"Aku mau pergi, kamu mau ikut gak?" tanya mas Umair ketika kami tengah sarapan. Yah, seperti sebelum-sebelumnya, sarapan kami pun dipesan via online. "Kalau gak mau ikut, masih marah, ya sudah jaga rumah gak pa-pa, " kata mas Umair lagi. Huh, kenapa suamiku ini? Memang sejak mobil jadul miliknya dibawa pulang Bayu kemarin, suasana hatiku memang memburuk, tapi bukan berarti aku marah padanya. Lagian, tumben sekali ia menawariku untuk pergi, biasanya juga langsung diajak atau disuruh menyusul. Sepertinya mas Umair ini yang marah, bukan aku. "Emang mau kemana?" tanyaku penasaran. "Ambil hadiah buat temenku. ""Belanja dong? Kalau gitu aku ikut. Jam berapa kita berangkat? Terus belanja dimana?" Aku sangat antusias mendengar tujuan mas Umair mengajakku pergi hari ini, meski hanya mengambil hadiah untuk orang lain, bukan untukku, tapi pasti ambilnya di tokonya langsung. Ah, paling tidak bisa cuci mata. Aku pun diminta suamiku untuk bersegera siap-siap karena kurang dari 30 menit taksi
"Ini rumah siapa lagi? " tanyaku setengah berbisik pada mas Umair yang akan mengambil kue kering tersebut. "Nanti juga tahu, makan dulu," katanya. Ah, suamiku ini senang sekali membuatku kebingungan, membuatku menebak-nebak yang hampir bikin kepala nyut-nyutan. Langsung menjawab saja apa susahnya, sih? Selalu begini. Menyebalkan. Singkat cerita, setelah berbincang-bincang cukup lama akhirnya aku mengerti siapa pemilik rumah ini. Duh, suamiku yang dari desa ini ternyata tak hanya kaya harta tapi juga kaya hati. MasyaaAllah. Bagaimana tidak, rupanya mas Umair adalah pembeli mobil dari orang pemilik rumah ini. Bahkan dibayar lunas olehnya. Dan Risa, aku sudah salah menduga. Ia sebenarnya masih ada darah keturunan dengan mas Umair, hanya saja dari jalur keturunan mana aku hanya bisa mengangguk ketika dijelaskan. Saking bingungnya dan banhak jalurnya. Mas Umair sendiri katanya pernah bercerita saat di pernikahan kami karena ia tak bisa hadir dikarenakan masih di luar negeri. Namun, k
"Mau main-main sama saya? Ayo! " ku tantang mereka sebelum mengambil kembali plastik belanjaanku. Ku ambil posisi kuda-kuda, bersiap menghadapi mereka. Dan dengan cepat aku mengambil kembali plastik belanjaanku lalu berlari dengan sekencang-kencangnya. "Hey! Dasar wanita gil*!" teriak wanita muda itu setelah aku berhasil menjauh darinya. Untung saja bagian bawah gamisku yang ku pakai pagi ini lebar, jadi tak ada yang perlu dikhawatirkan. Sampai di rumah, nafasku rasanya hampir kehabisan. Saking lelahnya, belanjaanku, ku biarkan begitu saja di atas meja. Dan aku pun mengambil posisi duduk dengan menyadarkan badanku di sofa. "Kenapa? Pulang-pulang bukannya ngasih salam malah ngeloyor begitu aja, " kata mas Umair sembari duduk di sebelahku. Duh, perkataan suamiku barusan rasanya mengganggu kebebasanku, astagfirullah. "Assalamualaikum," kataku dengan sangat malas. "Astagfirullah." Mataku membulat kala suamiku beristighfar, meski pelan namun aku masih bisa mendengarnya. Apa ada yang
"Kami sadar atas kesalahan kami dulu, makanya kami juga minta maaf akan itu, suamimu 'kan orang baik dan bijaksana, pasti mau memaafkan kami, " ujar mas Bima percaya diri. Sudah ku duga, pasti kebaikan suamiku benar-benar dimanfaatkan oleh mereka. Dasar muka tembok. Ku lihat lagi wajah suamiku yang duduk di sebelahku ini. Mendadak jatungku berdegup kencang menunggu jawaban apa yang akan ia berikan. Ku harap suamiku ini mengambil keputusan yang tepat. "Kami bisa bantu tapi bukan meminjamkan uang melainkan sebuah kesepakatan, " kata mas Umair. Aku mengernyitkan dahiku mendengar jawaban mas Umair, apa maksudnya sebuah kesempatan? Memberikan pinjaman pada manusia model mereka saja aku tak sudi, apalagi ini, mengajak mereka untuk bersepakat. Tapi, kenapa tiba-tiba mas Umair mengajukan kesepakatan untuk membantu mereka? Biasanya mas Umair memberikan apa yang mereka inginkan secara cuma-cuma. Apa suamiku ini sudah mulai itung-itungan dengan mereka? "Kesepakatan apa Mas? Tolonglah, jang
Aku dan mas Umair kompak memandangi mobil di hadapan kami. Mobil dari mas Bima yang dibeli mas Umair atas tawarannya untuk membantu mas Bima guna dijadikan modal usahanya. Ku lihat wajah serius suamiku, dari apa yang ku lihat, ia tampak bingung. Aku sendiri juga tak tahu akan diapakan mobil tersebut, karena sejak tadi malam mas Umair tak memberitahukanku sama sekali. "Tuh, mau diapain mobilnya?" kataku dengan wajah masam lalu mendudukkan diri ke kursi di dekat kami. Sebenarnya masih ada rasa sedikit kesal karena keputusan mas Umair kali ini menurutku tidak tepat. Ku pikir masih ada cara lain untuk membantu mas Bima tanpa membeli mobilnya, karena kami sebelumnya sudah mengeluarkan uang banyak untuk membeli mobil. Memang suamiku bisa dikatakan saat ini tidak kekurangan uang, tapi dengan pengeluaran yang berjumlah besar dalam jarak dekat, bukankah itu pemborosan? Duh, kenapa suamiku ini? Apa ia ingin terlihat kaya di depan keluarga mama. Setiap kali ada masalah yang berkaitan dengan
Dalam hati pun sebenarnya ingin menangis karena keputusan mas Umair, namun apalah daya, nasi sudah menjadi bubur. 'Kenapa dijual Mas? Ku pikir kamu mau nyewain mobil tersebut lewat si pengusaha rental itu,' umpatku dalam hati. "Sini sini sini." Mas Umair menarik paksa tanganku setelah aku selesi meletakkan gelas-gelas di rak. Ia medekapku tanpa mempedulikan wajah masam dan tubuhku yang tak menerima pelukannya. Kembali ia mengusap rambutku dengan lembut. "Mas gak jual mobil itu, Mas hanya menitipkan pada Zaid untuk bisnis rentalnya, dengan begitu Mas juga akan mendapatkan keuntungan dari mobil jika ada yang menyewanya." Mas Umair berbicara tanpa ku pinta. Ku hela nafasku dalam pelukannya. Hatiku yang tadinya kesal, kini berubah menjadi trenyuh karena perkataannya barusan. Lagi lagi aku salah menduga tentang suamiku. Aku terlalu gegabah dengan setiap ucapannya. Aku salah, dan aku menyadarinya. "Jangan marah lagi ya, Mas 'kan sudah bilang kalau Mas sudah memikirkan kenapa Mas mau m
Mendadak jantungku berdegup kencang menunggu langkah selanjutnya yang akan dilakukan mas Umair. Tetapi mas Umair malah membuka laci nakas, tampaknya ia sedang mencari sesuatu yang aku tak tahu apa itu. Duh, makin deg-degan saja. Mas Umair lalu mengambil ponselnya dan diarahkan ke dalam laci nakas. "Alhamdulillah, ketemu." Mas Umair mengeluarkan sebuah lampu dari dalam nakas. Astaga, suamiku bikin deg-degan saja. Ku pikir ia akan melakukan itu, ternyata aku salah sangka. Tapi, kalau pun melakukan itu aku tak masalah, karena selelah apapun diriku, sebagai istri wajib bagiku untuk taat padanya selama dalam kebaikan yang diatur agama. Setelah mengambil lampu cadangan, lalu mas Umair segera mengganti lampu sebelumnya. "Yang tadi udah mulai redup, Mas gak bisa tidur kalau kayak gitu," kata mas Umair setelah menyelesaikan kegiatannya mengganti lampu. Ku hela nafasku, beruntung tadi aku tak berkata apa pun yang menjurus kearah sana, dan mas Umair sendiri tampaknya juga tak menyadarinya.
Dengan tersenyum aku menyusul Rima yang dimana biasanya ia bersama umi. Rima memang pandai bersandiwara, ia bersikap layaknya seorang perempuan baik-baik di depan umi dan lainnya. Setelah siap mas Umair pun menyusul abi ke penggilingan, sementara aku tetap di rumah bersama umi dan perempuan tak jelas asal usulnya ini. Umi pamit untuk pergi mandi setelah kepergian mas Umair, dan membiarkanku untuk mengobrol dengan Rima seperti biasanya. Ya, biasanya aku banyak mengobrol dengan Rima layaknya teman biasa. Namun kali ini, ada rasa berbeda diantara kami. Apalagi kalau bukan karena sifat asli yang Rima tunjukkan padaku di dapur tadi. Huh. Tak ada obrolan seperti biasanya, aku dan Rima saling terdiam dan sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Ku toleh sejenak arah dalam rumah untuk memastikan jika umi sudah tak terlihat lagi. Ku posisikan dudukku lebih dekat dengan Rima, meski sebenarnya aku tak sudi. Biarpun demikian, demi memperlancar rencanaku, terpaksa aku harus melakukannya. "Ka