Share

Bab 4 Kemarahan Pertama

Gue bisa menebak sebenarnya kenapa Ega memanggil Bu Angel dengan sebutan Nenek Lampir. Wajah Bu Angel bukan tipikal wajah wanita karir yang ramah yang bisa lo temui di sekolah-sekolah menjadi guru atau rumah sakit sebagai dokter spesialis anak. Wajahnya tak ramah sama sekali. Dia tampak seperti wanita yang angkuh dan emosional.

Tebakan gue mengenai dirinya benar saat setelah makan siang di hari kedua gue bekerja, Bu Angel dan Rahma bertengkar. Gue nggak tahu apa masalahnya. Tapi dari pertikaian mereka sepertinya akibat Rahma terlalu banyak beban pekerjaan di hari itu dan Bu Angel meminta pekerjaan miliknya untuk selesai dengan cepat. Sedangkan, semua orang di tim bergantung pada Rahma untuk mengurus administrasi. Tak ada yang membantunya sementara semua orang membombardirnya dengan pekerjaan yang tak henti-henti.

Mata Bu Angel tampak melotot-melotot memaki Rahma. Rahma membalas dengan jawaban-jawaban yang menurut gue cukup keren dan berani. Nyatanya Rahma tampak merasa lebih unggul karena dia lebih lama dari Bu Angel di situ. 

“Udah, Bu, ngopi dulu yuk,” ajak Ega sambil menggaet lengan Bu Angel tanpa permisi. “Ma, lo kerjain punya Bu Angel dulu aja, punya gue dan yang lain bisa nunggu.”

“Tapi, gue ada tender besok,” timpal Sania, memotong di tengah-tengah tanpa ragu.

“Lo, daripada duduk diem, bantu dia,” kata Bu Angel menunjuk gue sambil meraih kunci mobilnya dan segera berlalu dari meja itu dengan cepat.

Kepergian Bu Angel dan Ega menyisakan orang-orang yang masih menatap kami di mejanya masing-masing. Tak ada satupun pihak berwenang yang melerai, bahkan HRD pun tampak tak bergeming di ruangannya. Gue semakin tahu, kenapa Ega menjulukinya Nenek Lampir. Merasa tak nyaman karena orang-orang masih memperhatikan tim kami, gue pun memutuskan untuk pergi ke toilet.

Saat gue pergi ke toilet, ternyata ada Nana di belakang gue. Mensejajarkan langkahnya yang kecil-kecil, dia ikut berjalan menuju ke toilet.

“Gitu tuh, kalau pawangnya nggak ada,” celetuk Nana.

“Pawang? Lo kata uler?” timpal gue berbisik.

“Hahaha, nggak usah bisik-bisik. Kelakuan bos lo itu udah jadi hal biasa di sini. Jadi, tetap semangat ya!” ledek Nana.

“Na, kok nggak ada yang melerai sih?” tanya gue. “Bukannya itu udah masuk tindakan harassment ya?”

“Hmmm, pertama. Bos-bos lagi raker di Bogor. Itulah kenapa lo nggak ketemu Pak Vino di hari pertama lo kerja, kan? Kedua, misalnya pun ada ya, biasanya dia nggak sekelewat batas itu, asal ada Okan. Lo beruntung, hari ini ada Ega. Cuma dia dan Okan yang berani ngebawa bos lo keluar dari pertikaian,” sahut Nana.

“Nah kalau bos-bos ada tapi baik Ega dan Okan nggak ada gimana?” tanya gue.

“Ya udah, mati aja lo. Hehehe.”

“Serius, Na…”

“Gue juga serius. Biasanya, Pak Vino yang ngeredam. Atau siapa kek, bos-bos udah gantian ngelerai dia tau. Tapi biasalah kalau ditanya alasan dia teriak-teriak sambil maki-maki anak orang seenaknya, dia bisa playing victim gitu. Dan guess what, bos-bos pun selalu berakhir ngebela dia. Kaya misalnya dulu ada yang berantem sama Bu Angel dan orang itu yang harus mengalah dan malah jadinya dia yang minta maaf duluan, padahal Bu Angel yang semena-mena.”

“Tapi gue cukup salut sama reaksi Rahma sih,” timpal Veve yang datang mendekat.

“Eh, elo, Ve. Kirain siapa,” sahut Nana kaget.

“Hahaha, tenang. Gue udah liat-liat sikon, aman!” timpal Veve.

“Rahma tuh pegawai lama di sini. Dan dia nggak mungkin dipecat. Dia nggak ada target sales kaya kita. Lo bayangin lulus SMA dia udah kerja di sini, sekalian lanjut kuliah. Kurang mental baja apa dia. Kalo gue udah stress banget. Sekarang, udah lulus beberapa tahun pun masih di sini bertahan,” kata Nana.

“Iya sih, kalo kaya kita-kita ini mending cari aman deh,” kata Veve. “Lo juga, Ri, mendingan jangan cari masalah sama bos elu. Gue ngomong gini sebagai sesama Sales yak, bukan gue carmuk sama lo. Kalau lagi sales meeting, siapapun yang nggak capai target, seluruh sales kena soalnya. Apalagi yang bermasalah sama Bu Angel. Bisa dibawa-bawa ke forum. Dan itu bikin meeting makin lama nggak kelar-kelar. Gue sih lebih ke nyelamatin dari diri gue sendiri aja kalau itu terjadi.”

“Emang bisa sampai selama apa?” tanya gue penasaran.

“Pernah, kita dikurung sampai jam 12 malam,” sahut Nana.

Gue melotot tak percaya. Nana dan Veve tertawa melihat reaksi gue.

“Waktu itu Ega sama Bu Angel berantem. Berbuntut, Ega diem-diem cari pekerjaan lain. Nah makanya dia mau resign, udah dapet kerjaan baru dia. Gue bukan nakut-nakutin lo ya. Kalau misalkan lo nantinya ngerasa nggak cocok, pakai cara elegan aja, kaya si Veve nih,” kata Nana kemudian.

“Hush, buka kartu! Dia kan anak baru,” kata Veve.

“Yeee, lo kan yang bilang sendiri, biar kita kalau sales meeting nggak dikurung sampai tengah malam kan? Nah gue cuma warning ke dia nih, biar dia nggak terjerumus kesalahan yang sama,” ujar Nana.

“ Udah, jangan dibahas, nanti juga dia tahu sendiri. Minggu depan sales meeting kan? Biar dia tahu sendiri apa yang gue lakuin selama ini berbuntut ketidaksukaan gue pada kantor ini,” kata Veve kemudian mencuci tangannya dan segera masuk ke dalam bilik toilet.

Nana menatap gue memberikan isyarat agar tidak melanjutkan perbincangan lagi karena Sania masuk secara tiba-tiba. 

***

Jam menunjukkan sudah pukul delapan malam saat gue selesai mengerjakan dokumen terakhir sebagai permintaan Bu Angel untuk membantu Sania.

“Udah, lo bisa pulang, nanti biar Rahma aja yang nungguin Bu Angel,” kata Sania saat melihat gue sudah selesai.

Karena kesibukan gue hari itu membantu Sania, gue baru menyadari bahwa kantor sudah kosong dan sepi. Beberapa sudut bahkan tanpa cahaya. Mas-mas OB yang ada banyak jumlahnya itu dan sering tampak mondar-mandir, hanya tersisa satu saja yang berjaga.

“Memangnya masih kurang apalagi, Ci?” tanya gue.

“Yaaaa, kan masih ada tanda tangan yang harus di tanda tangani oleh Bu Angel selaku pimpinan. Tanda tangan gue mah nggak laku, say, hehehe,” jawab Sania sambil tertawa.

“Terus yang dateng besok tender siapa?” tanya gue.

“Ya gue sama Bu Angel lah! Nanti kalo lo ada tender juga gitu kok. Biasanya sih Bu Angel nawarin mau bareng nggak, biar kompak gitu di depan customernya,” jawab Sania.

“Beneran gue boleh pulang?” tanya gue lagi.

“Beneran. Gue cukup seneng lo bisa bantuin gue. Udah nggak apa-apa. Pulang aja,” kata Sania.

Gue pun akhirnya membereskan pekerjaan gue dan berlalu pergi. Di bawah, mobil Beno sudah menunggu. Kos kami memang berdekatan. Dan menebeng Beno hampir sering gue lakukan terutama saat pulang malam seperti ini. Beno sering kerja lembur. Bahkan, hari ini setelah menjemput gue dan mengantar gue pulang, dia akan mandi dan kembali lagi ke kantornya untuk bekerja.

Beno baru membelokkan mobilnya keluar dari lajur parkiran, telepon gue berbunyi. Ternyata Bu Angel.

“Kamu di mana?” tanya Bu Angel.

“Arah pulang, Bu,” sahut gue jujur.

“Kok lo pulang duluan? Wanita hamil lo tinggalin sama admin doang! Tega banget sih lo?”

“Maaf, Bu, tapi tadi saya pikir udah selesai.”

“Selesai gimana? Selesai itu kalau udah dibungkus berkas tendernya, ngerti nggak? Awas ya, jangan sampai kejadian terulang lagi.”

Percakapan selesai begitu saja. Meninggalkan gue terbengong-bengong. Beno sama bengongnya sampai menepi di pinggir jalan. Suara Bu Angel memang cukup nyaring hingga Beno bisa mendengarnya walaupun gue sama sekali tidak menekan tombol loudspeaker.

“Trus gimana? Mau balik lagi?” tanya Beno.

“Enggak, pulang aja. Mau pura-pura bego,” sahut gue cepat.

Beno pun langsung menyetir lagi tanpa perlu gue suruh dua kali. Dia tahu gue udah capek banget dan pengen rebahan.

“Bukan tender lo kan?” tanya Beno.

“Bukan, gue cuma anak baru yang terjebak ngebantuin karena nggak ada orang lain di tempat.”

“Ya udah sabar aja, namanya anak baru. Lo juga baru dua hari kan. Besok lo jadi nebeng si Hafis? Coba make sure lagi sama dia.”

Gue dengan cepat menelepon Hafis.

“Yes, madam?” sahutnya.

“Besok gue jadi nebeng.”

“Pagi yah. Gimana? Lo bisa, siap jam 6-an di depan kosan lo?”

“Iya. Boleh.”

“Kalau kepagian sampai di Central Senayan, nanti tunggu aja di lobby atau nemenin gue nyari starling, hehehe.”

“Iya, iya, bawel.”

“Oke, lo lagi sama Beno ya?”

“Iya, gue sama dia, mau ngomong?”

“Enggak. Salamin aja, bilang aku merindumu.”

“Ih najis kalian berdua.”

“Hahaha! Canda, Kakak…. Ya udah gue mau makan dulu. Bye.”

Gue menarik napas. Untungnya Hafis juga sedang mengerjakan proyek di Central Senayan. Hal yang sedikit membuat gue lega karena ini pertama kalinya gue visit customer. Awalnya, hanya Beno dan Hafis yang bekerja di bidang IT. Sekarang gue serasa terjebak dengan mereka. Namun baik Beno dan Hafis, bukanlah divisi Sales. Mereka masing-masing seorang Engineer dan Project Manager dari perusahaan yang berbeda-beda.

“Ben, kalau gue nggak kuat kerja di IT gimana?” tanya gue pada Beno.

Beno menarik napas. Sekilas melirik gue kemudian fokus ke jalanan lagi.

“Jangan mikir negatif dulu. Asyik kok kerja di IT. Jam kerjanya fleksibel. Saking fleksibelnya ya kaya gitu tadi. Semangat dong. Kan baru 2 hari,” sahut Beno sambil membelokkan mobilnya ke jalan menuju kosan gue. “Lagian kalau cepet-cepet resign, emang lo udah ada gantinya? Mendingan lo coba jalani 3 bulan sesuai masa probation lo. Kalau nggak cocok, pelan-pelan cari kerjaan lain. Kaya sebelumnya aja. Jangan resign dulu kalau belum ada gantinya. Nanti lo bakalan disuruh bokap nyokap lo balik ke rumah daripada sok-sokan mandiri.”

Gue mengangguk. Pendapat Beno sepenuhnya benar. Sebenarnya, orangtua gue sama-sama tinggal di Jakarta, meskipun pinggiran. Alasan macet dan lokasilah yang membuat gue ingin sewa kos sendiri. Selain biar mandiri, kalau pulang malam gini, bokap gue suka nungguin. Gue kasihan aja sama dia kalau harus nungguin gue mulu. Karena dua temen cowok gue yang rajin nebengin cuma si Beno dan Hafis, kadang-kadang mereka kena getahnya karena nemenin gue pulang larut malam.

Keputusan gue nge-kos pun sempet menuai pro kontra. Tapi, dengan dalih gue pengen banget belajar mandiri, akhirnya mereka pun mengiyakan. Dengan syarat gue harus sering pulang ke rumah kalau weekend.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status