Murcia, Spain. “Tolong!” Seorang gadis berlari di lorong gelap di bawah derasnya hujan yang membasahi kota Murcia. Dinginnya malam begitu menusuk, namun nyatanya tidak membuat gadis itu menggigil kedinginan. Hujan turun begitu deras, tapi rasa takut tidak ada sedikit pun pada gadis itu. Dia jauh lebih takut pada dua pria berbadan besar yang mengejarnya. Cipratan air hujan yang ada di tanah mengenai long dress berwarna putih yang dikenakan gadis itu.Kotor. Tidak ada yang bisa lagi digambarkan. Gadis berparas cantik dan berambut merah itu mengenakan long dress berwarna putih yang sudah terkena noda cipratan air hujan yang bercampur dengan tanah di bawah.Dorrr …Suara tembakan yang dilayangkan ke udara menggertak gadis itu untuk berhenti berlari, karena sejatinya dua pria berbadan besar itu masih memberikan sedikit kelonggaran pada gadis itu. Mereka sengaja menggertak agar gadis itu berhenti berlari.Samar-samar suara isak tangis terdengar bercampur dengan guyuran air hujan. Gadis it
Isabel mengendarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan di penthouse milik seorang pria yang menolongnya. Entah, siapa nama pria itu, dia sendiri pun tidak tahu. Ingin bertanya, namun tidak berani.Kaki Isabel melangkah pelan dan hati-hati. Penthouse milik pria yang menolongnya sangatlah mewah dan besar. Segala perabotan tertata begitu rapi sempurna. Desain penataan sangat menyejukan mata.“Nona?” seorang pelayan melangkah menghampiri Isabel yang melamun di ruang tengah.“Ah? Iya?” Isabel membuyarkan lamunannya, ketika menyadari ada yang memanggilnya.Sang pelayan tersenyum sopan. “Nona, Tuan Joseph menunggu Anda di ruang makan.”“Tuan Joseph?” Isabel terdiam sambil mengerutkan keningnya, menatap bingung sang pelayan.“Iya, Tuan Joseph, Nona,” balas sang pelayan lagi.‘Oh, pria yang tadi malam itu namanya Joseph,’ gumam Isabel dalam hati. “Nona, silakan ke ruang makan yang ada di sebelah kiri,” ujar sang pelayan sopan.Isabel mengangguk pelan dan melangkah mengikuti sang pelayan ya
Napas Isabel seakan sesak akibat dipenuhi dengan kata-kata Joseph. Bulu kuduknya sampai merinding ketakutan. Untungnya, dia dilepaskan dan dibiarkan untuk kembali ke kamar sekarang ini.“Ya Tuhan, kenapa aku bodoh sekali?” Isabel menepuk keningnya, merutuki kebodohannya yang langsung masuk kamar, tanpa sama sekali mengetuk pintu.Isabel mondar-mandir tidak jelas di dalam kamarnya. Sungguh, dia tidak menyangka kalau akan melihat adegan seperti tadi. Seumur hidup, dia belum pernah melihat adegan seperti itu.Isabel menghempas tubuhnya ke ranjang dan meraih bantal untuk menutupi wajahnya. Perasaan malu, takut, semuanya campur aduk. Yang dia sesali adalah dirinya harus melihat adegan seperti tadi. Andai saja rasa penasarannya tidak tinggi, pasti dia tidak akan melihat adegan itu.Isabel memaksakan diri untuk memejamkan mata. Meskipun tidak lagi mengantuk, tapi tidak masalah. Yang penting dia memaksa diri untuk tidur, agar esok hari dirinya bisa tenang berhadapan dengan Joseph.Sinar matah
“Gantilah pakaianmu.” Joseph bertitah meminta Isabel mengganti pakaiannya yang sudah basah kuyub, akibat gadis itu tercebur di kolam.Isabel menarik handuk putih yang diberikan oleh Joseph, agar semakin membalut tubuhnya yang kedinginan. “I-iya, Joseph. Terima kasih.”“Kau terlalu banyak mengucapkan terima kasih dan juga minta maaf. Masuklah ke kamarmu. Ganti pakaianmu,” balas Joseph dingin tak ingin dibantah.Isabel mengangguk patuh, lalu melangkah pergi meninggalkan Joseph menuju kamarnya. Namun di kala Joseph hendak ingin menuju kamarnya—langkahnya terhenti melihat Ian—asistennya—datang menghampirinya.“Tuan, Nona itu—” Ian bingung melihat Isabel masuk ke dalam kamar.“Aku membiarkannya tinggal di sini,” jawab Joseph dingin.Ian hendak ingin bertanya lagi, tapi tatapan tajam dari Tuannya membuatnya mengurungkan diri untuk kembali bertanya.“Ada apa kau ke sini, Ian?” tanya Joseph to the point pada sang asisten.“Hm, Tuan. Ayah Anda tadi menghubungi saya. Beliau meminta Anda untuk s
Isabel merasa hidupnya tidak tenang. Benaknya berputar mendengar permintaan gila Joseph. Kata-kata Joseph layaknya ucapan menyejukan, namun memiliki makna menusuk hingga membuatnya merinding ketakutan. Napas Isabel terengah-engah akibat rasa takut sudah menyelimutinya.Permintaan bentuk balas budi membuat Isabel seakan ingin berhenti bernapas. Sungguh, permintaan Joseph benar-benar membuat Isabel ingin terjun bebas dari penthouse megah ini.Joseph adalah pria yang baru Isabel temui. Bahkan bisa dikatakan dalam seumur hidupnya, belum pernah dia dekat dengan seorang pria, seperti dirinya dekat dengan Joseph.Akan tetapi, satu hal yang Isabel tidak lupa adalah Joseph banyak menolongnya, termasuk menolongnya dari ambang kematian. Jika waktu itu Joseph tidak membawanya pergi, maka sudah pasti hidup Isabel akan berakhir tragis.“Isabel tidurlah. Ucapan Joseph tadi pasti omong kosong.” Isabel menarik selimut, menutup rapat wajahnya dengan selimut tebal itu. Joseph telah pergi meninggalkan I
“Siapa Aubree?”Pertanyaan pertama yang Isabel tanyakan di kala dirinya dan Joseph berada di ruang makan. Setelah Nathan pergi, mereka memutuskan untuk makan bersama, karena Joseph merasa lapar. Efek marah-marah sepertinya yang memicu Joseph menjadi lapar.Joseph yang tengah makan steak menghentikan makannya mendengar pertanyaan Isabel. “Aubree adalah istri kakaku.”Isabel terdiam sebentar. “Hm, Joseph … kenapa tadi kau bilang pada kakakmu kalau aku adalah kekasihmu?” tanyanya pelan dan hati-hati. Ini pertanyaan yang sejak tadi Isabel tahan-tahan.Joseph mengambil wine yang ada di atas meja, dan meminum wine itu perlahan. “Kalau aku mengatakan kau adalah temanku, maka dia tidak akan percaya. Aku malas untuk menjelaskan banyak hal padanya. Aku paling tidak suka ada orang yang ikut campur dengan urusan pribadiku.”Isabel mengangguk paham.“Kau keberatan kalau aku mengatakan kau sebagai kekasihku?” Joseph menatap Isabel, menunggu jawaban gadis itu.Isabel menggeleng cepat. “T-tidak seper
Isabel menatap cincin dan kalung milik mendiang ibunya yang tadi diberikan oleh pelayannya. Tampak jelas raut wajah Isabel menunjukkan kerapuhan dan kesedihan di kala melihat cincin dan kalung milik mendiang ibunya.Kepingan memori Isabel teringat tentang mendiang ibunya. Air mata Isabel pun berlinang jatuh membasahi pipinya, mengingat kenangan manis ketika ibunya masih ada di dunia ini.Isabel sangatlah merindukan ibunya. Jika ada mesin waktu yang Isabel inginkan adalah membuat ibunya kembali ada di dunia ini. Setiap kali gadis itu mengingat kenangan itu pastinya dia akan sedih dan sesak.“Nona?” Seorang pelayan mengetuk pintu kamar Isabel.Isabel sedikit tersentak karena pelayan itu menyerukan memanggil namanya. Detik itu juga Isabel menyimpan cincin dan kalung mendiang ibunya ke tempat semula—lalu dia bangkit berdiri—melangkah menghampiri pintu kamarnya—dan membuka pintu kamarnya perlahan.“Iya?” Isabel menatap sang pelayan yang ada di hadapannya.“Nona Isabel, saya akan mememasak
Tubuh Isabel bergerak-gerak. Peluh membanjiri seluruh tubuhnya. Gadis itu seperti tenggelam dalam mimpi buruknya hingga membuatnya sulit membuka mata, akibat mimpi buruknya itu seakan mencekam raganya untuk tidaklah sadar.“Tidak!!” Isabel terbangun dengan napas terengah-engah. Keringat semakin membanjiri tubuhnya. Dia mengendarkan pandangannya—melihat dirinya berada di kamarnya.Isabel terdiam sebentar menatap ke sekitarnya. Ya, kepingan memorinya teringat bahwa dia masih berada di penthouse Joseph. Untungnya malam itu, Joseph menyelamatkannya. Jika tidak, entah bagaimana dengan kehidupannya. Isabel mengambil tisu menyeka keringatnya menggunakan tisu itu. Lantas, dia melihat ke jam dinding—waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Sekujur tubuhnya benar-benar terasa lelah akibat mimpi buruk yang dideritanya.Isabel berusaha mengatur napasnya di tengah-tengah rasa cemas menyelimutinya. “Lebih baik aku berendam saja.” Isabel bergumam ingin berendam malam-malam, demi menenangkan pikiran y