Seketika Morgan langsung teringat dengan adegan pemerkosaan di film layar lebar antara perampok dan juga gadis cantik. Sekarang Morgan berada di posisi itu.
Dia melihat tubuh mulus yang sedang terbaring di hadapannya. Siap untuk disantap.
Morgan terlupa dengan tujuan awal. Kemolekan gadis itu sangat aduhai. Jika dibandingkan dengan Jihan jelas jauh. Dia bisa menebak kalau gadis itu masih virgin. Tidak ada tangan liar yang menjamah tubuh yang masih ranum nan kencang itu, kecuali ayah tirinya yang mungkin berusaha untuk menodainya.
Morgan mendekat. Dari balik dinding kaca, dia bisa melihat dengan jelas. Gadis itu tengah menggeliat dengan gelisah di sela Isak tangisnya. Morgan tercenung, tapi itu yang membuat dirinya tidak berhenti menjilat bibir.
Karena terlalu fokus, Morgan kehilangan keseimbangannya. Kepalanya kepentok dengan Dinding kaca.
"Siapa itu?" teriak gadis itu. Cepat-cepat Morgan bersembunyi di balik dinding. Tidak usah ditanya Jantungnya
Morgan sudah merenggut kesucian gadis itu? Hal yang pantang dia lakukan selama ini.Sebrengsek-brengseknya Morgan, dia tidak mau menjamah gadis yang masih virgin. Berani merusaknya berani juga bertanggung jawab. Sama halnya dengan Jihan, Pada awalnya Morgan enggan untuk merenggutnya, tapi karena terikat dengan komitmen ke pernikahan. Jihan rela melepas keperawanannya kepada Morgan.Selama ini, semua wanita yang dia jejaki sudah tidak perawan. Mereka dengan senang hati memberikan tubuhnya kepada Morgan. Melakukannya suka sama suka. Morgan sangat menjaga untuk tidak menodai yang masih segel. Menghormati wanita suci yang menjaga kehormatannya.Dan sekarang, Morgan berani-beraninya menggagahi gadis itu. Bahkan, benihnya menyembur deras di dalam sana yang akan menghasilkan kehidupan baru.Untuk sesaat Morgan termenung. Cukup lama sampai dia tersadar tujuan awalnya datang ke sini."Bodoh! Apa yang aku lakukan! harusnya aku merampok bukannya berdiam diri,
Harapan tidak sesuai dengan kenyataan, begitulah yang dialami Morgan sekarang.Tatkala sampai di kosannya Jihan, dia dibuat terkejut karena berpas-pasan dengan keluarga Jihan yang membawa Jihan ke sebuah mobil."Selamat malam, Bapak, Ibu, Bang," sapa Morgan ramah, tapi sama seperti sebelumnya, perlakuan keluarga itu selalu tidak mengenakan hatinya. Sinis dan memandang rendah."Wah, ada gembel datang nih," celetuk Rory, Abang Jihan. Penampilannya bisa dibilang trendy, meski tidak terlalu tampan."Mau ngapain kamu malam-malam ke sini hah?" Kali ini Benny, ayah Jihan yang berbicara. Dari balik kaca matanya plus nya, dia menyoroti tubuh kekar berbalut baju biasa seperti melecehkan.Morgan menghela nafas. Dia tahu kalau sampai kapanpun keberadaannya akan sulit diterima di keluarga ini. Namun, dia yakin kalau iktikad baiknya bisa meluluhkan hati mereka."Ada kabar baik yang ingin saya sampaikan. Saya siap untuk mempersunting anak bapak."Me
Morgan berjalan ke kamar kosnya dengan langkah lunglai. Tipikal orang seperti Morgan kalau stress berat biasanya larinya ke diskotik. Bergumul dengan banyak wanita dan minuman keras. Sayangnya kebiasaan itu sudah jauh Morgan tinggalkan.Pintu kamar terbuka. Kepalanya semakin pusing saat melihat kamarnya yang berantakan gara-gara ulahnya tadi."Bisa-bisanya tasku raib begitu saja. Awas saja kalau sampai ketemu pencurinya, aku akan membuat perhitungan dengannya,"Tepat ketika dia mengatakan itu tiba-tiba tubuhnya didorong. Morgan terjengkang sampai tersungkur di atas lantai. Morgan langsung membalikan badan hendak marah.Namun, dia menahan diri saat melihat pria sangar yang menyunggingkan senyum kecut. Pria itu bertubuh sedang. Menggunakan jaket kulit biasa. dahinya terdapat bekas luka, menandakan kerasnya kehidupannya di jalanan.Di belakangnya ada dua anak buahnya yang bertumbuh tinggi gempal. Sekalipun secara penampilan mereka lebih besar nyatanya
Dengan perbekalan seadanya, Morgan bersiap untuk pergi, tapi di depan pintu dia dihadang oleh Santo, pemilik bengkel di mana dia bekerja."Sudah jam berapa ini? Kamu niat kerja enggak sih?""Maaf Bos, saya kesiangan," sahut Morgan sekenanya. Padahal, tinggal sedikit lagi dia kabur menjauh dari kota itu, tapi langkahnya terhambat oleh bosnya yang tiba-tiba datang."Bawa tas segala? Jangan bilang kamu mau kabur. hutangmu kepadaku belum lunas," sergah Santo. Morgan tidak berkutik. Kalau dia memaksakan kabur, dia tahu resiko yang dihadapi. Bosnya yang terkenal bar-bar itu sudah siap dengan parang yang selalu dia bawa ke mana-mana."Enggak, Bos." Morgan mendesah. Tidak ada pilihan lain selain bekerja kembali hari ini. Dia meletakan tasnya. Kemudian mengikuti bosnya ke bengkel.Perasaan was-was menghantui. Sepanjang jalan ke bengkel, dia merasa banyak pasang mata yang memperhatikannya. Was-was kalau ada diantara mereka polisi yang akan menyergapnya. Kala
"Bang, keluar yuk. Rani pengen belanja." "Iya nih, Wulan juga Bang. Bosen di rumah terus," timpal yang lain. Dari nada bicaranya yang manja, jelas sekali hubungannya dengan Anton. Morgan mengumpat dalam hati. Mujur sekali jadi Anton, punya istri muda-muda, cantik lagi."Sebentar ya, Abang urus dulu si 'peliharaan' kita satu ini."'Sialan! Emangnya gua anjing?' umpat Morgan yang tertahan di dalam hati.Dua pasang mata wanita itu langsung teralih ke sosok besar dan kekar yang sedang duduk di kursi seberang. Pandangan mereka sedikit meremehkan."Siapa ini Bang?" tanya Rani"Dia adalah buronan polisi, tapi aku minta dia tinggal di sini menjadi pembantu.""Abang kok menyembunyikan buronan di sini sih? kalau ketahuan polisi bagaimana?" imbuh Wulan.Anton terkekeh, "Mana ada polisi yang berani menggugat ku, Sayang. lagipula enggak akan ketahuan kecuali kalau kita menyerahkannya, bukankah begitu anak muda?"Wajah Morgan memanas.
"Ah, bisa saja kamu. Emangnya kamu tidak takut dengan suami saya?" "Emangnya suami Mbak siapa?" "Anton."Morgan diam. Dia terlalu gegabah karena menggoda Dewi yang dia sangka sebagai pembantu di rumah ini. Nyatanya dia adalah istri Anton. Tapi kenapa Anton memperlakukannya seperti pembantu. Bahkan, Dewi sekarang berada di kamar pembantu."Saya tidak punya maksud apa-apa kok, cuma ingin menghibur Mbak saja." Morgan berkelit. Dia sudah sangat menguasai situasi seperti ini. Meski adrenalinnya terpacu karena salah mangsa.Tiba-tiba, Dewi menubruk tubuh kekar Morgan dan memeluknya erat. Tangis berderai di sana yang entah kenapa suara isakannya sangat mirip dengan desahan. Begitu Merdu."Morgan, seandainya suami saya seperti kamu. Alangkah bahagianya saya," bisiknya. Wanita itu tidak menyadari kalau 'adik' Morgan mengeras. Tubuh aduhai yang selalu menjadi bayangan Morgan sekarang menempel ketat dengannya.Sebagai lelaki normal yang suka tanta
"Bang, ngapain di kamar 'pembantu'!" teriak Rani di ambang pintu. Dia berkacak pinggang sambil melihat sinis ke arah Dewi. Gayanya sudah kayak pelakor kelas kakap."E-enggak Sayang." Anton tidak jadi memeriksa isi kolong. Morgan bisa bernafas dengan lega."Kan Rani sudah sering bilang. Jangan pernah masuk apalagi berhubungan dengan 'pembantu' ini. Kenapa masih bandel saja sih!" cerocos Rani yang seakan menginginkan perhatian penuh dari Anton. Wataknya manja dan mendominasi, membuat Morgan gemas ingin 'memojokkan' nya sampai meminta ampun."Ya sudah, maafkan Abang. yuk kita keluar dari sini," ujar Anton dengan suara lembut sambil merangkul pundaknya. Tidak memikirkan perasaan Dewi yang kacau balau pada saat itu.Setelah memastikan keadaan aman, Morgan menggeser tubuhnya keluar. Meraih bajunya yang langsung membungkus tubuh kekarnya. Sekalipun sudah tertutup, cetakan sexy-nya masih jelas te
Tibalah malam hari.Sedikit demi sedikit, rooftop sudah dipenuhi oleh para anggota preman. Masing-masing dari mereka membawa wanita malam. Tak terkecuali Anton bersama dengan Wulan dan Rani. Morgan menduga kalau kedua wanita itu sebenernya juga berasal dari pelacuran. Hanya saja lebih eklusif sehingga Anton mau memperistri mereka."Minggu ini luar biasa. Pendapatan kita begitu besar. Kita harus merayakannya sampai pagi!" Anton membuka acara diiringi gemuruh suara bapak-bapak yang menyambutnya antusias. Mereka adalah preman yang memegang lokasi berbeda di kota ini.Sebagian pendapatan mereka setorkan kepada Anton sebagai 'jenderal'-nya preman. Anton tentu tidak ingin menghabiskannya seorang diri. Sebagai pemimpin yang disegani, dia juga menghargai kerja keras anak buahnya dengan melakukan pesta semacam ini.Sementara Morgan terlihat keteteran. Betapa tidak! dia harus melayani empat puluh meja seorang diri."Mana minumannya? lama sekali!" g