Tetapi ketika melihat siluet Tristan di ujung cafe, Stella meremas gaunnya dengan gemetar saat menyadari bahwa Tristan duduk di meja yang sama dengan Dafina.“Apa yang terjadi? Mengapa dia melakukan ini?” gumamnya lirih dalam kebingungan.Stella tak menyangka Tristan akan membodohinya seperti ini. Wanita itu berharap bahwa undangan makan malam Tristan hanya untuk dirinya saja, tanpa ada orang lain. Tetapi kenyataannya, Tristan malah mengajak Dafina, sekretarisnya yang lain.“Stella!” seru Dafina ketika melihat Stella memasuki cafe.Tristan, yang menyadari kehadiran Stella, ikut memalingkan pandangannya ke arah gadis cantik itu. Tidak bisa dipungkiri, Stella tampak begitu cantik malam ini dengan gaun biru tua yang dipilihnya, ditambah dengan rambutnya yang digerai dengan indah, membuat Tristan sulit untuk tidak memperhatikannya.Stella meremas gaunnya erat, meskipun dadanya terasa sesak. Dia mencoba untuk tersenyum dan mendekati meja Tristan dan Dafina.“Kamu juga di sini?” tanya Dafin
Tristan, lelaki tampan bertubuh atlentis dengan berahang kokoh, yang memiliki hidung mancung, dan mata tajam seperti burung elang sedang berenang di kolam renang. Di siang yang cerah itu, kolam renang tampak sepi dan tenang, hanya ada bunyi gemericik air yang bergerak pelan. Tristan memasuki kolam renang dengan tenang dan meluncur dari pinggiran kolam.Ketika ia mulai berenang, air kolam bergolak dan berombak karena gerakan lengan dan kaki Tristan yang kuat. Dengan kecepatan yang luar biasa, ia bergerak maju dan meluncur ke bawah air, menggunakan tekniknya untuk mengeksplor kedalaman kolam renang.Sedangkan di tepi kolam, Evan duduk tenang di kursi panjang, mengamati gerakan Tristan.Evan melihat Tristan yang masih terus berenang di dalam kolam renang. Ia memperhatikan langit yang tadinya cerah berwarna biru sudah mulai berubah menjadi jingga, menandakan waktu siang akan berganti malam, namun Tristan masih tampak betah berenang.“Tristan, berapa lama kamu masih akan berenang?” tanya E
Setelah memasuki kantor, Tristan, Dafina, Stella, dan Maya berjalan menuju lift. Dafina menekan tombol untuk naik ke lantai 14, tempat ruang kerja mereka berada. Saat pintu lift tertutup, suasana menjadi hening, hanya terdengar gemerisik halus dari mesin lift.Tristan memperhatikan Stella diam-diam, tetapi wanita itu membuang muka, tidak mau bertatapan dengannya. Ada keheningan yang kaku di antara mereka, yang tak bisa diabaikan.Ketika pintu lift terbuka di lantai 14, mereka semua keluar dan menuju ruang kerja masing-masing. “Tuan, rapat akan dimulai dalam satu jam,” ujar Dafina mengingatkan Tristan.Tristan mengangguk dan masuk ke dalam ruangannya tanpa berkata apa-apa.“Stella, tolong berikan dokumen surat perjanjian perusahaan ini kepada Tuan Tristan,” titah Dafina, yang sedang sibuk dengan panggilan telepon.Namun, Stella terdiam sejenak, wanita itu ragu-ragu. Ia tidak ingin bertemu langsung dengan Tristan, terutama setelah malam yang sulit dia lewati. Namun, dengan berat hati,
Stella dan Dafina mencari dokumen tersebut dengan penuh ketegangan. Stella mencari dokumen itu di meja Dafina karena dia masih ingat betul terakhir kali dia meletakkan dokumen tersebut di meja Dafina. Dafina bersedekap dada melihat Stella yang mencari dokumen itu di mejanya.“Bagaimana? Dokumennya tidak ada di mejaku, ‘kan? Sudahlah, kamu tidak perlu menyalahkan orang lain atas kesalahanmu sendiri,” ujar Dafina yang terlihat kesal.“Tapi aku masih ingat jelas, aku meletakkannya di meja kamu,” ungkap Stella.“Daripada kamu mencari di mejaku, lebih baik kamu cari di mejamu sendiri!” kata Dafina dengan nada yang tajam.Setelah mendengar perkataan Dafina, Stella pun berlari ke meja kerjanya untuk mencari dokumen tersebut, wanita yang memiliki tubuh langsing itu mulai mencari dari laci hingga tempat penyimpanan lainnya. Bahkan ia sampai mengeluarkan semua barang yang ada di tasnya, tapi tetap saja dokumen tersebut tidak ditemukan.Setelah Stella tak menemukan keberadaan dokumen itu di meja
Tristan memasuki kantornya pada pagi yang cerah. Sepasang kaki jenjangnya melangkah dengan lebar saat ia berjalan menuju ruang kerjanya. Hari ini, ia mengenakan kemeja putih yang rapi dengan jas warna biru tua yang cocok di badannya. Di pergelangan tangannya, terdapat jam tangan mewah merek Rolex yang menambah kesan elegan pada penampilannya.Sesampainya di depan ruang kerjanya, Tristan melihat Dafina yang sibuk bekerja. “Dafina,” seru Tristan.“Iya, Tuan.” Dengan hormat, Dafina berdiri dan memberikan salam. Tristan mengangguk sebagai balasan dan segera menanyakan tentang dokumen yang dicari.“Dafina, apa kamu sudah menemukan dokumen itu?” tanya Tristan dengan nada yang agak tegang.Dafina menggelengkan kepala dengan wajah yang cemas. “Maaf, Tuan, saya belum menemukan dokumen tersebut. Saya masih mencarinya.”Tristan mengangguk singkat, namun ekspresinya menunjukkan sedikit kekecewaan. “Baiklah, segera temukan dan persiapkan beberapa dokumen untuk rapat hari ini.”Setelah memberi inst
Tristan dengan cepat menggendong Stella ala bridal style dan segera membawanya keluar dari gudang menuju ruangannya. Setiap langkahnya dipenuhi dengan kekhawatiran dan kecemasan akan kondisi Stella. Para karyawan yang melihatnya hanya bisa menatap heran, bertanya-tanya apa yang terjadi dengan Stella.“Tuan!” seru Dafina ketika melihat Tristan menggendong Stella.“Cepat panggil dokter!” perintah Tristan kepada Dafina.Dafina dengan cepat mengangguk. “Baik, Tuan.”“Stella!” Sementara itu, Maya berteriak panik sambil mendekati Tristan dan Stella. “Tuan, apa yang terjadi dengan Stella?” tanyanya dengan suara gemetar.“Dia pingsan. Segera bawa minyak angin ke ruanganku,” titah Tristan kepada Maya.Maya mengangguk. “Baik, Tuan.”Tristan kembali fokus pada tugasnya untuk membawa Stella ke ruangannya. Begitu sampai di sana, dia meletakkan tubuh Stella dengan perlahan di atas sofa.Dengan cepat, Tristan berusaha memeriksa keadaan Stella, memastikan dia tetap bernapas dengan stabil. Hatinya berd
Tristan mencoba menenangkan Stella dari ketakutannya dengan mendekapnya erat dan mengelus lembut rambutnya. Meskipun Stella tidak bisa melihatnya, tapi ia bisa merasakan sentuhan hangat lelaki itu, dan kehadiran Tristan membuatnya merasa lebih aman. “Jangan takut, Stella. Aku di sini bersamamu,” bisik Tristan dengan suara lirih, ia mencoba menenangkan gadis itu. Suara tenang dan penuh kasih dari Tristan mampu meredakan sedikit ketegangan yang dirasakan Stella di tengah ketakutan yang menyelimuti dirinya.Sinar matahari pagi menembus jendela ruangan, menciptakan coretan-coretan cahaya yang menari-nari di lantai. Udara segar dan harum menyejukkan ruangan, memberikan suasana yang tenang meskipun masih tersisa kecemasan dalam hati Stella.Stella memandang keluar jendela, melihat gemerlap cahaya pagi yang menyinari bangunan-bangunan di sekitar kantor mereka. Meskipun alam luar terlihat damai, dalam hatinya masih ada kecemasan akan kejadian di gudang. Dia masih merasakan ketakutan yang mel
“Halo, Pak. Kamu bisa pulang terlebih dulu. Malam ini, aku ingin membawa mobil sendiri.”“Baik, Tuan.”Setelah menghubungi sopir pribadinya, Tristan meletakan kembali ponselnya di atas meja, ia melihat ke arah Stella yang masih tertidur pulas, meski malam sudah semakin larut. Meski begitu, lelaki tampan itu tak tega untuk membangunkannya.Stella menggeliat ketika udara dingin menyentuh wajahnya, dan perlahan-lahan matanya mulai terbuka. Pandangannya memperhatikan dinding sebentar sebelum menyadari bahwa dia masih berada di kantor. Dengan refleks, ia bangun dari sofa dan duduk tegak, melihat ke arah jendela. Langit sudah gelap, dan melalui jendela, cahaya lampu-lampu kota mulai bersinar.“Kamu sudah bangun?” tanya Tristan dari meja kerja.Stella membalikkan kepala ke arah suara itu. “Sudah malam?” tanyanya kembali.Tristan mengangguk, menutup laptopnya dengan perlahan. “Ya, sudah larut.”Stella menatap jam dinding, jarum