“Sudah pulang mertuamu, Nduk?” Aku menoleh ke belakang, tersenyum ke arah Bibi yang sedang berjalan ke arahku sambil membawa sepiring kacang tanah rebus. Satu Minggu lalu beliau habis panen kacang tanah. “Sudah, Bi. Bu Mumun ngomong apa saja tadi, Bi?” Aku menatap Bibi seraya menjatuhkan bobot tubuh ke atas sofa. “Sama bibi tidak ngomong apa-apa, hanya sekedar basa-basi saja. Dia bilang mau ada perlu sama kamu.” Adik iparnya Ibu menyodorkan piring yang penuh dengan kacang itu ke arahku.“Apa, sih, tujuannya datang ke sini, Nduk? Kok, tumben.” Bibi mulai mengupas kacang. Matanya terus menatapku. “Dia meminta aku rujuk sama anaknya, Bi. Kan lucu dan nggak masuk akal.” Aku mencibir, tangan ini mulai sibuk membelah kulit kacang. “Seng tenan, Nduk?” [Yang bener, Nduk? Bibi menatapku tak percaya.“Buat apa aku bohong, Bi.” Aku mulai memasukkan biji kacang ke dalam mulut, lalu mengunyah. Percaya terserah nggak juga terserah. Siapapun orangnya pasti kaget bila mendengar cerita ini.
POV Lilik“Bangun, Lik! Bangun pemalas! Enak saja tidur-tiduran!” Suara Bu Mumun menggelegar memenuhi indra pendengaran. Gedoran pintu kamarku kian nyaring. Aku bergeming, tidak berminat untuk bangun. Biar saja sesekali aku bangun kesiangan. Ini baru pertama kalinya aku sengaja bangun kesiangan. Biasanya, jam segini aku sudah masak, membersihkan rumah. Kadang udah beres nyuci baju segala. Tapi, pagi ini badanku terasa capek, aku ngantuk. Dari semalam begadang, mengurus anak seorang diri. Apalagi Ardan, bayi kami agak rewel karena habis imunisasi. “Lilik! Bangun! Jangan malas-malasan kamu!” Gedoran itu semakin nyaring dan sering. Berisik!Dasar perempuan tua yang tidak punya perasaan. Ke mana lagi Mas Tama? Kenapa dia tidak muncul untuk sekedar membela aku di depan ibunya? Aku tersenyum kecut, tersenyum atas kebodohanku sendiri. Bagaimana bisa aku mengharapkan pembelaan dari Mas Tama, kalau nyatanya laki-laki itu tidak pernah peduli dengan aku? Bahkan dia tidak pernah mau tidur sa
POV Lilik“Mas, mana cukup uang segini? Semua harga itu naik. Lebih baik ibu sendiri beli di tukang sayur. Biar tahu berapa harga-harga sayuran dan daging. Aku tak mau mempermalukan diri sendiri di pasar dengan membawa uang segitu.” Aku menatap jengkel pada suami. Kutatap uang selembar berwarna biru di tangan sembari menggelengkan kepala. Apa mereka pikir duit segitu masih bisa buat beli ini itu? “Memang nggak cukup! Tapi hanya uang segitu. Selebihnya adalah urusanmu. Aku tak mau tahu, kamu harus dapat semua daftar belanjaan dengan uang segitu.” Jawaban Bu Mumun sukses membuat darahku mendidih. Bagaimana bisa ada orang selicik mertuaku? Ya Tuhan … kenapa Engkau ciptakan manusia yang tidak punya otak dan pikiran itu? “Terus aku harus tombok dari mana, Bu? Mas Tama saja tidak pernah memberikan aku uang lebih. Aku tak punya uang simpanan.” Terpaksa aku berbohong. Meskipun aku sebatang kara tanpa keluarga, tapi bukan berarti nggak ada uang pegangan sama sekali. Namun, bukan berarti
“De, kamu besok ada waktu nggak?” Mbak Mayang bertanya melalui sambungan telepon. “Besok aku kosong, Mbak. Sedang tidak ada pesanan. Ada apa?” tanyaku sembari mematikan kompor. Rica-rica ayam sisa catering tadi siang, kini aku panaskan kembali sebelum dimakan nanti malam. “Besok temani Mbak ke rumah kawan, di kabupaten sebelah. Mau nagih hutang. Masmu sedang tidak ada di rumah. Mbak butuh teman ke sananya. Sudah janjian, dia bilang besok mau ngasih uang. Lusanya doi mau ke pulau Jawa.” Begitulah Mbak Mayang yang seorang pebisnis. Terkadang uangnya tidak langsung dibayarkan oleh mitra kerjanya. “Kenapa nggak ditransfer aja sih, Mbak. Hari gini, lho, masak masih pake uang cash.” Aku benar-benar tidak habis pikir dengan Mbak Mayang. Mengapa masih menggunakan cari dulu.“Dia bilang adanya duit cash. Mau ke bank nggak ada waktu. Soalnya sorenya harus sudah berangkat ke Jawa.” Jawaban Mbak Mayang membuatku menarik napas dalam-dalam. Semoga saja benar apa yang dikatakan Mbak Mayang. Alu
Aku masuk ke dalam toko Bu Henny dengan penuh tanda tanya. Langkah kaki ini menuju tempat penyimpanan keranjang. Meskipun tempat ini hanya toko grosiran tapi termanajemen dengan baik. Baik dari tata letak barang, pelayanannya di kasir pun sudah mengikuti perkembangan jaman. Menggunakan komputer. Kebutuhan sembako, baik yang digunakan sendiri maupun yang digunakan untuk dagang aku memilih belanja di sini. Ya, sesekali lah belanja di luar sembari jalan-jalan. Tapi, seringnya aku belanja di sini. Selain komplit, murah, dan yang terpenting sebagian keuntungan toko ini, beliau sedekahkan untuk warga-warga yang kurang mampu di sekitar sini. Itu kegiatan rutin per minggu. Biasanya diadakan setiap hari Jumat. Sudah banyak warga yang ia bantu. Kehadiran toko grosir Bu Henny ini benar-benar membawa manfaat untuk warga sini. Wajar kalau apa akhirnya usaha beliau sekali diberikan kelancaran. Semoga aku bisa mengikuti langkah beliau, memberikan manfaat sebanyak-banyaknya untuk orang lain. Berb
Di media sosial, sebuah akun dengan nama ‘Manusia Unik’ memposting kotak nasi berlabel Amira catering dan beberapa beberapa lauk pauk di dalamnya. [Sumpah, aku tidak akan pernah menggunakan catering ini. Catering sampah. Tidak punya adab dan etika. Tidak bisa memanusiakan manusia. Lihat baik-baik, Guys! Bisa-bisanya pemiliknya catering bersedekah Jumat berkah dengan nasi kotaknya yang isinya lauk-pauk basi. Tandai, guys! Nama cateringnya, Amira catering. Lihat sambel kentangnya, sudah berlendir seperti ini!] Di bawah caption tersebut terpampang jelas foto kotak nasi milikku. Dan sambel kentang goreng dicampur dengan ati. Sambal tersebut terlihat berlendir memang. [Astaghfirullah … itu catering yang pernah dipakai oleh bibiku menunggu lalu. Padahal, pemiliknya terlihat sangat baik dan cantik lho. Tapi, memang cantik wajah tidak menjamin hati yang cantik. Sungguh, aku tidak menyangka kalau ternyata pemiliknya sangat kejam. Tidak bisa memanusiakan manusia.] Salah seorang netizen menj
POV 3“Gimana? Keinginanmu sudah berjalan sesuai rencana belum?” Seorang laki-laki menatap perempuan yang sedang ada di hadapannya dengan penuh makna. Wanita itu mendongak, menatap lawan bicaranya sembari menyeringai. Handphone yang sejak tadi ia tatap kini diletakkan di atas meja. “Ini sangat luar biasa, Bro. Aku tak menyangka kamu bisa secerdas ini. Lihat! Kolom komentar di akunmu, tidak ada satu orang pun yang membela Amira. Semua orang mencaci makinya. Menghina sedemikian rupa. Bisa dibayangkan bagaimana hasil akhirnya. Catering yang sedang berkembang itu sebentar lagi pasti akan bangkrut. Bisa dipastikan sebentar lagi gulung tikar. Dan itu berita akan sangat memuaskan indera pendengaranku ini. Berita yang sangat aku tunggu-tunggu.” Perempuan itu bersorak girang membayangkan usaha Amira yang bangkrut gara-gara ulahnya. Sedang laki-lakinya hanya menanggapi dengan senyuman. Merasa lucu dengan ekspresi wanita itu. Menyadari ekspresi lawan bicaranya, senyum merekah di wajah wanit
[Assalamualaikum, Mbak Amira. Mohon maaf sebelumnya. Saya mau membatalkan pesanan hari ini. Karena semua keluarga mentang menggunakan cateringnya Mbak Amira. Terlebih kakak saya yang akan membayar jasa catering menolak mentah-mentah. Sekali lagi saya minta maaf yang sebesar-besarnya pada Mbak Amira.]Aku menarik napas panjang membaca pesan masuk dari Mbak Dian, seorang wanita muda yang satu Minggu lalu menghubungi aku untuk memesan catering. Aku menatap ke arah kulkas. Di sampingnya teronggok belanjaan yang baru aku turunkan dari motor. Belum ada lima menit aku duduk di atas kursi saat pesan dari Dian masuk ke WhatsAppku.[Kenapa mendadak begini, Mbak? Padahal, Mbak Dian bisa membatalkan di H-1. Kan saya sudah terlanjur membeli belanjaan] Sedikit aku mengeluarkan unek-unek. Ya, meskipun sudah ada DP, tapi tidak bisa seenaknya membatalkan seperti ini. Masalahnya untuk apa barang sebanyak itu kalau tidak jadi digunakan untuk catering? [Maaf, Mbak. Ini semua diluar kendali saya. Secar