Share

Bab 4

Fitri tiba di rumah tepat saat adzan maghrib berkumandang. Walaupun ini hari pertamanya bekerja, tapi pekerjaannya begitu banyak. Seluruh badannya terasa pegal. ia sudah membayangkan wajah Damar yang menyambutnya dengan senyuman.

Namun saat membuka pintu, ia malah disambut oleh suaminya dengan tatapan yang tajam.

"Assalamualaikum, Mas," Fitri mengucap salam kemudian menghampiri suaminya dan mencium tangannya.

"Dari mana saja kau baru pulang?" tanya Damar pada Fitri.

"Maaf Mas tadi macet, karena ada kecelakaan lalu lintas–"

"Sudah aku katakan, jika kau bekerja harus pulang tepat waktu! Tidak harus keluyuran ke mana-mana!" Damar memotong ucapan Fitri dengan suara keras sambil mencengkram rahang Fitri yang tengah berjongkok di hadapan Damar.

"Sakit, Mas… sakit!"

Fitri mencoba melepaskan diri dari cengkraman tangan suaminya, dan Damar melepaskan tangannya di rahang Fitri sambil mendorong istrinya hingga terjengkang.

"Kau jangan seenaknya berbuat macam-macam di luaran sana ya! Jangan kau pikir aku tidak tahu apa yang kau lakukan!"

Air mata Fitri langsung meleleh keluar. Rasa sakit di rahangnya ini tidak sebanding dengan rasa sakit di hatinya. Padahal, iya bekerja keras untuk keluarganya, tapi kenapa Damar malah tidak percaya?

“Kenapa kamu berubah seperti ini, Mas?” batin Fitri. Di ingatan Fitri, damar adalah pria yang lembut dan penyayang, makanya dia menerima apapun keadaan pria itu, bahkan setelah dirinya lumpuh total.

"Memangnya apa yang aku lakukan, Mas? Aku ini bekerja dan baru pulang, kenapa kamu menuduhku yang tidak-tidak?” lirih Fitri sambil mengusap lelehan kristal bening yang mengalir di wajah cantiknya.

Damar hanya diam, tanpa berkata apapun, lalu meninggalkan Fitri untuk masuk ke dalam kamar.

Brak!

Fitri hanya memejamkan mata mendengar pintu yang dibanting itu. Dengan berjalan lunglai, Fitri memasuki kamar mandi dan membersihkan diri, kemudian mengambil air wudhu.

Setelah selesai, Fitri membentangkan sajadah, kemudian melakukan kewajiban sebagai seorang muslim yang taat menjalankan ibadah sholat magrib. Di kamar, Fitri melihat Damar malah berbaring memunggunginya. Diajak shalat pun dirinya tidak menyahut.

Bulir-bulir kristal bening tak henti-hentinya mengalir dan membasahi wajah Fitri. Ia pun kemudian berdoa dan memohon pada Tuhan agar hati suaminya menjadi lembut seperti dulu.

“Ya Allah, lembutkanlah hati suamiku berikanlah ia hati yang lapang untuk menerima keadaannya yang sudah seperti ini. Aku tidak meminta banyak darinya ya Allah, aku hanya ingin suamiku kembali bersikap lemah lembut seperti dulu, Amin,”

Setelah selesai melaksanakan ibadah salat maghrib, Fitri pun keluar kamar dan duduk di meja makan. Ia mengambil piring, kemudian membuka tudung saji. Alangkah terkejutnya Fitri saat melihat di atas meja makan sudah tidak ada nasi dan lauk pauknya.

“Bukankah tadi aku masak cukup banyak? Ke mana semua makanan itu?”

Fitri menutup kembali tudung saji itu, kemudian menemui suaminya di kamar. Walaupun Damar masih berbaring seperti sebelumnya, Fitri tetap mencoba membangunkannya lagi.

"Mas...," Fitri memanggil suaminya yang masih tidak merespon kedatangannya. "Mas, kamu sudah makan atau belum?"

"Sudah," jawab Damar datar.

"Mas tidak menyisakan nasi sedikit saja dan lauk-pauknya buat aku?" tanya Fitri lirih.

"Buat apa aku menyisakannya sedikit untukmu? Bukankah kamu sudah makan saat bekerja di kantor?" balas Damar sengit.

Damar tampaknya marah karena Fitri bertanya mengenai nasi dan lauk pauk yang telah Damar habiskan. Memang bukan hal yang besar, tapi bagi Damar pasti itu seperti Fitri Tengah menuduhnya.

Fitri memilih untuk menghindari pertengkaran dengan suaminya karena kelelahan. Dia keluar dari kamar, lalu membersihkan meja makan yang hanya berisi piring kotor.

Sepertinya, malam ini ia harus menahan lapar kembali sampai pagi menjelang.

Sudah lelah dan lapar…Fitri hanya bisa bersabar melalui malam yang panjang.

*****

Pagi harinya, seperti biasa sebelum berangkat bekerja, Fitri memasak terlebih dahulu untuk menyajikan makanan kepada suaminya.

Semua tugas rumah tangga sudah Fitri kerjakan, dari membersihkan tubuh suaminya, memasak, dan mengurus rumah. Fitri kemudian berpamitan pada Damar yang tengah duduk di ruang tamu sambil merokok.

Dulunya, Damar bukanlah tipe pria yang suka merokok. Akan tetapi, sejak ia merasa frustasi karena kecelakaan yang menimpanya, ini menjadi kebiasaan baru. Damar bahkan bisa menghabiskan dua bungkus rokok sehari.

Fitri berpamitan pada Damar sebelum berangkat dan mencium punggung tangan suaminya, akan tetapi suaminya tetap diam.

Fitri akhirnya tetap pergi, walaupun hatinya begitu.

Hampir 30 menit Fitri habiskan di jalanan karena macet. Ya sudah berniat ingin sedikit santai dan menikmati teh dulu begitu sampai.

Namun saat Fitri sudah tiba di meja kerjanya, ia malah dikejutkan seseorang yang melempar beberapa kertas untuk dikerjakan.

"Kamu kerjain ini! Sebelum jam makan siang harus sudah selesai!" perintah wanita cantik yang tidak lain adalah Cindy.

"Tapi, Mbak, ini bukan pekerjaanku," tolak Fitri lembut.

"Memang ini bukan pekerjaanmu, tapi aku mau kau yang mengerjakan ini karena orang yang biasa mengerjakannya tidak masuk hari ini!" jawab Cindy, terus langsung berbalik meninggalkan Fitri yang masih bingung.

Fitri menghela nafas panjang, lalu duduk di kursinya. Ini memang hanya menyusun laporan sederhana, tapi tetap saja bukan pekerjaannya. Bagaimana pekerjaannya yang lain? Apa dia harus mengabaikannya?

“Kalau cuma diliatin, nggak bakal selesai, Fit,” Fitri bergumam pada dirinya sendiri, lalu mulai mengerjakan laporan yang diberikan Cindy.

“Mbak?”

Secangkir teh hangat tiba-tiba muncul di hadapan Fitri.

Di saat Fitri tengah sibuk mengerjakan beberapa berkas yang Cindy berikan, ia dikejutkan dengan kehadiran Mamat yang membawakan secangkir teh hangat. Fitri pun mendongak.

“Eh, Mas!”

"Mbak Fitri kenapa?" tanya Mamat melirik tumpukan berkas yang baru saja Cindy berikan kepada Fitri.

"Ini, Mas, a-aku bingung untuk mengerjakan ini…."

Mamat melirik dari balik meja Fitri, lalu mengangguk. “Mau saya bantuin, Mbak?”

“Memangnya kamu bisa mas?”

Mamat kemudian meminta Fitri untuk berdiri dan ia mengambil alih tempat duduk Fitri dan hanya membutuhkan waktu kurang dari 30 menit Mamat sudah menyelesaikan tugas yang Cindy berikan.

“Waaaah, Mas Mamat hebat,” sorak Fitri kemudian ia reflek memeluk Mamat dan mengucapkan terima kasih.

Jantung Mamat terasa berdetak lebih cepat saat Fitri memeluknya. Namun hatinya pun sangat senang dan ia pun ingin bersorak gembira karena mendapatkan pelukan dari Fitri meskipun tidak sengaja, itu saja sudah membuatnya bahagia.

Fitri yang menyadari kesalahannya Tengah memeluk pria yang bukan suaminya pun menarik tubuhnya dan ia merasa sangat malu bahkan sampai wajahnya memerah mirip seperti udang rebus.

Mamat yang menyadari perubahan wajah Fitri pun terkekeh.

“Ma-maaf mas,” ucap Fitri terbata.

“Tidak apa-apa Mbak,”

Mamat kemudian berpamitan pada Fitri untuk kembali ke pantry namun ujung matanya menangkap bayangan siluet yang tengah memperhatikan interaksinya dengan Fitri sejak tadi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status