Share

Bab 7. Tak Dianggap

Tristan, seorang pria yang selalu terlihat sibuk dengan pekerjaannya, duduk di mejanya dengan tumpukan dokumen yang tersebar di hadapannya. Matanya terfokus pada setiap detail yang tertera di lembaran-lembaran kertas tersebut, sementara pikirannya sibuk merencanakan langkah-langkah selanjutnya dalam menjalani hari yang padat.

Namun, perhatiannya terganggu oleh keberadaan Stella, seorang wanita cantik yang masih berada di ruangannya. Dengan pakaian kemeja pink yang menambah kesan manis pada penampilannya, Stella tampak tenggelam dalam lamunan sendiri.

Tristan tidak bisa menahan kebingungannya. “Kenapa kamu masih ada di sini? Apa kamu tidak memiliki pekerjaan lain?” tanyanya, mencoba memahami alasan keberadaan Stella yang terus berada di ruangannya.

“Oh, baiklah.”

Stella tersentak dari lamunannya dan segera berbalik untuk menuju pintu, seperti tersadar bahwa keberadaannya di sana tidak diinginkan.

Namun, sepasang kakinya berhenti melangkah ketika Tristan menghentikannya dan berseru, “Tunggu!”

Stella beralih kembali menghadap pria itu. “Apa ada sesuatu yang kamu butuhkan?” tanya Stella dengan suara yang lirih, mencoba menutupi kebingungannya.

Tristan melirik ke arah cangkir teh hangat yang diletakkan di meja. “Bawa kembali tehnya!” titah Tristan dengan tatapan tajamnya, menyuruh Stella membawa kembali cangkir teh yang sebelumnya sudah dibuatkan untuknya.

“Baik, tapi setidaknya bila kamu tidak suka teh buatan orang lain, tidak perlu mengeluarkan kata-kata seperti tadi,” ucap Stella dengan nada yang pahit, menunjukkan bahwa kata-kata Tristan sebelumnya telah menyakiti perasaannya.

Tristan, tanpa melihat ke arah Stella, hanya menjawab dengan dingin, “Aku hanya berkata sesuai yang aku inginkan.” Tatapannya masih terpaku pada dokumen-dokumen di mejanya, seolah-olah tidak peduli dengan perasaan Stella.

Stella merasa tertohok oleh sikap dingin Tristan, namun dia juga merasa perlu untuk menyampaikan perasaannya. “Aku hanya berusaha membantumu dengan cara yang aku bisa,” ucapnya pelan, mencoba menjelaskan bahwa niatnya baik meskipun hasilnya tidak sesuai harapan.

Namun, Tristan tidak menunjukkan tanda-tanda penyesalan atas kata-katanya. Dia hanya menyimpan dokumen yang sedang dikerjakannya ke dalam map dan bangkit dari kursinya.

“Terima kasih atas tehnya,” ucap lelaki itu begitu singkat sebelum meninggalkan ruang kerjanya, meninggalkan Stella dalam keheningan yang terasa begitu berat.

Stella merasa hatinya teriris oleh pertemuan singkat tersebut. Dia tidak pernah bermaksud untuk menyakiti perasaan Tristan, namun sepertinya dia tidak dianggap penting oleh pria itu. Dengan hati yang berat, dia mengumpulkan keberaniannya untuk mengejar Tristan ke luar ruangan.

“Demi apa kamu selalu bertindak seolah-olah aku tidak ada?” tanyanya dengan suara gemetar, mencoba menahan tangis yang hampir meluber. “Aku hanya mencoba membantumu, tapi kenapa kamu selalu mengabaikanku?”

Tristan berhenti sejenak dan menoleh ke arah Stella, matanya menunjukkan sedikit heran atas keberanian wanita itu untuk mengungkapkan perasaannya. Namun, ekspresinya segera kembali teguh saat dia menjawab dengan dingin, “Kamu tidak perlu membantu jika caramu tidak sesuai dengan keinginanku. Aku bisa menyelesaikan segalanya sendiri. Dan sudah ada Dafina yang membantuku di sini.”

Stella merasa seperti ditampar oleh kata-kata Tristan. Dia merasa hancur oleh sikap acuh tak acuh pria itu terhadapnya. Namun, di tengah kesedihannya, dia menemukan kekuatan untuk menyampaikan apa yang sebenarnya ada di dalam hatinya. “Baiklah, tapi kamu harus ingat, aku juga sekretarismu sama seperti Dafina yang bisa membantu.”

Tristan menatap Stella dengan tatapan yang sedikit lebih lembut, seolah-olah dia mulai mempertimbangkan kata-kata wanita itu. Meskipun masih ada kekakuan dalam ekspresinya, namun terlihat ada sedikit kelemahan di balik kedalaman matanya.

“Ma-” perkataan Tristan terhenti ketika Dafina sudah kembali dari pantry dengan membawa teh yang sudah ia buatkan untuk Tristan.

“Tuan, ini tehnya,” ucap Dafina dengan sopan.

Tristan mengangguk mengerti. “Baiklah, letakan saja di meja kerjaku.”

“Baik, Tuan,” jawab Dafina sambil melangkah memasuki ruang kerja Tristan.

Stella hanya meremas cangkir teh yang sudah ia buat, dadanya terasa sesak seakan ada yang mengganjalnya. Wanita yang memiliki mata terang itu langsung meneguk habis teh yang ada di tangannya.

Tristan, yang masih berada di dekat Stella, merasa bingung. “Kenapa kamu meminumnya?”

Setelah menenggak habis, Stella meletakkan cangkir kosong di meja dengan kasar. “Tehnya akan mubazir bila dibuang begitu saja,” terangnya, suaranya terdengar sedikit tertekan.

Tristan memperhatikan ekspresi Stella dengan cermat, merasakan kegelisahan yang terpancar dari setiap gerakannya. Meskipun hatinya masih dipenuhi dengan pertanyaan dan ketidakpastian, dia menyadari bahwa mungkin ada lebih banyak yang terjadi di balik sikap dingin Stella.

“Apakah ada sesuatu yang mengganggumu?” tanyanya dengan lembut, mencoba membuka pintu komunikasi antara mereka.

Stella menoleh ke arah Tristan, matanya mencari-cari sesuatu. “Tidak, tidak ada yang mengganggu,” ucapnya singkat, namun Tristan bisa merasakan ketidaknyamanan dalam jawabannya.

Tristan menghela napas dalam-dalam, menyadari bahwa mereka berdua harus menyelesaikan masalah ini dengan baik jika ingin bekerja sama dengan efektif. “Jika ada yang ingin kamu bicarakan, aku di sini untuk mendengarkan,” ujarnya dengan tulus.

Stella menatap Tristan dengan ekspresi kebingungan. Dia tahu bahwa dia tidak bisa terus menyembunyikan perasaannya. Dengan napas yang berat, dia akhirnya mengangguk perlahan. “Ada sesuatu yang ingin kusampaikan,” katanya pelan.

Tristan mendekat sedikit ke Stella, memberinya ruang untuk berbicara dengan nyaman. Dia bisa merasakan ketegangan yang mengisi udara di antara mereka, tetapi dia bertekad untuk mendengarkan dengan penuh perhatian.

“Apa yang ingin kamu katakan?” bisik Tristan lirih di telinga Stella.

Stella menatap lantai sejenak sebelum akhirnya mengangkat wajahnya untuk bertemu dengan mata Tristan. “Aku ….”

“Tuan, saya sudah meletakan tehnya di atas meja,” ucap Dafina yang sudah keluar dari ruangan Tristan, wanita itu menghentikan perkataan Stella.

“Hm, baiklah,” gumam Tristan, ia melirik sebentar ke arah Stella sebelum kembali masuk ke ruang kerjanya lagi.

Stella hanya bisa menghela napas gusar saat melihat Tristan kembali ke ruang kerjanya. Dia berjalan menuju meja kerjanya dengan sikap yang lesu, tubuhnya meresap ke kursi yang empuk.

Dafina tersenyum sinis, melihat wajah Stella yang terlihat kesal. “Aku harap kamu mulai menyadari statusmu yang sudah tak diharapkan lagi oleh Tuan Tristan.”

Stella mengibaskan tangannya di udara. “Sepertinya ada yang bicara, tapi aku tidak melihat ada orang,” jawab Stella, berusaha mengabaikan kehadiran Dafina.

Dafina terlihat kesal karena Stella tak mengindahkan komentarnya. Wanita itu menatap Stella dengan tajam, kesal karena perlakuan dinginnya. Namun, dia memilih untuk tidak membalas, memilih untuk meninggalkan Stella dalam keheningan yang membebaninya.

Stella merasa sesak. Dia tahu hubungannya dengan Tristan tidaklah baik, tapi mendapat pengingat dari Dafina membuatnya semakin terpuruk. Dia berusaha untuk tidak terpengaruh, tetapi kata-kata Dafina menghantamnya dengan keras.

Sambil mencoba mengumpulkan pikirannya, Stella memutuskan untuk fokus pada pekerjaannya. Dia tidak boleh membiarkan emosinya mengganggu kinerjanya. Meskipun hatinya terluka, dia masih harus menjalankan tugasnya sebagai sekretaris Tristan dengan sebaik mungkin.

Ping!

Satu pesan masuk dari Tristan: “Stella, bisa kita bicara sebentar setelah rapat hari ini?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status