buka tutup baterai. Berharap dengan bermain gawai dapat meredakan gelisah dalam benakku sendiri. Tak lupa juga aku memasang headset ke telinga kiriku, mencoba menikmati salah satu lagu kesukaanku, eye blues milik Gidae --Rapper dari Gwangju--. 

I wanna put you in my blue dream 

Even if not, in my eyes 

I wanna hug you in my blue dreams 

Even if it's impossible, in my arms 

☆Gidae - Eye Blues☆

Kadang otakku sulit diajak kompromi jika tentang arti lagu diluar Indonesia, seringkali kata-kata yang manis dan di iringi musik dramatis itu menyimpan maksud yang erotis. Meskipun lagu yang akhir-akhir ini kudengar nggak ada musik dramatisnya, yang ada alur hiphop atau bahkan rock n roll menghiasi telingaku hampir setiap hari. Salah satunya lagu ini, lagu yang kukenal sejak dua tahun lalu, lagu seorang rapper dari ujung negara lain, yang bahkan tidak terlalu dikenal selama yang aku tau sampai hari ini di sini. Selain Gidae aku juga suka Ronin, seorang rapper berwajah oriental yang berbeda negara, ada juga Diego yang seorang rocker western. Entah mengapa mendengar lagu-lagu hiphop, RnB, Rock n Roll, dan metal membuat hariku lebih berwarna. Setiap penyanyi selalu punya cerita dibalik lagu yang mereka rilis. Lagu yang kudengar saat ini pun punya cerita yang membuatku bisa memainkan imajinasi tingkat dewa tanpa ada yang bisa menghalanginya lagi, eye blues judul yang mengarah pada arti mata yang biru meskipun di dalam lagunya malah tidak menjelaskan tentang mata yang biru, justru membicarakan tentang keinginan seseorang memeluk orang yang dicintainya dalam mimpi biru, otak liarku menari diatas matras ilusi. Bagaimana bisa membawakan lagu semanis itu dengan isi yang ku artikan se erotis itu? Meskipun aku leluasa mengatakan apa yang kupikirkan, tapi aku tidak akan sembarangan mendiskusikan hal-hal vulgar diluar orang yang benar-benar memahami arah pikiranku.

Saat otakku diisi oleh pemikiran dan ide untuk apa yang akan aku tulis nanti karena mendengarkan lagu ini, seseorang menepuk pundakku. Aku menoleh ke arahnya. "Pak Candra?" Heranku mendapati dosen psikolog yang sudah duduk saja di sampingku sejak menepuk pundakku tadi, aku menatapnya dengan tanda tanya. Ada apa? Bukannya sekarang beliau ada kelas di Akper 3C?

"Menunggu bu Andin?" Tanya pak Candra seperti membaca alasan kenapa aku disini. 

"Iya pak, tadi ada panggilan untuk menemui beliau..." jawabku dengan senyum yang kubuat setulus mungkin. 

"Saya sudah dengar kasus kamu Ra..." ujar pak Candra membuatku menoleh dan tersenyum penuh hormat.

"Saya nggak masalah dengan kasus saya pak... saya memang nggak tau apa yang akan terjadi nanti, tapi saya yakin pak apapun yang terjadi itu takdir Tuhan yang terbaik untuk kita..." kataku dengan senyuman yang sama, kali ini ku regangkan kakiku, membiarkan sepatu putih yang hampir setahun ini bergantian dengan fantofel hitamku sebagai teman berjalan ke kampus ini melayang sesaat di udara bebas. 

"Saya mau kasih tawaran ke kamu Ra... biar kamu juga tetap bisa kuliah..." kata pak Candra kali ini tersenyum dengan cara yang berbeda, ingin rasanya aku memaki melihat senyuman itu. 4 bulan yang lalu aku memutuskan hubungan dengan satu-satunya mantan pacarku juga gara-gara senyuman sejenis dengan yang pak Candra tunjukkan. Aku benci suasana seperti ini. 

"Nggak perlu repot pak, terimakasih... saya nggak mau berhutang-" ujarku terpotong karena pak Candra menyela.

"Kamu belum mendengarkan penjelasan saya... kenapa langsung menolak? Dengarkan dulu saya ngomong..." tukas pak Candra membuatku mendengus sekilas, aku mengangguk sebagai jawaban. Sudah ku duga, ini menyebalkan. "Kamu bisa tetep kuliah, saya yang akan membiayai kamu... saya rasa sayang sekali mahasiswi seperti kamu ini harus terhambat kuliahnya, saya yang mengurus nilai kalian semester kemarin... saya tau nilai IPK kamu tertinggi seangkatan... kalau kamu bisa mempertahankan kuliah ini masa depan kamu juga semakin jelas didepan mata... kamu ngerti kan maksud saya? Kamu bisa mempertimbangkan ini..." sambung lelaki yang kudengar baru 29 tahun yang artinya 5 tahun lebih tua dariku.

"Saya nggak perlu mikir dua kali pak, saya tau apa yang harus saya lakukan... kalau memang saya terpaksa harus berhenti, itu sudah jalan saya... saya tidak akan melarikan diri..." 

"Tapi Ra... kamu bisa pertimbangkan tawaran saya... sayang sekali IPK 3,8 tidak dipertahankan di fakultas ini..." 

"Pak... saya tau di setiap tawaran yang bapak berikan ke saya tidak ada yang gratis... mau bapak apa?" Tanya ku langsung pada intinya membuat pak Candra menatapku intens. Tak lama setelah itu kulihat senyumnya terbit sesaat.

"Ternyata benar kata banyak Dosen disini, kamu sangat cepat membaca situasi dan memahami lawan main mu..." kata pak Candra kali ini terlihat senyum puas terpatri di bibirnya  yang hanya ku pandang tanpa niat menyela sedikitpun kata. "Saya mau kamu menjadi istri saya... sebagai gantinya kamu tetap kuliah sampai Ners..."

"Yah! Bapak nggak romantis banget! Masa ngelamar kaya gitu hahaha..." tawaku sengaja ku rebakkan, rasa takut menjalar di hatiku. Tapi sedikitpun aku tak bisa menyuarakan kegelisahan hatiku dan sayangnya tubuhku lebih cepat bereaksi menutupi rasa takutku sendiri. 

"Saya serius Asmara Sukma Hadi binti Hadi Kusuma..." sergah pak Candra bahkan menyebut nama bapakku. Rasa takut itu semakin gila memengaruhi otakku. 

"Asmara Sukma Hadi?" Bersamaan dengan itu kudengar suara Mbak Risa asisten bu Andin memanggilku, alhamdulillah aku bisa sedikit mengalihkan rasa takutku dan mengabaikan pak Candra. 

"Iya mbak... bu Andin sudah ada?" Tanya ku tanpa peduli tatapan kecewa pak Candra.

"Udah ditunggu di dalam, baru saja selesai rapat direksi..." kata wanita cantik itu membuatku lega, aku hampir menyusulnya saat tanganku tertahan genggaman pak Candra. 

"Aku tunggu jawaban kamu Ra..." ujar Pak Candra tak lagi ku pedulikan dan aku hanya tersenyum tipis sebelum masuk ke ruangan KA Prodi menjemput sisa-sisa masalah yang kutinggalkan seminggu lalu dari rektorat. Sebentar! Kamu? Pak Candra memanggilku kamu? 

###

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status