Bersama Aliosa dan dua sepupunya yang lain, Elis dan Erik (anak kembar Saphira yang masih duduk di bangku kelas tiga), Raesaka duduk di pinggiran kolam, memancing ikan mujair. Ikan-ikan itu digoreng, menjadi lauk pelengkap nasi liwet untuk makan siang. Di bawah siang yang terik, wangi-wangi hangat bawang, kencur, dan cabai rawit memenuhi udara di sekitar dapur.Raesaka ingin sekali menikmati nasi liwet-nya sambil duduk di balai-balai luar samping dapur, tetapi tempat itu hanya boleh digunakan oleh tukang kebun dan dua asisten rumah tangga. Neneknya akan melarangnya makan di sana. Walau begitu, neneknya tidak sepenuhnya kaku. Neneknya sangat suka menyimak obrolan cucu-cucunya sambil makan, mau itu cerita sedih atau pengalaman konyol sekali pun. Ketika Aliosa, Elis dan Erik menghabiskan puding-puding dingin di ruang tengah sembari menonton televisi, Raesaka dan neneknya masih ada di dapur, mengobrol.“Ibu kamu menikah delapan bulan setelah Kakek meninggal,” cerita neneknya. Jemarinya
Dinaungi suasana cafe yang riuh rendah, keduanya duduk berseberangan, dan terlihat sangat asing. Arumi, yang selalu berusaha menghindari pandangan Raesaka, hanya makan sedikit dan tidak berbicara banyak—ia bahkan tidak ceria seperti biasanya. Kadang-kadang, gadis itu tampak tidak nyaman dengan kursi yang didudukinya, berkali-kali menunduk, seakan-akan ia sedang dalam keadaan waspada karena takut jatuh dari lantai dua. Dia menjadi agak kikuk dan kehilangan fokus.“Kamu sakit, Rum?” tanya Raesaka, curiga.“Hah?” Kali ini Arumi mengangkat kepalanya, menatap Raesaka sambil menyematkan rambutnya ke belakang telinga, lalu menunduk dan mengerutkan kening. “Oh... enggak kok.”“Terus, kenapa makannya enggak dihabisin? Kamu suka zuppa zoup ‘kan?” Pandangan Raesaka terus tertuju pada Arumi.“Tadi.. sebenernya, aku udah makan di rumah, jadi aku...” Tiba-tiba Arumi mengangkat tangannya, menutupi mulutnya sendiri, dan menatap Raesaka selama beberapa detik, lalu berpaling. Masih sambil menutupi mulu
“Ibu pernah baca buku bagus—Ibu lupa judul bukunya apa,” kata Marsala di pagi hari. “Buku itu bercerita tentang seseorang yang mencari harta karun hingga ke pelosok negeri. Dia bertemu berbagai macam orang, salah satunya orang pintar dan bijak yang dikira penyihir oleh warga sekitar. Setelah berkelana panjang dan lama, apa yang dicarinya selama ini rupanya terkubur di halaman rumahnya sendiri. Ah, Ibu ingin baca buku itu sekali lagi. Andai aja Ibu ingat judul bukunya, mungkin bisa kamu carikan suatu hari.” “Terus, apa yang mau Ibu sampaikan?”“Nah, kesimpulan dari cerita itu adalah sering kali apa yang kita cari sesungguhnya sudah ada di dekat kita.”“Apa Ibu bertemu Ayah seperti itu juga? Tiba-tiba dia muncul di halaman depan rumah?” tanya Raesaka, yang kemudian terpana mendengar tawa ibunya gara-gara candaannya, tapi ibunya hanya tertawa, tidak membicarakan suaminya.* * *Air kran membasuh wajahnya beberapa kali. Di depan cermin, titik-titik air mengalir di pipi dan dagunya
“Pantas wajahmu familiar. Ternyata kamu anaknya Marsala,” kata Maruk. “Firasatku benar, kita pasti bertemu lagi.”Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Bangkawara merupakan tempat binaan bagi para narapidana yang melakukan tindak pidana khusus. Lapas itu terletak di atas daratan berbentuk lingkaran yang berada di tengah danau besar. Jika dilihat dari langit, penampakannya mirip sebuah mata yang memandang ke atas, berwarna hijau kebiru-biruan, berkilauan tersorot matahari—seperti mata Maruk, yang memandangnya tajam hampir tidak berkedip.Berbalut baju tahanan, Maruk duduk di kursi kayu. Kedua tangan dan kakinya diborgol, yang rantai borgolnya terkunci pada lantai di bawahnya. Rambutnya yang indah sudah dicukur habis sampai licin. Namun, ia tidak kehilangan karisma, ketampanannya, serta auranya yang agak.. buruk, yang menggertak Raesaka dalam hening, supaya ia segera menyudahi percakapan ini.“Gimana kamu bisa mengenal ibu saya?” tanya Raesaka usai menyalakan aplikasi perekam di ponselnya.
Cahaya meredup saat Raesaka membalas tatapan Nawasena.Warna merah merambat di permukaan kulit pimpinannya yang agak berkeringat. Bibirnya terkatup, rahangnya menegang, dan pipinya berdenyut-denyut, sementara kedua tangannya berada di pinggang. Lima belas menit yang lalu, ia memarahi Raesaka habis-habisan, karena mengetahui Raesaka membuat surat keterangan sakit palsu dan memalsukan tanda tangannya pada surat tugas yang disusunnya sendiri, demi pergi ke Bangkawara. Ia ingin sekali mengatakan betapa muaknya ia pada urusan Sindukala, namun suara Maruk yang keluar dari rekaman ponsel Raesaka, memaksanya diam dan menyimak.“....kami menghabisinya.” Suara khas Maruk memantul pada dinding ruangan.“...setelah Rahinakala tewas, kami menghapus perkaranya seolah-olah itu enggak pernah ada sejak awal...”“Kuburan ayahmu bukan di Sadajiwa, melainkan di Samara. Kami menguburnya di sana.”Raesaka, yang juga tidak mau berpaling dari Nawasena, mendengar rekaman itu dengan jantung berdebar. Bunyi
“Tempurung lutut kirinya pecah akibat dipukul benda tumpul. Dia juga mengalami luka-luka di bagian dada, wajah, dan kepala. Yang paling fatal di kepala. Tengkoraknya retak karena dibenturkan pada sesuatu, berkali-kali.” “Enggak ada jejak penyakit kanker tulang ‘kan?”“Kalau orang yang mengidap kanker tulang, biasanya tulang-tulangnya akan memiliki tekstur kasar seperti ditumbuhi duri, tetapi ini enggak sama sekali.”Raesaka mengingat kembali penjelasan dokter forensik tentang penyebab kematian Sindukala saat ia memandang tanah dan pusara ayahnya di bawah pohon kersen rumah ibunya. Hanya ditemani Sarbini, Sadeli, Ketua RT dan seorang ustadz, Raesaka mengikuti upacara kematian ayahnya. Walaupun sedih, hatinya kini (setengah) lega; ayahnya sudah dimakamkan di tempat selayaknya, dan menggunakan kain kafan yang baru.“Kalau tanah ini dijual, Anda harus memindahkan makam ini,” ujar Ketua RT.Raesaka melirik ke bawah, menggeleng samar dan berkata, “Saya enggak harus memikirkan itu sekaran
“Nenek minta maaf atas segalanya, tapi ada satu hal yang ingin Nenek sampaikan, bahwa secara pribadi, Nenek masih menganggap ibu kamu itu hanya mencintai suaminya, dan enggak pernah mempedulikan kamu. Kalau memang dia selama ini sayang sama kamu, Re, semestinya dia mampu dan kuat, layaknya para ibu yang lain. Dia bahkan mengurus kamu pun enggak mau, apalagi memperjuangkan kamu.” “Nenek bicara seolah kelahiran Rae itu suatu kesalahan.”Awan-awanan berwarna merah jingga berarak pelan di atas puncak pegunungan yang mengelilingi tanah kosong yang luas. Melalui jendela, Raesaka memperhatikan refleksi cahaya-cahaya lampu di permukaan kolam besar yang dipenuhi daun-daun teratai. Ada sebuah jalan setapak yang membelah kolam itu, yaitu jalan menuju rumah ibunya yang bercat putih, dan jauh lebih sederhana dengan jendela-jendela besar di setiap sisinya. Ada sebuah makam di halaman depan rumah itu, yang dikelilingi bunga-bunga kacapiring dan satu pohon kamboja. Makam itu, yang kini diketahui
Raesaka berdiri di makam palsu itu, memandang nisannya yang bertuliskan nama Sindukala, dan berpikir mungkin ada sesuatu yang disembunyikan ibunya di bawah sana.Rumah ibunya membuat Raesaka bernostalgia, tapi rasanya aneh. Wangi kacapiring bercampur aroma khas Narwastu dan Niskala menari-nari di udara saat Raesaka berjalan menelusuri lorong pendek. Sebagian besar foto masa kanak-kanaknya terpajang di sepanjang dinding lorong, yang kemudian membawanya ke ruangan luas berwarna putih.Cahaya matahari dan angin di jam sembilan, mengalir masuk melalui jendela-jendela besar. Lukisan-lukisan, easel dan peralatan lukis, kertas dan kanvas, serta mesin fotocopy dan benda lainnya yang ada di sana, mengingatkan Raesaka pada Galeri Gardenia sekaligus rumah ibunya dan rumah neneknya.Ibunya sudah duduk di atas permadani merah di depan meja berkaki pendek. Ia memakai kaos hitam polos dan jeans overall yang kotor terkena cat. Rambut ikalnya tidak lagi panjang, melainkan pendek di atas bahu. Matanya