Melayat Setelah Dilayat

Melayat Setelah Dilayat

By:  Anum  Ongoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel12goodnovel
9
7 ratings
40Chapters
16.7Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

Ira, gadis polos yang tak mengerti sama sekali mengenai tradisi yang menjamur dalam lingkungannya. Ibarat suatu peraturan tak tertulis yang harus diketahui dan ditaati oleh semua kalangan. Pikirannya menolak mengikuti namun dirinya tak kuasa memberontak. Sampai suatu ketika dirinya mengalami kejadian yang membantah semua tradisi itu menjadi hanya mitos belaka. Banyak fakta-fakta baru yang ia temui setelahnya. Bagaimanakah perjalanan Ira menyadarkan lingkungannya? Ikuti ceritanya dalam novel berjudul, "Melayat Setelah Dilayat", karya Anum.

View More
Melayat Setelah Dilayat Novels Online Free PDF Download

Latest chapter

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments
user avatar
Zhu Phi
Mampir yuk Rumah Kosong di Dusun Angker
2022-06-08 17:03:10
0
default avatar
merrysinaga00690
Update donk
2022-01-06 15:45:05
0
user avatar
Anum
Penyemangat
2021-10-23 23:58:07
2
user avatar
Fraghesia
Serem nih wihh update terus kak
2021-09-18 17:50:44
2
user avatar
Anum
Baca baca baca
2021-09-18 06:54:35
0
user avatar
Anum
Ayo baca dong. Bantuin
2021-09-18 06:52:40
0
user avatar
Nanang Permana
mana update terbaru nya,udah sebulan lebih ga update update,parah....
2022-04-05 13:08:19
0
40 Chapters
Tradisi
  "Innalillahi wainna ilaihi rojiun .... Telah pulang ke rahmatullah nama, Bapak ...."  Berita duka terdengar lagi dari toa masjid, mengehentikan sejenek aktifitas para warga yang sedang melayat di rumah Bu Darsih. "Innalillahi ... ada yang meninggal lagi, tuh kan, gak nurut sih kalau dibilang orang tua. Jadi beruntun 'kan yang meninggal," Bu Naji memulai pembicaraan setelah siaran usai. Sudah menjadi kebiasaan, wanita bertubuh subur itu selalu eksis di manapun tempatnya. Bahkan di rumah duka sekalipun. "Iya, Bu Naji. Kok bisa beneran, ya. Kalau kayak gini terus bisa habis warga kita," jawab Bu Nia antusias. Di mana ada Bu Naji disitulah Bu Nia. Simbiosis mutualisme yang membuat keduanya saling tertaut. Bu Naji yang aktif dan ember akan semua berita di sekitar dan Bu Nia yang selalu kepo pada semua hal. "Gak nurut dibilangin apa, Bu? Emang siapa?" sahut Bu Sita yang baru datang. "Ituloh, Bu. Anak itu, tadi udah dikasih tahu s
Read more
Ada Apa
"Assalamualaikum!" Ucap orang tersebut."B-bu Naji, eh, waalaikumussalam. Mari masuk, Bu," jawab Ira terbata di tengah keterkejutannya."Dah, gausah ribet! Ini ada sumbangan dari warga buat acara tujuh harian bapak kamu," tuturnya sambil mengulurkan sekantong plastik uang receh dan lembaran."Baru terkumpul tadi pagi, soalnya kemaren-kemaren saya masih sibuk ngurus ini itu. Kamu masih belom belanja keperluan acaranya, kan?" lanjutnya.Ira menggeleng sambil tersenyum. Dia mengambil kantong kresek tersebut dengan berkali-kali mengucapkan terima kasih. Ira tahu, sumbangan ini adalah inisiatif Bu Naji yang memang selalu peduli pada orang-orang miskin sepertinya. Bu Naji akan mengambil sumbangan dari rumah ke rumah saat ada warga kurang mampu yang tertimpa musibah, seikhlasnya.  Dari sepeninggal Bapaknya, Ira resmi menjadi gadis sebatang kara karena Ibunya sudah tiada sejak dia kecil. Maka dari itu, untuk acara tahlil bapaknya selama lima hari ini
Read more
Pamit
P.O.V IraHari yang melelahkan, dari pagi buta Bu Naji mengajakku ke pasar untuk berbelanja keperluan tahlil tujuh harinya Bapak. Beliau bilang tidak akan kebagian apapun di pasar jika berangkat terlalu siang. Saat kami sampai rumah, sudah banyak ibu-ibu yang bersiap rewang (membantu memasak). Entah siapa yang menyuruh mereka datang, yang jelas tak ada satupun yang pulang sebelum semua urusan dapur usai. Tak terbayang olehku jika saja tak ada seseorang sebaik Bu Naji yang mau membantuku mengurus acara ini satupun. Pasti acara ini tak akan terselenggara. Meski siang tadi Bu Naji sempat kesal padaku lantaran aku lupa melaksanakan pesannya untuk memisahkan beras lawatan di hari pertama dengan hari berikutnya, tapi Beliau tetap mau mengurus tetek bengek acara ini dengan paripurna. Sampai adzan isya' berkumandang, aku bergegas menuju kamar untuk salat dan bersiap-siap mengikuti tahlil, meski dari dalam rumah. Kulihat Pak RT sudah mengambil pe
Read more
Teman Bapak
Kalau tidak salah, teman bapak yang dulu sering mengunjungi keluarga kami.Ah, iya benar, aku ingat. Wajahnya persis. Hanya saja dihadapanku saat ini versi tuanya, kulitnya lebih berkeriput, tubuhnya pun tak segagah dulu."Ada yang mau saya bicarakan," lanjutnya.Aku mempersilahkan Pak Warjo duduk di teras rumah setelah sebelumnya aku menyetujui ajakannya untuk berbincang di rumahku. Beliau menolak untuk masuk, "Bukan mahram, tak baik," katanya. Ya, namanya Pak Warjo, teman Bapak. "War," begitulah Bapak memanggilnya. Aku sedikit mengingat wajahnya karena terakhir kali bertemu saat acara pemakaman Ibu, saat aku kelas empat SD. Seingatku Bapak sempat bersitegang di pemakaman dengan Beliau ini waktu itu. Aku yang saat itu masih kecil tak mengerti apa yang mereka ributkan, meski mendengar dengan jelas ucapan yang mereka lontarkan. Sejak saat itu, tak pernah lagi ku jumpai Pak War ini berkunjung ke rumah kami hingga saat ini."Gausah repot-repot Ndu
Read more
Lelaki Itu
"Mungkin apa, Pak?" Tanyaku tak sabar."Mungkin sengaja ditabung untuk masa depanmu. Bisa jadi, kan?" Pak Tar meringis setelahnya."Kamu ingat, dulu setiap kamu liburan semester saat ibumu masih hidup, bapak pasti kesini. Ya untuk itu, bagi hasil. Nah, waktu kamu udah sekolah itu, pas jaya-jayanya rumah makan kita, jadi lumayan banyak emas batangan yang diterima bapakmu. Gak mungkin habis buat makan kan, kalau katamu kalian gak pernah hidup mewah?". Aku membenarkan ucapan Pak War. Seperti tidak mungkin memang. "Apa kamu ndak pernah diajak Bapakmu ke bank atau tempat apa gitu yang buat nabung-nabung emas?" Selidiknya lagi.Pertanyaan Pak War kali ini membuatku mengerutkan kening mengingat-ingat kebersamaanku bersama Bapak. Benar, Beliau memang selalu datang dan mengajakku sekeluarga berlibur saat liburan sekolah tiba. Tapi mengenai tabungan emas, aku benar-benar tak tahu. Aku masih terlalu kecil saat itu. Apa mungkin Bapak ngojek itu cuma pura-pura?
Read more
Pasar
Dia adalah Aryo, anaknya Bu Naji. Bagaimana aku bisa lupa, ya, pada kakak kelasku yang baik hati itu, dasar aku!"Hayo! Ngapain?!"Aku berjingkat kaget. Ternyata ada Bu RT dibelakangku, dia menenteng barang belanjaan, sepertinya terhalang jalannya olehku yang diam agak lama di sini. Hihi."Eh, itu, Bu, lihat Pak War," gugupku."Pak War yang muda apa yang tua? Haha," goda Bu RT sambil berjalan terbahak melewatiku menuju rumahnya yang bersebelahan dengan Bu Naji.Ih, beneran yang muda kok, Bu. Eh.Sebenarnya ingin ketemu Pak War sih, pengin tau lebih banyak hal. Tapi sekarang gak tepat, besok-besok saja jika aku luang.***Hari ini rencananya aku akan ke pasar menjual sembako lawatan untuk bertahan hidup. Setelah kupikir, lebih baik mengikuti saran Mpok Siti kemaren supaya lekas terjual, keburu ngapang (menjamur) juga sembakonya. Nanti sekalian mau cari  lowongan kerja di toko pasar. Siapa tahu ada yang butuh tenagaku menjaga to
Read more
Berita Mengejutkan
Nampak Bu Naji menenteng belanjaan dua kantong kresek merah besar baru mendudukkan diri di kursi kayu sampingku."Buk, saya bungkusin seperti biasa," ujarnya pada pemilik warung. Tanpa bertanya apapun, wanita yang baru saja berbincang denganku itu menuju bagian belakang warungnya. Sepertinya Bu Naji sudah langganan di sini."Bawa apa kamu itu, Ra?""Ini, mie kuning, Bu."Bu Naji terkekeh sebelum menjawab, "Lawatan? Mau jual buat makan, ya?" Ejeknya agak keras sambil mencomot gorengan yang tertata apik di hadapan.Aku malu pada pelanggan lain yang seolah menatapku prihatin. Kenapa ketemu di sini, sih! Nanyanya juga gak pakai kira-kira lagi. Tetanggaku yang satu ini memang ajaib, kadang seperti malaikat, membantu tanpa pamrih kadang juga kayak gini ini, pengin tak sleding, hih! Aku hanya menanggapi pertanyaan Bu Naji dengan anggukkan kepala yang kutundukkan dalam-dalam setelahnya untuk menutupi rasa maluku."Mangkannya, Ra, Ibu ny
Read more
Wajah Dalam Tumpukan Map
"Ya Allah .... " gumamku dengan dada yang terasa sesak seperti ada ribuan benda yang menghimpit.Entah mengapa, ada rasa sesal dan kecewa yang sangat mendominasi di hatiku. Mengapa secepat ini? Bukankah banyak hal yang masih belum kutanyakan?.Segera kuletakkan kembali kotak-kotak ini dan mengunci pintu lemari Bapak. Biarlah baju-baju ini berserak dulu, aku akan ke rumah Bu Naji sebentar. Jika melayat tidak dibolehkan, ya sudah aku kesana tanpa membawa lawatan. Biasanya jika di hari pertama begini banyak orang yang masih menanyakan kronologi kematiannya. Aku juga ingin tahu kenapa mendadak seperti ini.Di luar kulihat Bu Nia dan Bu Sita berjalan beriringan menuju arah rumah Bu Naji. Santai sekali mereka, pikirku. Mereka berjalan sambil mengobrol dan sesekali tertawa lepas. Aku mempercepat langkah agar segera sampai."Kenapa di kubur sini ya Bu? Kan rumahnya di kota." Ku dengar Bu Sita bertanya pada Bu Nia. Terdengar jelas karena posisiku mengekor
Read more
Ada Apa
Dua orang yang sangat kukenal. Pria yang sangat kucintai, kuhormati dan kurindukan saat ini. Dan wanita itu, Ibu, kah? Sepertinya bukan. Lebih mirip Bu Naji. Bapak dan Bu Naji. Ada yang terasa perih saat melihat potret ini meski kutahu pasti, foto ini diambil ketika mereka masih lajang. Bukankah bapak pernah bilang kalau ibu dan Bu Naji itu bersahabat baik? Lantas apa maksudnya ini?Hei, tidak!Lihatlah, perut Bu Naji sedikit membuncit seperti ... orang hamil!Kuamati setiap inchi tubuh wanita tersebut. Benar! Ini Bu Naji yang tengah hamil. "Sebelas sebelas delapan tujuh," gumamku mengeja angka di belakang foto ini. Itu berarti 6 tahun sebelum aku dilahirkan. Bukankah Ibu, yang asli orang sini? Setauku bapak adalah perantau dari pulau sebrang yang menetap di sini setelah menikahi Ibu. Sebelum itu beliau mengontrak di kota. Tapi kenapa bisa foto ini diambil sebelum bapak tinggal di sini? Apa mungkin ada kejadian lain yang di maksud oleh ta
Read more
Kantor Polisi
"Kami tidak mungkin menjelaskan kasus dalam keramaian seperti ini. Baiknya saudari Ira langsung ikut kami ke kantor."Kami berempat akhirnya mengekori dua polisi ini menuju mobil ke kantor polisi. Bu Nia menolak untuk ikut, silakan dipanggil jika dibutuhkan saja, katanya.Hening. Tak ada percakapan sama sekali dalam perjalanan kami, hanya sesekali isakan Bu Naji terdengar."Mari Pak, Bu, silakan duduk," tutur salah satu polisi ketika kami sudah masuk salah satu ruangan.Pak RT memberi isyarat padaku untuk duduk di sebelahnya. Sedang istrinya berada di belakang kami bersama Bu Naji."Jadi, saya akan jelaskan keseluruhan kasus ini secara global terlebih dahulu. Nanti akan ada pengambilan keterangan dari setiap personal untuk mendapat keterangan detilnya, jadi mohon disimak dengan baik. Begini,"Ku lihat Pak polisi di depanku mengambil napas dalam-dalam dan memperbaiki posisi duduknya terlebih dahulu sebelum mulai menjelaskan. Dia membaca sekil
Read more
DMCA.com Protection Status