Hari berganti bulanpun berjalan. Jam demi menit telah kami lalui. Rintangan tentunya ada, dan halangan tidak dapat dipungkiri. Berbagai luka menjadi hal biasa, yang memang akan selalu ada. Pondok kami masih sama dalam hal bangunan, tapi sepertinya selalu berkembang dalam urusan pengajian. Hidup memang selalu membutuhkan perkembangan, dan memang harus berkembang.Dua hari yang lalu, ada sebuah pengumuman tentang lomba. MTQ, Mutsabaqoh Tilawatil Qur’an. Pasti kalian sudah sering sekali mendengar kata itu. Tapi, ini berbeda kawan, yang mengadakan bukan pengurus aslinya. Lomba ini diselenggarakan oleh beberapa pondok pesantren yang bekerja sama, dalam rangka meningkatkan semangat belajar santri. Tidak banyak, hanya sekitar lima belas pondok pesantren yang bekerja sama. Pondok kami adalah salah satu pondok yang mengikuti kerja sama tersebut.Dalam lomba MTQ ini, setiap pondok wajib mengirimkan beberapa wakilnya untuk mengikuti perlombaan. Kelas satu MTS tiga anak, kelas dua juga demikian,
Terkadang, saya bingung memikirkan tentang dimanakah letak keadilan Tuhan. Bahkan, dalam memikirkan tentang keadilan Tuhan, saya sempat membuat beberapa bait sajak. Apakah Tuhan benar-benar adil? Terkadang saya berpikir bahwa Tuhan itu tidak adil sama sekali. Inilah bait sajak yang saya ciptakan beberapa saat lalu.Tuhan Tak AdilTuhan…Kenapa sekiranya melati itu Kau ciptakan,Namun tiada indah untuk diriku.Harumnya menghidupkannya,Merahnya mengharumkan jiwa,Tapi kenapa mematikan untuk diriku?Durinya tertawa pada yang lain,Lalu kenapa memarahiku?Tuhan…Kau curang,Kau tak adil.Adakah bunga untukku selain melati itu?Apakah semua bunga sama bagiku,Mematikan…Tuhan…Kau… kau… sungguh membenciku,Kau memberiku mata, memberiku hati,Namun, hanya mataku yang bernyawa karnanya,Kenapa hatiku tak merasakan indahnya? Kenapa?Kenapa mataku bahagia namun hatiku terbisu?Adakah… ini adalah bungaku?Bunga kesedihan, kepahitan, dan penderitaan abadi?Bahkan, ketika saya menuliskan sajak i
Pukul tiga sore, saya minta diantarkan oleh salah satu teman saya menuju terminal, menggunakan motor pondok. Jalanan ramai oleh para pengendara dengan berbagai motif kehidupan. Inilah kejadian yang sering saya renungkan, tentang kendaraan yang tiada sepinya, tentang jalanan yang tiada sepinya dari manusia.Kebutuhan pokok manusia itu hanya ada tiga, makanan, rumah, dan pakaian. Apakah semua itu tidak bisa didapatkan dengan meninggalkan kegiatan sehari-hari seperti itu? Apakah masih perlu mengudara di jalanan setiap hari untuk memenuhi tiga hal itu? Rumah, makanan, dan pakaian.Sesungguhnya manusia dapat memenuhinya tanpa harus menjalankan kegiatan-kegiatan yang berlebihan itu. Kenapa berlebihan? Karena pada setiap gerakan manusia, di sanalah terdapat ajakan nafsu untuk melebihi batas normal. Nafsu tidak akan puas dengan segala hal yang pas-pasan. Nafsu selalu mengajak manusia untuk menjadi yang terbaik, unggul, terhormat, bagus pakaian, rumah, dan makanan. Tidak ada nafsu yang menerim
Pulang dari mengembalakan kambing, dan membawa satu karung besar rumput, saya segera mandi dan mengerjakan sholat asar. Walaupun tidak di pondok, manusia tetap harus menjalankan ajaran agama. Bukan hanya saya, tapi semua manusia yang mengaku beragama Islam, dia wajib mengerjakan sholat.Sholat adalah pembeda seorang muslim dan orang lain muslim. Sholat pula yang menjadi pembeda antara muslim sejati dan muslim munafik. Itulah sholat, amal yang pertama kali akan ditanyakan oleh Tuhan ketika kiamat nanti. Dan, barang siapa baik sholatnya, maka akan baik seluruh amalnya. Begitu sebaliknya barang siapa buruk sholatnya, kemungkinan besar segala amalnya akan buruk. Memang, sholat adalah sebuah kewajiban dan kebutuhan seorang muslim sejati. Sudahkan kita merasakan butuh dengan sholat? Jika belum membutuhkan sholat, berarti muslim kita perlu ditanyakan. Sudah muslim secara keseluruhankah kita sebagai manusia?Saya sore ini menikmati segelas kopi panas di depan rumah, setelah mendirikan sholat
Waktu berlalu sedemikian rupa sehingga selalu membuatkan hati sebuah rasa. Kenangan, adalah rasa tersediri di dalam hati. Manusia akan penuh dengan rasa, sebab waktu selalu mendampingi.Dahulu, sekarang, dan saat-saat yang akan datang, waktu akan selalu mendampingi saya. Hingga pada saatnya nanti, waktu akan meninggalkan saya karena dia pun sirna oleh waktu.Hari ini saya bahagia. Sangat bahagia...Ibu sudah mampu bangun dari terbaringnya. Dia sudah bisa tersenyum kembali kendati masih banyak terduduk pada kursi depan rumah.Tidak ada kata kepada Tuhan selain puji syukur atas nikmat yang tidak dapat diukur ini, yakni kesehatan. Boleh saja manusia banyak harta, tapi untuk apa jika badan tidak sehat? Maka, wajar saja jika Nabi pernah berpesan kepada kita bahwa kita harus menggunakan waktu sehat sebelum datang waktu sakit. Kesehatan adalah harta paling mahal, menurut saya. Sebab, semua orang belum tentu bisa mendapatkan ini. Kesehatan sendiri dibagi menjadi dua hal, yaitu sehat batin dan
Genap satu minggu setelah ibu saya sembuh, akhirnya saya bisa kembali ke pondok. Ibu sendiri yang menyuruh saya untuk segera berangkat. Lagi pula, saya juga sudah yakin sekali bahwa ibu sudah benar-benar sembuh. Jadi, keberadaan saya di rumah ini sudah tidak terlalu dibutuhkan lagi.“Berangkatlah besok, Akmal. Ibu rasanya sudah yakin dengan dirimu, bahwa kamu sudah dewasa, pasti bisa menentukan pilihan dan menatap masa depan.” Begitu kata ibu saya pada suatu sore. Pada waktu itu, bapak juga sedang bersama kami, tapi tidak benyak bicara. Dia lebih banyak hanya mendengarkan. Diam adalah sebagian dari kebijaksanaan, dari pada bicara namun menyakiti orang lain, atau bahkan tiada guna.Akhirnya pagi ini saya benar-benar berangkat menuju pondok kembali. Bapak dan ibu sengaja tidak pergi ke sawah, sebab saya akan berangkat. Mereka hanya duduk-duduk santai di teras rumah, sambil melihat ayam-ayam kampung berebut makanan.Semua sudah siap, hanya menunggu tetangga yang akan mengantarkan saya.
Malam harinya saya sowan kepada mbah Kyai, dan berbicara secukupnya tentang keadaan di rumah. Beliau tidak banyak bertanya, dan akhirnya lima belas menit saya keluar dari ruangan mbah Kyai.“Ya sudah, sekarang kamu kembali, konsentrasi belajar, kang...” kata beliau.Saya keluar dari ndalem pukul sembilan malam, setelah itu saya lanjutkan kegiatan dengan belajar mandiri. Ini adalah sebuah kebiasaan lama di pesantren, yaitu belajar dengan mandiri. Walaupun siang dan malam telah disibukkan dengan mengaji, sekolah, dan beberapa kegiatan lain, kami tetap menyempatkan untuk belajar mandiri, dan bahkan hapalan.Malam ini saya mengulang kembali kitab tafsir, membacanya, dan mengingat-ingat kembali apa yang diterangkan oleh mbah Kyai.Setengah jam kemudian, akhirnya saya menyudahi belajar mandiri, dan bergabung dengan beberapa teman saya. Sedari tadi saya belum sempat berbicara banyak dengan Alfin. Entah, sepertinya dia tengah sibuk dengan karya-karyanya. Saya berjalan menuju belakang pondok,
Hari ini adalah hari semangat untuk semua santri. 8 Oktober 2020, hari yang penuh dengan semangat. Walaupun di luar sana tengah terjadi demo yang luar biasa, kami tetap fokus dengan belajar. Bukan kami tidak cinta dengan Indonesia. Tapi, kami merasa bahwa demo bukan kapasitas kami. Ada sebuah cara yang lebih baik dari pada demo. Misalnya, menunggu undang-undang berlaku hingga beberapa bulan, baru cek hasilnya. Apakah undang-undang Omnibus Law benar-benar mensejahterakan rakyat? Kalau tidak, barulah demo. Sebab jika tidak menguntungkan rakyat, jelaslah undang-undang tersebut ada sebuah misi di baliknya. Misalnya menjual tanah air Indonesia. Bisa saja undang-undang tersebut hanya memudahkan pihak asing mengeruk ekonomi dan kekayaan Indonesia.Ketika di warung, saya melihat sekilas siaran langsung dari demo tersebut. Saya percaya dengan teman-teman buruh yang sedang berdemo. Saya percaya kepada teman-teman mahasiswa yang sedang berdemo. Semoga yang terbaik tetap menjadi milik Indonesia.