Sepeninggal Ega, gue mulai berani pergi ke customer setiap jam 10 dari kantor dengan supir dan mobil kantor yang sudah disediakan. Gue cukup beruntung mendapatkan dan bisa memanfaatkan fasilitas itu, karena AM lain tidak memanfaatkannya. Mereka lebih suka jalan sendiri. Kalau nggak saling menebeng sesama AM yang searah, mereka sudah memiliki kendaraan pribadi seperti mobil atau motor. Gue pikir lebih enak menggunakan supir, karena gue nggak harus merogoh kocek sedikitpun. Kadang jika terlalu pagi pun, bisa lumayan leha-leha sebentar tanpa diganggu. Walaupun terkadang, mobil kantor akan terisi beberapa orang lain atau barang-barang yang harus diantar ke tempat tertentu. Tapi itu nggak masalah buat gue, karena traffic ibukota lumayan menguras tenaga dan emosi.
Hari itu, gue pergi menuju gedung Central Senayan, customer pertama yang dikenalkan Ega pada gue. Karena sudah pernah diajarkan oleh Ega bagaimana masuk ke sana sebagai partner project, gue tak canggung lagi berhadapan dengan resepsionis maupun security yang super ketat. Setelah berbasa-basi dengan customer dan mengecek perkembangan aplikasi yang sedang di develop oleh tim engineer dan Pak Muh, selaku PM, guebiasanya akan makan siang di Plaza Senayan Mall bersama Hafis, yang kebetulan masih mengerjakan projectnya di gedung ini juga. Setelah itu gue akan bertolak ke customer gue terakhir di bilangan Kuningan. Saat urusan gue beres, gue akan mengontak driver kantor, apakah dia masih available untuk gue tebengin atau nggak.
“Emang lo mau makan apa? Food court aja deh, ngirit lo, gajian pertama juga belom!” seru Hafis.
“Tenang, budget transport gue kan utuh, orang nebeng mobil kantor,” kata gue. “Lagian bukannya sultan biasa makan di Union atau sebangsanya?”
“Palelu, gue juga anak food court. Lebih enak, banyak masakan indo. Lagian gaji gue bisa abis kalau gue pake makan resto mulu. Sesekali bolehlah. Gue kan juga kudu prepare budget buat jalan ama cewek gue juga,” kata Hafis. “Budget pacaran gue mah nggak dirembes sama bokap.”
“Oiya ya, hehehehe. Ya udah food court aja,” timpal gue.
Hafis kemudian menerima telepon dari Mayang, ceweknya yang gue tahu adalah mantan anak magang di kantornya. Hafis selalu berbohong jika pergi cuma berdua dengan gue. Bukannya apa, Mayang tipe yang pencemburu berat. Baik hanya pergi dengan salah satu cewek di grup Sableng, yang notabene cuma sahabatan aja sama dia, Mayang tak pernah suka. Karena itu pula, gue cuma bertemu Mayang beberapa kali. Biasanya kalau ada acara nikahan atau ulangtahun salah satu dari kami. Mayang juga bukan tipe cewek yang mau berbaur dengan sahabat-sahabat cowoknya. Jadi kami juga nggak mau memaksa keeksisan kami di antara mereka.
Kecemburuan Mayang selalu penuh emosional. Pernah, gue ditelepon dan diomelin habis-habisan. Pakai acara ngomong bakalan jadi hantu gentayangan kalau dia sampe mati. Nggak hanya gue, Inara dan Rindu juga pernah kena getahnya. Mayang sambil marah-marah datang ke rumah Rindu. Untungnya saat itu Rindu sedang ada pacarnya. Inara lebih sial lagi, kosannya bahkan dilempari telur dan tepung serta tulisan aneh-aneh nggak jelas. Sedangkan gue, masih dalam batas teror telepon yang langsung gue maki balik.
Gue pun masih tak mengerti, kenapa Hafis masih bertahan dengan Mayang sampai sekarang. Mereka bahkan udah jalan lebih dari dua tahun. Sikap posesif Mayang selalu bisa menjadi penggagal acara kami berlima.
Setelah makan, gue melewati barisan baju-baju blazer diskon. Sekedar iseng, gue pun melihat-lihat ada yang bagus buat gue atau enggak. Rak demi rak gue lewati. Ternyata ada yang menarik perhatian gue dan harganya cukup sesuai dengan budget yang gue punya. Hafis yang melihat itu cuma bisa geleng-geleng kepala.
“Heh, bego, lo beli itu blazer tapi habis gini lo masih mau mampir ke customer di Kuningan, trus lo mau bawa-bawa tuh tas belanjaan sama lo gitu?” celetuk Hafis sambil meminum kopi cup nya dengan kesal.
“Oh iya, bego banget gue, Fis!” sahut gue menyadari bahwa petualangan gue hari itu belum selesai.
“Ya emang, lagian elo, selalu ngajak makan ke mall. Belok ke diskonan pula. Dasar!”
“Ya habis gimana, Fis, gue stress, pengen window shopping sekalian.”
“Window shopping apaan? Itu sekarang lo bawa-bawa tentengan?”
“Fis, gue titip di mobil lo yah? Nanti malem gue ojol-in dari rumah lo, gimana? Hehehehe….”
“Ya udah, tapi temenin gue ke parkiran. Males gue ke sana sendirian cuma demi lo.”
“Emang lo parkir di mana? Males banget balik lagi ke parkiran gedung lo!”
“Di mall kok, parkiran kantor udah penuh tadi gara-gara datang telat. Untung aja Central Senayan sama Plaza Senayan sebelahan!”
“SULTAN EMANG BEDA! PARKIR SEHARIAN DI MALL!”
“Apaan sih lo, gaje banget! Udah, ayo buruan ke parkiran, gue ada meeting nih setengah 2!”
“Iya, iya, yuk!”
Gue dan Hafis berjalan beriringan menuju tempat parkir mall. Kami berpapasan dengan beberapa selebritis Indonesia yang bahkan gue lupa namanya siapa. Mereka tampak glowing dan cerah berjalan diantara rakyat-rakyat anggota perbudakan corporate. Lo ngerti kan, seleb tuh suka auranya beda. Jadi meskipun mereka siang hari bolong di weekdays seperti ini memakai baju biasa dan nge-mall, kita bisa mengenali mereka. Gue bahkan sampai menanyakan pada Hafis siapa mereka, karena gue jujur lupa nama-namanya.
Kami masih berdebat siapa nama mereka sambil melangkahkan kaki kami menuju parkiran. Mobil mini cooper Hafis terparkir di VIP parking. Padahal dia bukan member mall ini, tapi entah harus merogoh kocek berapa untuk bisa parkir di sana.
“Hari ini lo jalan sama Mayang nggak?” tanya gue.
“Enggak, gue lembur sampe malam. Kenapa?” timpal Hafis.
“Trus nih blazer bisa dikirim jam berapa ya ke kos gue nanti?”
“Oh iya, gimana ya? Eh, weekend ini kita semua kan jalan bareng ke steak. Nanti gue bawain aja deh sekalian.”
“Oh iya, gitu juga bagus. Ya udah bukain bagasi lo deh.”
Gue berjalan menuju bagasi mobil Hafis yang terletak di bagian belakang. Saat gue buka, bagasi itu tampak berantakan. Ada sepatu futsal, ada helm motor bahkan ada sandal cewek yang gue yakin milik Mayang. Beberapa majalah property juga ada di sana. Gue tahu, property memang menjadi bidang usaha yang dimiliki oleh keluarga besar Hafis. Meskipun bukan property yang menyasar kalangan atas, namun khusus untuk kalangan menengah yang berada di pinggiran kota Jakarta dan memang sudah tersebar di sana-sini. Model property keluarga Hafis adalah tipe cluster kecil-kecil tak lebih dari 10-20 rumah per clusternya.
Gue tanpa disuruh membereskan bagasi mobil. Karena gue nggak mau, barang belanjaan gue malah terkamuflase dengan barang-barang pribadi Hafis yang lain sehingga malah Hafis nggak bisa membedakannya. Nanti dia salah ambil barang lagi.
“Idih, ngapain lo Bi?” tanya Hafis yang menyadari gue malah membereskan bagasi mobilnya.
“Bi, bi, bi, emang gue bibi lo?” sahut gue kesal.
“Iya, lo kaya bibi rumah gue, suka beberes, hahahaha!”
“Nggak papalah kalo jadi bibi rumah lo juga asal gajinya kaya gaji gue sekarang. Tapi kerjaaannya beberes bagasi mobil lo aja ya.”
“Mana adaaaaa. Dah buruan! Lama amat sih!”
Gue baru saja meletakkan paperbag gue yang berisi blazer diskonan berwarna peach itu ketika sebuah mobil parkir di parkiran VIP persis di sebelah kami dengan sedikit kasar. Gue dan Hafis sampai melongo dibuatnya. Decitan ban mobil itu bahkan berisik sekali. Namun berlagak acuh, gue pun tetap membereskan bagasi Hafis yang mulai tampak rapi itu.
Sekilas gue lihat, mobil Rubicon berwarna Army itu, terdapat dua orang saja yang berada di dalamnya. Gue dan Hafis sejujurnya penasaran, siapa pemilik mobil super mahal di sebelah kami ini. Bahkan mini cooper Hafis juga jauh lebih murah dibanding miliknya. Apakah selebritis papan atas lagi? Mengingat mall ini memang salah satu mall yang sering dikunjungi oleh selebritis lokal Indonesia. Siapa tahu kan ya, ternyata selebritis dan pacar diam-diamnya. Kan gue bisa jadi mendadak paparazi lambe turah di sini.
Gue masih memunggungi pintu bagasi mobil Hafis sambil sesekali melirik ke arah mobil mahal itu. Hafis berpura-pura mengetik pesan WA padahal sama sekali tidak ada WA yang dikirimkannya. Kami berdua tenggelam dengan rasa penasaran kami masing-masing.
Tapi perkiraan gue salah. Bukan selebritis yang keluar dari sana. Namun seorang laki-laki berusia 40an lebih dengan tubuh yang tampak selalu berolahraga dan tinggi. Wajahnya tampak emosional seperti menahan amarah. Di sampingnya keluar seorang wanita yang kurang lebih berusia sama. Gua agak kecewa ternyata keduanya bukan selebritis.
Sosok si wanita dari samping, jujur familiar buat gue. Akhirnya gue diam-diam memperhatikan mereka. Anj*yyy! Namun, betapa terkejutnya gue saat melihat wanita itu adalah Bu Angel. Salah tingkah, gue malah menunduk, bahkan masuk ke dalam bagasi. Hafis tampak bingung dengan sikap gue. Tanpa diminta dia pun menutupi wajah gue dengan topi yang dimilikinya.
Keberuntungan sepertinya berpihak pada gue. Karena keduanya sedang tampak emosional, baik si pria maupun si wanita yaitu Bu Angel itu tak memperdulikan kami. Padahal nyata-nyatanya mobil Hafis dan mobil rubicon army itu bersebelahan persis. Mungkin dia tak menyadari, gue, mana mungkin ada di situ. Di parkiran mobil milik VIP.
Namun kejanggalan yang lain yang gue temukan, malah bukan soal Bu Angel lagi. Mungkin Bu Angel berhasil diredam dan nggak mencuat, setidaknya gitu yang gue pahami. Tapi soal Pak Marjan dan Bu Cla.Gue pikir, mereka juga udah adem. At least kalopun emang masih ada hubungan, mereka nggak yang seenak jidat muncul di publik sebagai pasangan. Tapi, gue malah ketemu mereka, saat gue sedang antri beli kopi di salah satu kedai kopi di dekat kantor.“Siang, Bu, Pak!” sapa gue dengan lantang pada mereka yang baru masuk ke barisan antrian, yang kebetulan sebagai pengantri terakhir.Mereka nggak bisa mengelak untuk nggak ngantri di belakang gue, karena memang belum ada pelanggan lain yang masuk. Bu Cla akhirnya cuma bisa tersenyum. Sedangkan Pak Marjan malah tampak tak peduli dengan kehadiran gue di situ. Sudah biasa, dia cuma nyapa yang menurut dia satu level sama dia. Sedangkan gue? Gue cuma budak corporate aja, nggak lebih dari itu.Waktu gue order, Bu
Kepulangan gue dari Singapore disambut kabar tak enak saat gue masuk ke kantor. Desas-desus soal Bu Angel jadi simpanan udah jadi bahan obrolan blak-blakan siapapun. Dulu, biasanya cuma jadi bahan ghibah underground. Soalnya nggak banyak yang tahu cowoknya siapa. Meskipun beberapa dari mereka bisa menebak bahwa dia adalah orang penting, bukan orang biasa.Makanya, gue pun nggak ketemu sama sekali dengan Bu Angel saat kedatangan gue pertama di kantor dari liburan. Oleh-oleh yang gue sengaja beli khusus buat dia bahkan nggak disentuh sama sekali sama dia di meja yang biasa dia duduki. Dia nggak pernah muncul di kantor. Semua koordinasi bahkan lewat email dan telepon aja. Chat gue bahkan dibaca dan dibalas bisa sehari kemudian. Itupun ngambang. Padahal gue lagi butuh dia buat nge-guide customer gue yang baru yang gue dapet dari bokapnya Hafis, anak perusahaan Bank lama yang mau mandiri dan bikin manajemen sendiri.Tentunya itu nggak gampang. Selain karena pasti banyak per
Gue adalah orang yang paling terakhir ke basement. Ditemani Hafis, sebagai juru kunci apartemen, kami berdua sama-sama turun. Seharusnya, lift ini bisa disetting langsung ke basement, tapi entah kenapa, lift berhenti di lantai Ground, tempat lobby berada.Gue hampir menahan napas saat gue sadar, yang masuk ke dalam lift adalah istrinya Pak Abimanyu, yang sampai saat itu gue nggak tahu namanya. Menyadari ada Hafis, dia hanya tersenyum namun setelah itu memalingkan muka dan menunduk. Gue dan Hafis tahu dia habis atau masih menangis. Hanya saja kami berdua merasa kikuk untuk berbincang. Akhirnya lift melaju menuju basement dengan sunyi senyap. Suara mesin lift yang halus terdengar samar menjadi satu-satunya background suara.“Ting!”Lift berhenti. Wanita tadi mengangguk pada Hafis dengan sopan tanpa berkontak mata bersiap untuk pergi.Ternyata, kami menuju basement yang sama, meskipun masih ada 3 lantai basement lagi. Gue yang tahu kalau dekat de
“Sebelum berangkat, jangan lupa kumpul dulu di tempat gue!” Hardik Hafis mengingatkan di telepon.Gue yang masih di kantor dan izin setengah hari itu langsung memakinya.“Nggak usah teriak-teriak juga, kali!” kata gue kesal.“Lo di mane nih?” tanya Hafis.“Masih di kantor gue cuy!” sahut gue.“Are you kidding me? Lo izin setengah hari?”“Iyap! Gue nggak mau rugi, man! Penerbangan kita kan masih jam 7 malem. Nanti istirahat makan siang gue balik kosan dulu, ganti baju terus ke apartemen lo.”“Ya udah, pokoknya jam 4 sore kita berangkat ya dari apartemen. Kalo lo telat dikit, gue tinggal. Ngerti lo?”“Iya, iya, tenang aja!”“Oke deh, gue udahan ya! Mau nelepon yang lain.”“Siap.”Gue kadang geli sama sifat perfeksionisnya Hafis. Kaya kalau kita mau trip bareng-bareng kaya gini, pasti kita ak
Gebrakan pertama yang dibuat HRD adalah mereka membuat HRD Socialization Day setiap satu bulan sekali. Makin padat nggak tuh jadwal gue di kantor. Ada Sales Monthly Meeting, ada Quarterly Meeting dan kali ini ada HRD Socialization Day yang diprakarsai Bu Sylvi lewat email blast-nya hari ini. Gue yang lagi kelar meeting bareng Yudha dan Ronald langsung mengeluh saat mengecek email itu dari hp kami. Tentu saja bagi kami yang mirip sebagai pekerja lapangan itu cukup memberatkan.“Gue udah dapet mandat nih di group WA, kalau dari divisi gue, digilirin aja jadwal yang ikut sosialisasi itu. Kan lo tahu anak engineer sebanyak apa, jadi kaya dibagi dua orang per sesi. Bagus deh jadinya adil. Kalo yang nggak bisa dateng boleh tukeran jadwal sama yang belum pernah dateng,” kata Ronald sambil menunjukkan WA grupnya.“Beneran tuh?” sahut Yudha.“Beneran, makanya kalo punya grup WA dibaca dong, bro!” sahut Ronald.“Bukannya gi
Awal bulan Juni tahun 2019 bertepatan dengan libur panjang Hari Raya Idul Fitri 2019. Tentu saja kantor gue baru officially masuk di tanggal 10 Juni. Trip gue bareng geng Sableng harus diundur hingga bulan depan. Gue enggak enak sama mereka sebenarnya, cuma mengingat seharusnya Bu Sylvi, pengganti Direktur HRD sudah datang, dan cuti gue bisa disapprove. Lagian nggak cuma gue yang mengalami hal yang sama. Untuk cuti lebaran semuanya sudah approve kecuali cuti harian, semuanya masih menunggu approval HRD.Ada opsi lain. Pak Vino udah nawarin ke kami semua kalau mau cuti, cuti aja izin ke dia, nanti dia catetin, sambil nunggu sistem beres. Kalau udah beres, dia akan minta HRD input semua kuota cuti yang terpakai. Cuma kaya ribet aja harus laporan dulu ke dia. Pasti gue harus ngejelasin mau ke mana. Mana kontrak kerja gue ditangguhkan lagi. Ini kejadian yang persis sama kaya waktu Nana dulu. Bedanya kalau dulu ngebenerin sistem, kalau sekarang nggak ada yang approve sistemnya. Ja
Selama menunggu pengganti resmi, Bu Nami membantu beberapa pekerjaan HRD. Misalnya untuk review kebijakan baru, review cuti, review sistem dan lain-lain, namun bukan sebagai final approval. Dia mencatat banyak hal, untuk dilaporkan kepada Pak Jaya. Seperti biasa, sistem karyawan milik gue belum bener. Alamat trip sama geng Sableng bakalan diundur. Untungnya mereka bisa ngerti dan menunggu sinyal oke dari gue.Beberapa pekerjaan gue sebagai sidekick sudah banyak berkurang, dulu seminggu sekali pasti ada job, sekarang, bisa 2 sampai 3 minggu sekali, itu pun cuma ngecekin SOP-SOP baru doang udah sampai proses apa. Dari situ gue banyak tahu, beberapa alur proses ada yang diubah sedikit, adapula yang dirombak abis-abisan. Terutama soal budget entertainment ke customer. Bahkan terang-terangan ditulis, perwakilan kantor gue yang biasanya 2-3 orang, dibatasi hanya 1 orang aja. Kalaupun nambah, FA berhak nggak approved sisanya. Hal ini dikecualikan jika gue udah kasih proposal di awal
Gue kaget setengah mati saat Sania dan Rahma memberitahu bahwa hari itu adalah hari terakhir Bu Wanda bekerja bersama di kantor ini. Meskipun sebenarnya gue sudah mengira kejadian ini akan segera datang, tapi gue nggak menyangka bahwa hari itu adalah hari yang sudah gue prediksi selama ini. Wajah para bawahannya tampak sedih. Karena bagaimanapun juga Bu Wanda sudah bergabung lama dengan perusahaan. Beberapa orang memberikan ucapan selamat dan menyalaminya dengan sopan. Meskipun akhir-akhir ini banyak tersulut emosi, Bu Wanda nyatanya tetap membagi-bagikan kue donat untuk dibagi-bagi ke seluruh divisi. Gue sendiri juga dapet bagian. Lumayan snack time di sore hari. Beberapa orang berkerumun untuk ngajak foto farewell. Tentu saja gue enggak ikutan atau sedikitpun tertarik. Sania dan Rahma nggak mau ketinggalan. Sepertinya banyak yang ingin foto bareng sama beliau untuk terakhir kali. Namun hal itu nggak membuat gue berkeinginan yang sama. Gue sendiri belum genap 1 tahu
Seharusnya udah musim kemarau, tapi bulan April itu gue disambut hujan deras di awal bulan. Banyak yang masih bertahan di kantor karena nggak menyangka hujan akan turun sederas itu. Biasanya bulan April bakalan jadi sisa-sisa musim penghujan. Namun nyatanya, hujan masih sederas bulan Desember dan Januari. Gue yang mau pulang akhirnya mengurungkan niat dan mengajak Anwar buat main PS di lounge.“Nggak berani gue, Kak!” sahut Anwar sambil mengeluarkan hpnya dengan niat main game online sambil menungggu hujan.“Kan udah selesai jam kerja, dodol!” timpal gue kesal.“Boleh kali, War, main PS, orang disediain juga! Gue liat-liat lo sekarang jiper amat! Biasanya juga seenaknya lo!” ledek Sania.Anwar menarik napas.“Ya udah ayok, tapi bentar aja ya, gue mau nerobos hujan aja. Mau pulang cepet, nyokap masak opor ayam kesukaan gue nih!” sahut Anwar dan mengikuti gue menuju ke lounge.Untungnya di sana t