Selepas mendapatkan pusaka, lantas semakin menyelam menuju ke kedalaman air. Arga sudah lama berubah pikiran, Alih-alih meminta kepunyaan milik Raja. Jika di berikan kesempatan. Walau harus mengeluarkan tenaga lebih, Arga lebih memilih mengandalkan kemampuannya untuk mengambil sendiri Anggrek Berlian itu. Karena perbandingan kualitas kesegaran Anggrek Berlian yang lama jauh berbeda di bandingkan dengan yang baru di petik. Di tambah alasan lain mengenai harga diri, ia tak sudi jika harus mendapatkan rasa iba dari Sang Raja berhati busuk itu. Arga yang sekarang sudah berubah total, dia tak sepolos dulu. Pastilah ada maksud tersembunyi, jika Arga meminta Anggrek Berlian kepadanya, dan Raja mau memberikan dengan gamplang kepunyaannya itu. Jadi Tentu saja, Arga harus memanfaatkan waktunya sekarang ini sebaik mungkin agar bisa mendapatkan obat untuk sang Ibunda. "Aku harus menemukan Anggrek Berlian itu!." Gumamnya penuh tekad. Tepat setelah Arga mengakhiri kalimatnya, pemuda itu mera
Syrenka berusaha mati-matian menahan pergerakannya saat Arga berjalan mendekati tempat persembunyiannya. Nyawa Syrenka seakan ikut mengambang. Saat Arga sudah sampai tepat di depannya, keberadaan mereka berdua hanya terhalang oleh dinding batu karang saja saat ini. Hampir selangkah lagi, Arga tiba-tiba berhenti. pemuda itu menunduk, tangannya perlahan turun, lalu jemarinya menggapai sebatang tangkai Anggrek berlian dan lantas mencabutnya. "Kurasa cuma bunga ini yang ukurannya paling besar." Gumam Arga sembari menyelipkan lagi bunga dengan bentukan spesial itu. Selanjutnya Arga lekas memutar arah, pemuda itu menelusuri lagi setiap bunga guna memastikan suoaya tak ada yang terlewat. sebelum pemuda itu memutuskan untuk meninggalkan ladang Anggrek Berlian itu, dan berenang pergi ke daratan. Sedangkan syrenka hanya bisa menatapi sosok yang mulai menghilang ke permukaan itu tanpa bergeming. Dia masih tidak bisa menyangka, jika baru saja berkesempatan untuk melihat orang yang dicintainya
"Arga Giandra Bratajaya!." "Tuan Arga!." "Tuan Guru!." Teriakan demi teriakan terus terdengar saling sahut menyahut, menciptakan kebisangan dalam suatu lembah yang letaknya agak ke pedalaman, sehingga dulunya jarang terjamah oleh kumpulan manusia awam. Walau tenggorokan sudah terasa kering, dan suara mulai terdengar serak pun. upaya mereka belum juga terlihat tanda-tanda akan membuahkan hasil. Padahal seluruh Anggota prajurit, termasuk pimpinan jendral sudah menghabiskan waktu hampir seharian penuh untuk melakukan pencarian terhadap sang pimpinan. "Anda ada dimana, tuan Arga?." Seru Jendral lirih, Tak terbilang sudah berapa banyak pikiran yang tidak-tidak terus berseliwiran mengundang kecemasannya. Hingga Pergerakan kedua kakinya mulai melemah, sang pemilik tubuh dirasa tak mampu lagi meneruskan berjalannya. Walau lemah, dengan susah payah Jendral mencoba berpegangan pada tepian batang kayu didekat aliran, berusaha menahan bobot tubuhnya supaya tidak langsung meluncur jatuh. Na
Di pelosok kepulauan dunia nan jauh, terdapat sebuah kerajaan yang disebut Maheswara. Disana berdiam sebuah bangsa besar yang tinggal dalam wilayah dan negara kepulauan. Kerajaan ini masih memegang teguh, adat-istiadat dari nenek moyang. Pada dasarnya, profesi mereka sebagai besarnya adalah petani yang hidup di kerajaan agraris di lingkungan alam berbukit-bukit. Karena itulah mereka dikenal dengan area sawahnya yang bersekat-sekat dan organisasi Subak-nya yang mengatur pengairan sawah. Namun, entah sejak kapan nenek moyang mereka mengenal pembuatan perahu. Dapat dilihat dari bentuk perahu yang mereka tinggalkan, pada masa nenek moyang mereka dapat dikatakan pembuatan perahu masih sangat sederhana, seperti halnya perahu pada masyarakat sederhana masa kini. Sebatang pohon yang mempunyai garis tengah batang cukup besar ditebang, kemudian bagian tengahnya dikeruk dengan menggunakan alat sederhana, misalnya beliung dari batu.
Daerah Zona Terlarang, adalah desa yang berada di pedalaman daratan bagian Barat Kerajaan. Semula desa ini dipimpin oleh seorang kepala suku, awalnya ayahnya Arga yang memimpin suku. Namun karena Ayah Arga sudah tiada, maka tugas mengelola desa diberikan kepada tetua desa,yang bernama Eyang Abimayu."Ibu, Arga pulang!, Arga tadi menemukan beberapa tanaman herbal yang bisa mengurangi sakit ibu." Arga pun lekas membongkar keranjang bawaannya mengeluarkan beberapa tanaman, dan segera meraciknya."Uhuk... Uhuk... Nanti saja membuat obatnya nak, uhukk... Uhuk makan dulu sini... Uhukk." Ajak sang ibu, walaupun dalam kondisi lemas Ibu Arga masih memaksakan dirinya.Ibu Arga menjadi sakit-sakitan, Semenjak Ayah Arga meninggal dunia 14 tahun yang lalu, karena memenuhi tanggung jawabnya untuk melindungi desa dari pembangkangan yang dilakukan oleh paman Arga sendiri.Paman Arga melakukan penyergapan, karena ia menginginkan posisi Ayah Arga sebagai
|Arga|Sepanjang perjalanan ke Kerajaan, aku sibuk memikirkan rencana mendapatkan obat untuk Ibu. Ketika aku dan Nehan sampai, hari sudah menjelang siang, sedangkan Raja, langsung menjamuku dengan makan siang setelah menemuinya.Dini hari kulewatkan dengan memandangi pinggiran tirai di kamar istana, menyaksikan cahaya biru semakin pekat seiring datangnya fajar. Sekarang aku bahkan tidak bisa duduk diam selagi menunggu di teras Aula, sibuk merapikan pinggiran jasku sendiri.Aku mengenakan pakaian sutra sehitam bulu gagak dan jas biru terang. Kerah berbentuk V menampakkan pinggiran cap Kerajaan, sedangkan rambutku kusisir ke belakang agar tidak menutupi wajah. Tanpa hiasan batu berharga, tanpa ornamen kompleks. Hanya di lengkapi Pedang besi sederhana yang tersemat di pinggang ku.Di dalam Aula, suara terompet berkumandang. Khalayak merespon dengan membalikkan badan ke arah altar secara serempak, menjadi lautan mata. Aku merasakan tiap tata
|Arga| Suka cita masyarakat menyambut kami di kerajaan, selepas pulang. Raja Ganendra menggelar pesta sebagai hadiah kemenangan, merayakannya dengan meriah. Semua merasa senang, dan terlihat menikmati perjamuan yang diberikan, Terkecuali aku yang masih berkubang karena kepergiannya. Kupegang lembut kalung yang tersemat di leherku, berbandul putih berkilauan di bawah cahaya. Ya, itu adalah inti kehidupan Nehan. Sebagai majikan aku akan mendapatkan inti itu ketika hewan peliharaan sudah tiada. Inti kehidupan itu berguna agar aku bisa berubah menjadi sosok Nehan, ke wujud harimau putih. Nehan ku makamkan di sekitaran riak sungai, agar ia bisa bermain dengan bebas di seluas hamparan. dengan keindahan alam yang masih terjaga. ◇❖❖◇ Tengah malam datang dan pergi, seiring menit demi menit yang berlalu, aku semakin bergerak-gerak gelisah. Tidurku tidak nyeyak, padahal aku Kecapean. Di luar masih gelap ketika aku terjaga, diba
Arga diawasi siang malam tak kurang dari dua belas penjaga, masing-masingselalu awas dan siap siaga di balik jeruji sel. Hanya Arga seorang yang ditahan di sini. Tak seorang pun bicara atau sekedar menyapanya, termasuk para penjaga. Deru pintu besi bergeser di luar bungker. Para prajurit sedang bertukar sif. Kegaduhan merembes ke dalam dari jendela-jendela yang berposisi tinggi di dinding beton. Ruangan ini sejuk, sebagian dibangun di bawah tanah, dan dibelah oleh koridor panjang yang memisahkan dua deret sel berjeruji. Derap langkah kaki mendekat, terdengar bergema dari luar jeruji, Arga lekas memasang posisi siaga, berekspresi garang menampilkan taring-taring nan runcing. Beberapa prajurit berpelindung baju tempur memasuki penjara, "Raja ingin menemuimu." kata salah satu dari mereka terburu-buru. Mereka mengeluarkan Arga dari sel tanpa melepaskan ikatan rantai. Memaksanya berjalan di istana dalam keadaan terantai. Sebagai tawanan. Pu