Inestia Rosi Sagala, mulai dapat melihat makhluk astral sejak kecelakaan setahun lalu, dia pun bisa mencium aroma kematian seseorang. Melalui cermin.
View MoreAroma buku bagai sebuah candu. Seratnya, barisan kata di dalamnya, seolah nadi dan nafas untukku. Aku sangat menyukai jika berada di sini, di tempat di mana aku dikelilingi oleh benda persegi aneka warna dan kaligrafi indah di sampulnya. Setiap Sabtu, inilah yang kulakukan. Sebuah jadwal rutin setiap akhir pekan. Melepas penat setelah berkutat dengan tulisan dalam novelku sendiri.
Fiksi.
Urutan judul buku di depan sudah bergeser karena ada beberapa buku baru di rak. Aku yakin kalau keberadaan ku di sini akan menjadi lebih lama dari minggu lalu. Aku harus menyeleksi tiap buku untuk menentukan bagian buku yang ingin ku baca lebih dulu. Tentu saja dengan membelinya, apalagi sampul buku ini masih tersegel rapi di dalam sebuah plastik bening. Dengan kamera CCTV yang berada di tiap sudut ruangan, membuatku tidak mungkin merobek plastik ini dan membacanya dalam sekali duduk. Buku-buku ini tebal, tapi aku mampu membacanya dalam semalam.
J. Miles, Beneath the Saphire eye's. Sebuah novel fantasi yang cukup menarik bagiku. Apalagi ternyata penulisnya adalah orang Indonesia. Pasti bahasanya lebih mudah kumengerti ketimbang novel terjemahan luar negeri. Sekalipun sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, akan tetapi tetap saja tidak semudah mencerna novel asli Indonesia. Blurb di belakang novel membuatku yakin untuk membeli buku satu ini. Sangat menarik, pikirku.
Kaki jenjang ini kembali melangkah ke samping, netra hanya tertuju pada barisan novel dengan tema fantasi, misteri, maupun horor di depan. Lorong ini adalah kesukaanku. Karena ini adalah genre yang paling aku sukai, sekaligus genre yang mudah kutulis. Entah mengapa aku bukan tipe penulis romantis, atau adegan dewasa seperti kebanyakan teman sesama penulis. Aku lebih mahir dalam mengekspresikan gambaran setan, iblis dan kejadian mengerikan yang dialami tokoh ceritaku. Novel pertamaku laku keras di pasaran, mengangkat tema seorang gadis indigo dengan kehidupan sehari-harinya. Sangat klasik, namun disukai banyak orang. Mereka bilang kisah yang kutulis bagai sebuah kisah nyata yang memang dialami seseorang. Namun aku, tetap mengatakan kalau itu semua adalah karangan ku saja.
Dalam keheningan di toko buku ini, ada tetesan air yang membuatku menoleh, dan mencari sumber suara tersebut. Tetesan air yang perlahan itu justru membuat perhatianku teralih. Kedua bola mata langsung tertuju pada AC di sudut kanan, aku yakin kalau air tersebut berasal dari AC yang bocor. Yah, air dari mana lagi.
Toko buku ini memang selalu hening. Tidak banyak orang yang suka pada buku dan aku yakin toko baju di sebelah justru lebih ramai. Namun suasana di sini biasanya tidak sehening ini. Walau tidak ramai pengunjung, tapi ada lantunan musik yang membuat pengunjung santai dan makin betah. Hanya saja kali ini aku tidak dapat mendengar alunan musik apa pun, bahkan pelayan toko yang biasa lalu lalang menata rak buku, tidak terlihat.
Aku melirik jam di pergelangan tangan, sambil menarik nafas dalam, merasa tidak nyaman dengan keadaan ini. "Hm, jam makan siang, pantas aja sepi." Aku kembali hanyut dalam novel kedua. Sebuah novel dengan tema fallen angel membuatku sedikit tertarik, teringat akan novel yang kutulis sebelumnya, yang juga mengangkat tema yang sama. Aku putuskan mengambil novel ini juga, karena ingin membaca kisah malaikat terbuang versi barat, yang biasanya lebih rinci dan dalam. Walau biasanya akan merujuk pada satu agama tertentu. Tapi pembahasan ini cukup menarik bagiku.
Tetesan air tadi makin deras kudengar. Bukan hanya setetes dua tetes dalam lima detik, tapi seperti kain basah yang diperas dengan kasar, aku cemas jika lantai akan basah dan membahayakan pengunjung lainnya.
"Mba ... Mas? Ac-nya bocor, ya?" jeritku sambil menatap ke sudut toko, di mana kasir berada di sana. Namun tidak ada sahutan. Bahkan tidak ada seorangpun yang duduk di kursi kasir sana. Makin lama aku merasa aneh dengan ruangan ini, aku merasa seorang diri di sini.
Ke mana semua orang?
"Mba? Mas?" Kembali aku memanggil karyawan toko, siapa tau panggilan kali ini dapat mereka dengar. Atau mungkin mereka telah kembali dari makan siang.
"Ke mana sih mereka? Kalau toko di rampok, gimana coba?!" gerutuku kesal. Alhasil aku melupakan novel ketiga yang hendak aku ambil tadi, dan mencari suara kucuran air yang sejak tadi mengganggu telinga. Aku mulai tidak nyaman.
Langkah ku hentikan di depan AC yang kucurigai sebagai sumber bising nya air. Aku mendongak dan menatap bagian bawah, tepatnya belakang rak buku. Namun tidak ada tanda-tanda genangan air atau tetesan air seperti yang kuduga sejak tadi.
"Kok nggak ada airnya? AC nya kan cuma ini aja di sini, suara airnya juga jelas banget aku denger tadi. Masa sih bukan AC ini? Atau aku salah denger, ya?" tanyaku berbicara pada diri sendiri. "Ah, nggak mungkin salah!" aku kembali menepis keraguan dengan keyakinan. Apalagi air tadi masih jelas kudengar sampai sekarang. Aku kembali menajamkan pendengaran, mencari di mana asal muasal kucuran air yang mengusikku sejak tadi. Rasa penasaran juga mendominasi, bahkan aku melupakan buku yang sudah kupilih tadi, walau masih kudekap dalam dada. Satu persatu lorong aku periksa, hanya ada deretan novel yang tersusun rapi. Hingga saat sampai pada lorong yang paling ujung, dekat tangga yang berada di luar toko. Toko buku ini memang berada di sebuah Mall besar, walau ukuran toko ini kecil, aku yakin biaya sewanya tidak murah.
Kakiku berhenti, tepat di depan genangan air. Air di depanku berwarna keruh kekuningan, namun anehnya ada aliran air lagi yang datang. Makin lama warna air itu berubah hitam dan terlihat kotor. Bahkan sedikit bau. Aku jongkok untuk melihat sumber datangnya air tersebut. Rak novel yang tersusun rapi, memiliki jarak satu jengkal di antara tiap rak-nya. Dari celah rak paling bawah, aku melihat sepasang kaki. Tanpa alas kaki. Kaki tersebut terlihat kotor dan pucat. Berdiri di belakang rak, menempel di tembok. Jantungku berdegup lebih cepat. Tanganku mulai gemetaran, berkali-kali aku menelan Saliva agar mudah untuk berteriak nantinya. Karena aku yakin sepasang kaki yang bersembunyi di belakang rak itu, bukanlah manusia. Anehnya yang seharusnya aku berdiri, atau bahkan lari, justru hanya diam di tempatku. Aku tetap berada pada posisiku semula. Jongkok, dengan pandangan menatap ke sudut tersebut. Tubuhku makin kaku, ketika otakku mulai berpikir untuk lari. Seolah-olah sosok di sana melarangku pergi meninggalkannya.
"Jangan ganggu! Jangan ganggu." Kalimat itu terus ku ucapkan dalam hati, tapi sosok tadi justru mulai bergerak. Kakinya melangkah maju, menembus rak di depannya. Aku yakin, dia hendak mendekat. Entah kenapa mereka selalu berlaku hal sama, di saat aku ingin mereka pergi, mereka justru mendekat. Tubuhku makin menegang, bahkan kedua bola mataku tidak dapat terpejam, sekalipun aku sangat ingin.
Kini sepasang kaki tadi, sudah berdiri di depanku. Tetesan air yang kudengar sejak tadi berasal dari pakaiannya yang basah. Namun, warna pakaian itu terlihat belum pudar. Kepalaku yang tadinya menunduk, dituntun untuk mendongak untuk menatapnya. Itu semua di luar kendaliku. Dengan bibir bergetar aku mulai melihat tubuhnya. Gaun yang ia pakai seperti gaun pernikahan, model yang masih terbilang baru, dengan dominan warna putih dengan bahan brukat. Gaun itu menjuntai panjang, walau tidak sampai menutup seluruh kakinya. Karena ada robekan kasar sebatas lutut. Aku yakin, gaun ini adalah sebuah gaun pengantin yang panjang dan indah.
"Rosi?"
Aku kembali menelan Saliva, saat ia menyebut namaku. Tatapanku mulai beralih ke wajah sosok wanita tersebut. Aku tersentak, karena ternyata aku mengenal siapa dia. "Li ... Lili?!" suaraku terbata-bata. Bayanganku seolah terserat pada kejadian terakhir pertemuan ku dengan Lili. Itu adalah tiga hari lalu, dia datang dengan wajah berbinar membawa undangan pernikahan. Dua minggu lagi dia akan menikah dengan kekasihnya, Ramon. Semua terlihat sempurna, tapi mengapa dia di sini sekarang. Dengan keadaan tanpa raga.
"Ka ... Kamu kenapa?" Sekalipun dia salah satu temanku, tapi tetap saja terlihat menakutkan dengan keadaannya sekarang.
"Ros, tolong. Tolong aku, Ros," kata Lili dengan terisak. Dia menutup wajahnya, menangis.
"Li, apa yang terjadi?" Pertanyaan yang sama kuulangi, ingin segera mendapat penjelasan Lili. Aku penasaran apa yang terjadi padanya, kenapa dia meninggal dengan pakaian seperti ini, dan kondisinya. Mengenaskan. Ada beberapa luka di bagian tubuhnya. Semua tersamarkan karena basah tubuhnya.
Lili hanya menangis, makin menyayat hati. Sementara aku terus menanyakan hal serupa. Tiba-tiba tangisannya berhenti. Aku dapat memundurkan tubuhku walau sedikit. Sikapnya aneh. Dalam beberapa detik saja, wajah Lili berada tepat di depanku. Aku menjerit sambil menutup wajah. Cukup aneh karena tiba-tiba aku mampu bergerak kembali. Walau belum kuat untuk berlari.
"Mba ... Mba ... Kenapa?" tepukan di bahu membuatku melepaskan tangan yang sejak tadi menutupi wajah. Di sampingku sudah ada seorang wanita dengan seragam toko buku ini. Di belakangnya juga ada seorang pria dengan pakaian yang sama. Mereka karyawan toko buku yang minggu lalu kulihat, menatapku dengan ekspresi kebingungan. Aku kembali menoleh ke depan, dan sosok Lili sudah hilang. Tetapi genangan air tersebut masih ada.
"Loh, ada yang bocor nih, Vit!" seru pegawai wanita di samping ku.
"Eh iya. Mba terpeleset, ya? Astaga! Maaf, ya. Biar aku ambil lap pel dulu, Na." Dia bergegas pergi ke meninggalkan kami berdua.
"Mba ... ada yang luka?"
Aku menggeleng. Lalu berdiri dibantu olehnya. "Nggak apa-apa kok. Cuma jatuh aja," elakku berusaha setenang mungkin.
"Maaf sekali lagi ya, Mba. Aneh juga kok tiba-tiba ada air di sini, ya," gumamnya sambil memeriksa sekitar.
"Mungkin ... Ada pipa yang bocor, mba," jelas ku terdengar masuk akal. "Oh ya, saya beli novel ini." Dua buah novel yang masih kudekap, segera kuberikan padanya.
_______Masih berada di gedung bertingkat ini, kini aku memilih sebuah coffe break yang biasa ku datangi setelah selesai berbelanja buku. Segera menuju kasir untuk memesan sekaligus membayar. Karena beginilah sistem di tempat ini.
"Baik, silakan ditunggu pesanannya, Kak. Aduh, maaf mejanya masih penuh. Sebentar kami siapa meja dulu, ya, kak." Wanita dengan topi hitam khas cafe tersenyum ramah padaku lalu mengisyaratkan temannya untuk bergerak.
"Ros! Rosi!" jerit sebuah suara yang sangat familiar di telinga. Aku mengedarkan pandangan ke sekitar, mencari sosok yang sepertinya mengenalku, dan sebuah lambaian tangan membuatku segera mengenali nya. "Indi?" Dia tersenyum lebar dengan tangan terus bergerak, menyuruhku mendekat.
"Kak, saya duduk di sana saja."
Indi tidak sendirian, ada Nita juga. Tapi rupanya aku salah memutuskan untuk bergabung dengan mereka. Karena di meja mereka cukup banyak orang. Namun aku tetap mendekat, sekedar basa basi sejenak sambil mencari meja yang bisa kutempati.
"Belanja?" tanya Indi begitu aku mendekat. Kami segera melakukan salam pertemuan khas wanita. Saling menempelkan pipi kanan kiri bergantian. Indi segera menebak karena melihat kantung plastik di tanganku.
"Iya, biasa, asupan seorang penulis." aku mengangkat novel buruanku sejajar dengan bahu kami.
"Beli apa lu?" tanyanya segera mengambil alih kantung plastik tersebut.
"Duduk dulu, Mak," Nita menyapa sambil menarik sebuah kursi di sampingnya.
"Eh iya, nanti aja. Biar gue cari meja lain aja. Kalian lagi 'ini', kan?" tanyaku dengan pertanyaan yang patut dipertanyakan kejelasannya.
"Santai kita kok, sini ah! Meja nya penuh semua tuh. Sini aja udah!" paksa Nita. Alhasil tubuhku pasrah dibawa duduk berada di sampingnya. Sementara Indi masih sibuk memeriksa novel yang kubeli tadi, Nita dengan lancar memperkenalkan empat orang di hadapan kami, yang baru kutau kalau mereka adalah teman kampus Nita dan Indi dulu.
"Itu Nanda, Najwa pacarnya Nanda, terus Rangga, tanpa cinta. Hahaha. Sama Fahri. Kebetulan kita ketemu tadi di depan, jadi sekalian reuni kecil-kecilan deh," jelas Nita.
"Hai." hanya kata itu yang terucap dari bibirku. Tentu dengan segaris senyum tipis yang berusaha kulakukan dengan tulus.
"Guys, ini temen gue, Rosi. Dia ini penulis novel terkenal loh," bisik Nita seolah hal ini adalah rahasia. Seperti memperkenalkan spiderman tanpa kostum ke sekumpulan kenalannya. Terkesan aneh bagiku. Aku segera menyikut Nita dan mengelak halus. "Amatir, Nit."
"Amatir apa? Tenang aja, sebentar lagi novel lu bakal best seller, Ros. Novel lu bagus tau. Suka merendah deh!" tambah Nita.
"Ros, ini gue udah baca nih. Bagus nih, malah mau keluar lagi seri keduanya," tukas Indi menunjukkan novel fantasi dengan membeberkan warna mata yang memiliki kemampuan supranatural.
"Oh ya? Gue baru lihat tadi, minggu lalu nggak ada padahal."
"Rosi? Oh penulis novel yang kemarin elu pinjemin ke gue, Nit?" tanya seorang pria berkaca mata yang duduk di depan kami.
"Nah iya, itu novel dia. Gimana? Elu udah beres baca, Ngga?"
"Belum. Wahaha. Lagi suka baca cerita dewasa sih gue sekarang. Horor, ya? Novel situ?" tanyanya lagi, menunjukku.
"Iya horor."
"Ada buka-bukaannya nggak?"
"Ada. Pas kuntinya pakai gaun seksi," sahutku asal.
"Yee, itu sih nggak seksi. Serem iya!"
"Lagian Rangga selera nya mah yang gitu-gitu. Dasar laki mesum!" kelakar Indi dengan melempar onion ring di depannya.
"Mungkin kalau udah ada 'cinta' berubah, ya?" gurauku dengan menekankan kata cinta tadi.
"Yah, Mba, dia itu trauma pacaran. Sekarang kan homo tuh," ejek Fahri.
Rupanya mereka tidak seburuk itu, semua mengalir dengan ringan seolah kami sudah lama saling mengenal.
Ponselku bergetar, nama yang tertera pada layar membuatku tidak segera menerimanya. Entah mengapa aku langsung teringat pada Lili.
"Ros, nggak diangkat? Siapa sih?" tanya Nita sambil ikut melihat layar ponselku. "Mey? Kenapa nggak diangkat? Kalian berantem?"
"Hm, enggak kok. Cuma ... Takut."
"Takut apa?"
"Kabar yang bakal dia kasih ke gue."
"Maksud elo?"
"Gue ... Gue tadi lihat 'itu' lagi."
"Itu? Maksud elo, setan?" tanya Nita makin serius. Otomatis kelima orang di sekitar kami ikut fokus pada obrolan kami berdua.
"Hah? Setan di mana?" Indi ikut penasaran dan menanyakan pertanyaan beruntun layaknya wartawan.
Aku menekan kepala, bertumpu pada meja dengan kopi milikku tepat di bawah wajahku. Aroma kopi ini cukup menenangkan untuk ku menceritakan kejadian tadi.
"Hah! Serius lu? Lili?! Lili yang bokap nya anggota dewan itu, kan?" tanya Indi heboh.
"Yang cowoknya juga anak anggota dewan juga?"
Aku hanya menanggapi pertanyaan mereka dengan anggukan. Namun, sekelebat bayangan membuat perhatianku teralih sejenak. Koridor di luar cafe ini, menampilkan sosok yang sedang kami bicarakan. Berjalan dengan kondisi sama seperti yang kulihat tadi, basah, pucat dan mengerikan. Melewati koridor sambil terus menatap meja kami tanpa mengedipkan mata. Aku ikut terbawa suasana, terus menatapnya tanpa peduli panggilan mereka di sekitar ku.
"Astaga, Ros! Iya! Itu, kan? Dia lewat?" tanya Indi berusaha tidak terlihat takut. Indi memang sedikit peka sama sepertiku. Salah satu alasan aku berteman dengannya karena kesamaan ini. Setidaknya jika bersamanya aku tidak gila sendirian saat melihat sosok seperti tadi.
Kugeser layar ponsel tanpa menatapnya. Dering panggilan Mey sangat mengganggu, dan dia tidak akan berhenti sampai aku mengangkat telepon darinya.
"Ya Mey? Kenapa?"
"Ros ... Lili, Ros!"
"Aku tau."
Pintu apartemen Rangga ku buka, namun dahiku langsung mengerut ketika melihat Nida berada di kursi meja makan, dengan Rangga yang berdiri di dekat kompor, sedang memegang puntung rokok di tangan kanan. Di belakangnya ada panci yang berisi air panas disertai dua cangkir yang sudah diberi bubuk kopi dan kantung teh bundar."Yang?" Rangga membetulkan posisi berdirinya, segera mematikan rokok yang masih menyala di meja dekat kompor. Dia lantas mendekat. "Aku tadi WA kamu loh, nelpon juga nggak di angkat. Niatnya mau tanya, aku jemput jam berapa ke rumah?" katanya dengan segala bentuk pernyataan dan pertanyaan sebelum aku melayangkan upaya ngambek melihat Nida di sini. "Terus juga kasih tau, kalau Nida di sini."Aku lantas membuka ponselku dan membuktikan kebenaran perkataan kekasihku. "Lupa aku silent. Tadi di jalan berisik, soalnya aku naik Gojek." Aku lantas meletakkan tas di ranjang. "Aku pengen mandi." Segera saja aku masuk ke kamar mandi
Rumah besar itu porak poranda seolah terkena gempa dahsyat. Kondisi Rizal sudah stabil, bahkan dia sudah berganti pakaian dan kini terbaring di kamarnya ditemani Nida yang selalu berada di sisinya."Terus nasib Gladis gimana, Bang?" tanya Indi. Sosok hitam yang menyerang kami sudah musnah karena Bang Cen, Datu, dan macan putih itu."Kita lihat saja besok."Malam semakin larut. Kami pun pulang ke rumah masing-masing. Sementara itu Nida tetap tinggal merawat Rizal.Mey pulang di antar Asep. Itu bukan hal aneh lagi bagi kami. Indi pun sudah di jemput Raja. Bang Cen memutuskan tinggal sebentar, untuk menyelesaikan sisa pekerjaannya. Entah apa lagi yang akan dia lakukan, tapi aku dan Rangga sudah lelah sekali. Kami pun pamit padanya."Mau pulang ke mana?" tanya Rangga."Eum, ke rumah aja ya. Nggak apa-apa, kan? Aku capek banget. Pengen langsung tidur.""Ya nggak apa-apa. Lagian dari sini memang lebih dekat ke rumah
"Yah Gladis itu bukan manusia. Saya sudah perhatikan lama. Ada yang aneh sama dia.""Jadi maksudnya dia itu apa, Bang?""Tubuhnya memang tubuh seorang manusia. Tapi jiwanya bukan dari pemilik tubuh itu. Bahkan kalau jiwanya keluar dari sana, saya yakin kalau jasadnya tidak sebagus apa yang kita lihat sekarang.""Jadi jiwa siapa yang masuk ke sana? Kok bisa gitu, ya?""Bisa, Neng. Bahkan saya rasa apa yang merasuki tubuh Gladis juga bukan dari kalangan manusia.""Mungkin nggak sih, kalau pemilik tubuh itu sebelumnya melakukan perjanjian dengan iblis, terus dia nggak bisa memberikan tumbal atau semacamnya, makanya jiwanya diambil, tubuhnya kosong terus diisi makhluk lain. Bisa nggak?" tanyaku."Sangat masuk akal, Neng.""Apa dia sedang mengincar Rizal untuk dijadikan tumbal?" tanya Rahma."Bukan. Bukan tumbal, justru sebagai makanan." Perkat
Pagi ini kami berangkat kantor lebih awal, karena semalam aku menginap di apartemen Rangga. Jaraknya yang dekat kantor membuat kami memiliki setidaknya 20 menit waktu luang sebelum jam kerja dimulai. Bahkan lift pun terasa lenggang saat kami memasukinya, karena hanya ada kami berdua. Untungnya tidak ada lagi sosok wanita yang biasa memasuki lift ini, atau mungkin belum waktunya dia muncul, ya. Tapi sepertinya Bang Cen telah membuat dia tersingkir dari gedung ini, karena aku tidak pernah melihatnya lagi dalam waktu yang cukup lama.Kemarin kami berdua tidak jadi mencari Rizal, karena dia memang tidak bisa ditemukan di berbagai tempat. Di rumahnya, tempat nongkrongnya, sampai ke rumah teman-temannya, Rizal tidak nampak juga. Akhirnya semalam kami akhir pencarian pukul 22.00, Nida pulang sendiri, dan aku bersama Rangga kembali ke apartemen.Pintu lift menutup, aku melingkarkan tangan ke lengan kekasihku. Dia menoleh dan tersenyum. "Kenapa?" t
"Eh, kalian udah denger belum? Gosip kalau Rizal deket sama Gladis?" tanya Mey berbisik saat kami makan siang. Sudah sekitar satu bulan Gladis bekerja di kantor kami, dan dia masih menjadi topik pembicaraan yang menarik. "Serius? Kok bisa? Nida gimana?" tanya Indi penasaran. "Nah itu! Mereka break! Dan sekarang Rizal deket sama Gladis. Yah, siapa sih yang nggak mau sama Rizal, kan? Dilihat-lihat ganteng juga itu anak," cetus Mey. "Ganteng mana sama gue?" tanya Asep menanggapi. "Elu ... Tapi dilihat dari ujung monas, pakai sedotan!" "Awas lu ya. Nggak gue anterin pulang lagi!" ancam Asep. "Cie. Udah saling antar jemput. Eh, lu nunggu di mana, Mey? Nggak takut?" tanya ku sengaja mencandai mereka. "Di rumah lah. Kan yang punya body guard, dia, bukan gue. Gue mah nggak takut." "Oh iya ya. Hati-hati, takut nanti ada drama mirip di sinet
"Siapa tuh?"Seorang wanita datang bersama pria berumur sekitar 40 tahunan. Memakai setelan mahal dan masuk ke ruangan Bos. Dari apa yang terlihat, sepertinya dia akan menjadi karyawan baru di kantor kami. Penampilannya terlihat seksi, dengan rok span hitam yang cukup pendek di atas lutut, kemeja putih ketat, menampilkan payudaranya yang terkesan tidak muat di dalam pakaian itu. Sepatu hak tinggi berwarna hitam, memang menjadi ciri khas seorang pekerja magang. Karena kemarin aku pun melakukan hal itu."Baru kayaknya deh. Njir, bohay banget!" kata Asep melotot sampai wanita itu menghilang di balik pintu."Wuu! Dasar mata playboy! Suka bener lihat yang montok-montok!" cetus Mey.Memang terlihat seksi dan mengundang banyak mata melihat, tapi aku merasa tidak menyukai aura yang dimiliki wanita tersebut. Entah mengapa. Terasa ada selubung gelap yang mengitarinya. Bahkan beberapa sosok mengerikan terus
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments