Share

Jebakan Mematikan

last update Last Updated: 2025-01-18 10:25:22

Tengah malam. Aku terbangun di depan cermin kamar mandi. Anehnya adalah, wajah yang kupandang bukanlah wajahku, melainkan wajah Andi, teman sekelasku. Aku berada di tubuhnya.

Andi membasuh mukanya dari sepercik air di wastafel. Tapi masalahnya, aku tidak menggerakan tubuhnya. Dan aku tidak bisa merasakan apapun, sementara Andi terus menyikat gigi. Rasanya seperti terjebak di dalam wadah, dan wadah itu bergerak kemana-mana tanpa kontrol dari dirimu.

Pertanda apa ini? Bagaimana jiwaku bisa terjebak di tubuh orang lain, sedangkan dirinya tidak menyadari apapun.

Tiba-tiba, aku melihat sosok hitam legam dari arah cermin. Sosok itu tiba-tiba menyambar tubuh Andi hingga seketika kegelapan menerpa diriku.

Apa ini? Apa yang terjadi? Suasana menjadi gelap gulita. Apakah aku berada di dunia arwah?

Tak lama, aku terbangun di sebuah ruangan. Aku melihat diriku terikat di sebuah kursi—masih di dalam tubuh Andi. Kedua tanganku terikat dengan tali, begitu juga kedua kakiku dan juga badanku.

Aku panik. Begitu juga dengan Andi. Dia berusaha melepaskan diri, mencoba menarik kedua tangannya. Tetapi ikatannya begitu kuat. Andi tidak bisa melepaskan dirinya.

Tiba-tiba, dari arah atas, muncul seperti topeng yang matanya menyala merah, yang tersambung dengan penyangga. Di pinggiran topeng itu terdapat banyak pisau gergaji yang berputar dengan kencang. Topeng itu perlahan mendekati ke arah pandanganku, wajah Andi.

Kepanikan melanda diriku, dan juga Andi tentu saja yang melihat langsung. Aku mencoba berteriak, Tolong! Tolong! Siapa saja! Tetapi suaraku serasa hanya sampai tenggorokanku. Namun, aku bisa mendengar suara Andi yang berteriak.

"Hentikan! Tolong! Siapapun!" teriaknya panik sembari berusaha melepaskan diri.

Andi terus menarik tangannya sekuat tenaga. "Grraargghh!" teriaknya sekuat tenaga. Sementara topeng bergergaji itu semakin mendekat.

Ini seperti di adegan film Saw. Ketika orang-orang diculik dan ditahan di sebuah perangkap mematikan. Hanya saja, kali ini terjadi sungguhan, dan benar-benar di depan mataku.

Masalahnya adalah, aku tidak bisa apa-apa. Melihat diriku, alias Andi yang benar-benar terperangkap di kursi penahan dan tidak bisa melepaskan diri. Tubuhnya benar-benar terikat dengan ketat, sementara topeng gergaji itu semakin mendekat ke wajah Andi, siap merobek kulit dan daging di wajahnya.

Seiring berjalan waktu aku merasakan suara Andi yang semakin letih berteriak minta tolong. Topeng gergaji itu semakin mendekat, hingga akhirnya sudah benar-benar di depan mata.

"Aaaaarrghh!" teriak Andi dan diriku yang melihat mata pisau gergaji yang sudah hampir mengenai wajah.

Saat itu pula aku terbangun. Napasku tersendat-sendat. Jantungku berdebar tak karuan.

Mimpi. Kataku dalam hati. Tetapi, mimpi itu terasa nyata.

Aku melihat diriku di kamar Dave yang gelap. Cahaya lampu menyorot dari arah jendela kamar, memberikan sedikit pencahayaan di ruangan. Aku menengok ke bawah ranjang. Terlihat Ralph dan Dave yang masih terlelap di karpet lantai. Kepala Ralph terbaring di atas lengan kanan Dave. Entah mereka terlihat lucu dengan posisi seperti itu.

Suara piano terdengar di telingaku. Suara itu membentuk sebuah irama musik. Aku tidak tahu itu musik atau lagu apa. Tapi, yang bisa kutebak itu pasti sebuah soundtrack sebuah film atau game.

Takut, sekaligus penasaran. Aku pun bangkit dan mengambil ponselku. Layaknya di film-film horor, ketika mendengar atau melihat sesuatu yang membuat bulu kuduk merinding, bukannya lari malah mencari tahu. Masalahnya, aku memang penasaran. Mau bagaimana lagi, bukan?

Aku membuka pintu kamar. Situasi ruangan di luar masih terang. Sepertinya mba Siti lupa mematikan lampu. Saat itu juga suara piano terhenti. Aku mendekat ke arah tepi lantai yang membatasi lantai atas dan lantai bawah. Aku melihat ke arah piano itu tidak ada siapa-siapa. Hanya televisi yang menyala di samping piano dan ayah Dave yang menonton di sofa membelakangiku di lantai bawah.

Aku bernapas lega, kemudian berbalik. Sebetulnya, aku sudah mulai terbiasa dengan kemampuan indera ke-6 ku ini. Melihat penampakan ini itu, sudah terasa menjadi makanan sehari-hari. Asalkan mereka tidak berniat jahat padaku. Akhirnya aku kembali tidur di kasur Dave—menyelimuti diriku dan memejamkan mata.

Namun, yang menjadi pertanyaanku adalah, mimpi barusan. Apakah itu nyata atau tidak?

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rumah Kenangan: Pengintai di Bawah Tanah   Penguntit di Kegelapan

    “Emang bagus, ya?” tanya Dave sambil melirik poster besar di dekat pintu masuk teater. Gambar seorang wanita berwajah pucat dengan mata merah menatap tajam ke arah mereka, dikelilingi bayangan gelap. Karlina hanya tersenyum kecil sambil meraih lengan Dave, menariknya menuju pintu teater. “Moga aja. Lagian, kamu kan selalu bilang kalau film horor Hollywood lebih ‘berkelas’, bukan?” “Jelas,” jawab Dave sambil mendesah. Saat mereka melewati antrean yang panjang di pintu teater sebelah, Dave melirik tulisan besar di layar digital: “Santet dari Kegelapan”. Dia langsung mengernyit. “Hadeh. Heran, padahal horor Indonesia kalo gak santet, religi, ya thread viral. Tapi kok, bisa sampe serame itu. Apa bagusnya, sih,” katanya setengah berbisik, tapi cukup keras hingga seorang pria di antrean melirik ke arahnya dengan dahi berkerut. Karlina mencubit lengannya. “Dave! Jangan ngomong gitu. Ada orang yang suka.” “Ouch! Aku cuma jujur,” jawabnya santai. “Kalau mau bikin film horor, ya bikin ceri

  • Rumah Kenangan: Pengintai di Bawah Tanah   Warisan Baru

    Tiga bulan berlalu.Akhirnya kehidupanku berjalan dengan sangat mulus.Kabar baiknya adalah, aku akan mengikuti program Student Exchange semester depan, dan saat ini aku sedang mengikuti karantina fasih Bahasa Inggris di Pare.Kali ini aku tidak akan menceritakan kisah mengenai diriku. Sejatinya, tak ada yang menarik saat ini.Namun, aku akan menceritakan kejadian mengerikan yang menimpa sahabatku.***Januari 2018.Seorang pria dengan setelan kemeja formal ditambah dasi terlihat duduk di sofa. Ia mengeluarkan sebuah koper dan mengambil sebuah map berisikan lembaran kertas yang dijepit oleh stapler. Ia meletakannya di sebuah meja, di hadapan tiga pemuda.“David Malcolm,” ujar pria itu.“Ya, pak,” jawab seorang anak berambut emas yang duduk di tengah.“Oke, tolong tandatangan di sini,” ia menunjukan kolom yang harus ditandatangani, “dan di sini.”Pemuda di samping David menepuk punggung pemuda itu sembari ia menandatangani. “Mantap, Dave.”“Alhamdulillah,” seru gadis di samping kanan D

  • Rumah Kenangan: Pengintai di Bawah Tanah   Insiden

    Suatu hari, aku dan Ralph berangkat menuju rumah nenek Ralph di Samarinda. Perjalanan di bus terasa menyenangkan dengan canda dan tawa yang terus berlanjut di sepanjang jalan.“Makasih ya, Gas, lo mau bantu gue urus nenek. Repot soalnya om lagi pergi. Kakek udah meninggal. Mana nenek sekarang pake kursi roda lagi.”“Gapapa, Ralph. Santai aja.”Ketika sampai di rumah neneknya, Ralph langsung membuka pintu. Saat itu omnya belum lama sudah pergi, jadi ia bisa langsung memasukinya.Nenek Ralph di kursi roda menyambut kami dengan senyuman ramah dan langsung mengajak kami menikmati teh hangat di beranda.Tiba-tiba, Ralph menarik tubuhku.“Hey!” Aku terkejut.“Ssst, Gas. Gue mau kasih tau lo, kalo nenek gue indigo juga kayak elo,” bisiknya di telingaku.“O-okay.” Aku tidak bisa berkata-kata lagi.Ketika Ralph pamit untuk mandi, ia menatapku sejenak dengan tatapan penuh harap."Gas, gue titip nenek sebentar, ya. Lo jagain," katanya dengan nada serius, tapi penuh kepercayaan. Aku mengangguk, m

  • Rumah Kenangan: Pengintai di Bawah Tanah   Berdamai Dengan Masa Lalu

    Ralph dengan berani maju ke depan, berdiri di antara para hantu dan tubuh Agas serta ibunya. Dengan kedua tangan terkepal, dia menatap makhluk-makhluk itu dengan penuh tekad, meskipun wajahnya tampak sedikit pucat.“Dave, Karlina! Kalian jagain tubuh mereka! Gue bakal coba tahan mereka!” seru Ralph sambil melangkah maju.“Ralph, jangan konyol! Mereka bukan manusia!” Karlina memperingatkan, suaranya gemetar.“Justru karena itu gue yang maju! Gue paling paham soal beginian!” Ralph membalas dengan nada meyakinkan, meski dalam hatinya dia juga tahu ini bukan lelucon.Hantu-hantu itu, yang sempat mundur karena cahaya lentera, kini kembali mendekat dengan lebih ganas. Ralph mengambil sebuah kayu panjang yang ia temukan di sudut ruangan, mengayunkannya ke arah salah satu hantu yang mencoba merangkak menuju tubuh Agas.“Jangan berani-berani sentuh temen gue!” teriak Ralph, memukul kayu itu ke udara, meskipun serangannya hanya menembus tubuh hantu tersebut tanpa efek.Salah satu hantu dengan w

  • Rumah Kenangan: Pengintai di Bawah Tanah   Kenangan Baru

    Sementara itu, di dunia nyata, Ralph, Dave, dan Karlina masih berkumpul di ruang bawah tanah, menunggu diriku dan ibuku kembali ke tubuh kami. Kedua tubuh kami tampak tidak bergerak, seperti sedang tertidur lelap, namun wajah mereka sedikit berkerut, seolah sedang berjuang keras.Dave mondar-mandir dengan gelisah. “Kenapa lama banget, sih? Mereka baik-baik aja, kan?” tanyanya sambil terus melirik tubuh Agas.Karlina, meski juga khawatir, mencoba menenangkan Dave. “Santai, Dave. Kita harus percaya sama Agas. Dia pasti bisa bawa ibunya kembali.”Ralph duduk di dekat tubuh Agas, dengan mata berbinar-binar. “Kalau lo jadi mereka, lo juga pasti lama, Dave. Lo nggak tahu, kan, dunia arwah kayak apa? Mungkin ada naga, ada kastil terbang, atau... mungkin ada hantu yang keren-keren!” katanya dengan nada sedikit terlalu semangat.Karlina memelototi Ralph. “Lo bisa nggak serius, Ralph? Ini nyawa temen kita yang lagi dipertaruhkan!”Namun, sebelum ada yang bisa membalas, suasana di ruang bawah ta

  • Rumah Kenangan: Pengintai di Bawah Tanah   Pertarungan Terakhir

    "Anak nakal. Kamu jangan mengambil barang orang, dong," kata Asmodiel dengan nada nyinyir.Aku bangkit. Hatiku benar-benar gusar. Takkan kubiarkan dia sembarangan meremehkanku."Aku mengakui kamu cukup hebat, ya." Dia berjalan mondar-mandir, sembari mendekatiku. "Kekuatanku cukup menarik. Bahkan membuat Umbrosus tertarik padamu."Aku terengah-engah. "Siapa itu?""Kamu gak tahu? Manusia bayangan."Oooh si manusia bayangan. Baik aku mengetahui nama aslinya sekarang."Dia gemetar seperti anak kecil saat merasakan kekuatanku. Setiap jiwa, setiap energi yang mereka koleksi, aku bisa merasakannya... mengendalikannya."Aku mengerutkan dahi, menahan amarah. "Jangan berharap aku jadi bagian dari koleksimu."Senyum Asmodiel melebar. "Kamu masih belum paham, ya, Agas? Aku tidak hanya ingin sekadar menguasaimu. Aku ingin kekuatanmu... jiwamu. Dengan itu, aku akan menjadi lebih dari sekadar penguasa di sini. Aku akan menembus batas yang tak pernah ada iblis lain bisa bayangkan."Ia mendekat lebih

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status