Tristan, seorang pria yang selalu terlihat sibuk dengan pekerjaannya, duduk di mejanya dengan tumpukan dokumen yang tersebar di hadapannya. Matanya terfokus pada setiap detail yang tertera di lembaran-lembaran kertas tersebut, sementara pikirannya sibuk merencanakan langkah-langkah selanjutnya dalam menjalani hari yang padat.
Namun, perhatiannya terganggu oleh keberadaan Stella, seorang wanita cantik yang masih berada di ruangannya. Dengan pakaian kemeja pink yang menambah kesan manis pada penampilannya, Stella tampak tenggelam dalam lamunan sendiri.Tristan tidak bisa menahan kebingungannya. “Kenapa kamu masih ada di sini? Apa kamu tidak memiliki pekerjaan lain?” tanyanya, mencoba memahami alasan keberadaan Stella yang terus berada di ruangannya.“Oh, baiklah.”Stella tersentak dari lamunannya dan segera berbalik untuk menuju pintu, seperti tersadar bahwa keberadaannya di sana tidak diinginkan.Namun, sepasang kakinya berhenti melangkah ketika Tristan menghentikannya dan berseru, “Tunggu!”Stella beralih kembali menghadap pria itu. “Apa ada sesuatu yang kamu butuhkan?” tanya Stella dengan suara yang lirih, mencoba menutupi kebingungannya.Tristan melirik ke arah cangkir teh hangat yang diletakkan di meja. “Bawa kembali tehnya!” titah Tristan dengan tatapan tajamnya, menyuruh Stella membawa kembali cangkir teh yang sebelumnya sudah dibuatkan untuknya.“Baik, tapi setidaknya bila kamu tidak suka teh buatan orang lain, tidak perlu mengeluarkan kata-kata seperti tadi,” ucap Stella dengan nada yang pahit, menunjukkan bahwa kata-kata Tristan sebelumnya telah menyakiti perasaannya.Tristan, tanpa melihat ke arah Stella, hanya menjawab dengan dingin, “Aku hanya berkata sesuai yang aku inginkan.” Tatapannya masih terpaku pada dokumen-dokumen di mejanya, seolah-olah tidak peduli dengan perasaan Stella.Stella merasa tertohok oleh sikap dingin Tristan, namun dia juga merasa perlu untuk menyampaikan perasaannya. “Aku hanya berusaha membantumu dengan cara yang aku bisa,” ucapnya pelan, mencoba menjelaskan bahwa niatnya baik meskipun hasilnya tidak sesuai harapan.Namun, Tristan tidak menunjukkan tanda-tanda penyesalan atas kata-katanya. Dia hanya menyimpan dokumen yang sedang dikerjakannya ke dalam map dan bangkit dari kursinya.“Terima kasih atas tehnya,” ucap lelaki itu begitu singkat sebelum meninggalkan ruang kerjanya, meninggalkan Stella dalam keheningan yang terasa begitu berat.Stella merasa hatinya teriris oleh pertemuan singkat tersebut. Dia tidak pernah bermaksud untuk menyakiti perasaan Tristan, namun sepertinya dia tidak dianggap penting oleh pria itu. Dengan hati yang berat, dia mengumpulkan keberaniannya untuk mengejar Tristan ke luar ruangan.“Demi apa kamu selalu bertindak seolah-olah aku tidak ada?” tanyanya dengan suara gemetar, mencoba menahan tangis yang hampir meluber. “Aku hanya mencoba membantumu, tapi kenapa kamu selalu mengabaikanku?”Tristan berhenti sejenak dan menoleh ke arah Stella, matanya menunjukkan sedikit heran atas keberanian wanita itu untuk mengungkapkan perasaannya. Namun, ekspresinya segera kembali teguh saat dia menjawab dengan dingin, “Kamu tidak perlu membantu jika caramu tidak sesuai dengan keinginanku. Aku bisa menyelesaikan segalanya sendiri. Dan sudah ada Dafina yang membantuku di sini.”Stella merasa seperti ditampar oleh kata-kata Tristan. Dia merasa hancur oleh sikap acuh tak acuh pria itu terhadapnya. Namun, di tengah kesedihannya, dia menemukan kekuatan untuk menyampaikan apa yang sebenarnya ada di dalam hatinya. “Baiklah, tapi kamu harus ingat, aku juga sekretarismu sama seperti Dafina yang bisa membantu.”Tristan menatap Stella dengan tatapan yang sedikit lebih lembut, seolah-olah dia mulai mempertimbangkan kata-kata wanita itu. Meskipun masih ada kekakuan dalam ekspresinya, namun terlihat ada sedikit kelemahan di balik kedalaman matanya.“Ma-” perkataan Tristan terhenti ketika Dafina sudah kembali dari pantry dengan membawa teh yang sudah ia buatkan untuk Tristan.“Tuan, ini tehnya,” ucap Dafina dengan sopan.Tristan mengangguk mengerti. “Baiklah, letakan saja di meja kerjaku.”“Baik, Tuan,” jawab Dafina sambil melangkah memasuki ruang kerja Tristan.Stella hanya meremas cangkir teh yang sudah ia buat, dadanya terasa sesak seakan ada yang mengganjalnya. Wanita yang memiliki mata terang itu langsung meneguk habis teh yang ada di tangannya.Tristan, yang masih berada di dekat Stella, merasa bingung. “Kenapa kamu meminumnya?”Setelah menenggak habis, Stella meletakkan cangkir kosong di meja dengan kasar. “Tehnya akan mubazir bila dibuang begitu saja,” terangnya, suaranya terdengar sedikit tertekan.Tristan memperhatikan ekspresi Stella dengan cermat, merasakan kegelisahan yang terpancar dari setiap gerakannya. Meskipun hatinya masih dipenuhi dengan pertanyaan dan ketidakpastian, dia menyadari bahwa mungkin ada lebih banyak yang terjadi di balik sikap dingin Stella.“Apakah ada sesuatu yang mengganggumu?” tanyanya dengan lembut, mencoba membuka pintu komunikasi antara mereka.Stella menoleh ke arah Tristan, matanya mencari-cari sesuatu. “Tidak, tidak ada yang mengganggu,” ucapnya singkat, namun Tristan bisa merasakan ketidaknyamanan dalam jawabannya.Tristan menghela napas dalam-dalam, menyadari bahwa mereka berdua harus menyelesaikan masalah ini dengan baik jika ingin bekerja sama dengan efektif. “Jika ada yang ingin kamu bicarakan, aku di sini untuk mendengarkan,” ujarnya dengan tulus.Stella menatap Tristan dengan ekspresi kebingungan. Dia tahu bahwa dia tidak bisa terus menyembunyikan perasaannya. Dengan napas yang berat, dia akhirnya mengangguk perlahan. “Ada sesuatu yang ingin kusampaikan,” katanya pelan.Tristan mendekat sedikit ke Stella, memberinya ruang untuk berbicara dengan nyaman. Dia bisa merasakan ketegangan yang mengisi udara di antara mereka, tetapi dia bertekad untuk mendengarkan dengan penuh perhatian.“Apa yang ingin kamu katakan?” bisik Tristan lirih di telinga Stella.Stella menatap lantai sejenak sebelum akhirnya mengangkat wajahnya untuk bertemu dengan mata Tristan. “Aku ….”“Tuan, saya sudah meletakan tehnya di atas meja,” ucap Dafina yang sudah keluar dari ruangan Tristan, wanita itu menghentikan perkataan Stella.“Hm, baiklah,” gumam Tristan, ia melirik sebentar ke arah Stella sebelum kembali masuk ke ruang kerjanya lagi.Stella hanya bisa menghela napas gusar saat melihat Tristan kembali ke ruang kerjanya. Dia berjalan menuju meja kerjanya dengan sikap yang lesu, tubuhnya meresap ke kursi yang empuk.Dafina tersenyum sinis, melihat wajah Stella yang terlihat kesal. “Aku harap kamu mulai menyadari statusmu yang sudah tak diharapkan lagi oleh Tuan Tristan.”Stella mengibaskan tangannya di udara. “Sepertinya ada yang bicara, tapi aku tidak melihat ada orang,” jawab Stella, berusaha mengabaikan kehadiran Dafina.Dafina terlihat kesal karena Stella tak mengindahkan komentarnya. Wanita itu menatap Stella dengan tajam, kesal karena perlakuan dinginnya. Namun, dia memilih untuk tidak membalas, memilih untuk meninggalkan Stella dalam keheningan yang membebaninya.Stella merasa sesak. Dia tahu hubungannya dengan Tristan tidaklah baik, tapi mendapat pengingat dari Dafina membuatnya semakin terpuruk. Dia berusaha untuk tidak terpengaruh, tetapi kata-kata Dafina menghantamnya dengan keras.Sambil mencoba mengumpulkan pikirannya, Stella memutuskan untuk fokus pada pekerjaannya. Dia tidak boleh membiarkan emosinya mengganggu kinerjanya. Meskipun hatinya terluka, dia masih harus menjalankan tugasnya sebagai sekretaris Tristan dengan sebaik mungkin.Ping!Satu pesan masuk dari Tristan: “Stella, bisa kita bicara sebentar setelah rapat hari ini?”Ping! Pesan masuk dari Tristan: “Stella, bisa kita bicara sebentar setelah rapat hari ini?”Ping! Belum juga Stella membalas, pesan dari Tristan masuk lagi. “Nanti malam jam 08:00 di First Love Cafe,” bunyi pesan dari Tristan.Stella hampir tidak percaya pada apa yang dibacanya. “Seriusan? Aku tidak lagi bermimpi, ‘kan?” gumamnya dengan gugup sambil menepuk wajah. Ia segera melirik ke arah ruang kerja Tristan, namun pintunya tertutup rapat. Stella merasa gelisah. Dia ingin memastikan apakah itu benar-benar Tristan yang mengirimkan pesan tersebut.“Kenapa dia ingin bertemu denganku? Dan mengajakku bertemu di cafe?” gumam Stella yang merasa bingung. Untuk apa lelaki itu mengiriminya pesan dan meminta untuk bertemu? Stella duduk di depan meja kerjanya, matanya menatap kosong ke arah monitor komputernya. Namun, pikirannya sudah jauh terlempar ke masa lalu, saat ia masih SMA dan dekat dengan seorang laki-laki bernama Tristan.Tristan adalah sosok yang cerdas, berbakat dan sangat populer
Tetapi ketika melihat siluet Tristan di ujung cafe, Stella meremas gaunnya dengan gemetar saat menyadari bahwa Tristan duduk di meja yang sama dengan Dafina.“Apa yang terjadi? Mengapa dia melakukan ini?” gumamnya lirih dalam kebingungan.Stella tak menyangka Tristan akan membodohinya seperti ini. Wanita itu berharap bahwa undangan makan malam Tristan hanya untuk dirinya saja, tanpa ada orang lain. Tetapi kenyataannya, Tristan malah mengajak Dafina, sekretarisnya yang lain.“Stella!” seru Dafina ketika melihat Stella memasuki cafe.Tristan, yang menyadari kehadiran Stella, ikut memalingkan pandangannya ke arah gadis cantik itu. Tidak bisa dipungkiri, Stella tampak begitu cantik malam ini dengan gaun biru tua yang dipilihnya, ditambah dengan rambutnya yang digerai dengan indah, membuat Tristan sulit untuk tidak memperhatikannya.Stella meremas gaunnya erat, meskipun dadanya terasa sesak. Dia mencoba untuk tersenyum dan mendekati meja Tristan dan Dafina.“Kamu juga di sini?” tanya Dafin
Tristan, lelaki tampan bertubuh atlentis dengan berahang kokoh, yang memiliki hidung mancung, dan mata tajam seperti burung elang sedang berenang di kolam renang. Di siang yang cerah itu, kolam renang tampak sepi dan tenang, hanya ada bunyi gemericik air yang bergerak pelan. Tristan memasuki kolam renang dengan tenang dan meluncur dari pinggiran kolam.Ketika ia mulai berenang, air kolam bergolak dan berombak karena gerakan lengan dan kaki Tristan yang kuat. Dengan kecepatan yang luar biasa, ia bergerak maju dan meluncur ke bawah air, menggunakan tekniknya untuk mengeksplor kedalaman kolam renang.Sedangkan di tepi kolam, Evan duduk tenang di kursi panjang, mengamati gerakan Tristan.Evan melihat Tristan yang masih terus berenang di dalam kolam renang. Ia memperhatikan langit yang tadinya cerah berwarna biru sudah mulai berubah menjadi jingga, menandakan waktu siang akan berganti malam, namun Tristan masih tampak betah berenang.“Tristan, berapa lama kamu masih akan berenang?” tanya E
Setelah memasuki kantor, Tristan, Dafina, Stella, dan Maya berjalan menuju lift. Dafina menekan tombol untuk naik ke lantai 14, tempat ruang kerja mereka berada. Saat pintu lift tertutup, suasana menjadi hening, hanya terdengar gemerisik halus dari mesin lift.Tristan memperhatikan Stella diam-diam, tetapi wanita itu membuang muka, tidak mau bertatapan dengannya. Ada keheningan yang kaku di antara mereka, yang tak bisa diabaikan.Ketika pintu lift terbuka di lantai 14, mereka semua keluar dan menuju ruang kerja masing-masing. “Tuan, rapat akan dimulai dalam satu jam,” ujar Dafina mengingatkan Tristan.Tristan mengangguk dan masuk ke dalam ruangannya tanpa berkata apa-apa.“Stella, tolong berikan dokumen surat perjanjian perusahaan ini kepada Tuan Tristan,” titah Dafina, yang sedang sibuk dengan panggilan telepon.Namun, Stella terdiam sejenak, wanita itu ragu-ragu. Ia tidak ingin bertemu langsung dengan Tristan, terutama setelah malam yang sulit dia lewati. Namun, dengan berat hati,
Stella dan Dafina mencari dokumen tersebut dengan penuh ketegangan. Stella mencari dokumen itu di meja Dafina karena dia masih ingat betul terakhir kali dia meletakkan dokumen tersebut di meja Dafina. Dafina bersedekap dada melihat Stella yang mencari dokumen itu di mejanya.“Bagaimana? Dokumennya tidak ada di mejaku, ‘kan? Sudahlah, kamu tidak perlu menyalahkan orang lain atas kesalahanmu sendiri,” ujar Dafina yang terlihat kesal.“Tapi aku masih ingat jelas, aku meletakkannya di meja kamu,” ungkap Stella.“Daripada kamu mencari di mejaku, lebih baik kamu cari di mejamu sendiri!” kata Dafina dengan nada yang tajam.Setelah mendengar perkataan Dafina, Stella pun berlari ke meja kerjanya untuk mencari dokumen tersebut, wanita yang memiliki tubuh langsing itu mulai mencari dari laci hingga tempat penyimpanan lainnya. Bahkan ia sampai mengeluarkan semua barang yang ada di tasnya, tapi tetap saja dokumen tersebut tidak ditemukan.Setelah Stella tak menemukan keberadaan dokumen itu di meja
Tristan memasuki kantornya pada pagi yang cerah. Sepasang kaki jenjangnya melangkah dengan lebar saat ia berjalan menuju ruang kerjanya. Hari ini, ia mengenakan kemeja putih yang rapi dengan jas warna biru tua yang cocok di badannya. Di pergelangan tangannya, terdapat jam tangan mewah merek Rolex yang menambah kesan elegan pada penampilannya.Sesampainya di depan ruang kerjanya, Tristan melihat Dafina yang sibuk bekerja. “Dafina,” seru Tristan.“Iya, Tuan.” Dengan hormat, Dafina berdiri dan memberikan salam. Tristan mengangguk sebagai balasan dan segera menanyakan tentang dokumen yang dicari.“Dafina, apa kamu sudah menemukan dokumen itu?” tanya Tristan dengan nada yang agak tegang.Dafina menggelengkan kepala dengan wajah yang cemas. “Maaf, Tuan, saya belum menemukan dokumen tersebut. Saya masih mencarinya.”Tristan mengangguk singkat, namun ekspresinya menunjukkan sedikit kekecewaan. “Baiklah, segera temukan dan persiapkan beberapa dokumen untuk rapat hari ini.”Setelah memberi inst
Tristan dengan cepat menggendong Stella ala bridal style dan segera membawanya keluar dari gudang menuju ruangannya. Setiap langkahnya dipenuhi dengan kekhawatiran dan kecemasan akan kondisi Stella. Para karyawan yang melihatnya hanya bisa menatap heran, bertanya-tanya apa yang terjadi dengan Stella.“Tuan!” seru Dafina ketika melihat Tristan menggendong Stella.“Cepat panggil dokter!” perintah Tristan kepada Dafina.Dafina dengan cepat mengangguk. “Baik, Tuan.”“Stella!” Sementara itu, Maya berteriak panik sambil mendekati Tristan dan Stella. “Tuan, apa yang terjadi dengan Stella?” tanyanya dengan suara gemetar.“Dia pingsan. Segera bawa minyak angin ke ruanganku,” titah Tristan kepada Maya.Maya mengangguk. “Baik, Tuan.”Tristan kembali fokus pada tugasnya untuk membawa Stella ke ruangannya. Begitu sampai di sana, dia meletakkan tubuh Stella dengan perlahan di atas sofa.Dengan cepat, Tristan berusaha memeriksa keadaan Stella, memastikan dia tetap bernapas dengan stabil. Hatinya berd
Tristan mencoba menenangkan Stella dari ketakutannya dengan mendekapnya erat dan mengelus lembut rambutnya. Meskipun Stella tidak bisa melihatnya, tapi ia bisa merasakan sentuhan hangat lelaki itu, dan kehadiran Tristan membuatnya merasa lebih aman. “Jangan takut, Stella. Aku di sini bersamamu,” bisik Tristan dengan suara lirih, ia mencoba menenangkan gadis itu. Suara tenang dan penuh kasih dari Tristan mampu meredakan sedikit ketegangan yang dirasakan Stella di tengah ketakutan yang menyelimuti dirinya.Sinar matahari pagi menembus jendela ruangan, menciptakan coretan-coretan cahaya yang menari-nari di lantai. Udara segar dan harum menyejukkan ruangan, memberikan suasana yang tenang meskipun masih tersisa kecemasan dalam hati Stella.Stella memandang keluar jendela, melihat gemerlap cahaya pagi yang menyinari bangunan-bangunan di sekitar kantor mereka. Meskipun alam luar terlihat damai, dalam hatinya masih ada kecemasan akan kejadian di gudang. Dia masih merasakan ketakutan yang mel